6 JINGGA

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KEDUA - JINGGA

Anggun telah bersiap memakai gaun merah menyala dari Arya. Sebuah kalung mutiara asli melingkar pada leher jenjangnya, kalung ini juga pemberian dari Arya siang tadi. Tak henti-hentinya Anggun mengagumi dirinya saat bercermin pada kaca di depan lemari, benar-benar seperti Cinderella saja.

"Sudah cantik kamu, Nggun." Sebuah suara merdu mengagetkan Anggun.

"Pak Arya."

"Sudah siap?"

"Su-sudah, Pak." Anggun masih agak bingung.

"Ayo!" Arya sudah membukakan pintu mobil sport merahnya, membuat Anggun tersipu dengan perlakuan Arya.

 "Hari ini kamu benar-benar anggun," ledek Arya.

"Bapak bisa aja. Emang biasanya nggak anggun?" Anggun tertawa kecil.

"Kali ini lebih anggun," kikih Arya.

Tak butuh waktu lama Arya sudah berhasil membelokkan mobilnya di depan lobby dengan red carpet. Anggun kembali membuang napas panjang, sepasang tangannya masih terus meremas tas tangan merah. Tas itu hampir berubah menjadi kulit kisut karena perlakuan Anggun.

Arya hanya tersenyum melihat wajah sekretarisnya yang gerogi seperti menunggu hasil ujian kelulusan. Anggun memang canggung, entah pesta seperti apa yang akan menunggunya di dalam sana? Yang pasti Anggun dituntut untuk tampil seanggun mungkin agar tak membuat malu Arya.

"Santai saja, Nggun. Mereka juga hanya manusia sama seperti saya," hibur Arya.

"Saya merasa nggak pantas, Pak. Takut nggak pantas mendampingi Bapak." Anggun menggigit bibir ranumnya.

"Sudah ayo masuk!" Arya turun dan membukakan pintu mobil untuk Anggun, menjulurkan tangan dan Anggun menerimanya. Anggun berjalan sedikit sempoyongan di sebelah Arya, tumit sepatunya agak terlalu tinggi, membuatnya susah untuk berjalan. Untung saja lengan kekar Arya selalu siap sedia membantunya berpegangan.

"Arya!" teriak Steven dari kejauhan.

"Hai." Arya menjabat hangat sahabatnya.

"Wow! Anggun, you look so different. Arya pasti berjuang keras membuatmu jadi secantik ini," puji Steven kagum.

"Nggak kok, Anggun sudah cantik dari sananya," pujian mengalir dari bibir tipis Arya. Anggun hanya bisa terdiam dan tersipu malu.

Pujian demi pujian juga terlontar dari para sahabat Arya setiap kali ada yang berpapasan dengannya.

Arya sibuk bercakap dengan semua kenalannya, sedangkan Anggun hanya mampu berdiri tegap di sebelah bossnya. Mendengarkan pembicaraan bisnis yang tidak begitu dimengerti olehnya. Bahasanya terlalu susah dicerna oleh otak Anggun, ya, iyalah mana mungkin seorang lulusan S1 sekretaris bisa nyambung dengan S2 jurusan bisnis dengan gelar PHD.

Saat ini Anggun merasa seperti hanya perhiasan mewah untuk Arya, berdiri di sampingnya dan mendengarkan kalimat demi kalimat dalam bahasa asing. Padahal punggungnya semakin pegal, bayangkan saja menggunakan hak sepatu setinggi 10 cm untuk terus berdiri tegap. Benar-benar begitu menyiksa tumit dan punggungnya. Arya nampaknya menyadari gerak gerik Anggun, tangannya menyelip di antara lengan kanan Anggun dan melingkar di perut Anggun yang langsing.

"Capek?" bisiknya pada Anggun.

Anggun menggelengkan kepala, berbohong pada Arya. Mencoba untuk berakting sok kuat namun tidak berhasil. Arya segera mengajaknya mencari tempat duduk dengan spot yang terbaik. Tak lama acara malam penganugrahan penghargaan dalam dunia bisnis pun dimulai.

Banyak kategori yang dibacakan, Arya masuk dalam dua nominasi yaitu kategori best young enteprener dan best business motivator. Dan benar saja Arya menyabet dua-duanya sekaligus. Sorakan dan tepuk tangan riuh menggema di seluruh JCC, membuat Anggun ikut bangga bisa ikut mendampinginya.

"Thank you, I don't belive that I can win this award twice ...! Thanks, to God! God Bless Us." pidato singkat Arya kembali disabut riuh seluruh hadirin, Arya menjabat tangan seluruh teman-teman dan rekan bisnisnya saat turun dari panggung menuju meja. Mata Anggun berbinar bahagia juga, dan seketika langsung terbelalak waktu Arya menarik dan memeluknya di hadapan banyak orang.

"Selamat, ya, Pak."

"Ayo kita pulang!" ajak Arya.

"HAH?"

Arya menarik tangan Anggun, dan melambai ke arah beberapa temannya. Teman-teman Arya tak berhenti menyorakinya. Mereka meledek Arya dan Anggun yang bagaikan bintang pada pesta malam itu.

Anggun heran dengan kelakuan bossnya yang terlalu implusif. Arya mengajaknya keluar dari ballroom gala dinner sebelum acaranya selesai. Sontak saja pandangan semua orang langsung tertuju ke arah mereka berdua. Bossnya memang tahu bagaimana cara membuat semua mata tertuju padanya. Dialah bintang pada malam hari ini.

"Kita mau ke mana, Pak?" tanya Anggun penasaran.

"Rahasia," jawab Arya sambil mengerlingkan matanya.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Mereka kembali masuk ke dalam mobil sport merah milik Arya dan melesat jauh ke jalanan ibu kota. Tak butuh waktu lama Arya sudah berhasil memarkirkan mobilnya pada pinggir jalan. Mereka turun pada sebuah taman kota. Taman ini merupakan taman yang dibangun sebagai restorasi sungai, membuat sungai yang dulunya kotor dan bau menjadi bersih dan terawat. Gemercik suara aliran sungai yang mengalir tenang membuat perasaan menjadi nyaman.

Taman dengan banyak pohon rindang dan juga lampu warna warni menyala indah. Menemani perjalanan Arya dan Anggun sampai ke pinggir sungai. Mereka duduk pada bangku taman yang langsung menghadap ke arah sungai. Jembatan susun terlihat megah membelah sungai. Lampu-lampu mobil berpendar bagaikan bintang dari kejauhan. Sungguh pemandangan perkotaan yang indah.

Tak hanya mereka berdua yang berada di sana. Ada beberapa pasangan lain yang sedang memadu kasih, juga sekelompok anak muda yang sedang bermain free style skate board dan sepeda. Beberapa food truck juga terlihat menjajakan minuman dan juga makanan ringan.

Arya melepaskan jasnya dan menyelimutkannya ke punggung Anggun yang terbuka.

"Pak?" Anggun kembali heran dengan tingkah bossnya itu.

"Dingin, Anggun. Pakai saja," kata Arya sambil mengendurkan dasinya juga.

"Kenapa Bapak mengajak saya kemari?" tanya Anggun.

"Dulu waktu kecil, aku dididik dengan keras supaya bisa menjadi pengusaha yang sukses." Arya mulai bercerita, ia tak pernah menceritakan isi hatinya pada orang lain sebelumnya. Dan entah kenapa? Arya ingin menceritakan semua tentang kehidupannya pada Anggun.

"Meneruskan usaha turun temurun dalam keluarga. Persaingan ketat dari keluarga besar, dan juga pihak luar membuat Papa selalu khawatir. Lantas beliau semakin mencambukku agar lebih giat belajar dan berlatih." Arya memandang Anggun, dan Anggun memandang Arya.

"Lalu?"

"Yah, saat itu aku hanyalah seorang anak kecil yang butuh bermain." Senyum Arya memamerkan deretan giginya yang manis.

"Bapak depresi?"

"Iya, aku menceburkan diri ke dalam sungai ini."

"Astaga!! Bapak mencoba untuk bunuh diri?!" Anggun terlihat syok.

"Benar. Lucu bukan?"

"Lantas?"

"Seseorang menyelamatkanku, ia bertanya 'anak kecil punya masalah apa sampai ingin bunuh diri?' " Arya mencondongkan badannya ke belakang, menyangga tubuh dengan lengan kekarnya.

"Bapak jawab apa?" Anggun semakin penasaran.

"Aku jawab, 'saya jenuh dengan hidup saya. Saya lelah belajar setiap hari.'"

"Terus?"

"Ya, dia menyuruhku menatap pelangi yang saat itu sedang terlihat."

"Pelangi?"

"Kalau saja pelangi bisa mengabulkan pengharapanmu. Apa yang akan kamu minta?"

"Kebebasan?" tebak Anggun.

"Benar, aku meminta kebebasan. Kebebasan seperti anak lainnya. Yang bebas berlari menembus dinginnya hujan dan hebusan angin." Arya terkikih.

"Apa anda mendapatkannya? Goresan warna pelangi itu?"

"Iya, orang itu memberikanku segores warna-warni pelangi, walaupun itu hanya khayalan untuk anak kecil tentunya." Arya mengusap dahinya, sedikit geli dengan tingkah masa lalunya yang percaya pada dongeng orang dewasa.

"Imutnya, saat itu wajah Bapak pasti sangat imut." Anggun terkikih.

"Ia menyuruhku menyimpan tetesan pelangi itu. Hanya satu kali ia mengabulkan permohonanku. Benarkah kebebasan yang aku minta? Bukan hal lain yang lebih penting?" Arya memandang hamparan air yang mengalir.

"Lalu Bapak gunakan untuk apa?"

"Belum aku gunakan, Nggun."

"Ah, Bapak masih menyimpannya kalau begitu?"

"Jadi kamu percaya dongeng itu, Nggun??" ledek Arya.

"Goresan pelangi, ya?" Anggun mengetukkan jari telunjuknya pada dagu.

"Tentu saja saya percaya, Pak. Bukankah pelangi punya banyak warna yang indah? Penciptaannya terjadi karena pembiasan air hujan dan matahari. Muncul setelah hujan berakhir. Bukankah memang benar pelangi adalah perwujudan dari sebuah harapan? Harapan akan adanya hal baik setelah hal buruk, dan seulas senyuman setelah tangisan berakhir?"

"Kamu benar." Arya mengelus wajah Anggun, membuat mata Anggun sedikit melebar.

Anggun langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain. Menghindari tatapan Arya yang bisa saja meluruhkan semua hati para wanita yang melihatnya.

"Setelah semua itu berlalu, aku mendapatkan segalanya, termasuk penghargaan ini. Tapi tak ada penghargaan yang lebih baik dari pada pujian orang tua, bukan."

"Pak?!" Anggun ikut sakit merasakan kesedihan Arya.

"Aku hanya ingin mereka memujiku, Nggun. Setidaknya menghargai kerja kerasku selama ini." Arya menjatuhkan kepalanya di bahu Anggun.

Anggun langsung merangkul punggung Arya dan mengelus rambutnya. Bossnya bagaikan anak kecil yang menangis karena butuh perhatian, "saya paham, Pak. Saya menghargai semua hasil kerja keras, Bapak. Bapak tak pernah lelah bekerja demi perusahaan dan juga karyawan."

"Benarkah?" Arya mengangkat wajahnya.

"Iya, Pak." Anggun tersenyum lebar.

Arya ikut tersenyum, ia bangkit dan membawa penghargaan yang didapatnya ke pinggir sungai. Dengan sekuat tenaga Arya melemparkannya ke dalam sungai. Aliran deras sungai langsung menyapu piagam itu entah ke mana, mungkin juga langsung tenggelam karena berat.

Arya kembali menghampiri Anggun dengan perasaan yang lebih lega. "Wajahmu dingin sekali, Nggun. Ayo pulang." Arya menyentuh wajah Anggun.

"Baik, Pak."

Anggun mengekor Arya, menggandeng siku tangannya karena masih terlalu susah berjalan dengan gaun mewah ini.

***

Arya keluar dari mobil dan bergegas membantu Anggun untuk menuruni mobilnya. Mereka sudah sampai di depan rumah Anggun.

"Boleh aku mampir ke rumahmu, Nggun?" tanya Arya.

"Hah??" Anggun semakin keheranan.

"Kopi buatan Ibumu enak." Arya mencari alasan. Padahal ia hanya ingin bertandang ke rumah Anggun dan melihat Anggun lebih lama.

"Sudah malam, Pak. Nggak enak sama tetangga," tolak Anggun.

"Ah, gitu, ya." Arya salah tingkah, ia tak menyangka Anggun akan menolaknya.

"Besok saja, Pak. Makan malam di rumah saya." Anggun membuat opsi karena kasihan saat melihat wajah memelas Arya.

"Boleh?"

"Tentu saja boleh. Bapak suka makan apa? Biar saya masakin buat Bapak."

"Apa, ya? Aku makan semuanya kecuali udang. Aku alergi dengan udang."

"Baiklah. sampai ketemu besok, Pak." Anggun melangkah masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Anggun yang ikutan salah tingkah hampir terjerembab gaunnya sendiri.

"Nggun!"

"Nggak apa-apa kok, Pak. Bapak pulang, gih!" Anggun mengusir Arya.

"Hati-hati melangkahnya."

"Iya, Pak. Sana pulang, besok hari Senin, jadwannya padat!" Arya hanya tersenyum menjawab wejangan Anggun. Dengan perasaan bahagia Arya kembali masuk ke dalam mobilnya dan bergegas pulang. Anggun memandang kepergian Arya dengan wajah berseri dari balik gorden ruang tamu.

"Rasanya aneh," gumam Anggun.

— GORESAN WARNA PELANGI —

IG @dee.Meliana

Please like and comment

Vote if you like

Love, dee

avataravatar
Next chapter