5 JINGGA

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KE DUA - JINGGA

_____________________

Arya terpaksa harus mengebut lantaran waktu mereka semakin mepet. Arya terbiasa datang tepat waktu, dia tak pernah membuat rekan bisnisnya menunggu karena dia pun benci saat harus menunggu. Bagi Arya yang perfecsionis, kata terlambat tidak pernah ada di dalam kamusnya.

"Pak, jangan kenceng-kenceng, donk!" protes Anggun.

"Pegangan aja, Nggun!" Arya mempersilahkan Anggun melingkarkan tangannya ke perut Arya. Meski sungkan Anggun tetap melakukannya karena takut.

Motor hitam besar itu berhenti di depan sebuah restoran Cina. Steven, teman sekaligus rekan bisnis Arya memang sengaja mengajak Arya bertemu di restoran Cina untuk menikmati bubur dan dim sum. Menurutnya makanan ini cocok di makan saat pagi hari, jadi sekalian sarapan sekalian menghasilkan uang.

"Ar, di sini!" Sebuah suara memanggil Arya begitu Arya dan Anggun masuk ke dalam restoran.

"Hai, Steve." Arya ikut melambaikan tangannya. Arya bergegas melangkah menuju ke meja, Anggun hanya mengekor Arya di belakangnya.

"Gimana kabar lo?" tanya Arya, mereka berpelukan akrab.

"Good, ayo duduk! Lo mau pesen apa?" Steven menyodorkan buku menu pada Arya.

"Apa ajalah, gue minumnya air putih aja," pinta Arya.

"Ar, elokan sudah jadi presdir, masih aja ngirit pesen air putih, lo mau kemanain uang lo yang nggak ada nomor serinya itu?" sindir Steven, sahabat Arya sejak SMA.

"Hish ... bisa aja lo!" sela Arya, "gimana bisnis kita dealkan?"

"Yaelah, Ar! Dateng-dateng langsung ngomongin bisnis! Mending lo kenalin dulu siapa cewek cantik di sebelah lo ini?" desak Steven. Anggun hanya bisa tersipu mendengar pujian dari sahabat bossnya itu.

"Oh, iya, ini Anggun sekretaris gue. Anggun ini Steven,

Steve ini Anggun," terang Arya.

"Steven."

"Anggun."

"Tumben lo bawa sekretaris? Nggak biasanya," ledek Steven senang.

"Hahaha ... jangan di dengerin omongannya, Nggun. Dia suka ngaco!" Arya salah tingkah.

"Iya, Pak. E ..., saya permisi ke toilet sebentar," izin Anggun. Anggun bergegas berdiri dan pergi meninggalkan meja mereka.

"Sekretaris lo cantik banget, Ar! Pantes sekarang lo betah banget ngantor." Steven menyenggol Arya dengan siku lengannya.

"Ck, apaan sih?! Tapi bener omongan lo, dia sekretaris paling cantik dan pinter yang pernah kerja bareng gue."

"Oh, ya?"

"Dia bisa atur jadwal gue sampai nggak keteteran. Trus yang paling gue seneng, sekarang gue bisa pulang kerja lebih awal buat istirahat," puji Arya.

"Hebat! Boleh gue pacarin?" tanya Steven to the point.

"Terus Sandra mau lo kemanain?"

"Sandrakan calon istri, bukan pacar," jawab Steve enteng.

"Lagian lo juga nggak maukan? So, dari pada lo anggurin sia-sia mending buat gue," lanjut Steven, ucapannya membuat telinga Arya panas.

"Lo jangan coba-coba buat deketin dia! Awas kalau lo berani, sahabatan plus bisnis kita end!" ancam Arya. Sorot matanya menunjukan bahwa ucapannya tidak main-main.

"Wow, wow, wow, santai, Man! Gue cuma ngisengin elo aja! Sekedar pengen tahu gimana perasaan lo sama cewek tadi," kekeh Steven.

"Sialan!" umpat Arya.

"Ternyata lo bisa juga jatuh cinta, gue kira lo cuma robot yang gila kerja doang," celetuk Steven.

"Ngomong apaan, sih, lo?" Arya masih ngeles dengan perasaannya.

"Lo sukakan sama sekretaris lo itu?"

"Ng—nggak kok! Ah, sudah ayo pesen makan! Terus ngomongin bisnis." Arya langsung menghindari ledekan sahabatnya itu, berpura-pura membaca buku menu untuk menyembunyikan wajahnya yang tersipu malu.

"Beneran nggak suka?" bisik Steven lagi.

"Diem lo!" Arya langsung menginjak kaki Steven saat Anggun kembali ke kursinya.

"Aduh!!" pekik Steven.

"Kenapa, Pak?!" tanya Anggun heran.

"Kaki gue!" desah Steven kesakitan.

"Ups, sorry!" Arya kembali membuka buku menu di depannya.

Setelah beberapa jam berlalu, kesepakan antara keduanya terbentuk. Steven setuju menjual tanahnya di Kalimantan pada Arya. Tanah seluas kurang lebih 50 hektar itu rencananyaakan di gunakan untuk membangun pabrik penyulingan minyak dan area perumahan untuk mess karyawan perkebunan sawit.

"Thanks, Bro."

"Jangan lupa besok Minggu ada acara gala dinner, penghargaan best young enterprener tahun ini."

"Oh, iya ya."

"Gue benernya males datang, soalnya gue yakin bangetpasti elo lagi yang menang." Steve tertawa.

"Dasar gila."

"Elo ajak Anggun donk! Nggak enakkan tiap tahun lo dateng sendirian gitu! Ya, nggak, Nggun?" Pandangan Steven beralih pada Anggun.

"Akh, ng-nggak, saya mana berani," jawab Anggun kebingungan.

"Semoga sukses, Bro!" bisik Steven membuat telinga Arya berubah warna.

"Apaan, sih?" Arya menyikut Steven.

"Hahaha ... gue pulang dulu, ya." Steven meninggalkan Arya dan Anggun.

"Dia memang begitu, suka ngaco, hehehe ...." Arya kelabakan.

"Iya, Pak," angguk Anggun.

"Jadi ...?" tanya Arya.

"Apanya, Pak?" Anggun balik bertanya dengan polos.

"Bisa nggak nemenin saya ke gala dinner besok?" tanya Arya malu-malu.

"HAH??"

"Ini perintah kok!" Cepat-cepat Arya mengganti pertanyaan menjadi pernyataan.

"I—iya, Pak." Anggun menyanggupi permintaan bossnya dengan

bingung.

"Good! Ayo kita kembali ke kantor."

Senyuman hangat Arya lagi-lagi berhasil membuat perut Anggun berdesir geli. Seakan ada ribuan kupu-kupu yang terbang di sekitarnya.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Seharian ini Anggun sibuk menggeledah isi lemarinya, mencoba mencari baju yang mungkin cocok digunakannya saat gala dinner nanti malam. Tapi meski diobrak-abrik, dan dicari seperti apapun tetap saja tak mungkin ketemu.

Hanya ada beberapa mini dress, baju-baju kemeja kerja, dan kaos-kaos usang yang biasanya dipakai Anggun di dalam rumah. Pakaiannya yang paling mahal hanyalah sesetel celana katun yang dibelikan bossnya kemarin, bukan gaun mahal dan gemerlapan. Anggun mendengus pelan, apa jadinya kalau Pak Arya menggandeng dirinya nanti malam? Seperti pembantu dan majikan saja.

Memang sih, kita harus bersyukur dan menerima kondisi kita apa adanya. Tapi situasi saat ini berbeda, bagaimana mau menerima apa adanya? Bagaimana mau pakai baju yang ada? Undangan ini bukan undangan biasa. Pastinya akan banyak enterprener hebat se-Indonesia akan berkumpul. Anggun tak bisa membandingkan pakaian yang akan dikenakannya dengan pakaian mahal milik Arya, pasti bedanya bagaikan langit dan bumi.

"Haduuh … apa pura-pura sakit saja?"Anggun menggaruk kepalanya kesal. Rasanya ingin menyerah.

Ting ... Tong...!

Anggun masih bingung dengan baju-bajunya yang menyebar di seluruh penjuru kamar tidur, sampai sebuah suara bel pintu mengusik konsentrasinya.

"Siapa, ya?" Anggun berjalan malas ke ambang pintu masuk, menarik kunci pengaman dan menekan hendelnya.

"Hai."

"Pak Arya." Anggun mencelos keheranan.

"Siapa, Nduk?" Sukma ikut keluar dari dalam.

"Ini Pak Arya, Bu. Boss Anggun sekarang."

"Suru masuk to, Nduk, suru duduk di dalam."

"Iya, Bu. Mari masuk, Pak!" Anggun mempersilakan tamunya masuk ke dalam.

Moga-moga Pak Arya mau batalin janjian malam ini, dalam hati Anggun berharap Arya telah menemukan wanita lain yang jauh lebih berkelas untuk menggantikannya.

"Ada apa ya, Pak? Maaf rumahnya kotor." Anggun tersipu malu dengan keadaan ruang tamunya yang biasa-biasa saja.

"Ini silahkan minumannya." Sukma kembali dengan nampan berisi secangkir kopi hangat. Wajahnya tampak berbinar senang saat mengagumi wajah tampan Arya, membuat Arya jadi salah tingkah.

"Bener kata Anggun, Bapak tampan sekali."

"Ibu ini apa-apaan, sih?" senggol Anggun malu.

Arya hanya tersenyum geli di balik cangkir kopi yang sedang disesapnya.

"Jadi ada apa, Pak? Bapak mau membatalkan janjikan?" Anggun cengar cengir.

"Siapa yang bilang? Justru saya mau ngajakin kamu buat cari gaun yang pas untuk acara nanti malam."

"APA? Nggak perlu, Pak. Mahal,Pak."

Alis Arya langsung mengngerunyit sampai hampir menyatu saat mendengar penolakan Anggun. Memang semahal apa gaun itu sampai seorang Arya tak sanggup membelinya? Anggun sendiri tak enak hati menolak pemberian bossnya, namun harga sebuah gaun tentu saja tidaklah murahkan?

"Kamu nggak perlu sungkan, Nggun. Anggap saja itu fasilitas perusahaan karena saya yang ajakin kamu pergi," jawab Arya, dia berusaha memahami bahwa sekretarisnya ini bukanlah wanita matre.

"Tapi, Pak ...."

"Sudah, ayo!" Arya menyeret Anggun keluar dari rumahnya.

"Pak, sungkan, Pak."

"Santai saja, Nggun, anggap saja kita lagi berkencan," goda Arya dengan senyuman mautnya.

Akhirnya mau nggak mau Anggun pergi juga, mengekor Arya masuk dari satu toko ke toko yang lain. Hampir semua butik mahal dimasuki oleh Arya dan Anggun. Harga-harga gaun yang setinggi langit membuat mata Anggun terbelalak sampai hampir keluar.

Gila ...! 50 juta untuk gaun polos seperti ini?! pikir Anggun heran.

"Anggun sini, coba yang ini!" Arya menawarkan sebuah gaun berwarna merah menyala berhiaskan banyak batu swarovzki gemerlapan.

Modelnya tampak simpel, namun berkesan begitu glamor. Potongan model lengkung di bagian dada agak sedikit menonjolkan bentuk dada pemiliknya, selain itu ada belahan sampai 20 cm di atas lutut membuat pemakainya terlihat sexy dan menawan saat berjalan.

Anggun agak malu juga saat para karyawati membantunya fitting baju. Dadanya terlihat terlalu menonjol dan kakinya yang putih sedikit timbul dari belahan gaunnya.

"Sudah, Pak," kata seseorang karyawan pada Arya.

Arya menutup majalah yang sedang dibacanya dan memalingkan pandangannya ke arah Anggun. Anggun tampak malu-malu dan menghindari tatapan tajam Arya yang terpesona oleh kecantikannya.

"Bagaimana, Pak?" tanya Anggun canggung.

"Cantik sekali," puji Arya. Dalam hati Arya benar-benar berterima kasih pada Tuhan yang telah memberinya kesempatan bertemu makhluk secantik Anggun.

"Sepatunya?" tanya Arya.

"Sedang dipilih oleh desainernya, Pak."

"Cari yang merah saja, senada mungkin lebih cocok, tumitnya agak tinggi," pinta Arya.

Anggun heran dengan selera berbusana Arya, dia yang wanita saja belum tentu bisa memilih gaun seindah ini. Mungkin kelas Arya memang beda, orang kaya pasti lebih memikirkan kualitas dan desainnya dibanding dengan harga yang harus mereka keluarkan.

"Miss your shoes." Desainer asal Inggris itu memberikan sepasang sepatu merah gemerlap pada Anggun. Dia memang sengaja mencari warna yang senadadengan warna gaunnya.

"Ah, oh, iya, thanks."

"Perfect, she is very beauty.'

"Thanks Mrs.Brian, how much should I pay you?"

"Aku kasih diskon kamu 10% Arya, jadi kamu tinggal bayar saya 72 juta saja."

Arya membuat sebuah cek dan menanda tanganinya, kemudian ia menyerahkannya pada si blesteran cantik tadi.

"Thank you, Arya."

Anggun telah berganti dengan pakaiannya semula, gaun tadi disimpan rapi di dalam kotak cantik dan dibawa oleh pak Gunardi, sopir pribadi Arya.

"Sa ... saya merasa nggak pantas, Pak," suara Anggun tercekat.

"Terima saja."

"Baik ... terima kasih, Pak."

"Gun, kamu antar Anggun ke salon buat treatment. Di salon langganan Mama biasanya saja."

"Siap, Den."

"Anggun saya kembali ke kantor dulu."

"Inikan hari Minggu, Pak?"

"Justru karena hari Minggu saya harus laporan ke Papa. Nanti jam 6 saya jemput di rumah." Arya membukakan pintu mobil untuk Anggun.

"Baik, Pak."

"Dandan yang cantik, ya! Pakai kartu saya." Arya menyerahkan kartu tanpa limitnya pada Anggun. Anggun menerimanya dengan ragu, benarkah dia boleh menerima semua kemewahan ini?

"Hati-hati nyetirnya, Gun!"

"Siap, Den."

Arya memandang mobil sedan hitam yang membawa Anggun menjauh pergi sebelum kembali ke mobilnya, dalam hati Arya berpikir, gw jadi nggak sabar nungguin ntar malem.

— GORESAN WARNA PELANGI —

IG @dee.Meliana

Please like and comment

Vote if you like

Love, dee

avataravatar
Next chapter