webnovel

Manusia Terpilih

"Sudah bosan hidup rupanya kau, bocah?! Beraninya mengaku sebagai manusia terpilih! Siapa dan darimana kau?!" teriakan menggelegar sekeras gemuruh petir menggetarkan jiwa para penduduk kampung itu, namun tidak berpengaruh pada Guntur.

"Aku adalah Guntur Sabdo. Aku datang dari Madya-Pada karena panggilan dari Yang Maha Kuasa untuk membantu warga di Madya-Pada ini dari ketidak adilan penguasa."

"Bocah kemarin sore berani sombong, punya kesaktian apa kau?!"

"Aku bukanlah orang sakti, tapi aku punya Tuhan Yang Maha Segalanya. Aku tidak akan takut padamu. Karena kesaktianmu hanyalah titipan untuk membantu tugasmu mengatur hujan dan kesejahteraan makhluk, bukan untuk semena-mena!"

"Tidak pelu banyak omong! Ayo lawan aku kalau berani! Jika kau menang, aku akan mengikut perintahmu membagi hujan dengan adil dan mengajarimu beberapa kesaktian! Tapi jika kau kalah, kau akan mati mengenaskan!"

"Siapa takut! Aku akan melawan kemungkaran yang kau perbuat, tapi jangan libatkan para penduduk!"

"Ayo kita bertarung di atas awan. Bagaimana? Apa kau bisa terbang?"

"Aku tidak bisa terbang, tapi aku bisa melawanmu di atas awan. Ayo kita pergi dari sini!"

Kemudian Indra kembali ke atas awan dengan menaiki gajah tunggangannya. Dan Guntur memanggil burung Jatayu yang sebelumnya pernah ia temui di hutan, untuk mengantar Guntur naik ke atas awan.

Warga kampung hanya terdiam melihat Indra dan Guntur naik ke atas awan untuk berduel. Namun mereka mendoakan kebaikan untuk Guntur agar keadilan untuk mereka bisa terpenuhi. Mereka berharap setelah pertarungan Guntur dan Indra menjadikan ketentraman dan kesejahteraan untuk semua umat.

Sementara itu, diatas awan terlihat beberapa kali sambaran petir dari bawah. Indra beberapa kali menembakkan petir kea rah Guntur, namun Guntur bisa menangkap dan mengembalikan petir itu. Guntur yang baru menggunakan beberapa gerakan jurus silat jarak dekat, tetap berusaha menyerang Indra dengan pukulan dan tendangan cepat beberap kali.

"Kena kau, Bocah!" teriak sombong Indra saat melempar petir beberapa kali kea rah Guntur dari jarak jauh.

"Loh harusnya kena dan gosong tubuhmu bocah. Jurus apa yang kau gunakan untuk menghindar? Padahal aku melihatnya kena tepat di tubuhmu?"

"Memang aku tak bisa menyerangmu dari jarak jauh, tapi kau pun tak akan bisa mengenaiku."

"Apa kau menguasai Aji Lembu Sekilan?"

"kau berpikir terlalu berlebihan, Indra!"

"Kurang ajar kau! Rasakan yang satu ini, Lembu Sekilanmu tak akan bisa menghindarinya!"

Lalu Indra mengambil ancang-ancang untuk menyerang Guntur dengan badai petir dengan air hujan. Dalam beberapa saat, awan hitam semakin pekat menggulung di sekitar Guntur. Kilatan petir mulai muncul beberapa kali, air mulai menetes desar dan sampai ke tanah, hingga disambut suka cita para warga.

"Indra kalah, Indra kalah!" teriak salah satu warga.

"Belum, mereka masih bertarung. Tapi kelihatannya memang Indra akan kalah," respon warga lain.

"Ayo kita doakan agar Indra menyerah saja."

"Ayo. Teriakkan 'Indra Kalah, Guntur Menang' dengan keras agar terdengar ke atas!"

Lalu semua warga berteriak bahwa 'Indra kalah dan Guntur menang' berulang-ulang. Sampai terdengar oleh mereka yang sedang bertarung di atas sana.

"Sialan mereka, mau aku beri peringatan keras sepertinya," umpat pada warga, lalu melemparkan satu petir kea rah bawah mengenai meja altar hingga hancur.

Sambaran petir itu sontak membuat waga diam ketakutan.

"Hai Indra, bukankah aku sudah bilang, jangan libatkan para warga!"

"Mereka memang pantas mendapat peringatan keras dariku! Sekarang giliranmu untuk hancur oleh petirku!"

Disaat badai petir dan hujan masih menyerang Guntur, Indra mempersiapkan serangan petir yang paling brutal pada Guntur. Semua serangan Indra tampak selalu mengenai Guntur, namun Guntur sendiri tidak bergeming sedikitpun. Hanya saat melihat ancang-ancang yang dibuat Indra, membuat Guntur lebih waspada. Berpikir bagaimana kalau Lembu Sekilan tidak lagi bisa menahan serangan ini, lalu mempersiapkan ajian lain.

"Bismillahirrohmanirrohiim, MANDEG!" teriak Guntur super keras menggelegar bagai guntur hingga terdengar ke bumi membuat Indra terdiam kaku tak bisa bergerak lagi.

Langit menjadi tenang dan cerah kembali setelah hujan lebat mengguyur tanah. Awan hitam mulai menyingkir, tinggal tersisa bongkahan awan kecil sebagai pijakan Indra dan Guntur. Lalu keduanya turun ke bumi, ke dekat meja altar yang telah hancur itu. Indra masih terdiam lemas saat sampai di tanah dipegang tangannya di belakang oleh Guntur.

"Wah Indra betul-betul kalah oleh Den Guntur," pekik senang para warga.

"Ayo akui kekalahanmu dan epati janjimu!" bentak Guntur pada Indra.

"I-Iya, Nak. Aku mengaku kalah. Aku akan tepati janjiku untuk mengajarimu menggunakan kekuatan petir dan hujan, serta membagi hujan dengan adil," Indra menjawab dengan nada ketakutan, "tapi sebelumnya katakan ajian apa kau gunakan tadi."

"Baguslah, memang sudah seharusnya kamu membagi hujan dengan adil sesuai perintah Yang Maha Kuasa padamu. Tentang ajian yang aku gunakan, sebenarnya bukan sebuah kesaktian dari penggunanya, namun hanya kekuatan Illahi yang dititipkan pada orang yang terpilih dan terlatih. Terkadang ada yang menyebutnya Aji Sabdo Pandito."

Mendengar ucapan Guntur, Indra dan Ki Lurah beserta semua warga teringat pada seorang dewa terakhir dari golongan Pandawa. Dia adalah Wisanggeni yang mempunyai ajian bernama Aji Sabdo Pandito Ratu. Tapi mereka tak berani menanyakan lebih detail pada Guntur.

"Tolong lepaskan belenggumu, Nak. Aku tidak akan berani melarikan diri atau menyerang lagi."

Lalu Guntur melepaskan Indra dan Indra kemudian mentrasfer pengetahuan pengendalian petir dan hujan pada Guntur melalui telapak tangannya pada Guntur.

"Baik, sekarang kamu resmi menjadi muridku secara langsung, Nak. Teruslah berlatih dan berkembang. Suatu saat kita akan bertemu lagi, yaitu saat kau benar-benar menepati sebagai manusia terpilih, aku akan pergi dulu. Sampai jumpa." Indra kemudian pergi setelah menyampaikan pesan pada Guntur dan berpamitan.

"Wah, Den Guntur memang benar-benar manusia terpilih," kata Ki Lurah.

"Benar. Sudah cukup banyak buktinya. Termasuk bisa berbahasan binatang dan bisa menjadi murid dewa yang telah dikalahkannya. Hebat, Den." Ungkap bangga salah satu warga.

"Terima kasih, Den. Kampung kami sekarang sudah mendapat hujan yang cukup. Semoga Indra akan selalu menepati janjinya." Warga lain ikut menyampaikan rasa terima kasihnya.

"Tidak perlu terlalu sungkan, Saudara-saudara. Aku hanya merasa harus menepati tugas sebagai mana mestinya. Kalau kalian membutuhkan hujan atau permohonan lain, memohonlah pada Yang Maha Kuasa. Tuhan Allah Subhanahu Wa Ta'alaa bukan pada para dewa itu. Karena mereka hanyalah menjalankan tugas dari Hyang Wenang. Dan Hyang Wenang juga menjalankan tugas dari Yang Maha Kuasa."

"Baik, Den. Terima kasih diingatkan. Sebenarnya dulu kami juga pernah diajarkan cara berdoa pada Yang Maha Kuasa oleh Wali Penyebar ajaran Islam yang pernah bersambang kemari, Den." Ki Lurah menyampaikan teria kasih juga.

"Apakah orang itu bernama Kanjeng Sunan Kalijaga?" tanya Guntur pada Ki Lurah.

"Betul, Den."

----------

Next chapter