webnovel

Kota Baru, Dunia Baru

Matanya menatap layar laptop. Ia berharap modemnya akan baik-baik saja. Cukup satu dari dua pilihan. Atau pilihan ketiga, air mata.

Gre. Gadis yang baru lulus SMA itu berharap yang terbaik setelah satu bulan yang lalu mengikuti SNMPTN 2017 atau lebih dikenal dengan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Pilihan pertamanya adalah Psikologi UI, dan yang kedua adalah Psikologi USU. Gre hanya punya dua pilihan. Mamanya sempat bingung kenapa Gre memilih kota Medan. Kenapa tidak Bandung, Semarang atau daerah di Jawa saja. Entah apa yang merasuki pikirannya. Mama Gre bersikeras agar Gre menempatkan satu pilihan di kota Jakarta. Tapi sayangnya, Gre ingin segera angkat kaki dari rumah. Ia benar-benar berharap masuk di USU. Alasannya adalah satu. Tempat paling jauh dari Mama dan Papanya. Jika Gre memilih di Bandung, bisa jadi setiap minggu Gre akan dikunjungi oleh Papa Mamanya. Jauh sedikit ke pulau Jawa, Gre pasti akan dipaksa tinggal di rumah saudaranya, dan semua itu sangat anti bagi Gre.

Adu mulut dengan Mamanya adalah makanan sehari-hari Gre. Tidak pernah bisa sejalan. Gre berharap dia segera keluar dari kota Jakarta. Medan cukup jauh. Sangat tidak memungkinkan Mama dan Papanya kesana setiap minggu, atau setiap bulan. Gre sudah merencanakan hal tersebut. Gre tahu, persaingan di Jakarta, apalagi UI, layaknya mengambil sebuah jarum ditumpukan jerami. Setidaknya, passing grade di USU masih jauh dibawah UI. Inilah yang menjadikan Gre mantap. Ia berharap bisa lulus. Dan sangat berharap bisa merantau ke kota lain.

Koneksi internet mulai tidak jelas. Pukul 00.16 WIB, dan situs web masih ramai dikunjungi banyak orang. "Sial! Udah stand by dari jam duabelas masih aja susah. Ayo dong, buruan!". Mama dan Papa Gre sebenarnya sudah ngantuk, tetapi sambil menonton TV, mereka menemani Gre. Menunggu kabar dari Gre. Mama berharap Gre masuk UI. Lebih dekat, tidak perlu ngekos, dan bisa dikontrol. Tetapi, kalaupun Gre masuk di Medan, Mamanya tetap bangga, kalau putri satu-satunya ternyata bisa lolos perguruan tinggi negeri.

"Woy, lama amat tuh, kagak lulus lo ya! Hahahaha", tawa adik Gre, Carlos.

"Berisik!! Nih masih banyak yang online, susah banget sih. Aaaaaa! Gue masuk nggak sih?", rengek Gre kesal.

Papa Gre melihati putrinya mulai khawatir tidak masuk. "Nak, sabar aja. Itu seluruh Indonesia akses kesana. Jadinya ya gitu. Coba aja terus", ucap Papa . Gre masih berkutat.

Sesekali situsnya masuk, tetapi ketika sudah memasukkan nomor ujian, kembali lagi, situsnya tidak merespon.

"Pertanda tuh! Hahahaha"

"Carlos! Tenang dikit kek lu. Lebay banget sih! Udah sana lu belajar atau tidur, kek!"

Gre kembali serius. Papa mulai menguap-uap. Gre tidak perduli. Ia mencoba lagi. Kali ini situsnya masuk. Gre dengan cekatan memasukkan lagi nomor ujiannya, berharap ini kali terakhir ia mengetik nomor dengan digit yang lumayan banyak tersebut. Situs loading. Dengan pelan, situs bekerja, dan mulai terlihat laman hasil ujian. Gre terpaku. Jantungnya berdegup cepat. Telapak tangannya berkeringat. "Ayolah. Please, Tuhan. Gue pengen lulus. Gue pengen merantau. Gue berharap dapat yang di Medan. Please!!".

Situs terbuka sempurna. Mata Gre terbelalak. Bibirnya bergetar-getar. Gre mencubit paha kanannya. Matanya mulai berair. Mama melihat tingkah aneh Gre.

"Eh, kenapa lu! Hey, Gre! Udah keluar hasilnya?", teriak Mama. Carlos dengan cepat mengarah ke laptop kakaknya.

"SELAMAT! GRETTA MONIKA, ANDA DINYATAKAN LULUS DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, JURUSAN PSIKOLOGI. MAK! Ni bocah lulus!! HAHAHAHA", teriak Carlos.

Mama dan Papa Gre menghampiri. Wajah mereka turut senang, walaupun sang Mama berekspektasi berbeda.

"MA! GUE LULUS! LULUS!!!", teriak Gre sambil menangis. Pelukan demi pelukan Gre dapatkan. Hal seperti itu memang cukup menggembirakan. Masuk ke satu perguruan tinggi negeri dan akan menjadi seorang mahasiswa adalah sesuatu yang diidamkan Gre dan hampir seluruh lulusan SMA di Indonesia. Kelulusan di SNMPTN adalah suatu kebanggan tersendiri karena terlepas dari anggapan miring orang. Lulus dengan kemampuan sendiri dan berhasil tanpa bantuan siapapun. Satu hal lagi yang membuat Gre senang adalah, bahwa faktanya ia bukan orang yang terlalu cerdas atau pintar. Bahkan ia baru mulai membaca buku dan melatih diri dengan soal-soal ulangan ketika memasuki kelas tiga di semester akhir. Dimulai dari persiapan UN, dan bimbingan belajar untuk mempersiapkan diri ke ujian SNMPTN. Tidak disangka, Gre akhirnya berhasil menduduki satu bangku tersebut. Fakultas dan jurusan favorit, dan satu lagi tentunya, jauh dari keluarganya, khususnya si Mama yang super protektif dan bawel.

"Aduh, Gre. Masa kamu harus ke Medan? Keluarga kita kan nggak ada disana, gimana dong?", tanya Mama yang tadinya ceria berubah muram seketika.

"Mah, Gre itu udah gede kali. Lagian saingan di UI lebih susah. Gue udah syukur banget kali Ma dapet satu kursi", ucap Gre semangat.

Hal yang Gre tunggu-tunggu. Hidup mandiri, tanpa kekangan orangtua, bebas kesana sini, bebas tidur seharian penuh di weekend, yang tidak akan bisa Gre dapatkan jika ia tetap di rumah itu. Gre serasa mendapat remisi dari penjara rumahnya dan bebas sebelum masa tahanannya habis. Atau lebih tepatnya, mendapatkan grasi dari Tuhan.

"Ma! Gre mah seneng, bebas dah dia tuh. Iye kan? Hahaha. Lu belum tau aja gimana Medan, nyampe sono nyaho, lu!", ejek Carlos yang sebenarnya dalam hatinya , ia tidak ingin sang kakak pergi.

"Eh modus lu. Bilang aja lu bakal kangen ama gue. Iye kan? Hahahaha", balas Gre tersenyum. Papa hanya bisa bersyukur. Papa yakin, kalau putrinya bisa mandiri. Memang sedikit terbalik, biasanya seorang Papa sangat protektif kepada anak perempuannya, tetapi di keluarga Gre, Mama adalah bos besar dan yang paling benar, paling berkuasa dan super protektif.

"Duh ah, Mama mewek dah nih. Liat dulu jadwalnya, kapan pendaftarannya?", tanya Mama dengan mengusap pipinya.

"Oh iya, lupa. Bentar", ucap Gre sambil melihat lagi layar laptopnya. "HAH!!!", teriak Gre.

"Kenapa? Kok kamu terkejut nak?", ucap Papa sambil ikut menoleh. "Tanggal 15 Agustus? Nah ini kan udah tanggal 10 Agustus. Kok cepet banget sih?"

"APA??", teriak Mama Gre. "Cepet amat sih? Ah, Mama makin bete deh. Aduh, kalau gitu, besok kita ke Tanah Abang, atau ke Thamrin, beli baju, jeans, tas kuliah, segala macam. Pokoknya kamu harus harus cepat-cepat!", ucap Mama. Gre hanya bisa pasrah. Hal yang ingin Gre lakukan pertama adalah segera menghubungi kakak angkatan SMA-nya yang juga kuliah di kota Medan. Mama mengambil secarik kertas dan mulai menulis list apa saja yang akan Gre bawa, apa saja yang akan Gre butuhkan. Tidak ada yang mengantuk seketika. Euforia kegembiraan merasuk ke mereka berempat. Carlos mulai sibuk dengan update status facebook-nya, menyatakan selamat kepada kakaknya, walaupun di dunia nyata, ia sudah melakukannya baru saja. Besok pagi Gre akan sangat sibuk. Ia sudah mengirim pesan kepada kakak kelasnya dan berharap subuh nanti, Gre sudah mendapatkan balasan.

Pagi yang cerah. Walaupun tidak bisa tidur dengan nyenyak, wajah Gre bangun berseri-seri. Mama Gre sudah memasak sarapan dan sudah memanggil-manggil Gre agar segera mandi. Mereka harus ke Tanah Abang, membeli pakaian, jeans dan segala macam kebutuhan. Papa Gre yang masih kantuk harus siap berangkat kerja dan menjalankan bagian tugasnya, membeli tiket pesawat Gre. Carlos berangkat sekolah dan sedikit bertingkah normal dari biasanya. Ia juga masih tidak menyangka kakaknya akan menjadi seorang mahasiswa. Gre menekan nomor ponsel Kiran, kakak angkatannya.

"Kak. Ini gue Gre. Masuk kan sms gue? Kak, gue bakal ke Medan, gue bisa minta bantuan kakak? Sementara ini, sebelum mencari kos, gue boleh tinggal ditempat kakak?"

"Ya ampun, lu masuk sini juga? Jurusan apaan? Boleh banget lah!! Disini juga ada perkumpulan mahasiswa dari Jakarta kok!! Jadi orang-orang sono rame banget disini. Nanti gue bantu cariin info dulu deh!"

"Iya kak, Psikologi. Aduh, makasih banget ya kak! Gue nggak tahu mau hubungin siapa lagi. Soalnya keluarga gue nggak ada yang di Medan. Adanya temen bokap, cuman katanya di daerah Tebingtinggi. Repot gila ntar dia ke Medan cuman mau bantuin gue"

"Aduh. Kagak usah direpotin, dek! Gampang mah. Pokoknya, kalau lu sampai di bandara, langsung naik Damri aja. Nanti turunnya gue yang kasih tahu dimana"

"Gila kak, lega gue. Iya kak, gue makasih banget ya kak. Nanti gue WA kakak deh. Oh ya kak, apa aja yang dibutuhin ya?"

Kiran mulai menjelaskan panjang lebar. Gre dengan sigap mendengar kata-kata Kiran. Dalam hatinya ia merasa berani menginjakkan kaki di kota Medan, setelah mendengar informasi dari Kiran. Optimis dalam dirinya berkecamuk. Pikiran positif dan mantap tersimpan di benaknya. Ada petualangan yang baru di depan matanya. Ada dunia baru, yang belum pernah ia injak. Tipe manusia yang menikmati dunia baru, yang ingin tersesat di dunia baru itu juga. Memang sangat jarang bagi seorang cewek berpikir seperti Gre, tetapi itulah dia, saatnya menikmati tempat baru.

Sebelum itu semua terjadi, Gre harus pasrah. Pasrah kepada aturan dan permintaan sang Mama sebelum ia berangkat. Mereka berdua pergi ke Tanah Abang membeli pakaian-pakaian Gre yang baru. Setelah itu mereka pergi ke salon. Mama Gre ingin melihat Gre tampil menawan. Rambutnya dipotong sedikit, membuat rambut Gre tampak lebih segar. Bahkan Mama memuji Gre dan mengatakan kalau Gre semakin mirip dengan Nike Ardila. Tidak lupa, Mama Gre membeli beberapa sepatu. Segera mereka ke Mall terdekat. Mama Gre dengan seru mencari sepatu buat Gre. Sepasang ke kampus, sepasang ke Gereja dan sepasang untuk jalan-jalan. Gre hanya tersenyum sambil berpikir "Gimana gue mau bawa ini semua? Oh, Ma. Please?". Tapi satu hal yang Gre tahu, jika itu memang membuat Mamanya senang, apa boleh buat. Gre hanya berpikir, memakai sepasang sneakers untuk segalanya. Kuliah, gereja, ataupun hang out nantinya. Gre hanya bisa membayangkan sepatu-sepatu itu akan terkurung dalam kotaknya dan Gre mungkin hanya akan memakainya pada Natal nanti.

Semuanya sudah selesai. Peluh Gre bercucuran di siang bolong dengan himpitan manusia yang berdesakan, sudah berakhir. Rambut barunya tampak bagus, untuk kali ini, Gre lumayan senang. Gre memang cenderung lebih simple. Tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau wanita. Gaun, make up, dan segala sesuatu dengan warna pink. Itulah mengapa sang Mama kadang mengelus dada melihat putrinya yang akan segera ia lepas. Kekhawatiran pasti ada, apalagi bagi seorang ibu. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Gre hanya berharap, khawatir tersebut tidak menjadi berlebihan.

Hari perpisahan pun tiba. Entah untuk berapa lama. Mereka sudah di bandara Soekarno Hatta. Keberangkatan masih sekitar dua jam lagi. Mama masih menghujani pipinya dengan airmata. Sesekali mengelus-elus wajah Gre. Pukul 10.30 WIB pesawat akan berangkat. Ada satu hal yang mengganjal Gre. Hal yang tidak enak sama sekali. Hal yang berbanding 180 derajat dengan yang ia rasakan kemarin. Entah kenapa, ia menjadi ikut-ikutan menangis. Ia melihati Mamanya yang sangat sedih. Si Papa yang pura-pura tegar, dan Carlos yang baru kali ini dengan wajah masam. Wajah yang berharap agar Gre tetap di Jakarta, walaupun sebenarnya, setiap hari, mereka akan mengisi waktu dengan berkelahi. Saling ejek-mengejek. Kali ini, Carlos akan membisu, tanpa ada orang yang bisa ia kerjai dan jahili. Gre masih belum percaya dia sedang di bandara. Beberapa menit lagi ia akan melangkah dan akan berpisah. Perasaan bersalahnya muncul. Seakan ia tidak percaya pernah mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa ia sudah jenuh melihat keluarganya. Melihat dirinya dalam kurungan mulut Mamanya. Entah apa yang Gre rasakan. Tiba-tiba rindunya memuncak. Ia sangat ingin berlama-lama dengan keluarganya. Tapi ia tak berdaya, Gre harus segera masuk. Mereka berpisah. Air mata Gre membasahi kemeja Papanya, begitupun sebaliknya. Carlos juga memeluk kakaknya. Satu hal yang cukup canggung, tetapi Gre melepas kecanggungan itu dengan mengeratkan pelukannya, sambil mengelus-elus rambut Carlos. Terakhir dengan Mamanya. Wanita yang hampir setiap hari tidak sepaham dengan Gre.

"Mama jangan nangis lagi dong. Gue jadi sedih banget Ma", ucap Gre sambil memeluk Mamanya.

"Gimana Mama nggak nangis, Sayang. Mama nggak bakal lihat kamu malam ini. Kamu udah nggak tidur dirumah. Tapi sudahlah. Mama memang berlebihan. Cuman itu karena Mama sayang sama kamu, Nak"

"Iya Ma. Gre tahu. Cuman Mama juga harus yakin, kalau Gre pasti sukses disana. Nanti kan kalau ada waktu liburan, Mama sama Papa bisa kesana, atau gue kan pas libur bisa pulang"

"Iya, sayang. Pokoknya apapun yang sulit, kamu harus hubungin kita. Jangan sampai kamu kekurangan dan kesusahan. Harus cerita ya, Nak"

"Iya Mamaku Sayang", ucap Gre sambil mengeratkan pelukannya. Gre melepas pelukan dan bersiap pergi. Sambil membawa barang-barangnya, Gre melambaikan tangannya. Air matanya masih belum berhenti. Hal yang cukup dramatis buat dirinya. Setelah check in, Gre masuk untuk boarding pass. Sudah tidak terlihat lagi wajah Papa, Mama dan Carlos. Semua sudah hilang. Gre duduk di ruang tunggu. Beberapa menit kemudian, pemanggilan untuk keberangkatannya terdengar.

Gre bersiap memasuki pesawat. Pesawat take off, dan akan segera menelusuri langit Jakarta, berpindah ke kota Medan. Bukan jarak yang terlalu lama. Sekitar dua jam lagi, Gre akan menginjakkan kakinya di Medan. Dibalik jendela, Gre melihati rumah-rumah yang sudah berubah menjadi miniatur. Mobil-mobil yang menjadi mainan dengan baterai di bagian bawah. Entahlah, mungkin salah satu dari mobil kecil tersebut diisi oleh Papa, Mama dan Carlos. Mereka yang masih terbawa emosi melepas Gre yang sedang terbang. Gre terdiam seketika. Lagi-lagi, perasaan sedihnya memuncak. Ia merasa berdosa telah berpikir yang buruk selama ini tentang Mamanya. Tentang keinginannya untuk segera pergi dan jauh dari keluarganya. Ingin hidup mandiri dan mengatur diri sendiri. Semuanya seketika buyar.

"Ah, kok gue jadi kangen sama mereka. Hampir 17 tahun hidup sama mereka, kenapa baru sekarang ini gue kangen parah? Bahkan kita pisah belum ada sejam. Sumpah, gue nyesel. Gue masih banyak dosa sama Mama. Gue pengen meluk Mama lagi. Ah, bodoh lu Gre. Ini udah keputusan lu. Jalanin!"

Tak ada yang bisa Gre lakukan. Sangat tidak mungkin ia menghentikan pilot dan meminta diterjunkan agar kembali ke Jakarta. Walaupun imajinasi tersebut sempat menyambar pikirannya yang kalut. Gre yang meminta dan mengharapkan hal itu terjadi, dan ia berusaha meyakini bahwa yang ia lakukan patut dicoba. Selama ini Gre merasa hidup sendiri lebih nyaman dan bebas, tetapi satu jam terakhir, rindunya berkecamuk. Rindu yang sangat berbeda. Gre pernah pergi camp ke Gunung Papandayan bersama teman sekolahnya selama dua hari, dan hal itu bukan main membuat Mama Gre khawatir. Saat itu, tidak ada kata rindu buat si Mama. Gre cukup menyesal. Selalu, sesal itu belakangan.

Gre tertidur sebentar. Lautan yang Gre lihat sebelumnya sudah berubah dan memperlihatkan pemadangan indah pohon-pohon yang lebat. Telinganya mengalami oklusi tuba. Keadaan dimana adanya sumbatan karena tekanan udara di telinga. Gre berusaha menguap, agar oklusi tuba tersebut hilang. Pesawat akan landing. Gre akan mendarat di tanah Sumatera. Pesawat landing mulus. Cuacanya cukup bagus. Gre melihati sekelilingnya, seakan masih belum percaya ia ada dimana.

Gre juga melihati bandara Kuala Namu yang baru pertama kali ia injak sambil menunggu bagasinya. Bandara yang baru beroperasi sekitar beberapa tahun tersebut terlihat megah. Bandara yang katanya terbesar se-Asia Tenggara. Tidak muluk-muluk memang. Bandara tersebut seperti mall. Gre merasa sedang berada di Central Park, atau Grand Indonesia. Bahkan Gre sedikit tersesat mencari jalan keluar. Gre juga melihat stasiun kereta api yang langsung menuju jantung kota Medan.

Sambil menikmati makan siang sebentar, Gre menghubungi Papa dan Mamanya. Suara Mama masih serak. Gre seakan terenyuh mendengar suara serak itu. Tidak ingin larut dalam rasa sedih, Gre meminta ijin kepada Mamanya agar menelepon Kiran. Kiran sudah berpesan, agar Gre menghubunginya ketika sudah di bandara.

"Kakak! Gue udah dibandara nih. Hehehe"

"Eh, kau udah...Maksudnya.. lu udah nyampe? Cepet juga ya.

"Iya kak. Nggak ada delay, cuaca juga bagus. Terus gimana kak? Gue naik Damri turun dimana?"

"Nanti turun di Ismud aja, Gre. Gue sama temen gue ntar kesana"

"Ismud apaan kak?"

"Duh kah, maaf Gre. Udah kebiasaan nih mulut. Iskandar Muda. Nama jalan. Bilang aja sama supir Damrinya turun di Iskandar Muda atau Ismud. Kalau bisa, lu duduk deket supir. Biar lu nggak kebingungan. Jadi bisa tanya-tanya, dan biar lu diberhentiin di Ismud"

"Oh, gitu. Oke deh kak. Ntar gue WA ya! Gue mau ke Damri dulu", ucap Gre semangat. Gre masih berputar-putar di bandara dengan trolinya. Ia tidak akan mampu membawa satu koper besar, satu tas sedang dan ransel di punggungnya. Inilah yang sebenarnya yang Gre kesal. Mamanya memaksa Gre membawa barang sebanyak ini, yang sebenarnya Gre bisa beli sendiri di kota Medan. Gre mendorong troli dan sampai di parkiran bus Damri.

"Turun mana kau, Dek?"

"Turun mana? Maksudnya mas?"

"Ah, panggil abang aja. Orang mana? Jakarta?"

"Eh, iya bang. Maaf. Iya. Ini Damri ke Medan kan?"

"Ya ialah dek. Makanya abang tanya turun mana?"

"Oh, di Ismud bang. Iskandar Muda"

"Oh, kalau gitu, kau ke bus yang sebelah. Ini sampe Amplas doang. Itu yang sana, yang satu lagi, lewat Ismud"

"Oh, oke. Makasih bang"

Gre segera mendorong trolinya. "Amplas? Itu nama jalan juga? Ini kok aneh-aneh sih ya namanya? Apa banyak tukang kayu disana ya? Lagi amplas kayu buat lemari. Hahaha". Gre tersenyum-senyum kecil. Ia masuk ke dalam bus Damri. Beberapa orang mulai masuk dan ternyata sudah banyak juga yang masuk. Untuk ada kursi kosong persis dibelakang supir.

"Mas, eh, bang. Aku turun di Ismud ya"

"Bah. Sabar dek. Iya abang turunkan pun. Masih jauh kok"

"Oh iya ya? Berapa menit bang?"

"Sejam lah"

"Lah, jauh juga ya. Luas banget nih Medan"

"Hahaha. Yang kao pikirnya kao dimana, dek? Masih Lubuk Pakam ini. Belum Medan. Dari mana kau emangnya?"

"Oh ya? Buset, baru tahu gue. Eh, dari Jakarta, bang"

"Oh, iya lah. Udah keluar "lu, gue" –mu. Jelaslah Jakarta. Masih enak nggak tinggal disana? Makin macet nggak? Terus disini ngapain?"

"Lah, abang dulu di Jakarta juga? Mau kuliah bang"

"Bah. Kuliah kok jauh kesini. Disana kan banyak kampus. Oh, abang tau, masuk negeri ya disini? USU apa UNIMED? Dulu abang disana kerja. Nge-taxi. Cuman ya gitu. Udah nggak cocok abang disitu. Istriku kan di Medan juga. Udahlah, mending pulang kesini lagi. Lagian bersyukur aku. Jakarta udah macam bukan kota lagi. Sumpek kali disana"

"Kok abang tahu? Iya, masuk USU. Biar merantau dulu bang. Bosan disana. Soalnya pemikiran kita sama bang. Jakarta udah....ya, seperti itulah"

"Iya itu. Cuman abang juga takut. Medan pun ntar lagi sama aja. Udah banyak kali pembangunan jalan layang dimana-mana. Cuman memang nggak separah disana"

"Oh, ya? Ya semoganya betah aku disini bang. Jangan lupa ya, bang. Aku di Ismud"

"Iya, tenanglah kau. Tiduran ajalah dulu bentar"

Gre melihati keluar. Melihati jalanan menuju Medan. "Ah, sepi banget sih. Kangen Mama. Papa. Carlos. Teman-teman gue". Matanya sayu-sayu melihat keluar. Gerimis. Gre tidak menyangka, yang tadinya panas, tiba-tiba langit sudah mendung. "Sial. Pake ujan segala"

"Udah bangun, dek? Pas kali lah. Udah dekat nih. Kao turun dimana?"

"Oh, iya ya bang. Di Ismud, bang"

"Ini, udah Ismud. Di Pringgan atau dimana?"

"Eh, bentar ya bang", ucap Gre sembari menghubungi Kiran. Tampak anggukan kepala Gre mengisyaratkan tempat ia berhenti.

"Bang. Di Ramayana aja. Udah disana teman gue, eh, temanku"

"Oh. Iyalah, sama aja itu. Itu Ramayana Pringgan. Tuh, udah kelihatan"

Gre sampai di Pringgan. Banyak manusia lalu lalang. Becak motor dimana-mana, angkot segala warna juga lalu lalang dengan klakson ributnya. Gre turun dibantu kernek Damri. "Makasih ya, bang!!", teriak Gre. "Sama-sama. Sukses kau ya dek!", balas si Abang. Gre turun sambil kebingungan. Seketika, ia dikerumuni para supir bentor. "Kemana ko, dek?", ucap mereka bergantian dengan wajah sangar-sangarnya. Gre hanya mengalihkan pandangan sambil menolak ajakan para supir bentor.

"Kak, gue udah....."

"Iya, udah kelihatan kok lu. Buset tuh bawaan, banyak amat. Nih gue yang pake mobil Xenia hitam, bentar ya", balas Kiran. Sambil menutupi kepalanya dengan tangan, mobil berhenti tepan didepan Gre. "Udah masuk dulu yuk, buruan. Ntar kita di klakson sejuta umat nih", ucap Kiran buru-buru. Seorang cowok, teman Kiran ikut mengangkat barang Gre. Belum sempat melihat wajahnya. Mereka segera jalan.

"Gila kak! Pake acara gerimis lagi", ucap Gre sambil menyalami Kiran. Sambil membalas ciuman pipi kanan kiri, Kiran menyodorkan tisu. "Banget. Parah nih cuacanya. Aneh. Eh, kenalin Gre. Ini Christo. Gre menyodorkan tangannya, dan akhirnya Gre melihat wajahnya. Jabatan tangan yang singkat dan sedikit canggung. Tangan Christo lembab dan lembut.

"Salam kenal ya, gue Christo"

"Iya, salam kenal Kak. Gue Gre", ucap Gre. Gre kelabakan. Ternyata wajah Christo cukup tampan. Kumis tipis dan rambut ala-ala klimis dengan pomade. Tinggi dan punya lesung pipit saat ia tersenyum. "Gila, ganteng aja nih cowok. Sadar woy!!".

"Eh, ini pacar kakak?"

"Eh, bukan kali. Temen, temen", ucap Kiran memerah. "Gue masih digantung, nih. Hahahaha", sambar Christo. Seketika Kiran pukul-pukul manja ke lengan Christo. Tanpa memperjelas lagi, sudah jelas mereka berdua terlibat suatu romansa cinta.

"Hahaha. Cocok kok. Cakep sama cantik", sambung Gre tersenyum lebar. "Sial! Gebetan Kiran ternyata". Mereka mulai bercerita satu sama lain. Dari mulai alasan Gre memilih ke Medan dan segala persiapan yang akan Gre lakukan nantinya.

"Lu daftar ulang senin, kan? Kita cari kos lu mau kapan? Besok aja ya? Atau minggu. Jadi lu bisa istirahat"

"Iya dah kak. Gue mah ikut aja. Kos kakak dimana? Emang disana nggak ada yang kosong?"

"Gue lupa bilang ya. Gue disini di rumah Bude gue. Jadi nggak ngekos"

"Oh gitu kak. Ya ya ya", ucap Gre sambil melirik-lirik ke arah luar.

Gre menikmati suasana Medan dengan cuaca yang tidak bersahabat. Lalu lalang mobil, angkot dan bentor jadi pemandangan utama. Bedanya, tidak ada busway, rel-rel kereta dan jalan-jalan layang yang selalu membingungkan.

Kota Medan memang cukup padat, tetapi tidak sesumpek Jakarta. Belum lagi Kiran cerita, kalau Medan adalah surga kuliner. Daerah kampus USU juga adalah surga makanan. Segala pelosok ada tempat makan mulai dari kaki lima, cafe dan restoran-restoran mahal.

Mereka hampir sampai. Masih sedikit gerimis. Kiran ternyata tinggal di daerah Petisah. Persis di dekat SMA Negeri 4 Medan. Rumahnya lumayan besar. Tidak heran Kiran betah tinggal di kota tersebut dan lagi-lagi, punya gebetan semanis Christo. Christo juga SMA di Jakarta, dan kuliah di fakultas Hukum. Punya rumah sendiri di Medan, mobil dan hidup yang super layak. Tidak salah memang, mereka cocok. Yang Gre salut adalah, mereka tidak sombong dan tidak merasa repot dengan kehadiran Gre. Christo ikut mengangkat koper dan tas Gre. Gre melihati lengan Christo yang berotot. "Seger banget sih nih pemandangan. Beruntung banget...". Ponsel Gre berbunyi. Mama. Gre ijin sebentar berbicara dan hanya bisa angguk mengangguk. Bahkan Mama meminta kalau bisa, Kiran berbicara sebentar dengannya. Dengan cepat Gre mengalihkan perhatian Mamanya. Sangat memalukan, saat Mama meminta tolong yang berlebihan kepada Kiran. Setelah selesai berbicara dengan mama, Gre masuk ke dalam dan berpapasan dengan Christo yang keluar dari pintu.

"Ditelpon cowok lu, ya? Hahaha"

"Hah, ah. Nggak kak. Nyokap. Biasalah"

"Oh, kirain. Tuh udah gue masukin semua"

"Iya, makasih kak. Jadi repot nih. Makasih banyak yah"

Kiran menghampiri, dan mempersilahkan Gre masuk kedalam kamar. "SURGA!!!". Sebuah tempat tidur besar dengan seprei putih bersih. Gre ingin segera terjun bebas dan tidur pulas.

"Lu mandi aja dulu. Gue sama Chris mau keluar bentar. Ada yang mau kita kerjain. Nggak masalah kan? Ntar gue pulang bawa makanan kok. Jadi lu istirahat aja"

"Nggak usah repot deh kak. Nanti aku masak sendiri aja. Jangan repot ah. Gue udah seneng banget lu bisa giniin gue"

"Iya dah. Ntar lu WA aja kalau butuh apa-apa. Oh, iya satu lagi. Nanti sepupu gue mungkin bakal pulang sekolah. Anak si Bude. Namanya Jan. Gue udah bilang sih sama dia. Soalnya si Uwa, eh maksudnya pembantu disini lagi nggak di rumah. Anaknya sakit, jadi tadi ijin. Oke?"

Gre mengangguk mengerti. Sehabis mandi, Gre akhirnya melihat lautan kasur yang dibalut sprei putih. Sekali terjun, kenyamanan merasuk. Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan. Gre masih belum percaya.

Ia masih mereka-reka memorinya saat masih melihat wajah si Mama, Papa dan Carlos. Sekejap, wajah menawan Chisto juga lewat. Gre senyum-senyum sendiri. Untuk ukuran ekspektasi, yang ia dapatkan lebih dari cukup. Dengan cepat ia menggeleng-gelangkan kepalanya. "Woy! Pacar orang woy!"

Gre mulai memfokuskan pikirannya. Banyak hal yang harus ia persiapkan. Belum lagi, sangat jelas, ia harus segera mencari kos sesegera mungkin. Sangat tidak baik berlama-lama tinggal di rumah orang, sekalipun yang punya rumah tidak bermasalah. Gre selalu berpikir seperti itu. Hal-hal yang selalu ia hindari.

Perutnya mulai menari. Saatnya untuk lapar. Lagi-lagi, merepotkan Kiran bukan ide yang bagus. Gre masuk ke dapur. Ia mencari beberapa bahan makanan ringan untuk dimasak. Mie Instan dan telor, cukup untuknya mengisi perut. Saat masih di dapur, terdengar suara sepeda motor. Pintu terbuka, langkah kaki pun terdengar. Gre melihat siapa yang datang. Jan. Sepupu Gre. Lagi-lagi, Gre terpana.

"Hai. Maaf. Gue, ah, aku Gre. Temennya kak Kiran. Aku....."

"Oh, iya. Udah tahu. Lagi makan ya? Lanjut deh", ucap Jan sambil meninggalkan Gre.

Cukup dingin memang, tetapi Gre cemburu Kiran hidup diantara manusia-manusia tampan. Umur Jan setahun dibawah Gre. Ia datang dengan keringat di lehernya. Rambutnya juga basah akibat keringat. Sebuah tas ransel berada dipunggungnya, serta handuk kecil mencuat dari saku celananya. Satu tas yang berisi bola basket juga ia pegang di tangan kirinya. Jelas sekali Jan baru selesai main basket. Tingginya hampir sama dengan Christo. Walaupun sama-sama tampan, wajah mereka cukup berbeda. Jika ada cewek yang melihat Christo, pasti mereka akan terpesona dengan wajah tampannya, walaupun hanya untuk sesaat. Jan berbeda. Wajah Jan manis dan membius. Campuran darah Sunda dan Manado jelas mengukir wajah tampan yang juga manis tersebut. Gre hanya mengibas-ngibaskan jari tangannya bak sebuah kipas.

"Gila nih, kenapa cowok-cowok disini cakep-cakep ya? Arghh. Tapi kenapa gue yang terpesona duluan? Kayaknya mereka ngelihat gue biasa aja ya. Gre oh Gre! Kapan lu bisa kayak Luna Maya? Biar tuh cowok-cowok mandagin lu, barang semenit aje. Hadeh", ucapnya berbisik.

Saat Gre selesai makan, ia bersiap untuk beres-beres pakaiannya. Gre berpapasan dengan Jan. Kali ini, Gre cukup canggung. Jan terbiasa buka baju saat dirumah. Untuk ukuran umur Jan, otot perutnya sangat sempurna. Badannya berisi. Rambutnya yang tebal serta alisnya yang teratur membuat Gre canggung sendiri. Warna kulitnya sawo matang, dan matanya yang besar membuat Gre salah tingkah.

"Ups, maaf", ucap Jan sambil mengambil kaos jersey-nya yang ada di sofa. "Sorry, aku udah biasa buka baju. Walaupun pake AC, aku sering keringatan. Sorry ya, Kak, emm. Kakak siapa?", ucap Jan sambil mengenakan bajunya dan menyodorkan jabat tangan. Gre tersentak.

Sebelumnya, ia sudah meyakini, kalau Jan orang yang dingin. Ternyata Gre salah.

"Ah. Santai aja kali. Kan gue, eh, aku yang numpang disini kok. Jadi nggak masalah. Ah, aku Gretta, panggil aja Gre. Lagian beda setahun kok, panggil nama aja nggak masalah"

"Oh, iya. Gue Jan. Walaupun Kiran udah bilang, tapi nggak baik kalo kita nggak salaman. Iya kan? Oh, jadi masuk fakultas mana, Kak? Ups, Gre?", tanya Jan lagi. Oke, kali ini Gre tahu arah dan tujuan Jan. Jelas sekali Jan ingin mengobrol, dan itu juga adalah hal yang Gre sukai. Ngobrol dengan cowok cakep. Gre mengambil ancang-ancang untuk duduk.

"Ah. Psikologi. Hmmm, kamu? SMA dimana?"

"Wah. Psikologi. Keren dah,bakal jadi Psikolog! Kok jauh kesini, Gre? Jakarta kan banyak kampus bagus? Aku sekolah di SMA satu negeri. Orang sini bilangnya SMANSA"

"Hahaha. Pertanyaan yang bakal selalu aku dapat sepertinya. Yah, gimana ya. Mungkin keinginan untuk merantau sih. Di Jakarta bosan. Dan aku seneng aja! Pengen punya petualangan baru. Jakarta sumpek. Enek", ucap Gre bercanda. Gre cukup heran.

Jan ternyata banyak bicara. Bahkan tanpa Gre tanya, Jan mulai cerita ini itu, segala macam. Gre termasuk senang. Melihati wajah Jan, bak seperti melihati indahnya Danau Toba. Tidak ada bosannya. Lagian Gre butuh hal itu. Gre mulai bertanya tentang kota Medan. Apa yang menjadi kelebihan, apa yang menjadi kekurangannya. Jelas saja untuk anak seumuran Jan, tahu tentang kota Medan hal yang cukup lazim.

Cuaca hari Minggu memang selalu menyejukkan. Gre berencana untuk segera pindahan. Ia tidak ingin menyusahkan Kiran lagi. Sudah sifat Gre yang selalu nggak enakan kalau berlama-lama numpang di rumah orang, sekalipun itu keluarga dekatnya. Gre berharap hari itu juga menemukan kos yang tetap, akan tetapi menanyakan hal itu kepada Kiran pagi-pagi begitu akan terkesan memaksa. Gre pergi ke dapur. Entah kenapa, seketika sifatnya berubah. Biasanya sarapan sudah ada di meja, kali ini, ia harus membuat sarapan sendiri. Tentunya bukan hanya untuk dia, tetapi ada baiknya dia memasak untuk Kiran dan Jan. Gre memasak nasi goreng. Gre ingin memasak yang lain, tetapi persedian yang memungkinkan hanya itu. Kiran dan Jan juga biasa makan di luar saat pembantu tidak ada. Gre cukup mahir soal dapur. Salah satu hobinya adalah memasak, cukup jauh dari penampilannya yang terkesan tomboy. Aromanya membuat Kiran dan Jan keluar kamar.

"Eh, ngapain masak lu? Repot amat, Gre"

"Yaelah kak. Masak ginian doang kok. Yuk kak sarapan bareng. Ini gue udah mau kelar, tinggal goreng telurnya"

"Hahaha. Jadi anak kos nih ye. Masak sendiri. Iya, gue mandi bentar deh. Dan satu lagi, Christo paling kesini dua jam lagi. Sekalian kita cari kosan"

"Oh, sip dah kak. Gampang", ucap Gre semangat. Akhirnya tanpa di minta, Kiran ternyata sudah bilang duluan. Gre lega. Jan menghampiri. Tanpa basa-basi, Jan mencicipi masakan Gre. Jan langsung duduk sambil menyendok nasi goreng. Melihat lahapnya Jan, Gre cukup senang. Setidaknya, ia tidak terlalu merepotkan. Selesai mandi, Kiran ikut nimbrung sambil melihat ponselnya.

"Eh, Gre. Gimana nih? Tadi Chris WA gue. Katanya dia nggak bisa hari ini. Dia ada acara dari kampus. Lupa dia. Katanya mereka harus ke kampus. Bisa-bisa seharian. Dia lupa banget. Gimana ya? Apa besok aja?", tanya Kiran menyesal. Gre hanya bisa pasrah. Niatnya untuk tidak merepotkan Kiran harus tertunda.

"Eh, aku aja yang temenin Gre. Aku kosong kok hari ini. Paling ntar malem nongkrong ama temen", ucap Jan. Gre menarik senyumnya. "Oh, bagus tuh. Eh, kau jangan kebanyakan nongkrong Jan. Entar bude tahu, bisa bahaya. Pacaran mulu sih", balas Kiran. "Ah, kau mah. Siapalah pacar awak? Jomblonya awak ini. Hahaha", balas Jan. "Maunya daerah mana, nih?", tanya Jan. Kiran langsung menyarankan mencari sekitaran USU atau daerah Jamin Ginting. Daerah yang cukup banyak diisi oleh anak kos. Jan sudah tahu lokasi-lokasinya. Gre segera bersiap. "Jadi juga. Berduan lagi sama brondong. Ahahahaha". Cepat-cepat Gre mandi dan bersiap. Berharap sebelum ke kampus besok, mereka sudah menemukan indekos yang cocok, baik dari segi kenyamanan dan harga.

Mereka berangkat. Jan dengan motor Vixion-nya membuatnya semakin gagah. Gre naik dan merasa sebagai cewek yang beruntung. Jan yang ia kenal diawal adalah cowok yang dingin, ternyata jauh lebih baik. Belum lagi, kali ini Jan memakai jaket kulit warna coklat yang ngepas.

Jeans ketat yang memperlihatkan bentuk kakinya yang jenjang. "Mimpi apa sih gue, Ma? Adoh. Tiap hari bisa gini nggak? Hahaha. Fokus Gre! Tingkat kepedean lo berlebihan. Please deh!". Masih sedikit canggung, saat Jan mengerem, Gre hanya bisa ikut mengerem dengan menekan punggung Jan. "Pegang aja kali, Gre. Santailah", ucap Jan samar-samar. Gre terkejut. Ragu-ragu tapi mau, ia mengikuti kata Jan. Ia memegang kedua kantong jaket Jan. Kali ini Gre bisa menikmati kota Medan lebih dekat. Melihat keramaian dan tingkah orang-orang disana. Gre sedikit lucu melihat beberapa angkot kuning dengan pintu masuknya dari belakang. Gre hanya bisa nyengir. Ia heran, ditahun 2017 ini masih saja ada angkot bentuk seperti itu.

"Jan . Itu angkot kuning kayak gitu masih ada aja ya. Gila, aku baru lihat tuh. Kayak angkotnya si Doel. Hahaha"

"Eh, hahaha. Iyalah. Medan emang khas. Itu namanya Sudako. Angkot legendaris tuh. Aku pernah masuk beberapa kali. Sempit banget. Panas. Hahaha"

"Iya parah. Becak motor lagi. Ada aja yah. Keren tapi! Suka deh sama suasana disini. Rame tapi nggak sumpek"

"Ah, bisa aja. Nanti lama-lama juga bosan. Kan banyak orang bilang gitu saat baru pertama lihat. Liat aja ntar, kalau udah lama disini, pasti komen banyak hal. Hahahaha"

"Iya sih. Tapi aku suka kok. Bahasa disini juga lucu. Hahaha"

"Bukan Jakarta aja yang punya bahasa gaul. Medan juga punya bahasa gaul, Gre. Hahahaha"

Gre menikmati jalanan tersebut. Jan mengantar Gre ke arah USU. Menunjukkan Gre kampus yang akan menjadi tempatnya belajar setiap hari. Gre terbelalak. USU ternyata luas. Bahkan ada empat pintu utamanya. Pintu I, II, III dan IV. Jan membawanya berkeliling. Gre juga melihat jalan Dr. Mansyur yang dipenuhi café, resto dan distro-distro.

Gre juga melihat fakultasnya, FAKULTAS PSIKOLOGI. Entah apa yang merasuki, Gre seakan ingin segera duduk dan kuliah disana. Jan sesekali menyuruh Gre berdiri di depan nama fakultas tersebut untuk mengambil beberapa foto. Jan memang sangat direkomendasikan untuk menemani seseorang. Sudah tidak ada lagi kata canggung, walaupun mereka hanya bertemu baru satu malam saja.

Mereka melanjutkan perjalanan. Beberapa tempat mereka lihat. Persis dibelakang kampus ada jalan yang dihuni oleh rumah-rumah indekos. Satu persatu mereka tanya. Beberapa ada tidak cocok, kemahalan dan tidak layak huni. Segala macam ada disana. Satu kos ada yang Gre suka dari segi harga dan kenyamanan, tapi sayangnya sudah di booking orang dan sudah dipanjar. Sial bagi Gre. Mereka melanjutkan perjalanan. Entah kenapa semua yang mereka cari sudah penuh. Gre tidak menampik hal tersebut. Semua anak baru pasti sudah mencari kos dan ia kecolongan start.

"Wih. Gilak ya, Jan. Udah sampai 20 an lebih, nggak ada yang cocok. Dan penuh semua. Ah, gimana nih?"

"Iya jelas sih Gre. Daerah sini emang gitu. Pasti mereka sudah cari kos sebelumnya. Bahkan yang nggak layak huni juga udah ada yang isi. Apa kita cari daerah Pasar Lima?"

"Jangan dipasar lah, Jan. Duh, masa ngekos daerah pasar?"

"Nggak kok. Itu nama panggilan doang. Ada pasar emang, cuman daerah situ juga banyak perumahan"

Gre hanya bisa mengangguk. Lagi-lagi, pencarian mereka gagal. Mereka berbalik arah. Jan menyarankan agar mencari ke arah lain. Karena kalau sudah ke arah Simpang Pos, daerahnya cukup macet. Jan mulai mencari tempat-tempat yang sekitaran kampus lain. Ada dua tempat, tetapi kalaupun Gre naik angkutan umum, harus dua kali nyambung. Gre merasa itu terlalu repot. Mereka menuju daerah sebaliknya. Mereka melewati daerah Mongonsidi, agak sedikit jauh, tetapi tidak terlalu macet. Masih belum ketemu tempat yang begitu pas. Sudah hampir sore, mereka masih kewalahan. Gre mulai mencari-cari dari ponselnya. Mereka istirahat sebentar.

"Jan. Ini aku baru lihat. Ada di daerah Sisingamangaraja. Disana ada satu kampus juga"

"Ah, iya bener. Lumayan jauh sih. Tapi kalau naik angkot, sekali doang. Mau nyoba?"

"Iya. Maaf banget, kamu jadi repot banget ya. Udah mau magrib lagi"

"Ah, tenang aja. Santai"

Mereka melanjutkan perjalanan. Melewati daerah Polonia, melewati jalan Juanda. Sambil bertanya-tanya ke orang sekitar, ada satu supir bentor menunjuk ke arah jalan Pelangi, perempatan jalan Sisingamangaraja. Gre melihatnya. Tergantung sebuah tulisan di sebuah papan kecil.

"KOS IBU LINCE"

Next chapter