3 Awal Dari Sebuah Keputusan

Mereka berhenti. Daerah tersebut sangat ramai, banyak penjual makanan. Gre berharap ada satu kamar buatnya. Setelah beberapa kali menekan bel, seorang wanita berbadan gemuk membuka pintu. Wanita itu tampah sudah paruh baya dan kemungkinan berumuran sekitar 50-an. Wajahnya tegas dan terlihat galak.

"Iya dek? Cari kos kalian?", ucapnya dari balik gerbang dengan suara serak.

Gre mengangguk. Mereka dipersilahkan masuk. Si ibu tersenyum, tetapi tanggung. Mungkin, memang itulah caranya tersenyum. Rambutnya rapi. Seperti baru disasak.

"Aku Ibu Lince Sinaga. Yang mau kos yang mana?"

"Oh, saya ibu. Nama saya Gre"

"Batak atau?"

"Ah, bukan ibu. Saya asli Jawa"

"Asal?"

"Jakarta bu"

"Bah! Jauh ya. Kuliah atau kerja?"

"Kuliah di USU. Baru masuk ibu"

"Kok jauh nyari kos kesini. Pasti penuh daerah USU , ya? Okelah. Disini hanya ada sembilan kamar. Yang kosong ada dua. Lantai bawah dan lantai tiga. Kamar nomor tiga dan nomor delapan"

"Boleh saya lihat?"

Si ibu mengiyakan. Mereka masuk kedalam rumah. Gre dan Jan heran. Kenapa mereka masuk dari dalam rumah. Padahal kelihatannya rumah tersebut tidak bertingkat. Mereka masuk lewat sebuah pintu besi yang ada di ujung dapur. Ternyata dibalik pintu tersebut adalah indekosnya. Jadi rumah si Ibu Lince terhubung dengan indekos tersebut. Gre melihatinya. Dari pintu besi tersebut terlihat pintu utama masuk kedalam indekos yang garis lurus dengan pintu besi yang barusan mereka lewati.

"Nah, itu pintu masuknya. Jadi masuk bukan dari rumah ini. Ayo", ucap si ibu tegas.

Mereka melihat jalanan dari jarak beberapa meterdan menyusuri lorong kos yang cukup panjang. Gre cukup tercengang. Ternyata indekos ibu Lince luas. Pintu utama langsung mengarah ke lampu merah jalan Sisingamangaraja. Banyak kendaraan lewat. Segala jenis angkot dan kendaraan lainnya lalu lalang disana.

"Dari sini ke USU banyak. Lewat semua paling angkot dari sini. Nomor 02, 35, 78 dan banyak lagilah. Gampang kalo ke USU", ucap Ibu Lince.

"Ini kamar mandi umum. Sebenarnya sudah ada masing-masing tiap kamar, tapi yah bisa pake ini juga. Sayang dihancurin, biarin ajalah seperti ini. Bangunan lama soalnya. Disini tempat nyuci piring. Saya tidak bikin dapur, soalnya ventilasi agak kurang. Lagian anak kos juga jarang masak, kok. Disini juga bisa parkir motor", ucap ibu Lince sambil menunjuk dua motor yang sedang parkir.

"Nah, ini kamar yang kosong. Kamar nomor tiga. Lebih dekat dari pintu keluar. Eh, kuncinya ketinggalan lagi. Kita lihat yang atas aja dulu ya. Lihat kamar atas sama sekalian lihat tempat cuci baju dan jemur baju. Biar sekalian. Nanti kesini lagi."

"Oh iya ibu. Nggak masalah. Disini campur atau cewek doang bu?"

"Campurlah. Banyakan sudah kerja, ada juga yang sambil kuliah. Yah, namanya kos, saling masa bodo aja. Disini orangnya kebanyakan seperti itu. Intinya saling urus hidup masing- masing saja", ucap si ibu. Mereka menaiki tangga. Kos tersebut ternyata cukup luas. Yang kurang adalah penerangan. Entah kenapa, walaupun diluar ramai, kos tersebut terkesan sepi.

"Ini lantai kedua, kamar 4, 5, 6", ucap si ibu sambil menunjuk. Terdengar suara beberapa cowok sedang tertawa-tawa. Mereka kembali menaiki tangga. Di pertengahan belokan tangga sebelah kiri, ada sebuah kamar. Dipalang dari luar. Seperti sebuah gudang. Cukup aneh ada satu kamar di sebelah kiri tangga. Persis dibelokan ke lantai tiga. Mereka bertiga meliwatinya. Bahkan Ibu Lince tidak menjelaskan fungsi kamar yang dipalang tersebut.

Mereka sampai di lantai terakhir. Ada satu kamar terbuka. Seorang cewek memakai hotpants sedang tiduran sambil menonton TV. Ia mendorong pintu agar tertutup dengan kakinya karena melihat Gre, Jan dan Ibu Lince lewat. Walaupun semua pakai AC, ternyata kamar di lantai ketiga sedikit pengap. Ventilasi sangat kurang. Belum lagi, kamarnya sedikit kecil.

"Kamarnya kecil ya bu?"

"Iya. Di lantai ini kamarnya agak kecilan. Harganya kan beda. Kalau dibawah lebih mahal sedikit. Kamarnya lumayan besar. Tapi terserah adek mau yang mana"

"Iya nanti kita lihat dulu deh, bu"

"Iya. Ayo lanjut. Ini paling atas jemuran. Nih, kalau mau jemur disini aja. Kalau nyuci juga bisa disana. Tapi kalau mau nyuci di kamar mandi kamar sendiri, ya terserah aja. Disebelah rumah juga ada laundry, kok. Kalau malas nyuci sendiri, sih. Udah itu aja. Ayok, turun"

Mereka bertiga turun. Lagi-lagi Gre melihat kamar dengan pintu yang terpalang diluar. Gre masih saja melihati pintu tersebut dan masih bertaya-tanya. Anehnya, kenapa pintu kamar tersebut dipalang, bahkan warna catnya sudah pudar dan kusam.

"Ini kamar kok dipalang diluar ya. Aneh juga ada kamar tepat ditengah tangga gini". Sambil menuruni tangga, Gre menanyakan rasa penasarannya.

"Disini ada berapa kamar ibu? Sepuluh ya?"

"Kok bisa? Tadi kan sudah aku bilang, kan? Sembilan kamar. Tiga dibawah, tiga di lantai dua, tiga juga di lantai tiga"

"Yang ditangga? Bukan kamar juga? Kok....."

"Bentar saya ambil kunci yang nomor tiga ya", ucap Ibu Lince memotong. Ia berjalan masuk gerbang tersebut.

"Gimana Gre? Ada yang cocok. Kalau diatas jangan deh. Sumpek"

"Eh, iya. Aku mikir yang sama. Lagian serem disana. Mending dibawah sini ya. Nggak terlalu rame"

"Iya. Kita lihat aja dulu. Mana tadi kamar yang ditangga aneh banget"

"Eh, kau sadar juga ya? Iya, aneh. Pintu yang lainnya dicat rapi. Yang satu itu lusuh banget. Gudang kali ya"

"Iya. Tapi nggak tahu juga. Masa gudang pake dipalang gitu. Gimana mau masuk gudangnya. Aneh ya"

"Makanya tadi aku nanya....", ucapan Gre terpotong melihat ibu Lince keluar dari pintu dan membawa kunci. Ibu Lince membuka pintu kamar nomor tiga. Kamarnya lumayan luas. Sebuah tempat tidur single bed. Meja belajar kecil dan kamar mandi. Lemarinya juga cukup besar, walaupun lantai porselennya sudah termakan zaman. Jelas sekali kos tersebut sudah cukup lama. Bangunan tua yang mendapat sentuhan-sentuhan renovasi di beberapa bagian. Jan tersenyum, begitupun Gre. Kamar itu cukup baik. Ada jendela kecil yang mengarah keluar. Ventilasinya juga bagus. AC bekerja normal.

"Kalau ini berapa bu?"

"Kita bicarakan di depan aja, nanti ibu jelaskan. Lihat-lihat aja dulu"

Gre mengamati. Baginya kamar itu cocok. Tidak pengap seperti di lantai atas. Mereka kembali kerumah ibu Lince dan duduk di ruang tamu.

"Begini. Kamar yang nomor tiga, harganya Rp 800.000,-/bulan", ucapnya. Gre cukup senang. Sesuai dengan budget yang ia inginkan. "Tetapi. Pembayaran disini beda. Untuk bayar pertama, langsung bayar pertahun. Nah, kalau yang di lantai tiga Rp 600.000,-/bulan. Sama, harus pertahun. Itu sudah semua. Listrik dan air. Sudah semuanya", ucapnya lengkap. Gre terdiam. "Gila. Gue harus bayar langsung setahun? Kenapa sih ada-ada aja aturan yang aneh". Gre berpikir. "Emang nggak bisa per tiga bulan ya ibu?", tanyanya memelas.

"Maaf dek. Aku sudah banyak mendapat anak kos yang tidak tahu aturan. Pernah aku buat seperti itu, tetapi pas mau tarik uang kos, ada yang kabur. Aku kan nggak bisa kontrol semua orang yang kos. Jadi, ya terserah adek saja", balasnya.

"Saya telepon Mama saya bentar ya, bu", ucap Gre sambil menelepon si Mama. Ia keluar sebentar, meninggalkan Jan dengan Ibu Lince ngobrol-ngobrol. Beberapa menit, Gre kembali mengisi suasana yang mulai canggung antara Jan dan Ibu Lince.

"Ibu, gini aja. Saya minta nomor hp ibu dulu. Paling lama besok saya hubungin. Pasti saya hubungin jadi apa nggaknya. Gimana bu?"

"Oh, bisa. Tapi yah dikabarin cepat ya. Kita kan nggak tahu besok ada yang masuk apa nggak"

"Iya ibu. Gitu aja deh bu. Udah malam juga nih, kita pulang dulu ya, bu", ucap Gre. Di perjalanan, Gre masih bingung. Ada tiga pilihan. Dua tempat di daerah USU, walaupun kurang cocok dengan Gre dan satu kos Ibu Lince.

"Gimana, Gre. Pilih yang mana?"

"Aku sih seneng yang Ibu Lince. Kamarnya luas. Walaupun rada serem juga sih suasananya. Apalagi di bagian atas. Tapi nggak masalahlah, aku kan di lantai bawah. Nggak terlalu mahal lagi kalau hitungan pake AC. Cuman ya itu, bayarnya yang ribet. Tapi Mama tadi udah bilang nggak masalah sih. Yang penting aku nyaman aja"

"Oh, iya. Yaudah deh, makan dulu yuk" "Eh, bukannya kau mau ketemu temen?"

"Ah, gampanglah. Besok juga ketemu di sekolah"

Gre merasa Jan sangat tidak terbebani dengan kehadiran Gre, bahkan sudah direpotkan sekali pun.

Sesampainya di rumah, Gre mulai mempersiapkan diri. Besok dia akan ke kampus untuk daftar ulang dan kalau sempat akan menghubungi salah satu kos yang akan ia pilih.

Esoknya, Gre bersangkat ke kampus untuk daftar ulang. Walaupun sudah berangkat pagi, ternyata semua fakultas sudah dipenuhi manusia. Gre harus antri untuk menunggu daftar ulang. Akan menjadi hari yang panjang. Gre mulai mendapatkan beberapa kenalan, dan tentu saja, pertanyaan biasa yang Gre sering dapat, "Jakarta? Kok milih di Medan?", dan Gre harus menjawab hal yang sama berulang-ulang.

Ternyata ada satu orang yang berkenalan dengan Gre, dan dia orang Surabaya. Kesempatan bagus untuk balik bertanya. Untungnya ada tiga orang yang juga dari Jakarta. Ada satu cowok dan satu cewek. Rute daftar ulangnya ternyata cukup ribet. Dari mulai pendaftaran, isi formulir, data diri, foto untuk kartu mahasiswa dan pengukuran jas almamater. Gre tidak menyangka ternyata Jakarta dan Medan sama saja dari asal mahasiswanya, sangat beragam. Setidaknya Gre tidak terlalu minder menjadi anak kota lain, lebih tepatnya pulau lain.

Disela-sela proses tersebut, Gre mendapat pesan singkat. "Dek, ini bapak kos yang di belakang USU. Maaf ya, kosnya sudah ada yang ambil. Soalnya orangnya sudah bayar full. Maaf ya dek". Pesan tersebut membuat Gre lemas. Tinggal dua pilihan. Satu daerah jalan Jamin Ginting atau Sisingamangaraja. Gre berpikir lagi. Kos yang di daerah Jamin Ginting termasuk kecil, walaupun dekat dengan kampus, tetapi tidak ada AC dan kamar mandi dalam. Gre semakin berpikir.

"Kalau gue nggak deal sekarang, bisa bahaya nih. Ntar si Ibu Lince udah dapat anak kos baru. Nah yang di kos Jamin Ginting, nggak banget. Ah, yaudahlah. Lagian setahun disana nggak masalah lah. Kalau deket USU sih bener, gue hemat ongkos, tapi kalau nggak pake AC dan kamar mandi luar, gue nggak kuat. Mana sebenarnya kos Ibu Lince murah, bayarnya aja yang lebay setahun langsung. Arghh. Bodo". Disela-sela menunggu giliran ukur jas almamater, Gre menelepon ibu Lince.

"Halo ibu. Ini saya Gre, yang kemarin lihat kamar di kos ibu"

"Gre? Oh, Gretta? Iya, iya, gimana dek?"

"Ah, gini bu. Saya deal deh, bu. Tadi orangtua saya juga udah setuju. Nanti malam kemungkinan saya sudah pindahan, tapi kalau nggak sempat besok pagi, bu. Gimana?"

"Ah, okelah. Maaf ya jadi mikir karena pembayarannya. Saya memang sudah buat peraturan gini semenjak banyak anak yang kabur karena belum bayar. Nah, tapi kalau udah setahun, nanti adek bisa bayar perbulan lagi. Untung saja kau telpon, soalnya tadi ada anak yang suka sama kamar kamu. Cuman ya sama seperti kamu, masih pikir-pikir"

"Oh, gitu ibu. Okedeh, nggak masalah. Pokoknya saya jadi ambil ya ibu. Jangan dikasih ke orang lain ya ibu. Saya soalnya harus cepat pindah. Nggak enak numpang di tempat teman. Makasih banyak"

Gre lega. Walaupun memang agak berlebihan sebuah kos dengan pembayaran langsung setahun, tetapi ia pasrah. Dibanding tempat-tempat yang lain, kos ibu Lince lebih nyaman untuk dihuni. Sudah sore, dan proses panjang daftar ulang belum berakhir. Gre tinggal menunggu kartu mahasiswanya jadi.

Pemanggilan nama pun berlangsung. Gre sudah cukup lelah menunggu. Ia ingin segera pulang. Belum lagi, ia harus mempersiapkan barangnya dan sudah menghubungi Kiran kalau prosesnya sudah berakhir.

"Argh. Lama amat sih ini. Buruan kek". Beberapa saat kemudian namanya dipanggil. Petugas yang sudah kewalahan, memberi kartunya tanpa basa basi. Gre langsung mengambilnya dan pergi. "Kelar!", ucapnya. Segera Gre menghubungi Kiran. Gre menunggu, berharap Kiran segera muncul. Penasaran melihat hasil foto di kartu mahasiswanya, Gre mengambil lagi dari dompetnya. "Vince Gandhi Putra? Mati gue!

Ini punya siapa? Kok bukan nama gue. Mampus! Petugasnya salah pasti ini. Sialan". Muka Gre pucat. Ia segera berlari kecil kembali ke arah petugas.

"Halo, hey!", teriak seseorang dari belakang Gre. Gre berhenti dan menoleh kebelakang. Seorang cowok sedang memegang sebuah kartu mahasiswa. Melihat ke foto yang dikartu dan melihat Gre yang ada dihadapannya. Gre buru-buru melihat kartunya. Ternyata benar, itu adalah orang yang bernama Vince. Fotonya sedikit tidak mirip dengan aslinya.

"Ah, untung belum jauh. Pasti kartu kita ketukar"

"Aduh. Maaf banget. Gue, ah, aku buru-buru, jadi nggak ngecek. Ini punya kamu"

"Nggak masalah. Salah petugasnya. Tadi petugasnya sudah mau melapor, cuman aku minta saja kartunya, soalnya namaku dipanggil persis setelah kamu. Makanya aku kejar. Untung aja belum jauh. Ini", ucap Vince.

Vince tipikal cowok yang urakan dengan kacamata frame hitam. Rambutnya gondrong ala-ala Vino Bastian. Ajaibnya, dihari pertama, ia hanya memakai sneakers ke kampus.

"Kamu, orang mana?"

"Ah, kan kamu udah lihat pasti, kan? Kan ada di kartu mahasiswa tadi"

"Iya, maaf. Jakarta ya? Jakarta mana? Aku dulu pernah tinggal disana"

"Serius? Jakarta Barat. Daerah Slipi"

"Oh, iya iya. Aku SD di Jakarta. Daerah Kebayoran. Tapi udah lama banget"

Ponsel Gre berbunyi. Kiran. Dari jauh Kiran melambaikan tangannya.

"Eh, nama kamu Vince yah. Maaf ya, aku harus duluan, nih"

"Iya, Gretta. Panggil aku Vin aja"

"Ah, iya. Panggil aku Gre juga. Sampai ketemu, ya"

"Pasti ketemulah. Kita satu fakultas. Siapa tahu satu kelas."

"Ah, iya juga. Sampai ketemu, yah. Vin"

Gre beranjak pergi. Akhirnya, tidak ada yang terlewat. Gre juga menjelaskan kepada Kiran untuk bantuan terakhir. Gre akan segera pindah. Tidak terlalu masalah untuk Kiran dan Chris. Lagipula Kiran ingin tahu kos yang bagaimana yang Gre pilih.

Di rumah, Gre mempersiapkan barang-barangnya. Jan juga ikut. Gre sangat bersyukur atas bantuan Kiran, Chris dan Jan. Mereka sangat perhatian dan akan diingat oleh Gre. Mereka sampai. Setelah bertemu dengan Ibu Lince yang berwajah judes, Gre langsung melunasi pembayaran sewa indekosnya. Senyum kecut yang biasa Ibu Lince tampilkan berubah sedikit lebar. Gre masuk kedalam kamar dibantu Kiran, Chris dan Jan. Kiran melihat-lihat isi kamar kos Gre. Chris dan Jan menaruh koper serta tas Gre. Kurang beruntung apa Gre dibantu dua cowok cakep sekaligus. Sekitar beberapa jam mereka menemani Gre. Sudah hampir jam 10 malam. Mereka bertiga bersiap akan pulang.

"Lu, kalau mau butuh apapun, hubungin gue, ya. Gimana pun, lu itu disini sendiri, jadi kita-kita ini temen lu. Nggak boleh sungkan. Oke?", ucap Kiran tersenyum.

Di kala SMA, Kiran dan Gre memang sempat akrab walaupun tidak terlampau dekat. Yang membuat mereka tidak terlalu dekat, karena mereka beda angkatan, dan yang membuat mereka cukup dekat adalah ketika Gre menjadi anggota satu divisi di OSIS SMA dengan Kiran sebagai ketua divisi. Mereka berdua juga lumayan dekat, karena mereka berdua anggota ROHKRIS atau ekskul kerohanian Kristen di SMA dulu.

"Iya kak Kiran. Gue beruntung banget sih ketemu kakak. Kak Chris juga makasih ya. Dari pas gue nyampe sampai sekarang masih ikut bantuin. Kamu juga Jan. Makasih banget. Udah bantuin nyari kos sampe kesini. Sumpah, gue beruntung banget nih ketemu orang-orang baik", ucap Gre senang.

"Eh, udah sih, Gre. Kayak kita nggak bakal ketemu lagi. Deket gini juga. Ntar kan sekali- kali kita bisa nongkrong bareng. Iya kan?", ujar Jan tersenyum. Gre mengangguk sambil tersenyum.

Mereka akhirnya pulang. Kali ini benar-benar sepi. Tidak ada siapapun. Gre hanya membuka laptopnya dan memasang playlist lagu-lagu kesukaannya. Manusia pecinta lagu tahun 80 dan 90 itu memasang lagu Gilbert O'Sulivan, penyanyi favoritnya. "Claire", berdendang mengisi waktunya sambil membereskan pakaian dari kopernya. Kali ini Gre benar-benar merasa sepi. Ia berniat menghubungi Mama dan Papanya, tapi sudah malam. Mungkin saja Papa dan Mamanya sudah tidur. Lagipula, Gre harus membereskan pakaiannya. Ada satu pesan masuk. Jan. Gre senyum-senyum.

"Gre. Cuman mau ngingetin. Kalau mau ke kampus, angkot dari sana banyak kok. Ada CV. Medan Bus, langsung turun di USU, Mitra juga lewat. Pokoknya tanya aja, Padang Bulan atau USU. Biasanya juga mereka tempel papan kecil di depannya. Kalau butuh apa-apa, bilang aja, nanti aku kasih tau. Oke Gre?". Pesan singkat Jan menunjukkan satu perhatian. Entah ia kepikiran atau kasihan melihat Gre sendiri, atau karena ada perhatian khusus, hanya Jan yang tahu. Kali ini Gre hanya bisa tersenyum - senyum. Ia membalas pesan Jan. Beberapa suara langkah kaki terdengar. Ada suara tawa dua cewek melewati kamar Gre. Jelas mereka kos dilantai atas. Jalanan diluar memang ribut. Suara klakson mobil bersahut-sahutan. Lagipula Gre sudah terbiasa. Jakarta sudah menempa telinga Gre untuk menghadapi situasi seperti itu.

Dua minggu setelah di kota Medan, Gre mulai terbiasa dengan suasana kota Medan. Gre tidak menyangka ia sudah setengah bulan berada di kota Medan. Ia menjalankan kegiatan sehari- hari di kos barunya. Orang-orang penghuni kos bersifat sesuai dengan harapan Gre. 'Lu, lu, gue, gue', yang artinya tidak mau tau tentang kehidupan satu sama lain, cuek. Itu lebih baik buat Gre, karena ia tidak bisa gampang percaya dengan orang lain. Apalagi tinggal dalam sebuah kos.

Fakta pun sudah sering berbicara, kehilangan barang dan peminjaan uang yang biasanya akan susah ditagih, adalah intrik dalam dunia kos. Gre juga sudah membeli sebuah TV kecil untuk mengisi waktu kosongnya. Mama yang menyuruh Gre untuk membeli TV segera. Walaupun sedikit malas, Gre berjalan menyusuri jalanan Sisingamangaraja. Gre tidak menyangka, sederetan kosnya tersebut banyak penjual berbagai hal.

Toko ponsel, alat elektonik, studio foto, bahkan masih ada satu wartel yang masih beroperasi. Gre melihat satu toko elektronik yang menjual TV, kulkas, DVD dan lainnya. Untung saja dekat kosnya, setelah deal, karyawan toko dengan baik hati mengantarkan TV tersebut dengan troli. Gre sungguh beruntung punya kos dekat dengan segala hal yang ia butuhkan. Selain laptop dan ponsel, TV bisa menjadi satu pengusir rasa sepinya. Apalagi saat ini, Jan sudah jarang menghubungi Gre. Sesekali mereka masih saling chat lewat WA.

Gre ternyata bertemu lagi dengan Vince. Tiga hari yang lalu, Gre menghabiskan waktunya dengan urusan OSPEK. Untung saja, OSPEK di tempat Gre tidak sesadis yang ia bayangkan, sejak adanya berita dikampus tersebut. Tahun lalu, seorang anak Fakultas Teknik dibawa oleh orangtuanya menghadap Dekan. Anak tersebut mendapat perlakuan kasar dari kakak angkatan yang melakukan OSPEK dengan berlebihan. Hal itu membuat Rektor geram, karena beritanya menjadi-jadi, sampai muncul di beberapa media.

Setidaknya, itulah yang Gre dengar dari seorang kakak angkatannya yang justru setuju dengan ditiadakannya OSPEK dengan unsur kekerasan. Walau begitu, tetap saja Gre harus merasakan satu malam camp dilingkungan fakultas beserta seluruh mahasiswa baru Fakultas Psikologi. Mereka hanya diberikan pembekalan tentang dunia kampus, mental dalam berorganisasi dan games diiringi api unggun. Vince dan Gre seakan pasangan yang selalu bersama. Gre menganggap Vince adalah teman pertama dan paling akrab sejauh ini. Kamal, mahasiswa baru yang cukup dekat dengan Vince setelah berkenalan ketika daftar ulang, juga mulai dekat dengan Gre. Kamal orangnya rapi, sedikit berbadan gempal. Keturunan Cina-Padang dan juga adalah perantau, walaupun tidak sejauh Gre. Kamal berasal dari Padang. Logat Padangnya masih kentara. Selain Kamal, ada dua orang yang cukup dekat dengan Gre. Dua cewek yang menjadi teman satu tenda Gre di camp tersebut.

Annelise dan Dameria. Annelise anak orang berada. Terlihat dari tampilannya yang terawat. Annelise yang akrab dipanggil Anne adalah keturunan Minang dan lahir di Medan. Ayah dan ibunya asli Pekanbaru dan sudah lama tinggal di Medan. Satu lagi, Dameria Simatupang. Cewek Batak yang ke-tomboy-nya melebihi Gre. Berasal dari kota kecil di Tapanuli, Tarutung. Ia gadis yang aktif dengan logat Batak yang sudah tidak diragukan lagi. Ini kali pertama Dame ke kota Medan. Ia anak yang terlihat mandiri. Bahkan Dame bercerita bahwa di kampungnya yang sekitar delapan jam dari kota Medan, keluarganya masih memasak menggunakan kayu bakar. Gre cukup tercengang, apalagi Anne. Lagi-lagi, ditahun serba ada ini, masih ada rumah yang tidak memakai kompor gas atau bahkan kompor sumbu.

"Medan ini panas kali. Nggak kuat aku lah. Di kampungku, udara itu masih dingin sejuk. Kemarin pas aku bangun pagi, udara disini udah panas. Bayangkan kalian lah, kalau di kampungku, pagi-pagi masih kelihatan embun, segar kali lah", ucap Dame saat bercerita di dalam tenda dengan logat asli Bataknya. Anne lebih banyak diam,tetapi ia tetap asyik mendengarkan. Anne tidak punya banyak cerita tentang hidupnya. Dari lahir sampai sekarang ia sudah di Medan. Tak terasa, ada sedikit keakraban diantara mereka.

"Anne, kalau kamu? Nama kamu kan, Annelise Aliyah Ramadhani. Maaf ya, nanya, kok nama kamu Annelise, kayak nama Eropa gitu, yah. Aku kira kamu dulu bukan Muslim, tapi setelah tahu nama panjang kamu, ternyata aku salah duga"

"Ah, Gre. Udah banyak yang bilang kayak gitu. Ayahku itu suka banget sama Jerman. Nah, nama Annelise itu berasal dari Jerman. Artinya anak gadis yang ramah dan anggun", ucap Anne tersenyum. Memang tidak salah kalau Gre salah sangka. Anne punya wajah yang putih dengan pipi merona. Badannya juga ideal, walaupun terkesan sedikit kurus. Rambutnya panjang dan cantik.

"Iyalah. Cocok kali nama itu sama kau, Anne. Kau ramah dan anggun. Nggak salah kau pake nama itu, iya kan Gre? Hahahaha", sambung Dame. Dame dengan rambutnya yang ikal dan wajahnya yang bertekstur tegas sangat menampilkan ciri khas perempuan Batak. Dame juga suka melucu dengan kekentalan logatnya yang kemungkinan besar tidak akan bisa hilang sampai akhir zaman.

"Nah, kau lah sekarang dulu. Dameria Simatupang. Apalah arti namamu?", tanya Gre tersenyum.

"Kalau Simatupang itu marga, kedan1. Nah, kalau Dame itu bahasa Batak, artinya damai. Kalau ria, juga bahasa Batak, artinya banyak atau ramai. Jadi, Dameria itu artinya damai selalu, damai yang banyak, damai yang selalu berkepanjangan"

"Widih. Keren kali ya, kedan! Hahahaha"

"Ah, ngejek kali lah. Kalo gitu, arti Gretta apa?"

"Gretta itu pemberian dari Oma aku. Artinya mutiara. Yah, katanya Oma, bagus aja nama itu, makanya ia kasih nama Gretta, nothing special"

"Hus. Nggak boleh gitu. Bikin nama itu dikampung aku sampe bikin adat, motong babi. Ups, maaf ya Anne. Cuman ya gitu, nama itu udah jadi identitas kita. Setiap nama itu punya arti baik"

"Widih, memang ya, cocok namamu Dame, pembawa damai banget"

"Hahaha. Widih widih aja pun kau, Gre. Udahlah tidurlah kita. Biar besok bisa bangun pagi"

Mereka mengambil posisi tidur sambil masih tersenyum-senyum. Gre merasa ia tidak akan kesepian lagi. Orangtua, kakak atau adik adalah keluarga di rumah, tetapi di perantauan, teman atau sahabat adalah keluarga yang sebenarnya. Paginya, Gre dan seluruh mahasiswa yang ikut OSPEK akan menikmati hari terkahir mereka. Gre lega hal-hal tersebut akan berakhir. Mereka diberi waktu untuk mandi di kamar mandi kampus. Gre tertawa geli. Hanya disini ia dan teman-temannya bisa mandi di toilet kampus yang sebenernya tidak dikhususkan untuk mandi. Dame yang bangun lebih dulu dari mereka berdua nyengir tidak jelas.

"Kenapa kau nyengir-nyengir Me?"

"Eh, kau yang aku ketawain Gre. Kau kangen kali sama Mama kau ya?" "Eh, kok kau bilang gitu? Emang kenapa?"

"Jelaslah. Biar kalian tau, aku ini biasa bangun subuh. Tadi jam setengah lima, kau ngigau-ngigau Gre. Panggil-panggil nama Mamamu. Terus kalau tidur, nafasmu seram kali. Kenceng kali, kayak suara makhluk halus. Hahahaha"

"Ah, serius kau Dame? Masa sih. Aku nggak pernah dengar. Ah, boong banget sih", ucap Gre malu. "Eh, si Dame nggak bohong. Aku tadi jam tigaan kebangun, emang bener Gre suara nafasnya kenceng. Hehehehe", lanjut Anne. Gre semakin malu. "Eh, paling karena kecapeaan aku itu. Nggak percaya aku nafasku kayak gitu deh", ucap Gre membela diri. "Nanti, pas udah di kos, coba kau rekam suaramu pas tidur. Kau dengarlah gimana suara nafasmu, Gre. Hahahaha. Becanda kale. Ayok ah, mandi", seru Dame bergegas. Gre penasaran. Dame nggak mungkin bercanda. Jelas-jelas Anne juga dengar. Dua pasang telinga cukup jadi saksi. Gre tidak pernah dikomplain oleh Mama atau Papanya saat tidur. Jelas sekali mereka tidak dengar, karena Gre tidur di kamarnya sendiri. Gre ikut tertawa malu.

Setelah mandi, mereka disuruh berbaris dengan memakai topi-topi aneh yang mereka buat sendiri. Setelah pembekalan tentang dunia kampus, mereka akan digiring untuk memilih unit kegiatan mahasiswa apa yang mereka suka. Dari mulai kegiatan keagaamaan, jurnalistik, olahraga dan banyak kegiatan lainnya. Mereka disuruh bebas memilih, tetapi kalau bisa dibatasi, karena akan susah mengikuti banyak organisasi melihat jadwal kuliah yang akan padat merayap. Gre yang dari dulu suka hal-hal tentang jurnalistik, masuk kedalam unit tersebut. Gre ingin menerapkan ilmu Psikologinya nanti ke dalam media. Bukan hanya untuk hobi semata, tetapi untuk media pembelajaran bagi Gre nantinya. Mama dalam sehari bisa menelepon Gre sampai tiga kali. Gre harus meladeninya. Untuk sekarang Gre sudah mulai merasa bisa beradaptasi. Walaupun enaknya hidup sebagai anak rumahan masih terbersit dalam pikirannya sesekali. Jelas sekali hidup di rumah sendiri sangat jauh lebih nyaman dari kos sendiri, tetapi untuk masalah ketentraman, rumah terkadang membuat bosan. Banyak pertanyaan dari orangtua, tidak boleh ini itu dan sulit mau kemana saja. Sedangkan kalau hidup sendiri, bisa melakukan beberapa hal yang disuka. Tidak terikat pada perintah dan lebih terbiasa dalam menjaga diri sendiri, mandiri, tanpa omelan dan sifat protektif orangtua.

Kuliah akan berlangsung hari Senin. Setelah seharian membereskan perlengkapan OSPEK dan mencuci pakaiannya selama OSPEK, Gre mengikuti kebaktian minggu di gereja GKPI Teladan, salah satu gereja yang cukup dekat dengan kos Gre. Setelah ibadah selesai, ia berjalan kaki pulang ke kosnya. Gre ingin menikmati jalan sore melihat sekitaran daerah kosnya yang ternyata adalah salah satu jalan utama kota Medan. Sebelum kembali ke kosnya, Gre masuk ke Ramayana Teladan. Ia sangat ingin makan KFC. Sambil makan, Gre mengambil sisi paling kiri persis disebelah kaca. Ia melihati lalu lalang kendaraan, orang-orang yang sedang lari sore dan beberapa pengamen jalanan sedang duduk di sekitaran Monumen Sisingamangaraja. Jalan Teladan juga diisi stadion besar yang dinamai Stadion Teladan. Hampir sama dengan GBK, walaupun ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan GBK. Stadion tersebut sudah dijadikan lokasi bertanding klub-klub sepakbola di Indonesia. Gre berjalan-jalan melihat suasana sore Medan. Setidaknya Gre masih bisa berjalan kaki di jalanan utama kota Medan, tidak seperti Jakarta, yang trotoar pun sudah ditakuti pejalan kaki. Sambil memakan ice cream, Gre berjalan pulang. Tersenyum-senyum, mensyukuri apa yang ia dapatkan sekarang. Saat ini, hidupnya bukan lagi di Jakarta sana. Selama empat tahun kedepan, ia akan terikat dengan kota Medan.

Gre pulang kekosnya. Sudah magrib dan jalanan masih tetap saja ramai. Saat masuk ke pintu utama, ada seorang cewek keluar. Memakai baju ketat dan jeans yang ketat pula. Rambutnya sebahu. Wajahnya manis dan sedikit lebih pendek dari Gre. Wanita itu tersenyum kecut ketika mereka berpapasan. Setelah berpapasan, Gre menoleh kebelakang. Melihat cewek yang kira-kira umur 25-an tersebut memegang ponselnya sambil digoda beberapa lelaki yang lewat. "Mba, mba. Apa nggak ada baju lain ya? Magrib gini pake baju gituan. Ckckckck".

Gre masuk kamar. Ia teringat, beberapa potong pakaian yang ia cuci tadi pagi pasti sudah kering. Gre buru-buru naik ke atas. Suasana kos sangat sepi. Tidak ada terdengar satu pun suara. Gre naik dari satu tangga ke tangga lainnya. Di lantai pertama tampak sepi. Lampu utama juga belum dinyalakan. Gre berinisiatif menyalakan , karena kelihatan sangat gelap. Ia melanjutkan naik tangga. Gre sampai diperbatasan lantai dua dan tiga. Perbatasan yang dibatasi oleh satu kamar. Kamar yang dipalang dari luar. Gre berhenti sebentar. Gre memandangi pintu tersebut. Gre menyentuh palang tersebut dengan perlahan. Sudah tidak ada engsel pintu, hanya ada bekas dari engsel tersebut yang sepertinya sengaja dicopot. Palang tersebut juga aneh, seperti ada perekat yang membuat palang tersebut lengket dengan pintu. Di lantai pintu sebelah kanan, terdapat noda hitam. Gre berpikir itu tinta, ternyata bukan, seperti bekas terbakar. "Kayak kebakar. Ah, mungkin saja emang udah kemakan usia. Lagian ini kan bangunan tua. Tapi, aneh banget sih nih kamar. Kayak kepisah sendiri, dan kenapa harus disini lagi. Kalo emang kosong atau gudang, kenapa dipalang gitu. Lebay amat. Udah ah".

Gre beranjak. Baru beberapa langkah, Gre mendengar suara. Suara goresan sesuatu. Suara itu terdengar beberapa detik, dan cukup jelas. Gre menoleh lagi, itu berasal dari kamar tersebut. Suara tersebut muncul lagi. Seperti ada yang menggaruk-garuk pintu tersebut dari dalam. "Tikus?". Gre kembali ke pintu dan mendengar. Ia menempelkan telinganya perlahan ke perut pintu. Beberapa detik Gre menunggu. "KLIK!". Gre terkejut setengah mati. Ia menjauhkan telinganya dari pintu. Itu bukan suara dari dalam pintu, itu suara saklar lampu. Gre melihat keatas.

"AHHH. Siapa itu!!?", teriak Gre. Lampu lantai tiga baru saja dinyalakan. Seorang cowok berbadan krempeng berdiri melihati Gre. Ia memakai kutang dan sarung sebagai bawahan.

"Eh, kenapa dek? Kok kau disitu? Terkejut ya? Sori ya dek!", ucap cowok tersebut. Gre hanya tersenyum dan si cowok berlalu meninggalkan Gre dan kembali ke kamar. "Sialan! Ah, buruan ah. Aneh banget tuh orang". Gre naik keatas. Ia mengambil baju-bajunya dari kawat jemuran yang berjejer panjang. Dari atas jemuran tersebut, terlihat kerlap-kerlip lampu rumah dan beberapa bangunan. Mobil, bentor dan angkot juga semakin memadati jalanan. Gre turun sambil membawa bajunya. Ia tidak mau berlama-lama disana. Melewati kamar kosong tersebut, Gre mengalihkan pandangannya dan segera menuruni tangga. Di kamar, Gre menyetrika beberapa pakaian. Ia harus siap untuk esok hari. Gre juga sudah cukup paham tentang angkot yang akan ia naiki besok. Papa Gre sudah menyarankan, agar sepeda motor matic Gre yang di Jakarta, segera dikirimkan ke kota Medan. Tetapi untuk sementara Gre menolak, karena belum terlalu membutuhkannya. Gre memasang lagu-lagu kesukaannya di laptop sambil menyetrika baju. Setelah selesai, ia memilih untuk tidur cepat agar bisa bangun pagi. Ia tidak ingin telat di hari pertamanya kuliah. Ketika akan memasang alarm di jam wekernya, Gre kepikiran tentang ucapan Dame. Gre masih tidak percaya apakah benar ia mengigau dan nafasnya saat tidur terdengar aneh. Gre memasang recorder di ponselnya. "Penasaran gue. Masa sih gue tidur seaneh yang dibilang Dame sama Anne. Hahaha". Gre mematikan lampu dan tertidur.

Gre terbangun. Ia melihat jam dinding. Pukul dua pagi. Keringat tipis di bagian lehernya mengucur. AC masih normal, tetapi entah kenapa Gre merasa gerah dan keringatnya bermunculan. Ia mengucek matanya sambil terduduk. Ia meraba-raba, dan mengambil gelas. Lampu tidur Spongebob-nya menyala dan cahaya kuningnya menuntun Gre ke arah dispenser. Gre mengambil air. Sambil minum, Gre mendengar suara. Suara garukan sesuatu. Itu berasal dari pintu kamar Gre. Gre melihat dengan pelan. Cahaya lampu tidak mengenai seluruh ruangan. Gre melihat lagi. Hanya ada sapu yang bersandar didinding sebelah pintu. Gorden jendela Gre bergoyang seperti ada tiupan angin. Gre melihat lagi. Tidak ada apa-apa.

"Traak!". Gre terkejut. Gagang sapunya terjatuh kelantai. Gre berjalan ke arah sapu, seketika dibalik cahaya yang remang, ada sesuatu yang sangat aneh, sesuatu yang bergerak- gerak di balik bayangan pintu. Warnanya pucat abu-abu. Menggeliat. Terlihat sesuatu mirip pergelangan kaki manusia. Jari-jari kaki tersebut bergerak-gerak. Ukurannya kecil, itu kaki anak kecil. Anehnya, kaki tersebut keriput dan kukunya panjang. Gre terkejut. Bibir Gre bergetar ketakutan. Tak ada yang bisa keluar dari mulutnya. Mata Gre melotot ke arah kaki itu. Kaki tersebut terdiam. Jari-jarinya kaku seketika. Seketika ada suara tangisan. Gre masih terpatung. Ia dikendalikan sesuatu hal sehingga tidak bisa bergerak. Suara tangisan itu anak kecil itu parau seperti menahan rasa sakit. Gre memberanikan diri.

"SIAPA ITU!", teriak Gre lepas.

Tangisan itu hilang. Dari cahaya yang remang tersebut muncul sesuatu. Kedua tangan menutupi matanya yang menangis. Makhluk tersebut menampakkan diri. Hanya terlihat bagian mulutnya. Makhluk itu masih menutup kedua matanya. Kepalanya botak juga keriput dan hanya ada beberapa helai rambut tersisa dikepalanya. Ia memakai kemeja putih lusuh dan celana pendek putih yang sudah lusuh. Tangannya keriput dan pucat abu-abu. Mulut makhluk tersebut terjahit. Benang berukuran lumayan tebal menjerati kedua bibirnya. Jahitan di bibirnya sedikit kendur. Terlihat ia berusaha menggoyang-goyangkan bibirnya. Gre ketakutan setengah mati. Ia berteriak. "SIAPA KAU! SIAPA? PERGI!!!! PERGI!!!!"

"Kring kring kring". Gre terbangun. Alarm seketika menghentikan mimpi buruk yang terasa nyata tersebut. Gre mengusap – usap wajahnya. Spontan ia melihat ke arah pintu. Hanya ada sapu yang bersandar di dinding. Tidak ada apapun disana. Gre masih mengingat betul apa yang ia lihat. Gre beranjak. Bukan waktunya untuk berpikir aneh-aneh. Ia segera masuk kamar mandi, bersiap dan segera berangkat ke kampus. Semua perlengkapan ia bawa. Gre mengambil tas dan ponselnya. Ponselnya masih dalam posisi merekam. Ia tersadar bahwa ia sengaja merekam suaranya semalam. Gre mengambil earphone dan buru-buru berangkat.

Pagi yang cukup cerah. Gre masih menunggu angkot. Di depan lampu merah sudah banyak kendaraan yang lalu lalang. Beberapa angkot jurusan lain mengklakson ke arah Gre, dan secara otomatis Gre menolak. Bunyi langkah sepatu terdengar dari belakang Gre. Ada seorang wanita berjilbab ikut menunggu kendaraan. Ia memakai blazer dan celana jeans yang cukup ketat. Wanita tersebut langsung mendapatkan angkot yang ia tumpangi. Gre tersadar. "Itu cewek kemarin, kan? Yang bajunya seksi gila dan keluar malam-malam. Kok dia berjilbab? Aneh ya, kenapa pas malam ia seksi banget? Ah, ada-ada aja. Apa dia ayam.....Ah, bodo amat". Angkot yang Gre tumpangi akhirnya datang. Gre naik. Sambil duduk, Gre memasang earphone-nya. Mencari-cari lagu favoritnya. Sambil masih mendengar lagu, Gre teringat akan rekaman yang ia buat kemarin. Sambil tersenyum-senyum penasaran, Gre ingin tahu bagaimana sebenarnya suaranya ketika sedang tidur.

"Nafas gue aneh ya. Pantas aja Anne sama Dame heran. Gue ngigau nggak jelas lagi. Hahaha". Gre merasa lucu sendiri mendengar keanehan suaranya. Saat akan beralih ke playlist mp3-nya, Gre tersentak. "Eh, suara apa nih? Kayak bukan suara gue". Gre memutar ulang kebagian suara aneh yang ia dengar. Di sela-sela suara nafas aneh Gre, ada terselip suara aneh lainnya. Suara tangisan anak kecil, dan hanya terekam sekitar lima detik. Wajah Gre berubah drastis. Ia mengulang-ulang suara tersebut. Benar sekali, itu suara tangisan. Jelas sekali itu bukan suara Gre, karena suara tangisan tersebut bersamaan dengan suara nafas Gre. "SIAL! Suara apaan nih? Jangan-jangan!". Gre kembali mengulang-ulang.

"USU USU!", teriak sopir angkot. Gre kelabakan. "Pinggir bang!", ucapnya cepat.

Gre turun dengan terengah. Ia tidak ingin merusak harinya dengan suara tangisan yang terekam itu. Ia buru-buru masuk ruangan kelas. Dame dan Anne duduk bersebelahan. Gre mengambil kursi dibelakang mereka. Gre memperhatikan pelajaran Pengantar Psikologi I. Ia cukup antusias. Sesekali, konsentrasinya terganggu dengan suara tangisan tersebut, baik itu dalam mimpinya ataupun dalam rekaman ponselnya. Saat istirahat, Vince mengajak Gre ke kantin. Kamal, Anne dan Dame juga ikut. Entah kenapa, sejak OSPEK, mereka berlima menjadi sering bersama.

"Ah. Ibu Melda cantik ya", ucap Kamal dengan tangan di dagu. "Woy! Ibu Melda pulak2 kau pikirkan! Yang harus kita pikirkan itu, ngebaca buku materi yang Ibu Melda bilang tadi. Banyak banget bukunya, penulisnya pun entah siapa aja. Hahahaha", balas Dame tertawa. Anne juga setuju. Mereka harus lebih rajin membaca. "Gre! Kok bengong aja! Kenapa? Mikirin apaan?", kejut Vince. Gre tersadar. Suara Vince mengingatkannya akan suatu hal. Jam dua pagi, segelas air putih, gagang sapu, pintu, kaki pucat, tangisan dan jahitan di mulut.

"MIMPI!"

avataravatar
Next chapter