webnovel

Penghuni Lain

           

"Kau kenapa sih, Gre? Kok aneh gitu?", tanya Anne penasaran. Gre menoleh ke arah mereka.

"Eh, kalian mau dengar sesuatu, nggak? Ini aneh banget. Aku udah berusaha buat lupain. Tapi ini bener-bener aneh. Earphone-ku mana ya?", tanya Gre serius sambil mengecek di dalam tasnya. Wajah Gre benar-benar tidak sedang bercanda. Kamal dengan sigap mengeluarkan earphone-nya dari saku belakang jeansnya.

"Nih, kau butuh earphone kan?", tanya Kamal.

"Ah, oke. Pakai itu aja. Kalian coba dengar ini", ucap Gre sambil mencolok earphone ke ponselnya. Dame yang tepat di sebelah kanan Gre menjadi pendengar pertama.

"Hahahaha. Apanya kau ini, Gre! Jadi beneran kau rekam suaramu pas tidur? Kami becanda kok malah kau seriusin?", tawa Dame.

"Eh, bukan itu. Coba kau dengar baik-baik", ucap Gre berharap Dame juga mendengarnya. Vince gantian mendengar dan dilanjut Kamal. Mereka tertawa.

Gre ingin menjelaskan tetapi susah dan menunggu teman-temannya puas tertawa. Giliran Anne mendengar. Sesaat, Anne ikut tertawa, tetapi kemudian Anne terdiam. Gre melihati Anne, dan Anne balas melihat Gre. Kedua tatapan mata mereka membuat ketiga orang yang tertawa tersebut terdiam seketika.

"Gre. Ini suara tangisan siapa?", ucap Anne sambil masih mendengar.

"Tangis? Itu suara nafas si Gre, Anne!", ucap Vince.

"Itu yang aku pengen bilang. Coba kalian dengar baik-baik", ucap Gre. Anne memutar menit keberapa suara tersebut terdengar. Mereka kembali bergantian mendegar.

"Gre! Suara tangisan siapa ini? Kok ada suara tangis anak kecil?", ucap Dame serius.

"Suara tangis itu jelas bukan kau, Gre. Karena suara nafasmu juga terdengar bersamaan", sambung Vince.

Gre mulai bercerita. Dari mulai mimpinya, kaki yang menggeliat, sapu yang terjatuh, suara tangisan dan mulut yang dijahit.

"Kok bisa sih? Kosmu angker ya?", tanya Dame penasaran.

"Jujur, aku nggak tahu. Makanya dari tadi aku berpikir, darimana suara itu berasal. Aku baru tersadar sekarang. Aku juga mimpi buruk semalam. Aku mimpi seorang anak kecil. Mulutnya terjahit dan ia menangis", jelas Gre serius.

"Udah. Nggak usah dipikirin. Semua tempat punya penunggu. Bahkan di kampus ini juga banyak", ucap Anne biasa.

"Kok kau bisa tahu, Anne? Jangan bilang, kau ini bisa ngelihat?", tanya Kamal. Anne mengangguk. Mereka semua semakin penasaran.

"Terserah kalian percaya apa nggak, tapi aku udah bisa lihat hal ganjil sejak aku kecil. Aku rasa udah jadi kebiasaan atau mungkin pemberian. Bahkan pas kita OSPEK, adoh, mereka ada dimana-mana! Aku bahkan udah masa bodo amat dan mencoba untuk nggak takut. Mereka sama saja kayak kita. Mereka ingin lewat, ingin duduk, ingin jalan-jalan, apapun itu. Persis seperti kita. Mereka itu cuek, asalkan kita nggak ganggu", jelas Anne.

"Bentar, tapi, kenapa suara itu terekam juga? Kan aku nggak ada ganggu siapa-siapa", jelas Gre.

"Udah aku bilang Gre, mereka sama seperti kita. Manusia ada yang cuek, biasa aja, baik, jahil bahkan jahat. Artinya, kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak mau tahu apa yang kita lakukan. Bisa jadi suara itu adalah kejahilannya. Apalagi anak kecil. Mereka kan masih polos, dan sering bertingkah jahil. Sudah, kau nggak usah kepikiran. Banyakin doa. Semua doa itu sama, mengusir mereka. Makhluk itu takut kepada keyakinan kita. Mending kamu menaruh hal- hal yang berbau positif di kamarmu, Gre", jelas Anne lagi.

"Salib! Kau punya salib nggak dikamar?", tanya Dame.

Gre teringat. "Benar juga. Kamar gue kosong banget. Nggak ada apa-apa. Gue harus beli salib dan banyak berdoa".

"Tapi nggak cuman taro  salib atau hal lain juga, Gre. Kalo aku pribadi, lebih kekeyakinan kita. Ompung aku bilang, setan atau hantu itu takut kepada kepercayaan kita. Mereka tidak akan ganggu selama kita nggak penasaran. ", ucap Dame menyela.

"Maksudnya penasaran?"

"Giniloh Gre. Saat kita penasaran akan suatu hal, ada baiknya kita nggak terlibat. Nggak usah diusik-usik. Makhluk lain itu ada, tapi sekarang masalahnya, apa kita percaya atau nggak? Kalau kita percaya mereka ada, dan kita semakin penasaran, mereka bakal makin tertarik. Mereka akan semakin mengusik kita yang masih hidup. Tapi kalau kita tenang dan mengabaikannya, biasanya sih mereka nyerah"

"Oke. Tapi, kenapa anak itu masuk ke dalam mimpiku? Dan jelas banget, ada suara di rekaman ini. Jujur aja Dame, aku orangnya susah tenang dan emang selalu penasaran. Apalagi hal seperti ini. Jujur aja, aku makin penasaran, bukannya takut"

"Hmmm. Ya itu kan hak kau mau gimana. Aku cuman kasih saran aja", ucap Dame menyerah.

Memang bukan tipe Gre duduk, diam dan tenang. Gre malah makin penasaran. Apa maksud anak itu masuk dalam mimpinya, dan bagaimana caranya suara tangisan anak itu ikut- ikut terekam.

Sebelum pulang ke kosnya, Gre menyempatkan membeli beberapa hiasan dinding. Gre juga manusia biasa. Bulu kuduknya juga pasti akan tegang saat tahu ada makhluk lain di sekitarnya. Gre memasang salib di dinding kamarnya. Gre juga membeli sebuah frame. Ia memasukkan foto keluarganya ke dalam frame yang diselipkan oleh Mama ke dalam tas laptop Gre.

Sehabis mandi, Gre membaca buku Pengantar Psikologi Umum karangan Sarwono. Gre ingin banyak tahu lagi tentang cikal bakal ilmu Psikologi. Matanya mulai sayu. Memang, membaca sesuatu dengan kata-kata yang rumit cenderung membuat kantuk. Gre melihat jam. Sudah hampir pukul 11.00. Ia mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur. Gre berdoa agar keluarganya diberkati, kuliahnya lancar dan mimpinya tidak buruk lagi. Ia tertidur.

Gre bangun pagi. Sangat segar. Tidak ada lagi mimpi buruk. Salib tersebut benar-benar melindungi Gre. Ia berangkat dengan semangat penuh. Ia menutup pintu kamar dan siap berangkat. Saat akan beranjak, Gre tersadar ada yang aneh. Cat merah maron di pintunya terkelupas. Dan kelupasan itu berbentuk goresan kasar namun tipis. Lebih tepatnya seperti bekas cakaran. Ada yang mencakar-cakar pintu Gre. Goresannya tidak terlalu banyak tetapi sangat terlihat karena cat menjadi terkelupas. Gre memegang goresan tersebut. Remahan cat berjatuhan. "Ini apa? Siapa yang cakar-cakar nih pintu dari luar? Aneh. Kucing?".

Seorang wanita berbadan tambun lewat dari gerbang pintu utama rumah Ibu Lince. Sama. Tersenyum kecut sambil memegang sebuah sapu dan lap di gantung di lengannya.

"Ah, maaf, Bu. Ini kok kayak ada yang cakar-cakar ya pintunya?", tanya Gre sopan. "Mana?", jawab si ibu ketus. Ia adalah pembantu rumah tangga yang bekerja khusus membersihkan indekos ibu Lince setiap pagi.

"Ah, kucing paling. Itu kan pintu kalau malam masih sering terbuka. Orang atas banyak keluar malam. Makanya masuklah kucing-kucing itu", jawabnya.

"Oh, gitu. Cuman jarang kok kayaknya kucing disini, Bu", jelas Gre.

"Ah, kau ini, dek. Masih baru kan disini? Nanti kalau udah lama baru ngelihat banyak kucing lewat", ucapnya tersenyum sambil meninggalkan Gre dan menaiki tangga.

Gre menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia beranjak dan pergi meninggalkan kosnya. "Orang disini sulit ditebak. Senyum pada nggak tulus, muka pada serem. Aneh banget. Gue nanya baik-baik juga, malah nyolot. Sabar Gre, sabar".

Di kampus Gre kembali bersama teman-temannya. Vince masih sering senyam-senyum nggak jelas ketika bertemu dengan Gre. Waktu mulai mengatur, pada akhirnya mereka terlihat seperti lima sekawan. Gre dan Dame beragama Kristen, Vince Katolik, Anne dan Kamal adalah Muslim. Tidak ada masalah buat mereka berteman, dan Medan memang kota yang penuh segala macam budaya dan keyakinan.

Dosen yang mengajar di kelas terakhir ternyata mengubah jadwal kuliah menjadi esok hari karena sesuatu hal. Anne bersemangat saat tahu kelas terakhir mereka dipindah jadwal. Anne ingin mengajak keempat temannya berkeliling kota Medan. Tidak semua kota Medan, karena butuh satu minggu, bahkan lebih untuk menjelajahi seluk beluk Medan. Vince juga bersemangat. Vince yang memang cukup berada, langsung menyarankan para temannya jalan-jalan dengan mobilnya. Semua setuju. Anne dan Vince mulai merancang rencana kemana mereka akan pergi. Seiring waktu, Anne mulai sering berbicara. Sudah menjadi tipe Anne. Ia butuh waktu untuk mengobservasi orang sekitarnya, dan jika itu cocok baginya, Anne menjadi satu sosok anak yang asyik.

"Vin. Gimana kalau kita makan? Mau makan apa kalian? Tapi yang halal dulu, ya. Nanti aku sama Kamal nggak bisa makan. Hihihi. Nanti aja Vince bawa kalian ke Pringgan. Puas- puasin makan B2"

"Hahaha. Iya bener juga Ne. Gimana kalau kita bawa mereka makan di daerah Kampung Keling?"

"Oh. Makan –makanan India? Ayok deh. Aku udah lama nggak kesana. Kita makan roti channai sama teh tarik. Maknyus dah", ucap Anne tersenyum. Gre, Dame dan Kamal hanya bisa melihati dan memperhatikan omongan kedua teman Medannya itu. Gre terhibur dengan tingkah laku dan cara teman-temannya berbicara. Gre tersenyum melihati Dame dengan logat Bataknya yang sedang berbicara dengan Kamal yang juga masih menyimpan logat Padangnya. Gre melihati mereka semua. "Gue nggak bakal sepi lagi. Thanks teman-teman!".

Mereka melewati kantor Gubernur dan akhirnya sampai di jalan Zainal Arifin. Mal yang cukup besar terlihat disebelah kiri jalan.

"Ini Mal apa? Lumayan gede ya", tanya Kamal.

"Ah, itu Sun Plaza. Mal-nya anak muda Medan. Aku yakin, semua anak muda medan pernah nongkrong disini. Apalagi malnya tepat di belakang SMANSA. Anak sekolahan kalau pulang sekolah pasti nongkrong deh disini", jelas Anne.

"SMANSA? Itu nama sekolahan kan?", tanya Gre penasaran. Anne mengangguk. Gre terpikir, dari siapa ia pernah mendengar sekolah itu.

"Ah! Aku punya temen disini. Anak SMANSA!", ucap Gre tiba-tiba. Jan. Gre masih ingat, kalau Jan pernah cerita, ia bersekolah di SMANSA. Mereka belok kiri ke sebuah jalan kecil yang penuh tempat makan. Persis dibelakang Mal Sun Plaza dan dekat SMANSA.

Di jalan Teuku Cik Ditiro, ada satu resto yang terlihat cozy. Resto Cahaya Baru. Mereka parkir dan berjalan sedikit. Memasuki pintu, Gre dan temannya merasakan bau rempah yang menyengat di dalam resto. Banyak hiasan dinding yang keren disana. Ada stiker perempuan india yang khas. Lucunya, Gre melihat ada foto Yesus terpajang di dinding. Cukup menarik melihatnya. Dame melihati resto itu dengan saksama. Ia melihat-lihat, memperhatikan resto tersebut dengan wajah serius. Pelayan memberikan menu. Banyak menu India yang asli. Vegetarian maupun yang non-vegetarian tersedia lengkap.

"Aku pesen Tapi Briyanni aja. Udah lama nggak makan ini", ucap Anne kelaparan. Dame ikut-ikut memesan masakan yang sama dengan Anne. Kelihatan dari ekspresi Anne, makanan itu pasti enak. Kamal juga pertama kali makan-makanan India. Vince memesan Palak Paneer, makanan khas India yang terbuat dari bayam tumbuk dengan rempah khasnya. Kamal memesan Mutton Briyanni yang terbuat dari daging kambing empuk. Gre memilih satu menu makanan. Gre pernah sekali makan roti cannai, tapi untuk sekarang, Gre ingin mencoba yang lain. Kelihatan makanan disini asli dimasak oleh orang India asli dan sangat menggiurkan. Ia mencoba Set Thai Non-Vegetarian. Mereka juga memesan es teh tarek bersamaan. Sambil berbincang hal-hal yang seru, Gre teringat Jan. Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Jan. Beberapa detik ia mengirim, tiba-tiba ponsel Gre bunyi. Jan menelepon Gre.

"Eh. Serius disana? Deket banget nih. Aku juga masih di sekolah, nih. Mau siap-siap pulang, baru kelar main basket. Aku kesana bentar boleh?"

"Eh. Masa sih? Iya ini sama temen kuliah. Aku nggak tahu kalau kau masih di sekolah.

Udah hampir jam lima lagi. Serius mau kesini?"

"Iya. Ketemu bentar lah. Boleh apa nggak nih? Aku jalan kaki juga nyampe. Gimana?" "Oh ya? Yaudah, dateng aja, Jan"

Mendengar percakapan itu, teman-teman Gre meliriknya. "Eh, siapa tuh yang mau kesini?", tanya Anne senyum genit. "Eh, itu sepupu kak Kiran. Kakak alumni SMA aku di Jakarta dulu. Nah, sepupunya SMA di SMANSA itu. Makanya aku tadi teringat. Dia mau kesini bentar boleh? Nggak apa-apa kan, guys?", tanya Gre.

"Yah nggak masalah lah. Malah enak makin rame. Oh, masih anak SMA. Wah, brondong ni ye", sindir Dame. Gre tersenyum salah tingkah. Kamal juga bersikap biasa saja, berbeda dengan orang disebelahnya. Vince tersenyum kecut. Vince sedikit tertanggu jika ada orang lain. Apalagi orang tersebut dekat dengan Gre.

Vince melihat senyum Gre. "Masa Gre punya cowok? Ah, dia kan baru disini. Tapi itu anak kok pengen banget kesini, ya? Ah, Vin. Kau ini paok kali! Lagian kan itu teman Gre". Sesaat kemudian, satu persatu pesanan mereka datang. Semua tersaji di meja. Mereka menikmati makanan India yang khas tersebut. Dari pintu, muncul satu sosok cowok tinggi. Memakai kaos 'The Beattles' dan mengenakan celana abu-abu SMA-nya. Dahinya berkeringat dan rambutnya yang disisir samping masih basah.

"JAN! Sini!", teriak Gre. Jan masuk. Anne yang sedang menikmati Briyanninya terdiam sejenak. Anne baru saja melihat cowok dengan wajah tampan, tubuh bagus dan tinggi pula. Anne seperti melihat idolanya,si tampan Zayn Malik dengan badan lebih tegap dengan kulit seperti Lee Min Ho, aktor Korea kesukaannya. Dame juga melihati Jan. Baginya, Jan lebih cakep dari Coky Sitohang, artis Batak yang diidolakan ibu-ibu di kampungnya. Walaupun Jan lebih tampan dari Choky, Dame lebih menyukai cowok yang punya suara bagus. Sebagus apapun parasnya, kalau suaranya jelek ketika bernyanyi, Dame tidak terlalu tertarik. Apalagi kalau si cowok tersebut mahir bermain gitar, dan mampu menyanyikan tembang romantis Batak dengan mantap. Itulah tipe seorang Dame. Vince dan Kamal menyalami Jan. Anne tersenyum tipis. Anne merasakan tangan Jan yang dingin, lembab dan lembut. Jan duduk dan memesan segelas teh tarek.

"Gimana kosnya? Udah betah?", tanya Jan memulai percakapan. "Iya, betah kok, Jan", ucap Gre.

"Eh, serius kau betah? Bukannya kemaren kau mimpi. Terus suara itu?", potong Dame. "Suara? Suara apa Gre?", tanya Jan penasaran.

"Ah, udahlah. Udah nggak kok. Kemaren aku udah tidur enak, udah nggak mimpi aneh- aneh. Hehehehe", jelas Gre. Wajah Jan masih penasaran, seakan memaksa Gre untuk bercerita. Akhirnya Gre menceritakan tentang mimpinya sesingkat mungkin.

"Ah, mungkin memang hanya mimpi buruk aja. Gimana makan India-nya? Enak dong pasti. Aku sering makan disini sama temen-temen", ucap Jan tersenyum.

Suasana sedikit canggung. Kelihatan Vince risih dengan kehadiran Jan. Seakan menangkap sinyal tersebut, Jan memilih meninggalkan restoran.

"Eh, aku nggak bisa lama-lama nih. Aku masih ada urusan sama temen. Gre, aku duluan ya", ucap Jan. Jan melambaikan tangan. Anne dan Dame mengirim senyum hangat. Kamal tersenyum biasa saja, dan Vince masih dengan senyum samar. Gre mengantar Jan ke depan. Jan menyalami tangan Gre.

"Eh, kapan-kapan ke rumah dong. Oke? Bisa kali sabtu atau minggu mampir ke rumah.

Dari pada di kos aja. Nanti kalau ada waktu aku mampir ke kosmu ya"

"Iya nih. Nanti aku main deh. Lagian di kampus sering ketemu sama Kak Kiran kok", ucap Gre sambil melihati tangan Jan masih menempel di jemari Gre.

"Eh, sorry. Iya. Nanti aku kabarin deh, aku sering jalan-jalan sama teman sekolah.

Kadang main basket juga di dekat Teladan. Ntar kalau sempat, aku mampir ya!"

"Iya Jan. Sekolah yang bener ya!"

"Hahaha. Bisa aja kau ini. Bye", ucap Jan dan pergi berjalan. Bahkan cara Jan berjalan sungguh elegan. Sangat 'laki' dan berkharisma. Gre masuk kembali.

"Eh, tuh si Jan gebetanmu ya? Ayo ngaku", sindir Anne seketika melihat Gre kembali duduk.

"Ah, nggak lah. Dia itu sepupunya kak Kiran, kita deket karena pertama kali di Medan, aku nginep di rumah dia. Bener deh", jawab Gre malu-malu.

"Ada rasa tuh dia, kelihatan banget. Hahahaha. Beruntung kau Gre. Duh kah, mirip Zayn Malik lagi", ucap Anne sambil membayangkan wajah Jan.

"Eh, udah. Gimana? Enak kan makanannya? Habis ini kita kemana? Merdeka Walk mau?", potong Vince.

"Iya nih, kemana lagi kita? Merdeka Walk? Tapi masa makan lagi sih, Vin? Ketempat lain kek. Apa ke Sun aja? Biar mereka tau isi Sun", sambung Anne.

"Okelah. Kita ke Sun aja dulu, yok!", ucap Vince sambil pergi ke arah kasir membayar makanan mereka.

"Berapaan Vin? Ini uangnya", ucap Dame. "Ah, udah, nggak masalah", balas Vince.

"Nggak ah, nggak boleh gitu. Kita kan masih pada kuliah. Rugi lah kau", balas Dame lagi.

"Aku besok Ulang Tahun. Anggap aja ini kemek-kemek dari aku", ucap Vince. "Apaan itu kemek-kemek? Bahasa Medan lagi?", tanya Kamal heran.

Mereka semua tertawa, dan Anne menjelaskan kalau arti kemek-kemek itu adalah traktiran. Mereka beranjak ke mal anak muda, Sun Plaza. Benar kata Anne, Sun Plaza dihuni mayoritas anak-anak remaja dewasa. Bahkan masih banyak yang berpakaian sekolah. Untuk Dame, mal termasuk hal baru. Di kampungnya tidak ada mal sama sekali. Bagi Dame, mal itu adalah Ramayana yang ada di Pematang Siantar. Daerah terjauh yang pernah Dame kunjungi, ketika saudaranya menikah disana. Kali ini Dame melihat satu tempat yang jauh, sangat jauh lebih luas, lima kali lebih luas dari Ramayana. Dame cukup tercengang. Beda lagi bagi Kamal. Di Padang, ia sudah biasa melihat mal, apalagi Gre. Gre melihat mal tersebut seperti Grand Indonesia-nya Medan, walaupun levelnya masih jauh di bawah Grand Indonesia. Gre sudah bosan menginjak mal-mal di Jakarta.

"Eh, aku mau beli DVD PS dulu ya, mau ikut?", tanya Vince. Kamal ikut dengan Vince, secara hobi mereka berdua sama, bermain game, tipikal anak lelaki zaman sekarang. Anne mengajak Gre dan Dame ke Gramedia. Anne ingin mencari novel-novel yang siap untuk membuatnya galau. Novel cinta, teenlit, drama. Anne akan menangis semalaman kala kelar membaca novel-novelnya. Dame ingin membaca buku Psikologi yang ada di Gramedia. Seperti robot, otak Dame sudah disetting hanya untuk pelajaran. Keinginan kuat dari Dame dalam hal belajar bukan hanya sekedar datang ke kampus, duduk dan membuat makalah. Dame benar- benar serius menggeluti dunia Psikologi. Gre ikut. Sudah lama Gre tidak ke Gramedia. Kali ini Dame tersenyum gembira. Gramedia seperti taman yang menyenangkan buatnya. Menyentuh buku-buku baru yang masih terplastik rapi dan melihat daftar pustaka di belakang buku-buku yang ia baca. Gre ingin membaca semua buku dalam satu daftar pustaka sebuah buku. Gre beranjak ke bagian buku rohani. Ia membeli renungan harian bulan September. Sudah lama Gre tidak membaca renungan. Renungan yang ujungnya kerap menimbulkan keraguan. Gre adalah orang dengan sifat penuh pertanyaan. Gre mengaminkan setiap kata dalam buku renungan dan isi Alkitab, tetapi selalu ada pertanyaan terbersit di dalam pikiran Gre. Inilah alasan mengapa Gre mencoba lebih banyak membaca. Menemukan masalah yang ia tanyakan atau lebih tepatnya, menemukan jawaban yang tepat dari satu pertanyaan.

"Udah? Ayok. Udah malem nih. Kita pulang yuk. Besok kita masih kuliah kan? Hahaha", ucap Anne tiba-tiba dibelakang Gre. Gre membayar ke kasir. Dame merelakan bacaannya yang sedang tanggung. Dame berniat mencari buku tersebut di perpustakaan kampus. Anne membeli dua novel romansa remaja yang menceritakan cowok korea dan seorang cewek korea bermata indah yang baru bertemu di Pulau Jeju. Hal yang menyenangkan buat Anne, tapi tidak buat Gre. Gre juga pembaca novel, tetapi lebih ke Fiksi Sains, atau thirller detektif. Gre berniat membeli novel baru, tetapi belum ada yang menyatu dengan seleranya. Lagi pula, novel Wally Lamb-nya 'I Know This Much Is True' masih menyisahkan banyak halaman untuk dibaca. Gre adalah slow reader. Seperti sifatnya sebelum, ia membaca bukan berarti hanya membaca, tetapi memahami selak beluk kata-kata dalam buku tersebut.

"Eh, Vince udah di depan tuh nungguin. Kau nggak suka novel Gre?", tanya Anne sambil melihati Dame yang memutar-mutar wajahnya melihati buku-buku dibelakang mereka.

"Suka. Banget malah. Tapi aku kurang suka kalau drama romansa. Hehehe", tawa Gre meledek Anne.

"Yah, kau ngeledek aku ya? Eh, romansa itu penting kali. Kita bisa banyangin gimana wajah si cowok pas ditinggal ceweknya. Ah, sedih deh. Hahahaha. Kelihatan sih dari wajahmu Gre, kau itu suka bacaan berat. Hihihihi", balas Anne.

"Hahaha. Nggak gitu juga kali. Lagian aku masih ada bacaan yang nanggung. Bahkan selama disini belum aku buka lagi. Jadi kepikiran mau baca lagi", jelas Gre. Mereka berjalan keluar, melihat dua cowok yang menenteng plastik berisi DVD PS.

"Udah ibu-ibu? Beli apa aja nih? Kakak Dame nggak beli apa-apa nih?", sindir Kamal tersenyum.

"Mahal kali pulak!", sembur Anne. "Pasti buku Psikologi itu banyak di perpus. Mending aku baca di perpus ajalah. Hahaha", seru Dame. "Pulaknya kalian dua ini. Bukannya beli buku, malah mau main game. Cemananya kalian ini, bah!", lanjut Anne lagi. Kedua cowok itu garuk- garuk kepala, sambil menempelkan jari telunjuk di bibir mereka, menyuruh Dame memelankan suaranya. Anne dan Gre tertawa melihat tingkah Dame dengan suara lantangnya. Vince mengantar mereka satu persatu. Kamal masih ingin mampir kerumah Vince. Mereka ingin mencoba game yang baru dibeli. Vince mengantar Anne yang rumahnya di daerah Setia Budi. Dame juga ngekos di daerah kampus. Vince rumahnya di daerah Tanjung Sari, sehingga searah dengan Anne dan Dame. Vince mengantar Gre terlebih dulu, yang kosnya lebih jauh.

"Eh, nggak mau pada mampir bentar?", tanya Gre.

"Kapan-kapanlah Gre, udah malem, nggak enaklah. Ngomong-ngomong. Kos kamu yang ini? Kok kayaknya kecil ya?", tanya Kamal penasaran.

"Eh bukan. Ini rumah ibu kos. Pintu utamanya di depan sana. Persis di lampu merah. Kalau tadi kita lurus terus, harus mutar balik lagi. Agak jauh lagi muternya. Takutnya jadi ribet. Mending disini aja. Tinggal jalan dikit kok. Tuh!", ucap Gre sambil menunjuk ke arah lampu merah.

"Nah, liat yang itu? Lantai paling atas? Yang ada galon air gede? Nah, itu tempat jemuran kos aku. Jadi rumah ibunya memang kecil, tapi belakangnya itu kos-kosannya. Kelihatan kepisah sih emang, tapi masih satu rumah juga", jelas Gre.

"Widih, gede juga ya. Aku kirain cuman rumah ini aja, ternyata lantai jemuran sana masih kosan ini juga, ya?", ucap Vince.

"Hehehe iya. Eh, Vin Makasih banyak ya. Kau udah traktir makan, udah ngajak jalan. Ah, puaslah. Besok jangan lupa ke kampus. Awas keasikan main PS kalian ya!", ucap Gre dari jendela mobil.

"Duluan ya Gre. Sampai ketemu besok", ucap Anne. Sambil melambaikan tangan, Anne melihat ke arah jemuran yang Gre sebutkan tadi. Tangan Anne berhenti melambai. Saat jendela kaca mobil hampir menutup, Gre sempat melihat ekspresi Anne. Anne melihat ke arah jemuran. Gre menoleh cepat. Tidak ada apa-apa. Gre menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam kosannya.

Di mobil Anne kepikiran. Anne melihat sesuatu yang samar-samar. Di tembok lantai atas tempat jemuran pakaian kos Gre, ada sosok anak kecil. Berdiri diam melihati ke arah mereka. Wajahnya sama sekali tidak jelas terlihat. Tapi sosok itu seperti memperhatikan, atau menunggu.

"Mukamu kok jadi pucat Anne? Kenapa kau?", tanya Dame penasaran.

"Ah, kenapa? Nggak kok. Nggak apa-apa", ucap Anne sambil kembali bengong. "Itu tadi anak keci, bukan sih? Ya Allah, apa jangan-jangan itu sosok anak, yang Gre pernah..... Astagfirullah. Istighfar Ne".

Gre masuk ke dalam kamar. Ia masih tampak kesal melihat goresan di pintu kamarnya. Gre mencari saklar lampu. Ia ingin segera mandi. Gre masuk kamar mandi. Kakinya basah. Gre meraba-raba saklar kamar mandi. Gre terkejut. Lantai kamar mandinya basah. Anehnya, shower tidak bocor dan tidak mengeluarkan air. "Basah? Kok bisa basah?". Gre memeriksa lagi. Lantai itu benar-benar basah. Sangat tidak mungkin lantai kamar mandinya basah padahal tak terlihat bekas tetesan di mulut shower. Gre tidak ambil pusing. Ia membasahi badannya  dari siraman air shower. Setelah mandi, ia bersantai. Sambil membaca novel yang masih tanggung ia baca, Gre mendengarkan musik dari earphone ponselnya. Ada telepon masuk. Anne.

"Gre, udah tidur?"

"Belum Ne. Kenapa? Udah pada nyampe?"

"Udah kok. Aku udah nyampe. Baru aja mandi. Eh ngomong-ngomong, tadi aman-aman aja kan?"

"Aman? Maksudnya? Malah aku yang harus nanya kalian, kebalik nih kau. Hahaha" "Iya, sih. Cuman....."

"Kenapa Ne? Kok kau aneh gitu?"

"Tadi aku liat...em. Gini, aku nggak pengen nakutin kau ya. Tadi...." "Nakutin? Maksudnya?"

"Aku lihat sesuatu tadi. Aku cuman pastiin aja" "Sesuatu apaan?"

"Pas turun dari mobil tadi....."

"Bentar. Bukannya kau tadi ngelihatin ke atas gitu? Ke arah jemuran? Itu maksudnya?" "Eh, kau ngeh ya? Iya. Aku liat sesuatu. Samar, cuman kelihatan dia ngeliatin ke arahku" "Ne. please deh. Jangan bikin takut!"

"Bukan nakutin. Aku kan udah bilang, aku bisa lihat. Makanya aku tanya, kamu nggak apa-apa, kan?

"Aku baik-baik aja. Emang liat apaan?" "Anak kecil"

"Serius?"

"Iya. Nggak terlalu jelas memang. Cuman ya, aku yakin, dia ngeliatin kita. Yaudah, nggak usah diambil pusing. Aku tadi nggak niat nanya, cuman takut kau kenapa-napa. Eh, udah dulu ya. Mama aku manggil nih. Berdoa aja, biar nggak ada apa-apa"

"Iya Ne. Udah ah, kalau emang ada, biarin aja. Semua tempat pasti ada kok yang gitu- gitu. Iya kan? Oke deh".

Anne memutus percakapan mereka diponsel. Gre hanya terdiam memikirkan kata-kata Anne. Gre melanjutkan membaca. Saat akan menekan tombol on di playlist ponselnya, ada suara garukan. Lagi-lagi, di pintu. "Sialan! Ini pasti tuh kucing". Gre berjalan perlahan. Hampir tidak terdengar suara langkah kakinya. Gre melihat ke arah jendela. Suara garukan itu masih terdengar jelas. Gre mengintip. Tidak ada apa-apa, akan tetapi suara garukan itu masih terdengar. Gre terdiam dan merinding. "Jangan-jangan. Ah, masa bodo!". Tanpa pikir panjang, Gre membuka pintu.

"YA TUHAN!", teriak Gre. Ia melihat suatu sosok yang hampir seukuran badannya. Persis disebelah kirinya. Sebatang asap rokok terlihat dan kepulannya dimana-mana. Seorang cewek dengan badan seksi, pakaian seksi dan make up yang juga seksi berdiri melihati Gre. Hot pents melapisi bagian bawahnya. Ia mengenakan tas sandang kecil.

"Maaf, Mba. Maaf", ucap Gre masih pucat.

"Eh, kau kenapa? Kok terkejut banget? Bikin aku terkejut juga, deh"

"Maaf mba, eh, kak. Tadi ada yang...."

"Ada apa? Kau ini anak baru ya?"

"Ada yang garuk-garuk pintu. Iya, eh, nggak juga sih. Udah hampir sebulan disini"

"Oh, iya. Tau. Kau yang sering nunggu didepan kan? Ngampus juga?"

"Bener kak. Em, bukannya kakak ini pakai....", ucap Gre sambil memperagakan gerakan menutup kepala.

"Ah. Kau ini masih pake nanya. Aku ini butuh duit, dek. Aku pun kuliahnya. Kau enak, bapak mamakmu ngasih duit. Aku harus kerja lah. Kenalkan dulu, Mei"

"Ah, iya. Aku Gretta. Panggil aja Gre"

"Oh, Gre. Jadi, kau tadi dengar apa? Kok kau sampe terkejut gitu, sih? Emang aku setan apa? Hahahaha"

"Hehehe. Maaf kak. Aku tadi penasaran. Di depan pintu kayak ada suara yang garuk- garuk, kak. Aku kirain kucing, tapi pas aku ngintip, nggak ada apa-apa. Nah, pas aku buka pintu, kakak ada di depan. Makanya aku terkejut"

"Oh, pintu di garuk-garuk? Maklum ajalah. Inikan bangunan lama. Wajar ada yang gangguin"

"Lama? Ganggu?"

"Kita hidup di kos. Banyak hal aneh di kos-kosan. Bukan hanya di kos aja, sih. Dimana- mana juga pasti ada. Ya, kau lihat sendiri kan bangunan disini udah tua. Bangunan baru aja ada yang masuk tanpa diundang, apa lagi yang lama"

"Emang kakak pernah diganggu?"

"Jelas pernah. Beberapa kali. Tapi nggak tahu ya, udah lama aku nggak pernah diganggu.

Yah, mungkin aja makhluk suka sama kau. Nyari perhatianmu. Hahaha"

"Ah. Kakak ini, bercanda aja"

"Hahaha. Tapi bener, sesuatu yang baru, bisa saja menjadi hal yang juga baru untuk orang lain. Intinya, kita sebagai manusia, yah, cuek aja. Jangan dibawa penasaran. Eh, btw, kau asli mana?"

"Oh. Aku Jakarta, kak. Kuliah di USU. Tapi bentar, kak. Apa yang ganggu kakak, anak kecil?"

"Waw. Jauh juga ya. Anak rantau. Setauku, kebanyakan orang-orang itu berbondong- bondong ke Jakarta, sekarang malah kebalik. Yup! Bener. Ada sosok anak kecil yang sering ganggu. Awal-awal disini sih emang sering diganggu, tapi aku sih, biarin aja. Nggak usah diambil pusing. Kata yang bersih-bersih disini, itu arwah anaknya ibu kos. Katanya jatuh pas main ditangga situ. Cuman, ya biarin ajalah. Namanya kos-kosnya, pasti banyak hal-hal aneh. Buatku itu nggak penting. Walaupun dia ganggu, kalau kita cuekin, yah pasti ngilang juga"

"Oh gitu kak. Kayaknya anak itu deh yang garuk-garukin pintu ini"

"Yah nggak tahu juga, sih. Palingan juga kucing. Banyak kucing disini. Masuk dari genteng, jendela, pintu, dari mana ajalah. Jadi jangan suudzon. Sama orang lain aja, kita nggak boleh suudzon, apalagi sama makhluk halus kayak gitu"

"Kamar kakak di atas, ya? Lewat kamar yang sebelah kiri nggak?" "Aku dilantai dua. Oh, yang di palang itu?"

"Iya. Itu kamar kos atau apa ya kak?"

"Duh, kau ini. Jangan kebanyakan penasaran. Yah, kata ibu kos gudang, yang artinya isinya adalah barang-barang udah nggak kepake. Iya kan? Masa bodo deh, jangan ambil pusing, dah!"

"Emang kakak udah berapa lama disini?"

"Aku udah setahun lebih lah disini. Eh, udah ya. Aku udah telat, udah ada jemputan. Hehehe", ucap Mei sambil pergi meninggalkan Gre. Gre tidak terlalu masalah dengan profesi sampingan Mei. Lagipula, itu urusan Mei, bukan urusannya. Gre juga punya teman yang berprofesi seperti Mei saat SMA. Jadi sudah hal yang biasa jika Gre melihat cewek seperti Mei. Karena pada akhirnya, alasan mereka akan sama saja. Butuh uang, untuk hidup, sekolah, kuliah, dan ketika sudah punya uang, mereka akan melakukannya lagi, untuk kesenangan, harta dan hidup yang nyaman.

Gre masuk ke dalam kamar. "Oh, ibu kos dulu punya anak. Pasti anak itu yang masuk ke mimpiku. Aku juga yakin, kalau anak itu yang bikin goresan di pintu. Jelas-jelas nggak ada kucing. Dan kamar itu....". Intro lagu "Like A Stone" milik Audioslave mengejutkan Gre. Di layar ponsel tertulis 'MAMA'. Wajah Gre memelas. Gre yakin Mama akan bertanya keseharian Gre dari pagi sampai sore. Atau mungkin saja, Mama akan menceritakan kalau Bude, kakak ipar Papa meminjam uang lagi. Mama akan mengoceh panjang lebar. 'Utang kemarin aja belum dibayar, masa ngutang lagi!'

"Iya Mama. Apa kabar?"

"Sayang, gimana kabarnya? Tadi sore Mama telpon nggak diangkat" "Maaf Ma. Tadi hpnya aku silent. Sorry"

"Ih, kamu ini. Eh, ada kabar baru", ucap Mama. Wajah Gre tambah memelas. Siapa lagi yang akan Mamanya ceritakan. "Mama sama Papa udah setuju. Motor kamu yang disini, dikirim aja ya ke Medan. Disana kan kamu pasti sibuk, kan? Dan kalau nggak pakai motor, pasti ribet kemana-mana. Gimana? Nanti biar kita kirim. Kamu ambil di ekspedisinya aja. Mungkin semingguanlah. Oke?"

"Oh gitu Ma. Gre sih masih bisalah naik angkot, tapi emang butuh juga si motor. Biar bisa ngatur waktu. Mana angkot disini, buset dah Ma. Ngalah-ngalahin Metro Mini disana"

"Iya. Eh, sebentar. Kok logatmu jadi aneh gitu nak? Hahaha. Jadi Medan banget, kayak emak-emak di Pasar Senen"

"Hahaha. Please deh Ma! Ya gimana nggak berubah. Semua orang logatnya kayak gini. Mau nggak mau ya terpaksa deh. Nanti Mama kabarin aku deh, di loket mana motornya dikirim"

"Apa itu loket? Duh nak, bahasamu semakin aneh ya"

"Mama ah. Loket itu kayak tempat pengirimannya loh. Ah, disini bilangnya loket. Hahaha"

"Ya ampun, nak. Bilang aja ekspedisi. Hahaha. Eh, Papa baru pulang nih. Besok aja Mama telpon lagi ya", ucap Mama mematikan ponsel. Kalau dibilang butuh, siapa yang tidak butuh motor. Medan sudah hampir menyamai Jakarta. Gre butuh motor agar lebih cepat ke kampus, kerja kelompok dan segala macam kegiatan. Gre melanjutkan membaca novelnya. Gre memasang earphone. Sambil serius membaca, Gre mendengar suara seperti bunyi hujan. Ia menarik kabel dari telinganya. "Hujan?". Ternyata bukan hujan. Suara itu dari kamar mandi. Shower di kamar mandi menyala. Gre menarik nafas. "Kenapa bisa nyala? Aku kan udah matiin.

Aneh. Apa lagi sih ini?" . Gre membuka pintu kamar mandi dengan pelan. Suara air masih berderu memantul di lantai. Dengan cepat Gre membuka pintu. Tidak ada apa-apa. Ada satu yang aneh. Kecil, merah. Miniatur mobil mainan, atau diecast 1963 chevrolet impala. "Mainan mobil? Kok ada disini? Ah, pasti.....". Gre mematikan shower. Dengan hati-hati, ia mengambil miniatur tersebut. Di belakang tertulis sebuah nama yang diukir kasar. Mungkin saja diukir dengan paku. "SONI?".

"BRAKKKK!!!", pintu kamar mandi tertutup keras dan tiba-tiba. Gre menoleh. Ia membuka pintu. Ada suara langkah kaki. Gre melihat, ada jejak kaki bekas pijakan dari air. Pintu kamarnya terbuka. Gre melihat bayangan itu lari ke arah kiri dari jendelanya. Gre mengikutinya cepat. Gre mengikuti jejak itu. Gre takut, tapi ia penasaran, siapa yang mengganggunya. Jejak itu berada ditangga. Disetiap anak tangga. Gre masih menggenggam miniatur impala merah tersebut. Ia naik, mengikuti pelan. Tidak ada suara langkah. Jejak itu berakhir di perbatasan lantai.

Jejak itu tepat berhenti di depan kamar berpalang tersebut. Jantung Gre berdetak cepat. Jejak itu terhenti persis di depan pintu. Gre terdiam memandangi pintu berpalang tersebut. Benar-benar aneh. Suara garukan terdengar dibalik pintu. Ada yang sedang menggaruk-garuk pintu. Kali ini bukan dari luar, melainkan dari dalam kamar. Bedanya, kamar itu terpalang rapi. Gre menghela nafasnya. Gre mengetuk. Ragu-ragu, ia mengetuk pintu tersebut.

"Halo", ucap Gre pelan. Suara itu hilang. Dari sela bawah pintu, tiba-tiba keluar satu benda. Gre mundur terkejut. Itu foto. Ukuran 6x4 cm dan terbalik. Gre mengambilnya. Dada Gre sesak. Gre membalikkan foto yang terbalik itu perlahan. Itu foto Gre. Selembar foto Gre sedang berdua dengan seseorang. Berpakaian SMA. Gre terkejut setengah mati. Matanya melotot dan berair. Foto itu selalu terselip disatu buku yang selalu ia bawa. Diari Gre. Diari kecil miliknya.

"HEI?", ucap seseorang.

"Aaaaaa!", Gre berteriak melihat keatas. Lagi-lagi si cungkring itu. Penghuni kos yang terlihat seperti penyakitan, dan lagi-lagi memakai sarung. Kali ini ia tidak berkutang dan telanjang dada. Terlihat tulang rusuknya menonjol. Tanpa mau berlama-lama, Gre turun cepat – cepat. Ia masuk ke dalam kamar. Gre mengunci pintu dan mencari sebuah kotak. Kotak yang berisi diari. Gre membukanya. Foto itu benar-benar berasal dari diarinya. Ada yang sengaja mengambilnya. Gre menempelkan foto itu lagi. Memeluknya. "Siapa? Siapa yang berani ambil foto ini? Kenapa? Kenapa ia mengambilnya? Anak itu, mainan ini. Sebenarnya, apa yang ia mau?".

Esoknya, dengan mata sembab dan kurang tidur, Gre menceritakan kisahnya lagi kepada teman-temannya.

"Apa aku bilang ! Aku lihat kok. Makanya aku telpon kau, Gre", ucap Anne cepat.

"Iya. Aku cuman bingung. Kenapa ada mainan ini di kamar mandi? Makhluk itu berlari- lari. Aku nggak bisa lihat. Artinya, dia berada di kamarku selama ini", ucap Gre serius.

"Ini mainan udah lama banget kayaknya. Dan nama yang diukir kasar di bagian bawah ini, pasti nama anak itu. Kan biasa anak kecil bikin namanya di benda kesukaannya. Soni ini pasti nama yang punya, iya kan?", ucap Vince sambil mengamati miniatur impala tersebut.

"Dan dia juga masuk ke kamar berpalang itu kan, Gre? Aneh banget. Serem. Dan kau bilang itu gudang, logika aja, masa gudang dipalang dari luar?", ucap Kamal menganalisis cerita Gre.

"Pintu terpalang di luar? Hmm, sepertinya aku pernah denger hal kayak gitu", ucap Dame serius. Semua mata menuju Dame, menyuruh Dame menceritakannya.

"Gini. Di daerahku, ada beberapa orang sakti, atau kita sebut aja dukun. Mereka itu punya kesaktian, dan banyak yang bilang mereka memelihara sesuatu. Aku nggak bisa bilang ini sama dengan kasus di kos Gre, tetapi pintu dipalang diluar itu, aku pernah dengar beberapa kali. Mereka menyimpan makhluk. Menyimpannya di dalam satu kamar atau peti. Bahkan peti isi padi, yang biasanya menampung padi sebelum digiling, hanya jadi pengalihan semata. Mereka mengurung makhluk itu disana. Mereka sengaja mengunci makhluk itu, jika mereka mengamuk. Kami menyebutnya 'begu ganjang'. Mereka itu pemarah, suka ngamuk. Mereka digunakan untuk membuat orang lain sakit, atau mati. Semacam teluh atau santet, gitu. Digunakan juga untuk mencari kekayaan, bahkan mencari kesembuhan. Makhluk itu pembunuh. Itulah mengapa semua dukun yang ketahuan menyimpan makhluk itu ditangkap. Bahkan oleh warga, rumah mereka dibakar habis-habisan kalau-kalau ketahuan. Awalnya makhluk itu ditujukan sebagai penjaga lahan, agar orang lain tidak mengambil hasil dari lahan yang memelihara begu ganjang. Misalnya padi, jagung atau apapun. Tapi, banyak orang yang membuatnya menjadi makhluk pencuri, membunuh orang lain karena kebencian. Tapi sekarang ini, udah nggak pernah lagi aku dengar ada yang pelihara. Nah, pintu berpalang itu adalah kunci mereka agar tetap tenang. Palang itu adalah segel. Itu yang aku tahu", jelas Dame.

"Sebentar. Bukankah begu ganjang itu makhluk yang sangat tinggi? Aku pernah dengar, dan orang bilang artinya adalah hantu dengan badan yang tinggi, melampaui ukuran manusia biasa", ucap Anne.

"Iya. Benar. Banyak hal aneh, banyak hal mengerikan yang disebabkan makhluk itu. Aku....Aku pernah melihat korbannya. Sangat mengerikan. Tapi, sejauh yang aku tahu, saat ini sudah tidak ada yang berani pelihara, karena makhluk itu sangat pemarah dan bisa berbalik menyerang yang memelihara", jelas Dame serak.

"Tapi, yang menjadi pertanyaanku, kenapa anak kecil? Apa mungkin anak kecil itu adalah begu ganjang? Karena dari cerita Dame, begu ganjang itu bertubuh tinggi, jauh melampaui tinggi manusia biasa. Dan penghuni kos lainnya cerita, kalau itu adalah sosok almarhum anak ibu kos yang jatuh di tangga. Dan kenapa ia masuk kedalam kamar berpalang itu?", tanya Gre penuh harapan adanya jawaban.

"Soal itu, aku kurang tahu, Gre. Aku hanya mendengar saat kau mengatakan pintu berpalang. Dan yang aku tahu, pintu yang terpalang diluar itu adalah cara untuk mengurung begu ganjang. Selebihnya, jelas masih pertanyaan. Apa yang dilakukan anak itu di dalam sana, dan kenapa dia mengganggumu, sedangkan penghuni yang lain tidak diganggu sampai sejauh ini", ucap Dame serius.

"Iya. Andai saja aku punya cara biar bisa melihat anak itu, bertanya, kenapa ia menggangguiku, dan apa yang ia mau. Aku bener-bener penasaran", ucap Gre.

"Gre, malah sebaiknya kau nggak usah melihat hal seperti itu. Sumpah, nggak enak sama sekali!", balas Anne.

"Tapi jujur, aku salut lihat Gre. Kau ini malah penasaran, harusnya kau itu takut", ucap Vince tersenyum.

"Vin. Jujur aku takut, diganggu kayak gitu. Cuman, aku juga penasaran. Kenapa anak itu pake ganggu aku segala? Air dari shower yang tiba-tiba nyala, mobil-mobilan inilah yang tiba-tiba di kamar mandi, suara garukan di pintu kamar, mimpi-mimpi aneh itu, itu yang buat aku pengen tahu siapa dia. Kalau memang arwah itu adalah anak ibu kos, apa yang ia inginkan dariku? Aku pengen tahu aja", jelas Gre.

"Ada satu cara!", ucap Dame dengan logat Batak kentalnya. Lagi-lagi mata melihat ke arah Dame. "Apa kau benar pengen liat, Gre?", tanya Dame serius. Gre mengangguk, sedikit ragu.

"Kawat. Iya!", ucap Dame.

"Kawat?", tanya mereka berbarengan.

"Kawat jemuran!"