4 Panggil Aku Tuan Muda

"Aku? Uhm, aku belum memikirkan namaku tapi aku ingin menjadi seorang guru!" wajab pria itu sambil menurunkan kakinya. Dia menyingkap selimut berbulu. Han Yan menunduk dengan wajah memerah. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria dengan keindahan yang tak terkatakan di depannya benar-benar telanjang. Bahkan dengan santai menunjukkan tubuhnya.

"Dasar cabul!" tanpa sadar kata itu keluar dari mulut Han Yan. Dia masih menunduk dengan wajah memerah hingga telinga. Ini terlalu memalukan dan yang lebih buruk dia benar-benar terpesona. Pikirannya tak terkendali.

"Cabul? Nak, perhatikan kata-katamu." pria muda itu sedikit tersinggung. Dia mengerti makna kata tersebut dengan jelas, itu bukan hal yang bagus. Apalagi bila ditujukan padanya yang selalu disembah para dewa.

Han Yan tidak menyahut. Dia sedang berusaha untuk mengatur jiwanya yang terguncang. Setelah beberapa saat, dia mulai pulih dan berdiri dengan tegap. Han Yan kembali menjadi sosok dingin yang acuh tak acuh. Namun dia tidak melihat ke depan, dia malah memutar tubuh hendak pergi.

"Hei, jangan pergi!" seru pria tanpa busana tersebut sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan ringan. Asap merah muda sama mengelilingi tubuhnya sebelum berubah menjadi jubah putih polos. Tampilannya sama seperti saat dia sampai di dunia ini. Pakaian putih dengan simpul pita sederhana panjang yang mengikat sedikit rambut panjangnya serta beberapa helai rambut yang jatuh membingkai wajah. Tak ketinggalan pula kipas merah yang terlihat indah dan mencolok di tangan kirinya.

Langkah kaki Han Yan semakin cepat, dia tidak peduli lagi dengan pohon pinus seribu energi. Semua hal terasa ganjil dan itu membuatnya tidak nyaman. Dia menengok kebelakang dan menemukan pria muda tampan dengan kipas merah mengikutinya. Alisnya mengernyit, dia ingat betul bahwa hanya ada pohon dan ranjang di dalam gua, dimana pria itu menemukan pakaian? Pertanyaan itu muncul dalam pikirannya. Selain itu, bagaimana dia bisa melihat pria di belakangnya padahal kabut tebal menutupi pandangannya. Dia hanya bisa melihat kehadiran pria yang memegang kipas, selain itu semuanya berkabut.

Duak!

Dia menabrak sesuatu. Tangannya meraba-raba dan merasakan lembab saat menyentuh benda yang ditabraknya. Kewaspadaannya kembali meningkat, dia tidak dapat melihat apapun namun dia memiliki firasat bahwa ini bukan hal baik. Tangannya kembali meraba dan merasakan kelembaban dan ada rasa licin dan keras. Itu terasa seperti sisik raksasa.

"Kalau aku jadi kau, aku akan berhenti meraba." suara pria yang terdengar menyenangkan terdengar. Pria muda itu mengipas-ngipaskan kipas merahnya. Dia berdiri dengan santai dan tenang.

Sssshhh...

Tiba-tiba terdengar suara mendesis. Suara itu terdengar sangat dekat, hembusan udara hangat dengan bau tidak sedap tercium. Han Yan menutup hidung dan mundur hingga berada di samping si pria muda.

"Bagaimana kau tahu kalau itu bukan sesuatu yang bagus?" tanya Han Yan. Dia masih menutup hidungnya dengan satu tangan sedangkan tangan kanannya mengarahkan pedang panjang ke depan.

"Panggil aku Guru Muda kalau kau ingin tahu."

"Cih! Tak tahu malu. Aku tidak mau, kau bahkan terlihat seumuran denganku atau lebih muda." Han Yan menolak mentah-mentah. Entah bagaimana pria di depannya itu terlihat sangat muda.

"Aku terlalu muda? Panggil aku Tuan Muda kalau begitu!"

"Terserahlah." Han Yan sedikit jengkel, pria di sebelahnya ini sangat aneh dan menyebalkan.

"Jangan mengganggunya, dia tidak akan menyerang. Ikuti aku kalau kau ingin keluar dari sini."

Han Yan memandang penuh kecurigaan, tetapi dia masih mengikuti. Dia tidak tahu kemana si Tuan Muda aneh ini membawanya. Dia tidak melihat apapun namun pria yang tampak lebih muda darinya ini bisa berjalan dengan santai tanpa beban seakan pandangannya jelas. Terkadang mereka berbelok dan sesekali melompat dengan alasan menghindari binatang buas ataupun formasi alam. Mereka menembus kabut tanpa hambatan. Han Yun ingin bertanya namun ragu, dia jarang membuka pembicaraan dengan orang lain karena itu dia sekarang bingung untuk memulai pertanyaannya.

"Ada orang di depan." kaki mereka berhenti melangkah, pria muda dengan alis pedang yang sedikit terangkat mengetuk pelan ujung kipasnya ke dagu. Dia berpikir. Matanya menatap kedepan, menembus kabut. Dia bisa melihat dengan jelas bahwa ada anak lelaki seusia Han Yan sedang terduduk dengan luka di lengan kiri. Di depannya ada sekawanan serigala dan beberapa mayat serigala tergeletak di sana.

"Bawa aku kesana!" Han Yan meminta dengan buru-buru. Dia ingat bahwa dia dan kelompoknya terpisah oleh formasi. Jadi kemungkinan besar itu salah satu temannya. Walaupun dia acuh tak acuh, dia sangat menyayangi teman-temannya.

"Ada sekawanan serigala, aku akan menuntunmu tapi tidak akan membantumu." Pria berpakaian putih itu mengangguk setuju dan melanjutkan langkahnya. Kipas merah itu terus bergerak-gerak dan membawa angin sejuk yang menerpa wajah dewa surgawi itu. Gerakannya tampak anggun dan mempesona.

Auwooo!

Grrrr!

Di sini kabut tidak terlalu tebal karena tempat ini merupakan perbatasan antara wilayah tengan dan dalam. Di depan mereka ada sekawanan serigala iblis yang menggertakkan gigi dengan marah. Mata serigala itu memerah dengan air liur menetes di sela-sela taring tajam berkilau. Serigala itu berwarna abu-abu gelap, ada berbentuk sabit di dahi mereka. Disana juga ada seorang yang terluka.

"Chu Feng!" Han Yun segera membantu temannya berdiri. Dia membawanya mendekati Tuan Muda yang berdiri menatap bosan pada sekawanan serigala. "Tunggu disini. Oi, Tuan Aneh, jaga temanku."

"Siapa yang kau sebut aneh? Panggil aku Tuan Muda." protes pria tampan itu saat melihat Han Yan menarik pedang panjangnya. Namun walau begitu, bisa dilihat bahwa ada senyuman terukir indah di bibirnya. Senyuman itu seakan bisa membalikkan dunia. "Kekuatan berkahnya belum terbangun. Semakin sering dia bertarung maka semakin baik. Tapi anak ini agak menyusahkan, bagaimana membuatnya mau menjadikanku gurunya?" pikir si Tuan Muda sambil menggosok dagunya.

Grrrrr....

Sekawanan serigala itu menggeram marah, ini bukan hal baik. Han Yan mengayunkan pedang panjangnya ke salah satu serigala. Menebas langsung ke leher. Gerakannya gesit dan tanpa ampun. Pembawaannya tetap tenang. Matanya berkilat tajam bagaikan pisau. Ayunan pedangnya menebas kawanan serigala itu satu persatu. Di sisi lain, Chu Feng merobek pakaiannya dan membalut lengannya yang terluka. Setelah itu dia menatap pertarungan sengit di hadapannya.

"Menurutmu, siapa yang akan menang?" suara indah membawa rasa penasaran memasuki telinga Chu Feng. Barulah dia mendongak dan melihat pemuda tampan sedang mengayunkan kipasnya dengan anggun. Dia terpana sejenak, wajar saja karena ini pertama kalinya dia melihat sosok yang begitu menawan. Bahkan dapat dikatakan bahwa figur-figur luar biasa yang dikenalnya tidak ada yang seperti orang ini. "Tidak sopan menatap orang dengan tatapan seperti itu."

"Maafkan aku." Wajah Chu Feng memerah, dia sadar bahwa tatapannya berlebihan. Apalagi ini merupakan pertemuan pertama. "Anu, bagaimana aku harus memanggilmu?"

"Panggil aku Guru Muda."

"Hah?" Chu Feng agak tercengang. Dia menatap sekali lagi, kali ini dia menatap dari atas ke bawah. Berapa kalipun dia menatap hasilnya tetap sama. Orang ini tampak seperti tuan muda kaya, terlebih lagi dia sangat muda. Chu Feng menggelengkan kepalanya pelan.

"Astaga, baiklah. Panggil aku Tuan Muda. Kau sama saja dengan orang bodoh itu. Hmph!" Si Tuan Muda mendengus dingin. Dia menghempaskan lengan bajunya dan menutup kipas merahnya. Dia berjalan menjauh beberapa langkah sebelum meletakkan pantatnya di atas sebuah kursi rotan yang dihiasi bunga merambat di kaki kursi. Pria muda itu juga memeluk sekeranjang kecil buah-buahan.

Chu Feng terkejut, dia tidak melihat keberadaan kursi rotan ataupun keranjang buah sebelumnya. Tatapannya mulai menyelidik, kecurigaan menyusupi pikirannya. Dia melihat Si Tuan Muda mengambil buah anggur dan memakannya dengan santai sambil melihat Han Yan yang tengah bertarung. Dia menikmati tontonannya tanpa ada niat membantu sama sekali.

avataravatar