webnovel

Bab 1

Kaki ini mulai kesemutan karena terus meringkuk di dalam almari bersama Bang Aan yang terus menutup kedua telingaku. Lagi-lagi, ayah dan ibu bertengkar hebat karena adikku yang baru berusia empat bulan terus menerus jatuh sakit.

"Usahakanlah, Yah! Bagaimana nasib anak kita ini!" teriak ibu nyaring.

Tak ada jawaban yang terdengar, seperti biasa, ayah akan bungkam dan memukul ibu sebagai jawaban.

Ibu bersikeras untuk rawat inap, tetapi ayah menentangnya, alasannya tak punya cukup uang. Selalu berulang seperti itu semenjak kelahiran adik bungsuku itu. Aku merasa kasihan dan juga sedih, tapi anak kecil sepertiku tak mampu berbuat banyak. Hanya doa dalam hati yang terus terucap.

Setelah beberapa lama, terdengar suara pintu dibanting. Aku dan Bang Aan pun keluar dari almari dengan menghela napas berat.

"Bang, kenapa ibu dan ayah tidak pernah memerhatikan kita lagi? Apa mereka sudah gak sayang?" tanyaku sedih.

"Huss!" Bang Aan membungkam mulutku, "Bukan gak sayang, kamu tahu kan adik kita sakit terus semenjak lahir."

Aku mengangguk pasrah, entah sampai kapan hal ini akan berakhir. Rindu rasanya berkumpul dan bercanda dengan ayah dan ibu, rindu masakan ibu dengan senyuman dan juga saat bermain atau rekreasi bersama.

Semenjak adik lahir, rumah ini terasa suram. Aku tahu, ini bukan salahnya, takdirnya saja yang kurang beruntung.

"Hei!" teriak Bang Aan membuyarkan lamunanku.

"Hish! Apalah!" seruku mendengkus kesal.

"Mereka sudah berhenti, ayo kita cari makanan di dapur!"

"Ayo! Aku juga sudah lapar, Bang."

Kami mengendap-endap menuju dapur, melewati pintu kamar ibu dan ayah yang tampak sepi. Ayah pasti sudah pergi keluar, sedangkan ibu, aku yakin sedang menangis bersama adik di kamar.

Kami punya orangtua, tetapi seperti anak terlantar. Mereka tak pernah peduli kami makan atau tidak, sedih atau tidak. Mereka terus bertengkar semenjak ada adik bayi. Membuat kami berdua terpaksa dewasa lebih cepat dengan mengurus diri sendiri dan kebutuhan kami.

Padahal, usiaku baru enam tahun, aku yang tadinya hanya tahu bermain, sekarang menjadi lupa bagaimana rasanya bermain. Bang Aan seharusnya sudah masuk kelas dua SD, tetapi ia terpaksa putus sekolah sebab ayah tak mampu membiayainya.

Sesampainya di dapur, Bang Aan langsung memecahkan telur dan menggorengnya. Dia bagian memasak, dan aku yang mencuci piringnya.

Menjelang tengah malam, saat semua orang sudah terlelap. Tiba-tiba terdengar suara ibu berteriak nyaring, membuatku terbangun karena terkejut. Aku dan Bang Aan pun mengendap-endap mendekati kamar ayah dan ibu. Pintunya terbuka dan menyisakan sedikit celah. Membuatku bisa melihat ke dalam.

Di dalam sana, mata ini bergetar menyaksikan apa yang terjadi, dengan cepat Bang Aan menutup mataku dan menyeret menjauh. Terlihat Bang Aan juga meneteskan air mata tanpa bisa ditahan lagi.

Ibu mengguncang-guncang tubuh kecil itu, berteriak seperti orang kesurupan dan terus menyalahkan ayah. Tubuh kecil itu terlihat lebih pucat dari biasanya, tak bergerak sedikitpun.

Kejadiannya begitu cepat, pagi ini jasad adikku dimakamkan. Ibu terus menangis hingga matanya bengkak, ia terus menyalahkan ayah yang tak mau merawat adik di puskesmas. Sedangkan ayah, dalam gurat wajahnya terlihat jelas rasa bersalah yang teramat, meskipun tak meneteskan air mata.

Proses pemakaman berjalan dengan lancar, Ibu dan Bang Aan masih berada di depan pusara, tak mampu menahan kesedihan. Sedangkan aku, hanya tertunduk dan termenung di belakang ibu, air mataku sudah kering sejak semalam.

Kami pulang dengan lesu, sesampainya di rumah. Suasana terasa mencekam, sepi tanpa jerit tangis dan tawa adik bayiku. Semakin berada di rumah ini, kesedihan terus menghantui kami semua.

Ibu tampak masih marah dengan ayah, sehari setelah pemakaman. Ibu mengajakku dan bang Aan pulang ke rumah nenek dari ibu. Sedangkan ayah, juga pulang ke rumah orang tuanya, yang biasa kupanggil "Ninik". Kami semua menghapus bersih kenangan tentang adikku, dengan menjual rumah itu.

***

"Ibu, kenapa ayah tidak ikut bersama kita?" tanyaku setelah ibu tampak tenang.

Ibu terdiam beberapa saat, wajahnya datar tanpa ekspresi, tetapi sedetik kemudian ia berusaha menampakkan senyuman, walau lebih terkesan dipaksakan.

"Ayahmu, mungkin kangen juga dengan Ninik."

Hanya itu yang ibu katakan, aku hanya termenung dan tak berani bertanya lagi meskipun sangat penasaran. Bang Aan juga menjadi lebih pendiam semenjak pindah bersama nenek.

Di sini diriku sama sekali tidak punya teman bicara, sebenarnya nenek adalah orang yang galak dan pelit, setiap hari pasti ada saatnya aku dimarahi karena tak sengaja berbuat salah.

Terkadang aku iri pada Bang Aan, ia tampak diperlakukan berbeda dan lebih baik dariku karena ia anak dan cucu pertama. Bang Aan juga membantu kerja di ladang sebab ia cukup besar dan mampu untuk membantu.

Sedangkan aku, hanya bisa diam di rumah dan mencuci piring kotor.

Aku juga sedih, karena Bang Aan tak lagi peduli padaku seperti dulu. Ia begitu berubah, seperti orang lain saja. Seandainya, aku yang lahir pertama, apa akan ada yang berubah? Entahlah. Otakku tak mampu mencerna pikiran orang dewasa lebih jauh lagi.

Begitu lelah dengan pikiran sendiri, stress karena sendiri, membuatku tak bersemangat lagi menjalani hari, tak ada lagi perasaan gembira menanti hari menjelang pagi, maupun gembira saat melihat matahari terbenam. Semua terasa hambar dan melelahkan.

Setiap malam aku akan bermimpi tentang saat-saat kami bahagia, begitu indah sampai rasanya tak ingin bangun lagi. Ibu yang selalu tersenyum, ayah yang memujiku dan menyayangiku, menggendongku dipunggungnya. Semua saat bahagia terus berputar bagai kaset yang terus disetel ulang.

Membuat mimpi, jauh lebih indah dari kenyataan.

***

Tak terasa, satu bulan pun telah berlalu. Aku baru mengetahui fakta bahwa kedua orang tuaku bercerai semenjak mereka berpisah malam itu, pantas saja selama ini, ayah tak pernah sekalipun menengok kami.

Aku ingin marah, sedih dan juga kecewa. Saking sesaknya semua rasa itu tercampur aduk menjadi satu, membuatku perlahan mati rasa. Semua terasa hambar dan hampa. Kenapa? Kenapa ini terjadi? Siapa yang salah? Pertanyaan ini terus berulang, memenuhi otakku. Membuatku kesal dan benci semua perasaan ini.

Lagi, hanya bisa menangis dalam diam. Sebab, jika sampai terdengar nenek, ia akan memukulku dan mengataiku anak lelaki cengeng dan tidak berguna. Bukan mauku menjadi seperti ini, kenapa ini terjadi? Dan aku juga benci ayah yang tak peduli dan memilih meninggalkan kami.

Jika itu anak-anak lain, mungkin mereka akan merindukan ayahnya. Namun, sayang sekali itu tidak terjadi padaku. Rasa takut dan benci ini, lebih mendominasi rindu itu. Separuh hatiku telah mati bersama perpecahan itu. Hilang tersapu badai yang memporak-porandakan keluargaku.

Bersambung ...

Next chapter