3 JINGGA

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KEDUA - JINGGA

_______________

Hari ini hari pertama Anggun mulai bekerja di PT. RH, sebuah perusahan yang bergerak dibidang trading company. Selain itu, masih banyak anak perusahaan yang tergabung dalam RH Grup. Ada jasa jual beli mesin dan alat berat, jasa kontraktor, dan juga perkebunan sawit. Semua itu akan menjadi milik Arya kelak.

Anggun memang sengaja datang lebih awal untuk mengecek ulang semua berkas dan mempelajarinya. Anggun harus mempelajarai semua itu sebelum memulai perannya sebagai sekretaris seorang Arya Nitiraharjo, pemenang penghargaan best enterprener termuda tahun lalu.

Rumit juga, jadwalnya padet banget, orang ini kelihatannya workaholic banget, pikir Anggun sambil mempelajari semua jadwal kegiatan Arya selama seminggu belakangan dan seminggu ke depan.

"Jadwal hari ini meeting dengan pemilik hotel Centrum, trus makan siang dengan klient, cek pembelian mesin, trus cek pendapatan kebun sawit bulan kemarin." Jemari Anggun tak henti-hentinya membolak balik buku agenda bersampul coklat tua itu.

Semangat Anggun kamu pasti bisa! Anggun menyemangati dirinya dalam hati.

Karena terlalu fokus pada pekerjaannya, Anggun tak menyadari jam kantor sudah dimulai. Beberapa orang terlihat mondar mandir di depan mejanya, mereka meminta jadwal temu dengan Arya. Keriuhan ini membuat Anggun sedikit kelabakan saat mengatur kembalijadwal temu Arya.

"Maaf, antri dulu, Bu." Seorang ibu-ibu dengan tubuh tambun dan dandanan menor melirik tajam ke arah Anggun yang menyuruhnya antri. Cocard dengan tulisan Lisa, Manager Keuangan tak berpengaruh atau menempatkannya pada urutan antrian pertama.

Sejam berlalu dan pendaftar antrian juga sudah habis, semua yang ingin bertemu dengan Arya dengan teratur langsung memposisikan diri di ruang tunggu. Mereka mengobrol, membaca majalah maupun koran, setidaknya cukup sibuk untuk mengisi waktu sampai pimpinan mereka,Arya mempersilahkan mereka masuk satu per satu.

Anggun dengan cepat menyusun daftar temu para bawahan Arya dalam selembar kertas. Setidaknya Anggun telah mengurutkannya, masalah Arya mau bertemu dengan mereka atau tidak biar Arya sendiri yang memutuskan.

Seperti biasa, Arya terlihat lesu saat datang ke kantor. Arya memang selalu pulang malam dan kurang tidur. Arya datang ke kantor lebih pagi dari biasanya karena banyak pekerjaan. Kemejanya tampak kusut dan simpul dasinya tak terikat dengan benar. Nampaknya Arya tak punya cukup waktu untuk sekedar merapikan bajunya saat berangkat tadi.

"Pagi, Pak," ucapan selamat pagi terlontar dari setiap mulut para pegawai kantor yang sedang berpapasan dengannya. Arya hanya mengangkat tangannya sebagai jawaban. Bukannya angkuh, Arya hanya sedang mengirit tenaganya. Mulutnya pasti kering menjawab seluruh sapaan karyawannya yang berjumlah ratusan.

Arya masuk ke dalam ruangannya diikuti oleh Anggun. Tangan kurusnya terlihat penuh membawa berkas-berkas dan buku agenda untuk hari ini.

"Selamat pagi, Pak."

"Pagi, siapa namamu?"

"Anggun."

"Baik, Anggun. Apa yang saya punya untuk jadwal hari ini?" tanya Arya sambil sibuk menggeser-geser menu pada layar Ipadnya.

"Jadwal hari ini, Bapak ada meeting dengan kliet sambil makan siang, lanjut dengan cek pembelian mesin dan keuangan perkebunan."

"Huum ..., trus?"

"Dokumennya sudah saya siapkan, lalu ada beberapa dokumen yang harus ditanda tangani, semuannya sudah ada di atas meja Bapak."

"Oke, coba saya cek dulu. Itu saja?"

"Masih ada beberapa bawahan yang ingin bertemu dengan anda, ini daftarnya." Anggun menyerahkan rentetan nama antrean panjang tadi.

"Suru Lisa dan Bambang saja yang menghadap, yang lainnya suru pulang ke devisi mereka masing-masing."

"Baik, Pak. Oh, iya, Bapak mau minum kopi atau sarapan sesuatu?"

"Bagaimana kamu tahu saya belum sarapan?" Arya tersenyum dengan pertanyaan Anggun yang sepontan.

"Dari cara Bapak berpakaian pagi ini menyiratkan kalau Bapak tidak sempat untuk sarapan, Pak." Senyum Anggun manis.

"Oh, ya?"

"Bapak mau kopi hitam dengan banyak creamer? Mau saya buatkan atau saya pesankan ke OB?"

"Boleh, kamu tahu juga saya suka kopi hitam dengan banyak creamer?" Arya mulai tertarik dengan Anggun.

"Dari bekas cangkir kopi yang saya bereskan tadi pagi, Pak."

"Ah, begitu."

"Ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Itu saja."

"Oke, Pak, saya permisi." Senyum Anggun seraya meninggalkan ruangan presdir.

Arya hanya tersenyum dan mengangguk pelan saat menatap Anggun meninggalkan ruangannya. Baru kali ini sekretarisnya ada yang begitu detail memperhatikannya, sampai bisa tahu jenis kopi kesukaannya.

Dalam benaknya muncul bayangan nakal, sekretaris barunya itu memang cantik. Walaupun hanya mengenakan kemeja kerja dan rok hitam setinggi lutut, tetap saja masih belum bisa menyembunyikan daya tarik dan pesonanya. Garis hidungnya yang mancung, dan rona bibirnya yang dipoles dengan lipstik berwarna lembut semakin menggoda jiwa lelaki Arya.

***

Sekali lagi Anggun mengetuk ruangan presiden direktur dan masuk ke dalam. Anggun melihatArya tengah menikmati secangkir kopi buatannya tadi.

"Pak, sudah saatnya berangkat meeting, saya sudah menelepon Pak Gunardi untuk menyiapkan mobil di bawah," kata Anggun.

"Oh, iya, saya segera berangkat." Arya berdiri dan mengenakan jas hitam yang tadi disambarnya dari sandaran kursi.

"Dokumennya, Pak."

"Terima kasih."

"Erm …, maaf, Pak, boleh saya bantu betulin dasinya?" tanya Anggun, dengan perasaan sungkan Anggun menawarkan bantuannya untuk merapikan kerah kemeja dan simpul pada dasi Arya yang berantakan.

"Oh, iya, Boleh. Tolong, ya." Arya tampak tidak berkeberatan dengan tawaran Anggun.

Anggun sedikit merapatkan badannya untuk merapikan dasi Arya. Badannya cukup dekat untuk bisa menghirup wangi parfum mahal yang dipakai Arya hari ini. Aroma dengan kesegaran musk dan cinammon yang hangat. Arya terpaksa harus menelan salivanya saat bagian paling menonjol milik Anggun hampir menyentuh dada bidangnya.

"Sudah, Pak."

"Terima kasih," ucap Arya, wajahnya memerah.

"Sama-sama." Anggun tersenyum manis.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Anggun mencoba memahami seluk beluk pekerjaannya secepat mungkin. Anggun menyukai pekerjaannya, walaupun sedikit ribet tapi gajinya cukup menggiurkan. Lagi pula sekarang Anggun mulai bisa sedikit demi sedikit melupakan Bimo dengan mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan.

Rentetan dan jadwalagenda kerja Arya kembali disusun oleh Anggun agar lebih jelas. Wajah Anggun terlihat begitu serius saat mengerjakan semua pekerjaannya, sesekali ia menggoyangkan penanya agar beradu dengan buku, menimbulkan bunyi aneh yang berirama.

Tak terasa sudah 3 bulan berjalan, Anggun telah dinobatkan menjadi sekretaris terlama yang pernah menjabat pada era kepemimpinan Arya di perusahaan. Arya juga semakin cocok dengan cara kerja Anggun yang cekatan. Bahkan sekarang Arya sering mengajak Anggun menghadiri meeting dan acara-acara dinas.

Arya kini juga tak lagi datang ke kantor dengan wajah kusut dan juga baju yang berantakan. Anggun bisa mengatur jam kerja Arya dan membuat pria itu tak harus lembur setiap harinya. Hal inilah yang paling membuat Arya menghargai kinerja Anggun.

***

"Nggun!!" teriak seorang wanita saat Anggun tengah berjalan membawa nampannya.

"Olin?!" Anggun balas menyahut panggilan itu dengan seruan keras.

"Wah, gila, lo! Gue kaget pas denger lo kerja di sini! Kok lo nggak ngabarin gue, sih?" cerca Caroline panjang lebar. Caroline adalah sahabat Anggun sejak kecil.

"Pengennya ngabarin elo! Tapi kerjaan gue banyak banget, gila! Ini aja gue baru bisa settle." Anggun membawa nampannya dan duduk pada meja panjang di dekat jendela. Suasana jam makan siang pada kantin perusahaan memang selalu riuh, jadi mau nggak mau mereka harus cepat-cepat duduk agar tak kehabisan tempat.

"Lo hebat! Gue salut! Nggak ada yang betah sama Pak Arya lebih dari sebulan. Dan rekor lo tiga bulan!! Sumpah keren!" Caroline bertepuk tangan untuk Anggun.

"Aish, lo bisa aja. Udah buruan makan, keburu ngantor." Anggun menyendok lagi sesuap nasi.

"Gue seneng lo udah kembali ceria, Nggun." Tiba-tiba pembicaraan mereka mengarah ke sisimelakonis.

"Nggak ada gunanya juga gue nangisin Mas Bimo terus. Gue masih punya Ibu yang mesti gue jaga." Anggun menghentikan makan siangnya.

"Bener, Nggun. Lo mesti kuat, ya. Masih banyak pria di dunia ini. Dan lo pasti bakalan dapet pengganti Bimo." Caroline menggenggam tangan Anggun.

"Emang ada, ya? Pria yang jauh lebih sempurna dibandingin sama Mas Bimo?" tanya Anggun dengan nada kecewa.

"Ada, Boss kita. Hahaha!!" tawa Caroline.

"Gila lo!" Anggun ikutan tertawa.

"Yuk, makan! Sudah hampir habis jam istirahatnya."

"Yuk!"

— GORESAN WARNA PELANGI—

Anggun masuk ke dalam rumahnya dengan lesu. Ia melepas sepatu heels-nya sembarangan dan merebahkan badannya ke atas sofa empuk pada ruang keluarga.

"Capek sekali, Bu." Anggun mengeluh.

"Ini minum teh hangat dulu." Sukma membawakan Anggun secangkir teh hangat.

"Makasih, Bu."

"Bagaimana kerjaanmu hari ini, Nduk?" tanyanya, Sukma sedikitcemas melihat anaknya pulang dengan kelelahan setiap hari.

"Super sibuk, Bu. Banyak banget jadwal dan dokumen yang harus Anggun kerjakan," jawab Anggun, sekejap kemudian ia langsung meneguk habis secangkir teh manis buatan ibunya.

"Sudah makan belum?"

"Sudah, Bu. Tadi dengan Pak Arya."

"Ibu lihat-lihat kamu sekarang sering pergi dengan yang namanya Arya, apa kalian ada hubungan?" goda Sukma.

"Ngaco aja, sih, Ibu ini. Diakan boss Anggun, Bu. Ya, sudah pasti sering keluar dinas dengan beliaunya."

"O …." Angguk Sukma tanda mengerti.

"Seperti apa, sih, orangnya? Pasti tampangnya sudah kelihatan tua, ya? Habis sibuk terus begitu," ledek wanita tua ini lalu tergelak.

"Ibu salah. Pak Arya itu wajahnya tampan, lagian dia masih muda. Wajahnya mirip kayak artis Korea, apa lagi pas dia lagi serius kerja, Bu. Gemesin gimana gitu," puji Anggun panjang lebar.

"Emang berapa umurnya?"

"Baru 28 tahun."

"Muda sekali," jawab Sukma kaget.

"Iya, Bu dan perusahaannya banyak banget bikin susah atur jadwalnya."

"Hebat, anak muda zaman sekarang memang harus begitu. Berprestasi."

"Ya, sudah Anggun mandi trus istirahat, ya, Bu."

"Iya, Nak."

— GORESAN WARNA PELANGI —

IG @dee.Meliana

Please Like and Comment

Vote if you like

Love, dee

avataravatar
Next chapter