1 MERAH

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA PERTAMA - MERAH

— MERAH, cinta itu pekat, sepekat darah yang berwarna merah. Bahagia itu sebuah anugrah, seperti semburat warna merah pada kelopak bunga. Amarah yang membara, menimbulkan warna merah pada tiap goresan kehidupan.—

________________________

Jreesss ...!

Hujan turun dengan deras, membasahi tiap jengkal rerumputan di pekarangan rumah. Seorang gadis muda duduk termenung dan memandang kosong ke arah luar jendela. Kulitnya terlihat begitu pucat, matanya yang bulat terus mengeluarkan air mata. Tangannya meremas erat sebuah foto sambil sesekali menyeka butiran air yang membasahi wajah cantiknya.

Ruangan itu begitu sunyi, tak ada bunyi lain selain gemericik air hujan dan isakan pelan. Sudah berjam-jam dia begini, larut dalam desiran perih yang tak tampak oleh mata. Hatinya terasa begitu sakit dan terluka, tercabik oleh kejamnya takdir kehidupan.

Nama gadis itu Anggun Aprilia, anak ketiga dari seorang janda tua bernama Sukma. Sore hari ini, ia kembali mengisi detik-detik kehidupannya dengan tangisan dan linangan air mata. Anggun sama sekali tak beranjak dari tempatnya mengasihani diri hingga sebuah suara bersahaja membuatnya tersadar.

"Sudah makan, Nduk?" tanya Sukma, ibunya. Wanita tua berusia 60 tahunan itu menghampiri Anggun. Tangan keriputnya mencengkram erat pundak Anggun, mengalirkan rasa hangat dan kasih sayang seorang ibu.

"Belum, Bu," jawab Anggun. Cepat-cepat disekanya air mata yang akan kembali menetes.

"Makan dulu! Sudah berhari-hari makanmu nggak teratur, Nduk."

"Ntar aja, Bu. Anggun belum lapar." Anggun selalu saja menjawabnya dengan jawaban yang sama saat ibunya mengingatkannya untuk makan. Anggun memang telah kehilangan nafsu makannya belakangan ini. Tubuhnya sampai terlihat kurus dan lesu, bahkan kulitnya yang putihpun semakin terlihat memucat.

"Jangan menyiksa dirimu, Nduk! Semua itu takdir Tuhan, dan tak ada seorangpun yang bisa menahan kuasa-Nya." Tanpa pernah lelah Sukma menasehati Anggun, mencoba membawanya keluar dari rasa putus asa dan duka yang mendalam.

Mendengar penuturan ibunya membuat air mata Anggun mengalir semakin deras. Terlintas kembali bayangan Bimo, calon suaminya. Masih tergambar jelas kenangan-kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama. Wajahnya yang tampan, senyumnya yang manis, dan juga belaian tangannya yang terasa begitu hangat. Rasa cintanya yang begitu dalam membuat Anggun tidaklah mudah melupakan sosok Bimo. Bahkan setelah sebulan lebih kepergiannya.

Anggun meratapi nasibnya, kenapa dia harus kehilangan Bimo? Padahal tinggal selangkah lagi mereka bisa bersatu, tinggal satu jam lagi mereka bisa memperoleh berkat dalam kudusnya ikatan janji suci pernikahan. Yah, manusia memang hanya bisa berencana, segala sesuatu tetap Tuhan-lah yang menentukan.

Hubungannya dengan Bimo dimulai tiga tahun lalu. Saat itu Anggun baru saja lulus kuliah dan bekerja sebagai staff administrasi sebuah rumah sakit. Bimo yang seorang dokter bedah jatuh cinta pada Anggun dan akhirnya mereka mulai berpacaran.

Bimo sangat menyayangi Anggun, dia berkomitmen serius untuk mempersunting kekasihnya itu. Setelah setahun berpacaran, tanpa ragu Bimo melamar Anggun, menyematkan sebuah cincin pada jari manis Anggun yang lentik.

"Menikahlah denganku, Nggun. Aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia di dunia." Saat itu waktu seakan berhenti berputar dan dunia terasa begitu indah.

"Iya, Mas," jawab Anggun mantab. Tangisan haru keluar seiring dengan seulas senyuman manis. Anggun terus mendekap dan melingkarkan tangannya pada leher Bimo. Masih belum bisa percaya bahwa dia akan segera menjadi istri dari seorang Bimo. Pria yang tampan, cerdas, dan juga lembut.

Berbagai macam persiapan pernikahan telah dirancang oleh Anggun dan Bimo. Undangan telah disebar, gedung pertemuan, dan juga katering telah siap. Gereja tempat dilangsungkannya akad nikah juga telah didekor dengan berbagai macam bunga segar yang cantik.

Kurang satu jam lagi pernikahan Bimo dan Anggun yang sakral akan dimulai.

Kurang satu jam lagi pendeta akan memanjatkan doa dan memberkati mereka dalam sebuah ikatan pernikahan yang kudus. Mengukuhkan mereka dalam satu ikatan tali kasih sampai maut memisahkan.

Anggun telah bersiap, mengenakan gaun menjuntai berwarna putih yang begitu indah. Taburan batu bergemerlapan saat cahaya lampu memantul pada permukaannya. Wajah Anggun juga terlihat semakin cantik karena polesan make up dari seorang MUA. Tak ketinggalan sebuah buket bunga mawar merah segar, membuat warna kontras pada gaunnya yang putih. Anggun sudah tak sabar lagi ingin menunjukan pada Bimo betapa cantik dirinya saat ini. Rasa bahagia yang membuncah membuat degupan jantungnya tak bisa berhenti melaju dengan cepat.

Namun ....

Bimo tak kunjung hadir, padahal sudah hampir satu jam berlalu. Para tamu undangan yang didominasi oleh keluarga besar dari pihak Anggun juga telah hadir dan memenuhi bangku gereja. Kerutan cemas mulai terlihat di wajah cantik Anggun. Hatinya gusar tak kala Bimo dan keluarganya tak kunjung hadir.

Subuh tadi Bimo memang menghubunginya, mengirimkan sebuah pesan singkat bahwa ada operasi dadakan yang harus ditanganinya. Sebagai seorang dokter, Bimo tak bisa mengabaikan pasien kritis begitu saja. Sebenarnya Anggun ingin marah, namun Anggun tahu tuntutan Bimo sebagai seorang dokter tidaklah mudah. Ada sumpah profesi yang mesti ditaatinya. Dengan berat hati, Anggun memberikan waktu pada Bimo untuk menyelamatkan pasien itu.

Waktu terus bergulir, detik demi detik yang begitu cepat berlalu membuat jarum jam berganti angka. Tak hanya Anggun, seluruh anggota keluarganya begitu risau menunggu kehadiran Bimo. Mereka berkasak-kusuk, membicarakan kemungkinan yang bisa saja terjadi. Perlahan perasaan Anggun menjadi tidak tenang, Anggun terus menepis pikiran buruk keluar dari benaknya.

Kriing ... Kriing ...!

Bunyi deringan ponsel memecah keheningan. Lantunan bunyi membuat seluruh mata tertuju pada sumbernya. Dio merogoh kantong jasnya untuk mengambil ponsel itu. Anggun dengan cepat menyambar ponsel itu dari tangan Dio, kakaknya. Anggun bergegas menggeser tanda hijau pada layar ponselnya.

"Halo ...," sapa Anggun.

Rentetan suara terdengar memenuhi indra pendengarannya. Anggun tersentak, tanpa sadar langkahnya limbung ke belakang. Telinga juga otaknya masih belum bisa mencerna maksud dan ucapan dari lawan bicaranya saat ini.

Bruk ...!

Anggun terjatuh ke bawah, kakinya terasa sangat lemas dan jantungnya berdetak tak beraturan.

Was-was dengan gelagat adiknya, Dio langsung menarik ponsel dari tangan Anggun. Dio mendengarkan percakapan dari balik speaker ponsel, tangannya spontan menutup mulutnya yang menganga karena syok.

Bukankah yang menelepon adalah Bimo, kenapa orang lain yang berbicara? pikir Anggun bingung. Tubuhnya masih tersungkur lemas di bawah mimbar gereja.

Hatinya terus bertanya-tanya dengan linglung, Kenapa mereka bilang Bimo telah meninggal? Tiada karena kecelakaan di dekat rumah sakit.

Dio menitikkan air mata, tak kuasa melihat Anggun yang terduduk lemas sambil menerawang kosong ke arah pintu keluar. Tak ingin adiknya berbuat macam-macam, Dio langsung bergegas mendekati Anggun untuk memeluknya. Tapi Anggun tak mau, ia mendorong Dio sampai pria jangkung ini terjungkal.

Anggun mengahapus air mata yang menetes, dengan tegar ia menjinjing gaunnya dan berlari keluar. Anggun melepaskan tiara dan juga sepatu heels-nya. Berlari keluar dari gereja, hendak menuju ke rumah sakit. Beberapa orang menahannya, tapi tekat kuat Anggun membuat mereka terdorong. Sukma, Agatha, dan seluruh tamu undangan bangkit, mereka bingung namun bisa memahami kenyataan pahit ini.

Katakan bahwa semua ini hanya sebuah kebohongan, Mas. Katakan kau baik-baik saja! Batin Anggun, air matanya tak berhenti menetes mulai dari gedung gereja sampai ke rumah sakit.

Kaki Anggun lecet karena berlari cukup jauh tanpa alas, riasan wajahnya yang begitu cantik luntur karena keringat dan air mata. Semua orang memandangnya dengan keheranan. Bagaimana tidak, Anggun berlari pada koridor rumah sakit dengan pakaian pengantin lengkap.

Jejak kaki karena darah Anggun membekas merah pada setiap langkahnya. Anggunpun terjatuh pada koridor rumah sakit beberapa kali, dengan tangisan dan tekat kuat ia berusaha bangkit. Dirinya yakin bahwa di ujung sana Bimo sedang berdiri, masih memakai snelli putihnya dan akan berjalan untuk memeluk Anggun dengan penuh kehangatan.

Isakan tangis dan lolongan menyedihkan menyambut Anggun pada ujung koridor. Anggun menggelengkan kepalanya, ia menolak tiap dekapan dari keluarga Bimo. Anggun terus melangkah masuk, bahunya bergerak naik turun karena deruan napasnya yang terasa begitu berat.

Anggun menutup mulutnya tak percaya, dilihatnya tubuh pria yang begitu dicintainya telah membujur kaku tak bernyawa. Tetesan air mata seakan tak cukup untuk membendung rasa sakit hatinya. Ulu hatinya begitu nyeri sampai perutnya terasa mual.

Selangkah demi selangkah Anggun mendekati tubuh kekasihnya. Sebentar lagi pria ini akan menjadi suaminya. Sebentar lagi mereka akan menikah. Sebentar lagi mereka akan membangun bahtera rumah tangga bersama-sama. Sebentar lagi pria ini akan menjadi ayah untuk anak-anaknya kelak. Bersanding untuk menua bersamanya.

Tapi kenapa?

Kenapa Tuhan mengambil Bimo tepat satu jam sebelum mereka bisa bersatu?

"Mas Bimo, bangun, Mas!! Bangun!!" Anggun menggoyangkan tubuh kekasihnya, berharap sedikit keajaiban akan membawa pria itu kembali padanya.

"Mas Bimo sudah janji nggak akan ninggalin Anggunkan?!" raungnya keras.

Anggun terus memeluk tubuh kaku Bimo, mencium tangannya yang mulai terasa dingin dan membeku. Gaun putihnya mulai ternoda, pekatnya darah merubah gaunnya menjadi merah.

Tubuh Anggun semakin lemas dan wajahnya memucat. Akhirnya karena beban mental yang begitu besar Anggunpun pingsan, jatuh pada dinginnya lantai rumah sakit.

"Kau jahat, Mas! Jahat!!" gigau Anggun.

Kini, telah sebulan sejak kematian Bimo. Anggun belum bisa menghapus rasa cinta dan kenangan indah kisah kasih mereka. Luka batinnya masih begitu segar dan mengangga. Hanya saat air matanya meneteslah, Anggun bisa melupakan rasa sakit dan perihnya kehilangan.

Dan saat menyebut nama Tuhan, Anggun hanya bisa berkata, "kenapa, Tuhan? Kenapa kau ambil Bimo dariku?"

Apa Tuhan benar-benar ada?

— GORESAN WARNA PELANGI—

Sebulan yang lalu di tempat yang berbeda, secangkir kopi panas mengepul dan menimbulkan aroma yang khas. Aromanya memenuhi ruangan dengan tulisan presiden direktur pada papan nama di atas meja. Aroma kopi memang parfum terbaik yang diberikan oleh alam, ringan namun elegan. Walaupun pahit namun bisa memberikan rasa tenang dan energi positif pada orang yang meminumnya.

Sudah hampir jam dua subuh saat pemilik ruangan melirik ke arah Arlojinya. Pria itu adalah Arya, Arya Nitiraharjo. Pewaris tunggal dan presiden direktur dari RH grup. Arya adalah sosok pria yang sempurna, ia punya segalanya. Kekayaan, kepandaian, dan wajah yang tampan. Rambutnya hitam legam, manik matanya berwarna coklat tua dan berbinar begitu indah. Gigi taringnya yang sedikit panjang membuatnya terlihat sangat manis saat tersenyum. Sayangnya Arya jarang tersenyum, tuntutan hidupnya membuat Arya susah untuk memamerkan rasa bahagia itu dalam gambar wajahnya.

Arya merenggangkan tangannya sembari meliuk ke kanan dan ke kiri. Mencari sedikit kenyamanan setelah duduk berjam-jam sambil menatap dokumen kerja. Tak lama Arya menyahut kunci mobil dari tumpukan dokumen lain yang belum sempat dibacanya hari ini. Waktu 24 jam yang di berikan Tuhan seakan tak pernah cukup untuknya bekerja.

Mobil sport merah melaju kencang pada jalanan sepi, menuju ke sebuah rumah mewah pada kawasan elit kota Jakarta. Raut wajah Arya terlihat begitu letih, rasa lelah dan juga kantuk telah menghampirinya. Arya melemparkan diri ke atas ranjang, memposisikan diri senyaman mungkin.

Arya melihat ke arah langit-langit kamarnya. Lampu indirect terpendar remang, menimbulkan rasa hangat dan nyaman. Arya menatap kosong karena pikirannya sedang melayang jauh. Melayang pada kejadian naas beberapa hari yang lalu. Bayangan merahnya darah dan jeritan kesakitan masih terus menghantui tiap malamnya.

"Maafkan aku," lirihnya.

— GORESAN WARNA PELANGI—

IG @dee.Meliana

Support saya dengan collect dan commentnya

Thanks

love, dee

avataravatar
Next chapter