17 NILA

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KEENAM - NILA

__________________

Siang hari ini, angin bertiup cukup kencang, langit tidak secerah biasanya karena memang mulai masuk musim penghujan.

"Nggun, Nak Arya sudah datang!" teriak Sukma begitu melihat wajah tampan Arya di depan pintu masuk rumahnya.

"Iya, Bu," jawab Anggun tak kalah kencang.

Hari ini Arya berjanji dengan Anggun akan menemaninya mencari box bayi dan juga kebutuhan bayi mereka yang belum lengkap. Rencananya mereka akan mendekor kamar bayi di rumah Anggun karena kelak Sukma yang akan membantu Anggun untuk merawatnya. Anggun masih belum ahli merawat bayi, ia butuh bantuan Sukma untuk mengasuhnya. Anggun tak ingin menyerahkan bayinya pada seorang baby sitter.

"Sudah siap? Kita ke mal atau ke desain interior?" tanya Arya begitu wajah cantik Anggun nongol di hadapannya.

"Ngapain buang uang banyak hanya untuk tata kamar bayi? Sayang, pakainya cuma sebentar." Anggun mengambil tasnya dan menggandeng sikut tangan Arya.

"Kan anak pertama kita."

"Lebih baik uangnya disumbangin ke panti asuhan saja, Pak. Pasti banyak yang membutuhkan." Bibirnya tersenyum manis. Membuat Arya hanya bisa mendesah pasrah karena lagi-lagi Anggun menolak kemewahan yang bisa Arya tawarkan padanya.

"Lalu, kita mau ke mana?"

"Ada baby shop di dekat sini, harganya cukup miring, Pak. Saya kenal yang punya, dia salah satu sponsor panti asuhan milik Ibunya Mas Bimo."

"Oh, baiklah, yang penting kamu seneng." Arya menginjak gas mobil sport-nya menuju ke toko perlengkapan bayi yang ditunjuk Anggun.

Tak berselang lama, mereka sampai pada sebuah ruko besar. Toko itu ternyata cukup besar dan lengkap. Mereka menjual semua perlengkapan bayi sampai ibu hamil dan menyusui. Berbagai macam benda mungil dan lucu, serta interior berwarna pastel langsung tersuguh begitu mereka masuk ke dalam.

"Lihat ini, imut sekali!" Anggun bertawa kecil melihat semua perlengkapan bayi, mulai dari baju, topi, juga sepatunya sangat kecil dan menggemaskan.

Arya sangat menyukai ekspresi bahagia Anggun. Ingin rasanya menjaga senyuman itu agar tidak lagi menghilang dari pandangannya.

"Ambil saja semua yang kamu suka, Nggun," ujar Arya.

Mereka berdua membeli banyak baju dan juga perlengkapan lain, sabun, popok, minyak, sampai beberapa alat elektronik untuk ASI dan juga mensterilkan botol bayi. Arya membayar semuanya dan bergegas memasukkannya ke dalam bagasi mobil.

"Kak, ada box bayi nggak?" tanya Anggun pada pegawai toko.

"Ada, Bunda, mainan dan box bayi ada di lantai dua," jawab seorang pegawai toko.

"Pak, saya naik dulu, ya?" Anggun sudah tak sabar ingin melihat box bayi.

"Pelan-pelan, ya." Arya sedikit khawatir, namun melihat wajah berseri Anggun sepertinya tidak ada alasan untuk melarangnya naik sendirian.

"Iya, saya tunggu di atas, ya."

"Hati-hati." Arya kembali mengingatkan Anggun.

Anggun begitu terkesima dengan banyaknya pilihan, harganya juga bermacam-macam. Ada yang terbuat dari plastik, kain, sampai kayu, semuanya berwarna-warni dengan gambar binatang yang lucu-lucu.

Di sisi lain toko, Arya bergegas kembali masuk untuk menyusul Anggun ke atas. Para pegawai toko melihat Arya lekat, mereka terpesona dengan wajah tampan Arya. Ia memang selalu menjadi pusat perhatian karena tubuh dan wajahnya yang sempurna. Tak hanya pegawai toko, seorang wanita tua yang kebetulan berada di sana juga mengamati Arya. Pupil matanya mengecil dan terbuka lebar.

"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa anak itu ada di sini?" Dengan gemetaran wanita tua itu mendekati Arya, ia menyusul langkah kaki Arya.

"Tunggu! Kamu pembunuh!" Teriakannya membuat seisi toko memandang ke arah mereka berdua.

Arya yang telah menaiki tangga setengah jalan pun terhenti untuk memandang ke arah datangnya suara.

"Bagaimana bisa kamu tidak dipenjara? Bukankah pengadilan memutuskan kamu bersalah!" Wanita itu menaiki tangga dan mencengkram baju Arya, menangis karena melihat pembunuh anaknya masih berkeliaran begitu saja.

"Tenang dulu, Bu." Arya berusaha mengendalikan situasi.

"Kau bunuh anakku! Kau yang menabraknya! Hakim bilang kau bersalah, harusnya kau di penjara, bukan?!" teriaknya lagi.

"Bu, saya mohon, tenanglah! Kita bicara baik-baik." Arya masih berusaha menenangkan wanita tua yang tak lain adalah ibu dari mendiang Bimo. Pria yang ditabraknya dulu.

"Pak Arya ada apa?" Anggun menuruni anak tangga perlahan-lahan sampai ke tempat Arya.

"Anggun?" Suryani, ibu Bimo kaget melihat Anggun ada di samping Arya.

"Ibu?" Anggun tak kalah terkesiap. Anggun hampir terjatuh karena syok, Arya menahan tubuh Anggun.

"Kalian? Kalian berdua?" Suryani melihat perut Anggun yang sangat besar dan Arya bergantian.

"Ibu jangan salah paham dulu." Anggun berusaha menenangkan amarah Suryani yang kian menjadi-jadi.

"Kamu hamil dengan pembunuh Bimo? Teganya kamu, Anggun! Tega kamu, Nak!" Tangisan Suryani pecah, amarahnya memuncak. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita yang dicintai anaknya bisa hamil dengan pria yang telah membunuh anaknya.

"Benar, Bu. Anggun hamil anak Pak Arya. Tapi tunggu Anggun jelasin semuanya dulu, ya, Bu." Anggun masih berharap untuk meredam emosi dan amarah Suryani.

Suryani menampar pipi Anggun.

"Wanita jalang! Jangan-jangan kamu telah bersekongkol dengan laki-laki ini untuk membunuh Bimo?" tuduh Suryani.

"Hei! Apa yang kau lakukan!" Arya geram, ia mencengkram pergelangan tangan wanita seumuran Mamanya itu.

"Pak Arya, jangan! Lepasin Ibu, Pak," cegah Anggun.

Walaupun rasanya sakit dan sesak, tetapi bukan salah Suryani berpikir yang tidak-tidak tentang mereka, nyatanya Anggun memang tengah mengandung anak Arya, penabrak calon suaminya dulu.

"Kalian pembunuh! Kembalikan anakku! Kembalikan!" Suryani menggoncangkan tubuh Arya, menangis dengan keras.

"Ibu sabar, Anggun mohon, dengerin Anggun dulu." Anggun berusaha memegang tangan Suryani untuk menenangkannya. Namun emosi dan amarah Suryani terlewat besar dan melampaui akal sehatnya. Ia menepis tangan Anggun sampai tubuhnya terjatuh dan beguiling di anak tangga.

"Anggun!" teriak Arya, berusaha menangkap tubuh Anggun, tetapi terlambat.

Tubuh Anggun tergeletak di lantai dasar, darah segar mengalir dari kepala belakang dan juga di balik dress berwarna pastel yang dipakai Anggun. Baik Suryani maupun para pegawai toko hanya bisa menutup mulutnya yang mengangga karena syok.

"Anggun! Anggun!" Arya bergegas menghampiri tubuh Anggun dan memeluknya.

Anggun menggerakkan tangannya perlahan-lahan. Tangan penuh darah itu menyentuh pipi Arya. Anggun kesakitan, ucapannya terbata-bata, napasnya seakan mulai habis, "Ar—arya ... s—selamatkan anakku, selamatkan anak kita."

"Anggun! Diam dulu, simpan tenagamu, kita harus ke rumah sakit." Arya menggenggam tangan Anggun.

"Berjanjilah kamu akan lebih memilih untuk menyelamatkannya dibanding diriku." Anggun langsung pingsan tak sadarkan diri begitu selesai mengatakan hal itu.

"Anggun! Sadar Anggun!" Arya berteriak histeris. Dengan cepat Arya menggendong tubuh lemas Anggun masuk ke dalam mobilnya. Rasa khawatir, takut, dan amarah menyelimuti hati Arya. Rasa pahitnya begitu pekat dan kelam, sekelam langit mendung siang ini.

— GORESAN WARNA PELANGI —

GORESAN WARNA PELANG

WARNA KEENAM - NILA

_________________

"Tolong!" teriak Arya setibanya di UGD rumah sakit. Arya membopong tubuh Anggun yang terus mengeluarkan banyak darah. Para perawat bergegas mendorong blankar dan melakukan membawanya ke UGD untuk melakukan pemeriksaan. Mereka semua mengelilingi Anggun. Membersihkan luka dan mengecek kandungannya.

Arya hanya bisa menonton dengan pasrah. Hatinya begiti pilu melihat tubuh Anggun tergolek tak berdaya. Kecemasan meliputi hatinya. Arya menjambak rambutnya dengan kasar, dalam situasi genting seperti ini dia tak bisa melakukan apa pun untuk Anggun.

"Panggil dokter kandungan, kita harus mengeluarkan bayinya!" teriak salah seorang dokter pada suster di sampingnya.

"Baik, Dok."

"Pak, apa Anda suaminya?"

"Benar, saya suaminya," jawab Arya cepat.

"Kami harus mengeluarkan bayinya karena terancam bahaya. Kalau setuju, tolong tanda tangani surat ini." Suster memberikan kertas dan bolpoin, tanpa berpikir lagi Arya bergegas menanda tangani persetujuan tindakan.

Beberapa perawat dari bagian bedah mengambil alih tubuh Anggun. Mereka mendorong Anggun masuk ke kamar operasi. Bayi Anggun harus dikeluarkan, karena masih punya kesempatan hidup lebih besar dibandingkan Anggun. Sedangkan ibunya, mengalami cidera kepala cukup parah.

"Tolong selamatkan ibunya juga, saya mohon!" Arya menggenggam erat jas dokter yang akan menangani operasi Anggun.

"Maaf, saya dokter kandungan, Pak. Nanti Prof. Kim yang mengoperasi kepalanya," jawab dokter itu dengan iba.

Tubuh Arya merosot, lemas dan mengigil ketakutan di depan ruang operasi. Ia terus menyesali keadaan Anggun, semua hal ini terjadi karena keteledorannya. Harusnya Arya bisa menjaga Anggun, harusnya Arya bisa mencegah hal ini terjadi.

Arya memandang tangannya yang penuh dengan darah Anggun. Darah itu hampir mengering, menyisakan kerak kecokelatan pada telapak tangannya. Arya mulai terisak, air mata membasahi kedua pelupuk mata. Isakannya perlahan berubah menjadi tangisan pilu, Arya meraung-raung. Tangisannya menggema di seluruh penjuru koridor rumah sakit.

Arya menyesali kesalahannya. Andai saja dulu ia tak mengebut, andai saja dulu ia tak terburu-buru mengejar proyek baru. Andai saja dulu dia tak menabrak Bimo, tentu saja hal ini tidak akan pernah terjadi. Tapi, andai saja semua hal itu tidak pernah terjadi, tentu saja Arya tak akan pernah mengenal Anggun. Padahal, mengenal wanita secantik dan sebaik Anggun adalah anugrah terbesar bagi Arya.

"Anggun, kumohon, jangan tinggalkan aku!" Arya menggumam. Hatinya begitu perih dan terluka.

"Kalau kamu mati, aku ikut! Bawa aku Anggun! Bawa aku juga!" Teriakan Arya semakin menjadi-jadi.

"Aku tak bisa hidup tanpamu, Nggun. Tak bisa."

— GORESAN WARNA PELANGI —

Ini preview novel terakhir.

Dua bab menuju tamat.

Bisa beli bukunya di shopee

Atau hubungi loka media 0838 90234034

Atau saya 081802517030

Follow IG @dee.Meliana

Makasih

avataravatar
Next chapter