16 NILA

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KEENAM - NILA

___________________________

— NILA, bukan biru, juga bukan ungu, tetapi memiliki rasa yang tak kalah indah. Walaupun tak terlalu terlihat, tapi selalu punya idealisnya sendiri. Bunga indigo memberi warna nila pada tenunan benang, mengubahnya menjadi kain yang indah. —

________________________

Anggun terus menunduk di samping Arya, mereka diam membisu tanpa kata selama berada di dalam mobil. Arya sendiri masih bingung bagaimana harus memecah keheningan ini. Tanpa terasa, mobil Arya sudah sampai di depan rumah Anggun.

"Terima Kasih, Pak."

"Nggun, bisa kita bicara?" Arya menggenggam tangan Anggun sebelum Anggun membuka pintu mobil.

Anggun sebenarnya sudah mulai bisa memaafkan Arya, tapi masih begitu berat rasanya menerima semua kenyataan ini. Apa lagi sampai orang-orang tahu kalau ia hamil dengan lelaki yang telah menabrak calon suaminya sendiri. Mereka pasti berpikir yang tidak-tidak tentang Anggun.

"Kita bicara di dalam, Pak," ajak Anggun, lebih dulu turun dan berjalan masuk ke rumahnya.

"Permisi, Bu," sapa Arya pada Sukma.

"Iya, Nak. Masuklah!" Sukma tersenyum bahagia saat mengetahui kedatangan Arya, hatinya begitu bersyukur putri bungsunya sudah mulai bisa membuka hati dan memaafkan kesalahan Arya.

"Ini, Pak." Anggun memberikan handuk dan pakaian kering pada Arya.

"Terima kasih."

Anggun sendiri juga mengambil handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah karena hujan. Arya baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat Anggun kesusahan mengeringkan rambutnya. Arya bergegas menyambar handuknya, membuat Anggun memutar tubuh ke belakang.

"Pak ...." Anggun merasa canggung.

"Biar saya saja, Nggun." Arya mengusap pelan kepala Anggun sampai ke ujung rambut.

Arya terus menatap Anggun dengan penuh pengharapan. Hatinya begitu merindukan wanita cantik ini. Tangan Arya ingin menggenggam tangan Anggun dan juga mengelus perutnya yang terlihat begitu besar karena berisi buah cinta mereka.

"Maaf, Nggun. Aku tahu beribu kata maaf pun tak akan bisa menggantikan kekecewaan di dalam hatimu." Arya mengakui kesalahannya bukanlah hal yang remeh.

Anggun terdiam, air mata menetes dari sudut matanya. Cepat-cepat Anggun menyekannya dengan telapak tangan. Ia berbalik untuk memandang Arya, desiran halus kembali terasa mengiris hatinya, membuatnya menyesal telah mengabaikan perasaan Arya begitu saja.

"Kalau kamu mau aku menebusnya di balik jeruji penjara pun, aku rela, Nggun." Arya mengambil napas panjang, matanya berkaca-kaca.

"Asal berikan aku kesempatan kedua. Cintai aku lagi, dan biarkan aku menemanimu selamanya, Nggun." Arya memohon pada Anggun, ia berlutut di depan Anggun.

Anggun semakin tak kuasa menahan air mata harunya. Kembali terlintas dalam benak Anggun ucapan Prof. Kim, Arya tak sepenuhnya salah, Bimo sendiri yang meloncat ke badan jalan. Lagi pula, selama ini Anggun juga terlalu jahat, telah menyiksa Arya. Menyiksa secara batin karena membiarkan Arya jauh dari anaknya sendiri.

"Bangunlah, Pak! Jangan begini, Anda seorang laki-laki." Anggun menyuruh Arya bangkit.

"Tak apa, Anggun."

"Maafkan saya juga, Pak. Saya terlalu emosi sampai melupakan perasaan Bapak." Anggun tertunduk dan menangis.

"Perasaanku tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang kamu alami, Nggun." Arya mengelus wajah Anggun, menghapus lelehan air mata Anggun yang membanjiri wajah cantiknya. Tangan itu terasa begi hangat saat menyentuh wajah Anggun.

"Pak Arya." Anggun langsung memeluk tubuh kekar di depannya itu. Menangis terisak dalam pundak Arya. Ketulusan hati Arya terasa sampai ke hati Anggun. Kehangatan belaian tangannya membuat Anggun tersadar, bahwa dirinya masih begitu mencintai Arya.

"Boleh saya elus perutmu, Nggun?" tanya Arya.

"Boleh." Anggun mengangguk dengan mantap.

Arya tersenyum, ia mengelus perlahan perut Anggun yang berisi buah cinta mereka. Tanpa sadar, air mata Arya ikut keluar merasa terharu bisa merasakan betapa besarnya kuasa Tuhan terjadi dalam perut Anggun.

"Di sini, Pak." Anggun memindahkan tangkupan tangan Arya pada bagian perut lainnya yang terasa bergerak pelan.

"Kerasa nggak, Pak?" tanya Anggun.

"Kerasa, Nggun. Dia tendang kamu, ya?" Arya mengelusnya dengan wajah berbinar.

"Aduh, jangan keras-keras nendangnya, Sayang." Anggun terpekik saat anaknya menendang cukup keras, mungkin ikut bahagia dengan suasana hati mamanya.

"Adek, jangan nakal sama Mama." Arya mengelus lagi tonjolan pada perut Anggun.

Anggun menatap Arya, hatinya begitu lega saat ini. Tanpa ragu, Anggun kembali mengalungkan lengannya di leher Arya, menyatukan dahi mereka. Anggun memejamkan mata. Rasa berat dan sesak yang pernah menghimpitnya perlahan menghilang, berganti rasa senang dan juga bahagia.

"Aku akan membuatmu bahagia, Nggun," janji Arya.

"Iya, Pak," lirih Anggun.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Anggun memutuskan untuk memberikan kesempatan kedua pada Arya, kembali menerima cinta lelaki itu. Arya dengan setia mendampingi Anggun ke mana pun Anggun pergi. Jalan-jalan pagi dan juga kontrol ke dokter kandungan pun Anggun tak lagi iri, ada Arya yang menemani.

Malah para ibu-ibu muda lainnya yang iri pada Anggun karena menggandeng pria setampan Arya. Anggun pun tak memungkiri bahwa semakin hari Arya semakin terlihat tampan. Mungkin pengaruh hormonal bawaan oroknya, Anggun terus merindukan kehadiran lelakinya.

"Jalan-jalan, stimulasi areola, juga sering-sering saja dijenguk sama Ayahnya. Semua itu bikin persalinan lancar, Bunda." Dokter menjelaskan beberapa cara merangsang kontraksi saat kandungan Anggun sudah cukup umur.

Wajah Arya dan Anggun menghangat, muncul rona kemerahan pada tulang pipinya, membuat dokter keheranan. Kenapa pasangan suami istri masih saling malu-malu dengan hal umum seperti ini?

"Baik, Dok. Terima kasih sarannya." Arya bergegas menjawab dan bangkit berdiri.

"Kami permisi, Dokter." Anggun ikut merasa canggung.

Arya menggandeng Anggun keluar dari ruang praktek dokter kandungan. Mereka sedikit malu-malu mendengar ucapan dokter itu. Bagaimanapun mereka belum menikah, Anggun belum mau menerima pinangan dari Arya. Anggun ingin melahirkan anaknya dengan selamat sebelum memikirkan hal lain.

Kegagalannya dalam pernikahan membuat Anggun trauma. Lagi pula pernikahankan bukan hal kecil, tentu saja akan menyita banyak pikiran dan juga perhatiannya. Anggun tak ingin stres dan membebani kandungannya. Sudah cukup ia menyia-yiakan empat bulan pertama masa kehamilan dengan luapan emosi dan kebencian. Saat ini, Anggun ingin menikmati dan memberikan banyak perhatian hanya untuk bayinya.

"Sudah 36 minggu, dua minggu lagi sudah masuk tahap siaga." Anggun mengelus perutnya yang bulat.

"Kita belum bikin persiapan apa-apa, Nggun." Arya menggandeng Anggun masuk ke mobilnya.

"Tak apa, Pak. Anggun sudah banyak mencicil baju bayi dan juga perlengkapan lain." Anggun memang sengaja menyisihkan uang untuk membeli perlengkapan bayi secara bertahap.

"Saya merasa jadi lelaki yang tidak bertanggung jawab." Arya tersenyum kecut.

"Bukan salah Bapak. Salah saya dulu terus menghindar dan mengabaikan niat baik Bapak." Anggun menggenggam tangan Arya yang bersarang pada perseneling mobil.

"Saya kirim uang ke rekeningmu, Nggun. Pakai semuanya untuk keperluan anak kita." Arya mengambil ponselnya.

"Jangan, Pak. Saya tidak suka." Anggun menutup layar ponsel Arya.

"Tapi, Nggun."

"Anak ini jugakan anak saya, Pak. Jadi saya tak keberatan mengeluarkan uang untuk keperluannya," jelas Anggun, Arya mengerti kalau Anggun bukanlah wanita yang gila harta. Tapi Arya sendiri tak ingin semua beban biaya ditanggung oleh Anggun. Uang Arya sangat banyak dan melimpah. Lagipula, kalau bukan digunakan untuk anak istrinya kelak, untuk siapa lagi?

"Lalu, saya harus bagaimana, Nggun?" tanya Arya.

"Temani saya membeli box bayi saja, Pak. Itu lebih baik daripada memberikan saya uang," jawab Anggun seraya tersenyum manis.

"Baiklah, besok kita beli box bayi, ya. Pilih yang paling kamu suka, yang terbaik buat si kecil." Arya mengelus wajah Anggun, dan mengecup dahinya.

"Iya, Pak," ujar Anggun bahagia.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Beli bukunya di shopee loka media

Hubungi 0838 90234034

avataravatar
Next chapter