4 Nata

CCTV di taman dan pagar bukan milik Robin, namun sistem pengiriman gambarnya dilakukan setiap minggu satu kali. Artinya, apabila ada kejadian selama satu minggu yang terekam, maka baru akan sampai kepada pemasang di akhir minggu. Hal ini dikarenakan jarak penerima yang jauh, serta penggunaan kamera jenis lama, yang masih belum bisa menyesuaikan dengan sistem baru. Oleh karena itu, rekaman isinya bisa diretas dan diganti dengan rekaman di hari-hari biasa.

Robin luar biasa terpukul saat menyadari ada orang yang berani-beraninya mencuri data di bawah hidungnya sendiri. Secara personal, ia tinggal di rumah selama hampir 24 jam sehari, dan hanya keluar disaat menjemput Samuel, atau nongkrong 1-2 jam di kafe tiap bulan. Ia sama sekali tidak menyadari ada kamera pengawas lain di tamannya sendiri. Dan oleh sebab itu, saat ini dia mengunci diri di kamarnya untuk menghilangkan jejak hari ini, dan memastikan kamera itu diambil alih.

Anton menemaniku di ruang tamu, sambil memijat pelipisnya, ia mengajakku bercakap-cakap.

"Tak kusangka, hal seperti ini akan terjadi. Selama ini aku tidak memperhatikannya karena aku kira kamera luar adalah sistem keamanan perumahan. Namun ini pertama kalinya aku mendengar ada kamera yang diletakkan di halaman taman kami. Sungguh mengejutkan." aku diam mendengarkan, sembari menyeruput teh yang dibuat oleh Adriel. Samuel mengintip dengan sembunyi-sembunyi dari balik pintu.

"Mohon maaf atas kealpaan kami selama ini, namun apakah anda tahu siapa yang sekiranya memiliki niat untuk memasang CCTV itu di rumah kami?"

"Izinkan saya berspekulasi, tuan Anton. Saya rasa pemasangnya adalah bawahan dari tuan David Aronoff. Hari ketika ibu saya melarikan diri, adalah hari terakhir David dan anak buahnya bisa melihat ibu. Ketika mereka menemukan bahwa kapal inggris yang mereka cegat tidak membawa ibu, pada saat itu pula mereka mulai mengalihkan perhatiannya kepada anda sekeluarga.

"Saya yakin, mereka berusaha mengorek informasi lebih dalam tentang keluarga anda. Mereka akan mengira bahwa orang tua anda sesungguhnya masih hidup. Dugaan itu diperkuat dengan penghapusan jejak digital yang dilakukan saudara anda, mengira bahwa keluarga kami ada hubungannya dengan ini. Sayangnya tuan, apabila memang kami dalang dibalik hilangnya orang tua anda, akan kami pastikan tidak ada satupun orang di dunia ini yang dapat mengetahui lokasi setitik debu sepatu kelaurga Prasetyo. Bahkan tidak akan ada seorangpun mengingat kapal Mutiara Timur pernah dibuat di dunia ini." aku melirik wajah Anton, yang mendengarkan argumenku dengan serius.

"Namun setelah bertahun-tahun, anda sekeluarga tidak pernah sekalipun melakukan kontak dengan orang tua anda, maupun keluarga saya. Oleh karena itu pihak musuh mulai percaya, bahwa kami memang tidak berhubungan dengan anda sama sekali selama 8 tahun terakhir. Dengan demikian, mereka melupakan update sistem untuk CCTV, melupakan pos ronda di ujung kanan gang, dan mulai mencari jalan baru untuk mencari keluarga saya."

"Darimana anda tahu bahwa tuan David apalahitunamanya sudah tidak mengawasi kami dengan ketat lagi?"

"Hal ini bisa saya buktikan, dengan lewatnya saya dari bandara pagi ini. Jika mereka tahu saya akan ke sini, tidak akan menunggu waktu lama sebelum pertarungan lain akan terjadi di tanah Jakarta. Mereka akan memancing kehadiran ibu saya. Jadi saya meminta maaf tidak bisa memberi tahu nama asli saya, dan juga informasi penting lainnya, sebelum keadaan kita semua aman."

Anton mengangguk,

"Ini cukup adil, jadi pada dasarnya kamilah yang memancing kecurigaan orang-orang itu terhadap kami. Kami tidak akan menyalahkan kalian karena apa yang telah terjadi di San Fransisco. Orang tua saya menolong ibu anda atas dasar moral, dan kalian juga berniat membalas hal yang sama ketika keadaan nahas itu terjadi.

"Tapi jika begini, kami tetap tidak bisa menerima tawaran ini, nona Sizuka. Karena kami menganggap keluarga anda sudah tidak memiliki hutang apapun terhadap kami. Apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Saya menyerahkan kepada Tuhan untuk membalas semua kebaikan dan keburukan yang telah dilakukan oleh kita semua." tutup Anton. Orang ini tidak mudah untuk diatasi, namun aku tidak akan menyerah.

"Perusahaan ini juga menjadi perekrut untuk bakat-bakat jenius dari seluruh dunia, tuan Anton. Tujuannya adalah memastikan tidak ada orang jenius yang melanggar peraturan-peraturan dunia, yang dapat mengarah pada bencana yang tak terelakkan. Dan salah satu diantaranya adalah adik bungsu anda, Nata."

Seketika saat aku menyebutkan nama Samuel, Anton terperanjat, dan bersandar lemah.

"Jadi anda sudah tahu…"

"Ya, saya sudah tahu." tegasku.

"Nata memiliki bakat luar biasa, kemampuannya untuk memproses data bahkan melebihi kemampuan Robin, Haykal. Anda beruntung belum ada yang menyadarinya, tuan Anton. Karena sekali kabar ini meluas, adik anda akan menjadi salah satu orang yang dikurung dalam laboratorium untuk menyelesaikan misi mereka."

"Dua tahun lalu aku hanya mengajaknya bermain ke kantorku, karena dia bosan di rumah, dan tidak ada kakaknya yang menemaninya. Tak disangka, saat itu sistem perbankan kami error, menyebabkan berbagai transaksi bernilai triliunan rupiah gagal diatasi. Kami dalam kondisi genting, hampir bangkrut, ketika kemudian sekembalinya dari ruang direktur, aku melihat Nata, dengan tangan kecilnya menggunakan komputer kantorku untuk mengetik sesuatu.

"Sempat kutegur ia, karena itu bukan saat yang tepat untuk bermain dengan komputerku. Namun kemudian ia berkata 'Lihat mas, ini sudah Nata perbaiki'. Betapa tidak percayanya mataku melihat bahwa dengan komputer biasa, tersambung dengan WiFi kantor, Nata berhasil memperbaiki kode error di sistem kami, karena mencuri dengar permasalahannya di Divisi data sebelah ruang. Seluruh permasalahan bank teratasi.

"Direktur yang sebelumnya mengamuk mengancam pemecatan kami semua, terheran-heran datang ke kantorku, bilang bahwa, tiba-tiba semua data sudah beres, apakah Anton tahu siapa yang telah memperbaikinya? Aku tidak bisa menjawab, hanya bilang bahwa Tuhan sedang baik kepada kita."

Samuel yang sedari tadi bersembunyi di balik pintu ruang tengah segera berlari keluar.

"Nata cuma bantu mas, tapi kan Nata nggak niat jelek" matanya berkaca-kaca, mencoba mencari pembenaran.

Aku terhenyak melihatnya dari dekat. Baru kusadari sorot matanya yang tulus, namun penuh dengan ketangguhan, kulihat sebaris semesta yang terlentang dibalik pupil gelapnya. Aku teringat sorot mata itu, dulu saat aku menatap diriku dalam kaca. Dalam misi kesekian, di Canberra. Kulihat diriku yang terluka, membutuhkan pengakuan, penuh kesedihan, dan keinginan untuk hidup normal. Aku menyalahkan darah yang mengalir pada diriku, untuk pertama kalinya di hidupku. Sebab pada saat itu, aku muak harus berpura-pura normal, berpura-pura tidak bisa mengerjakan soal matematika, ipa atau bahasa, berpura-pura bahagia dengan hidup dalam misiku. Aku melihat kesedihan yang sama di mata Samuel. Dia tampak lelah tidak bisa memiliki hidup normal bersama orang tua, dan dipaksa mengakui identitas yang bukan milikinya

Aku menyadari alasan ayah memilihku dalam misi ini. Ayah tahu aku pasti akan memberikan keputusan terbaik yang bisa kulakukan, demi masa depan keluarga ini.

Kutarik lengan Nata, dan kuhapus air matanya.

"Tidak usah menangis, mas Anton sangat paham dengan Nata. Kak Sizuka juga.. Mulai sekarang Nata tidak usah khawatir." Kupeluk erat tubuhnya yang kecil. Awalnya dia tak bergeming, hanya terdiam kaku dalam pelukanku, kemudian perlahan dia memelukku balik, dan menangis lebih kencang.

Anton hanya melihat kami berdua dengan pandangan aneh. Aku memeluknya karena ingin membuatnya merasa bahagia, merasa dipahami, dan tidak sendirian. Tampaknya hal itu jarang dilakukan di sini, karena kurasakan tubuh kecilnya mulai mencair dan sepenuhnya berada di pangkuanku.

Setelah beberapa lama, Nata mengangkat matanya dan bertanya.

"Kak, Ayah, Bunda sama adiknya Nata udah beneran meninggal kan?" aku mencoba memikirkan jawaban terbaik, dan menyambung dengan selembut mungkin.

"Iya, ayah, bunda dan adiknya Nata sudah pergi duluan meninggalkan kita. Kelak jika sudah saatnya, kita juga akan menyusul mereka bertiga. Oleh karena itu, Nata harus hidup dengan bahagia dan bermanfaat bagi semua orang, agar hidup kita tidak sia-sia!"

Nata, malaikat kecil itu mengangguk dan memelukku erat. Aku memeluknya kembali. Tampaknya ketidaksukaan yang dia tunjukkan di gerbang tadi hanya karena teguran kakaknya agar dia tidak jajan sembarangan. Aku bersyukur dan memeluk Nata makin erat. Hatiku mulai terikat dengan anak ini.

"Ehem, permisi, berhubung sekarang sudah mulai malam, dan Nata belum makan, apa mbak Sizuka keberatan kalau saya pesankan delivery makanan?" Adriel mengetuk pintu ruang tengah dan menginterupsi kenyamananku memeluk Nata. Baru kusadari matahari sudah terbenam, dan rinai jingga sudah mulai menghilang dari balik ventilasi di atas jendela.

"Ah, sudah waktu makan ya, kalau gitu, ayo Nata makan dulu, kak Sizuka akan tunggu Nata selesai makan, lalu kita bercakap-cakap lagi"

"Kakak kalau ngomong aneh, kayak guru bahasa Indonesia Nata. Coba pakai bahasa biasa gitu kak biar nggak kaku"

Aku bingung hendak bereaksi apa. Aku baru mempelajari bahasa Indonesia selama satu minggu, walaupun tidak serumit bahasa Thailand, tetap saja aku belum bisa beradaptasi dengan gaya slank Indonesia. Anton dan Adriel tak bisa menahan tawa.

"Nata, kak Sizuka bukan orang asli Indonesia, jadi wajar belum lancar pakai bahasa sehari-hari kita. Ayo minta maaf sama kakak, nanti kak Sizuka nggak mau bicara karena sama Nata dianggap aneh."

Nata langsung menghadapku dan mengatupkan kedua tangannya.

"Maaf kak, Nata nggak tahu kalau kakak nggak bisa bahasa Indonesia" aku tertawa mendengarnya

"Tidak apa-apa Nata, kakak akan belajar dari Nata bagaimana cara menggunakan bahasa Indonesia di percakapan sehari-hari ya. Apa Nata mau membantu kak Sizuka?" anak kecil ini mengangguk riang dan melompat-lompat.

"Asiiik, jadi kak Sizuka bakal sering main ke sini ya?"

Sesaat terjadi keheningan di ruang tamu bernuansa cokelat muda itu. Adriel memecah keheningan terlebih dahulu.

"Jadi mau Pizza apa Hamburger?"

avataravatar