9 KUNING

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KETIGA - KUNING

_______________

Anggun menerawang kosong ke luar jendela, melihat matahari siang yang bersinar cukup terik. Teriknya matahari siang itu membuat Anggun tidak betah berdiam diri di dalam rumah. Hari ini genap sudah 3 hari Anggun tak berangkat ke kantor. Setelah kejadian di kantor malam itu, Anggun  memang sengaja minta cuti. Selain canggung, Anggun takut perasaannya kembali tertaut lebih dalam pada sosok seorang Arya.

Anggun memutar-putar mug putih berisi air dingin di atas meja, membuat ibunya bingung dengan tingkah laku Anggun, takut Anggun kembali bersedih.

"Nduk! Hari ini kamu nggak ke gereja, sayang?" tanya Sukma lirih.

"Nggak, Bu. Nggak ada gunanya beribadah, Tuhan juga nggak ngedengerin doa Anggun," jawab Anggun.

"Ngomong apa kamu sayang, Tuhan sayang sama kamu," sahut Sukma marah sedangkan Anggun hanya menanggapinya dengan tersenyum sinis.

"Kalau Tuhan sayang, kenapa dia ambil Mas Bimo dari Anggun?" Mata Anggun mulai berkaca-kaca.

"Semua itu karena pasti Tuhan punya rencana untukmu, sayang." Sukma masih memperingatkan anak gadisnya akan kebaikan Tuhan dan cara Tuhan mencintai manusia.

Tuhan adalah penyayang umatnya, setiap kejadian yang diizinkan terjadi dalam hidup manusia tak akan pernah melebihi kemampuan mereka. Tuhan selalu campur tangan, pasti akan ada hal baik disetiap masalah yang kita alami. Tuhan tetap mengingat setiap doa kita, walaupun kita bahkan telah melupakannya.

Bukankah Tuhan jugalah yang menciptakan pelangi setelah hujan?

"Jangan bohong Bu, Tuhan itu nggak ada!"

PLAK ...!!

Sukma menampar pipi anak gadisnya, raut wajahnya terlihat tegas karena marah dan murka dengan ucapan Anggun yang konyol.

 "Ibu selalu mengajarkanmu bersyukur atas apa yang kita terima, kenapa kamu sekarang bisa menjadi murtad?" bentak Sukma geram.

"Semua karena Tuhan ambil Mas Bimo dari Anggun." Anggun berteriak dan berlari masuk ke kamarnya. Sesaat kemudian Anggun keluar dan menyambar tasnya lalu bergegas pergi meninggalkan Sukma yang mematung tak percaya.

"Mau ke mana Anggun?" tanya Ibunya.

Anggun hanya diam dan tetap melangkah keluar dengan hati yang gundah.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Anggun menendang kerikir kecil yang banyak bertebaran di terotoar jalan. Ia menyelusuri jalanan panas dan berdebu. Sepatu merk converse berwarna merah tetap setia menemani perjalanannya walaupun Anggun menggesekkannya kasar pada badan jalan.

"Panas sekali sih, mau kemana sekarang?" tanya Anggun pada dirinya sendiri sambil berjalan gontai.

Biasanya kalau hari Minggu aku selalu menghabiskan waktuku bersama mas Bimo di panti asuhan, apa aku ke sana aja ya? Anggun berpikir sejenak lalu melambaikan tangannya ke sebuah taxi dan berbelok di ujung jalan.

Sebuah taxi biru melaju menuju daerah Cibubur, macetnya membuat strees para pengguna jalan. Anggun dengan sabar menunggu antrean panjang kendaraan di depannya. Tapi dalam hatinya begitu tidak sabar untuk kembali dikelilingi oleh anak-anak kecil dan mencium tangan Ibu Bimo.

Suryani adalah nama dari Ibu mendiang kekasihnya Bimo. Suryani adalah pengurus yayasan panti asuhan yang sering didatangi oleh Anggun dan Bimo. Anggun memang menyukai anak kecil, bahkan dulu dia pernah bertekan akan mengadopsi seorang anak kalau sudah menikah nanti.

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Anggun sampai di daerah Cibubur, Anggun turun di sebuah toko swalayan terlebih dahulu sebelum nantinya berjalan ke panti. Anggun akan membeli beberapa mainan dan makanan ringan sebagai buah tangan untuk anak-anak di sana. Sambil mendorong troli di depannya, tangan Anggun sibuk memasukan makanan-makanan dan memilih beberapa merk susu instan. Mencari harga yang agak terjangkau dengan kantongnya, baginya bagus tak harus selalu mahal. Yang penting nilai gizinya seimbang.

Akhirnya semua belanjaan yang dibutuhkan Anggun terkumpul. Satu troli penuh, dan Anggun juga tidak keberatan dengan jumlah biaya yang harus dikeluarkannya hanya untuk sekedar menyenangkan hati para malaikat kecil di panti.

"Sudah dicek semua, Pak, ini hasil rekap tahun ini dan transaksi banknya." Seorang staff audit mengobrol dengan atasannya di tengah koridor menuju kasir.

"Maaf permisi." Anggun mencoba mencari jalan karena orang itu menghalangi jalannya.

"Anggun?"

Hati Anggun mencelos saat mengetahui ternyata suara yang memanggilnya tak lain adalah Arya. Anggun memang pernah mendengar kalau Arya punya beberapa swalayan di daerah Jakarta dan sekitanya, tapi beneran tidak disangka saat ingin menghindar malah akhirnya mereka berdua bisa bertemu.

"Belanja begitu banyak?" tanya Arya bingung.

"Er, iya, Pak."

"Nggak usah dibayar," kata Arya pada salah seorang kasir.

"APA??? Jangan, Pak, saya bayar sendiri saja."

"Anggap aja permohonan maaf saya tempo hari." Arya memaksa, dan Anggun menerima iktiar baik  Arya.

Arya mencoba membantu Anggun membawa bungkusan yang penuh dengan mainan anak-anak, susu, popok, dan makanan kecil. Arya sebenernya sempat heran juga karena belanjaan Anggun didominasi dengan kebutuhan anak kecil, juga kenapa Anggun sampai belanja sejauh ini?

"Pasti bapak heran, ya,saya ada di sini?" Anggun membuka pembicaraan.

"Iya, jangan-jangan kamu buntutin saya, ya?" goda Arya sedikit genit.

"Ng ... nggak kok."

"Hahaha, saya juga cuma bercanda,kok."

"Saya ingin mengunjungi panti asuhan di dekat sini. Mengahabiskan hari Minggu bersama dengan malaikat-malaikat kecil," ucap Anggun.

"Oww ... pantas aja, boleh saya ikut?" tanya Arya antusias.

"Bapak mau ikut?" Binaran ceria tampak pada mata bulat Anggun.

"Boleh?"

"Boleh banget dong,Pak."

Mereka melaju menaiki mobil sport merah Arya menuju sebuah panti asuhan kecil di pinggiran kota Cibubur. Beberapa anak-anak langsung mengenali sosok Anggun begitu turun dari mobil, mereka langsung menyerbu dan mencium punggung tangan Anggun satu per satu. Arya hanya bisa tersenyum kagum melihat kelembutan hati Anggun ketika melayani anak-anak satu persatu, membagi adil seluruh makanan dan mainan yang tadi dibawanya. Anggun juga dengan telaten menggendong bayi-bayi kecil yang lucu, wajahnya tampak berbinar bahagia, sangat berbeda dengan saat ia menangis dalampelukannya tempo hari.

Andai saja aku yang bisa membuatmu tertawa selebar itu, pikir Arya.

"Pak Arya, sini!" panggil Anggun.

Arya berjalan pelan menghampiri Anggun yang masih menggendong anak-anak, banyak di antaranya iri dan minta gantian untuk digendong oleh Anggun.

"Kalian main di sana dulu, ya, tante mau ajak si om jalan-jalan dulu," pinta Anggun lembut.

"Hebat kamu," puji Arya.

"Nggak juga, kok, Pak. Mas Bimo yang mengajariku mencintai anak-anak disini." Senyum Anggun.

"Oh, ya? Calon suamimu yang sudah meninggal itu?"

"Iya, dan di sinilah tempat kencan favorite kami."

Arya seakan tak percaya, dirinya sedikit merasa cemburu dengan orang yang telah meninggal. Begitu kuatkah cinta Anggun pada Bimo sampai tak bisa membuka dirinya pada cinta yang baru, bahkan Arya merasa bisa mencintai Anggun seribu kali lebih baik dari Bimo.

Aku cemburu pada orang yang telah tiada, pikir Arya dalam benaknya.

"Oh, iya, Pak, saya mau kenalin Bapak sama Ibunya mas Bimo," ajak Anggun.

"Boleh."

"Itu Ibunya." Anggun menunjuk sesosok wanita tua yang duduk di tepi kolam ikan.

Arya hanya melihat sepintas, namun bisa mengenali sosok wanita tua yang mulai renta itu dengan baik. Arya sering bertemu dengannya di persidangan, wanita itulah yang telah menuntutnya akan tabrakan yang menyebabkan kematian anak lelakinya. Tabrakan yang tidak pernah sengaja dilakukannya, tabrakan yang menyebabkannya hampir ditetapkan sebagai tersangka. Andai saja pengadilan di negeri ini tak bisa dibeli dengan uang, pasti saat ini Arya sudah mendekam di dalam penjara.

Wanita tua itu sekarang akan berdiri di hadapannya, bagaimana bisa Arya menemuinya?

"Kenapa, Pak?" tanya Anggun heran dengan perubahan raut wajah Arya.

"Ah, nggak kok. Maaf, Nggun saya baru ingat kalau ada kerjaan yang mesti saya urus."

"Oh, iya, Pak."

"Kamu pulang sendiri nggak apa-apakan?"

"Nggak apa, kok, Pak, hati-hati, ya."

"Iya kamu juga hati-hati." Arya langsung cepat-cepat bergegas masuk ke dalam mobilnya.

"Siapa tadi, Nduk?" Tiba-tiba sebuah suara sedikit parau mengagetkan Anggun.

"Ah, Ibu." Anggun mencium punggung tangan Suryani.

"Itu bos Anggun di kantor, Bu. Anggun nggak sengaja bertemu dengannya di toko pas perjalanan kemari. Bagaimana kabarnya, Bu? Ibu sehatkan?"

"Puji Tuhan nggak pernah merasa sebaik ini sebelumnya," jawabnya jelas.

"Bagus deh, Bu. Anggun seneng dengernya kalau Ibu baik-baik saja." Anggun menggandeng hangat tangan wanita tua itu untuk duduk di bangku taman.

Dalam hati Anggun memuji ketabahan hati Suryani, diusia senjanya beliau masih memikirkan nasib anak-anak terlantar dan bisa tabah menerima kepergian Bimo. Tidak seperti Anggun yang sampai saat ini masih menyalahkan Tuhan atas kematian Bimo, Suryani malah bersyukur dan bisa menerima kematian Bimo sebagai karunia Tuhan.

Arya menghentikan laju mobilnya dan berhenti di terotoar jalan, kepalanya pusing mengetahui kebenaran. Pria yang dicintai oleh wanita yang begitu dicintainnya telah mati dan itu semua karena dirinya. Seperti sebuah ikatan tali yang berhubungan, apakah semua ini takdir dan kehendak Tuhan sebagai bentuk hukuman untuk Arya? Arya mencintai Anggun, dan Anggun mencintai Bimo, namun Bimo telah meninggal karena kecelakaan maut yang melibatkan Arya.

"Sialan!" umpat Arya dan memukul-mukul setir mobilnya.

Anggun nggak boleh mengetahuinya. Kalau dia tahu mungkin aku nggak akan punya kesempatan lagi untuk bisa memilikinya, pikir Arya. Keegoisannya untuk memiliki Anggun membuat Arya berusaha menutupi seluruh kesalahannya.

"Maafkan aku, aku akan menggantikanmu menjaga Anggun," sumpah Arya sebelum kembali menginjak pedal gasnya.

— GORESAN WARNA PELANGI —

DUKUNG AUTHOR

like love comment dan vote

avataravatar
Next chapter