webnovel

Keluarga Prasetyo

Kucocokkan kartu nama yang sedang kupegang dengan nomor rumah di depanku. Sebuah rumah dua lantai dengan pagar besi hitam yang mulai mengelupas, serta dinding berwarna abu-abu yang halamannya dikotori dedaunan. Di sudut taman, menempel dengan pagar, terdapat satu kamera CCTV yang tersembunyi. Satu lagi kutemukan di atas garasi, dikamuflase sebagai mata hiasan burung hantu. Siapapun orang di dalam rumah ini, pastilah punya alasan tersendiri memasang pengawasan kamera yang begitu ketat. Kuturunkan tas jinjingku, lalu kutekan belnya yang tak kunjung dijawab hingga seorang laki-laki berambut sebahu keluar dengan kaos joger kusut dan celana parasut selutut.

"Iya iya iyaaa, nggak perlu dipencet gitu juga dong mbak, saya yang tidur ini sampai bangun lho. Ada apa?" jika menuruti rasa kesalku, akan kutinju saja wajah betenya yang dengan seenaknya melontarkan nada menyebalkan itu. Mencoba menahan diri, aku bertanya menggunakan bahasa Indonesia.

"Apakah ini rumah bapak Arya Prasetyo, putra dari bapak Arief Prasetyo?"

Mata laki-laki yang awalnya tidak fokus ini berubah tajam segera setelah aku menyebut nama mereka.

"Mohon maaf, anda salah sambung. Tidak ada yang namanya Arya atau Arief Prasetyo di sini. Mungkin bisa dicek lagi alamat rumahnya, jangan-jangan ternyata orangnya dari Menteng. Silahkan keluar mbak." jawabnya sembari mengunci gerbang yang sebelumnya hanya dikaitkan. Menurut intuisiku, orang inilah, Robin alias Haykal Prasetyo, putra kedua dari empat bersaudara, yang bekerja di perusahaan perangkat pencarian terbesar di dunia. Perkiraan umurnya pas. Jika tebakanku tepat, saudara inilah yang paling banyak mengetahui tentang kisah dibalik meninggalnya orang tua mereka, sekaligus dalang dibalik penghapusan jejak digital kehidupan mereka. Aku tersenyum.

"Mungkin jika anda tidak keberatan, saya akan memberi saran ketika menghapus rekam jejak digital seseorang. Jangan hanya menghilangkan data di pusat data virtual, namun hancurkan juga database fisiknya yang terletak di California. Karena saya dapat dengan mudah masuk dan mengkopi semua file yang anda hapus, dari basement Mountain View."

Wajah tampan laki-laki di hadapanku berkerut, dan tanpa basa-basi, dia segera membanting pintu depan, dan langkah marahnya dapat kudengar menuruni tangga dari samping ruang tamu. Ada basement di bawah lantai 1. Simpulku setelah amarah Robin alias Haykal teredam pintu dan dinding rumah.

Nah, waktunya menunggu. Si laki-laki pemarah itu sudah pasti tidak akan membiarkanku masuk ke rumah. Kalau tidak salah, sebentar lagi waktunya putra ketiga, Adriel alias Putra, dan putra keempat Samuel alias Nata pulang dari lokasi les si bungsi. Berdasarkan info yang kudapat dari intel keluarga, jadwal penjemput Nata pada hari Rabu jatuh pada putra ketiga. Jadi tidak butuh waktu lama bagiku untuk menunggu mereka datang.

Aku bersandar ke tembok pagar sembari melihat keadaan kanan dan kiri rumah. Bagian depan rumah ini berhadapan dengan sebuah taman bunga dan air mancur. Tidak ada tetangga yang berada tepat di depan, karena tampaknya rumah ini berada di ujung gang di pojok perumahan, sehingga taman ini eksklusif dapat dinikmati sendiri. Tetangga terdekat berada di sebelah pojok belakang kanan dan kiri rumah, karena tampaknya lokasi ini mengambil dua blok tanah perumahan. Pagar tembok perumahan juga menjulang sepanjang 5 meter, di atasnya terdapat kawat berduri dan dari yang bisa kuperhatikan, kawat itu dialiri listrik, terbukti dari suara mendesing yang bisa kukonfirmasi dari jarak 15 meter. Satu-satunya tempat yang mencurigakan adalah gardu pos ronda di ujung kanan, dimana tidak ada rumah ataupun kendaraan yang menempatinya, dan kacanya amat gelap, sehingga mustahil bisa melihat ke dalam. Di pojok kiri, atas tembok perumahan, terdapat CCTV yang sama dengan yang tersembunyi di taman. Kabel dayanya disamarkan melalui sambungan listrik dengan rumah.

Kusadari aku sedang diawasi. Dan sejauh yang bisa kupikirkan, pelakunya adalah putra kedua keluarga Prasetyo. Aku berharap hanya dialah satu-satunya orang yang mengawasiku sekarang. Karena jika kurasakan ada orang lain yang mengikutiku, aku harus membatalkan misi atau meringkus orang yang bersangkutan, berjaga-jaga agar kejadian ibu tidak terulang kepadaku.

Waktu berjalan lumayan lambat, kumanfaatkan untuk membaca buku melalui Kindle. Aku tidak mau mengambil resiko mengeluarkan gadgetku yang lain, semata-mata untuk mengonfirmasi pengintai yang saat ini sedang melihat gerak-gerikku.

Beberapa puluh menit kemudian, sebuah motor berbelok di tikungan. Seorang laki-laki kurus dan tinggi menggonceng seorang anak yang tampak cemberut dalam balutan helm mininya.

"Sudah kakak bilang, jangan minum es dari pinggir jalan itu. Airnya dari selokan, nanti kamu diare." keluh sosok yang besar.

"Jadinya harus pulang lebih lambat kan, mana hp mas mati, nggak bisa ngontak bang Haykal. Lain kali kalau maksa beli jajan sembarangan lagi, kakak lapor ke mas Arya biar kamu nggak disanguin lagi ya." sosok kecil di boncengannya hanya menggeram dan ketika menatapku yang sedang berdiri di depan gerbang, tidak melepaskan pandangannya yang masih diliputi kekesalan.

Ah, belum-belum aku sudah dibenci, aku tertawa dalam hati melihat kelakuan kakak-beradik ini. Sesaat, saudara yang tua turun dari motor dan menyadari kehadiranku.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" sapanya sopan.

"Selamat sore, perkenalkan, nama saya Sizuka, saya di sini hendak menemui saudara Anton dari Bank Berlian" aku tersenyum mengulurkan tangan, yang kemudian dibalas dengan mantap.

"Mohon maaf, mas Anton masih di kantor, seharusnya pulang nanti malam, apa mbak keberatan kalau balik lagi nanti?" aku melihat jam tanganku. Berdasarkan pengaturanku, seharusnya kantor Anton alias Arya dipulangkan lebih cepat hari ini. Pagi ini sudah kusampaikan via surel jika pengawalku butuh berbicara empat mata dengan direktur bank, di kantor yang kosong pukul 15.00 WIB. Jadi kepulangan putra pertama tidak membutuhkan waktu yang lama.

"Oh ya? Kebetulan sekali, padahal tadi pagi sempat saya konfirmasi, saudara Anton akan pulang pukul 3 sore ini. Dan beliau meminta saya menunggu di kediamannya. Apakah kakak keberatan jika saya menunggu di sini?" aku mengangkat tas besarku, sambil menunjukkan ekspresi lelah yang tidak kubuat-buat. Adriel alias Putra melihatku dengan curiga, namun berubah pikiran setelah melihat putihnya buku-buku jariku menahan beban tas yang kubawa.

"Baiklah, silahkan masuk."

Setelah membuka gerbang dan memasukkan motor maticnya, Adriel bermaksud membuka pintu rumah ketika kemudian seorang laki-laki membantingnya terbuka.

"Hey kamu! Udah abang telpon, sms biar nggak ngebolehin cewek ini masuk. Kenapa kok malah dibukain pintu! Kamu tahu dia orang kayak gimana ha?!" bentak Robin. Adriel melirikku dari sisi matanya.

"Dia bilang sedang menunggu mas Anton pulang kantor, udah janjian tadi pagi" jelas Adriel singkat.

"Dia pembohong! Abang nggak tahu latar belakang perempuan ini apa, kok tiba-tiba ada di sini. Kamu, keluar dari sini sebelum saya telpon polisi!" bentak Robin, sambil mengacungkan smartphone di tangan kanannya, sementara tangan kirinya berkacak pinggang.

Aku menghela nafas panjang,

"Mohon maaf, saya tidak bermaksud mengganggu ketenangan kalian. Tetapi saya di sini hendak menyelesaikan urusan dari masa lalu." aku menatap dua kakak beradik dewasa di hadapanku. Melihat kesungguhan di mataku, Robin tampak semakin curiga.

"Masa lalu apa? Kami tidak punya utang kepada siapapun lagi di dunia ini." ujarnya

"Memang, anda sekeluarga tidak punya," jawabku tegas

"Tapi saya punya. Lebih tepatnya ibu saya, punya hutang terhadap almarhum orang tua kalian, ibu Sri Ningsih dan bapak Arief Prasetyo." Ketiga kakak beradik di depanku membuka mata lebar-lebar. Samuel, beringsut mendekati kakaknya yang mulai menampakkan gestur defensif.

"Dari mana kamu tahu nama orang tua kami?" tanya Adriel. Mengambil posisi membelakangi kamera taman, aku menjawab.

"Aku diutus oleh Papaku, dari Jepang, untuk menyampaikan beberapa hal terkait bisnis dan utang keluarga kami kepada keluarga kalian, 8 tahun silam. Jika kalian tidak keberatan, aku akan menceritakan semuanya di dalam. Bagaimana?"

Sebelum ketiga bersaudara itu dapat bereaksi, sebuah mobil berbelok dan berhenti di depan gerbang rumah. Robin sontak melompat membuka gerbang, dan membisikkan sesuatu kepada pengemudi melalui kaca mobil yang terbuka. Sejenak mobil diparkir dalam garasi, lalu keluarlah seorang laki-laki gagah dengan pembawaan kuat. Dengan sopan, iya menyapaku yang sedang berdiri di depan teras.

"Silahkan masuk, nona."

Leave a comment and vote!

Melihatmu bersemangat membaca novel ini, akan semakin memotivasiku.

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

kojimamiharucreators' thoughts
Next chapter