2 JINGGA

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KE DUA

_______________

— JINGGA, kasih itu menghangatkan, sehangat matahari senja yang berwarna jingga. Kenangan manis selalu berhasil mengulum senyum, keindahannya terlukis dalam tiap balutan aura berwarna jingga.—

________________________

Aroma manis tercium dari dapur, Sukma memang sengaja memasak sup jagung kesukaan putri bungsunya siang ini. Sup jagung adalah idola Anggun sejak kecil. Sup hangat dengan rasa manis dan creamy ini selalu berhasil membuat perasaan Anggun jadi lebih baik tiap kali memakannya dulu.

Sukma bergeleng pelan saat melihat Anggun termangu-mangu seorang diri di kursi tamu. Entah apa yang dia pikirkan saat ini? Yang pasti Anggun sedang mengasihani dirinya, terus larut dalam dukanya yang tak kunjung memudar.

Sukma yang khawatir bergegas memanggil anak gadisnya itu. "Nduk, Ibu masak sup jagung kesukaan kamu, nih."

"Iya, Bu," jawab Anggun sambil tersenyum simpul.

"Jangan cuma bilang iya, Nduk. Ayo sini! Ibu ambilin buat kamu," paksa Sukma, tangannya dengan cekatan menuang sup ke dalam mangkok kecil dan menaruhnya di atas meja.

Anggun bangkit, seulas senyum manis mengembang begitu melihat kasih sayang ibunya yang tak pernah berkurang dari sejak ia kecil sampai sebesar ini. Caranya memanjakan Anggun selalu sama, dengan sup jagung kesukaannya.

Anggun mengaduk sup kental itu agar sedikit dingin. Butiran jagung berpadu dengan kocokan telur dan asparagus terlihat begitu menggiurkan. Baunya yang manis membuat Anggun tak bisa menolak pesonanya. Sup ini memang selalu berhasil mencairkan suasana hati Anggun saat sedih, ngambek, dan juga marah setelah bertengkar dengan kakak-kakaknya dulu.

"Mau Ibu suapin juga?"

"Ah, Ibu. Anggunkan sudah besar, bisa makan sendiri."

"Ibu jadi ingat, dulu saat kamu masih kecil, kalau kamu lagi ngambek. Ibu selalu masak sup jagung ini," - Sukma menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya - "setelah makan semangkok kamu pasti langsung tersenyum pada Ibu."

"I—iya, Bu." Lidah Anggun seakan tercekat saat memasukkan cairan hangat itu ke rongga mulutnya.

"Bangkitlah, Sayang. Ibu ingin sekali melihat senyumanmu setelah memakan sup jagung itu, sama seperti dulu," pinta Sukma. Butiran bening air mata turun membasahi wajah tuanya. Tangan rapuhnya terus menggenggam tangan Anggun.

Anggun memaksakan senyumannya dan memandang wajah Sukma yang semakin menua. Bisa dilihat begitu banyak kerutan-kerutan halus dan noda hitam, ronanya semakin terlihat karena kesedihannya memikirkan Anggun belakangan ini. Anggun mulai tersadar, bukan Bimo yang harus dipikirkannya berlarut-larut, melainkan ibunya. Wanita tua yang telah membesarkannya ini lebih memerlukan perhatian juga kasih sayang darinya.

Bimo telah tiada dan itu nyata, sedangkan ibunya masih hidup dan beliau membutuhkan Anggun untuk merawat dan mengasihinya. Membantunya menjalani hari tua dan sisa umurnya dengan luapan kasih serta bakti seorang anak.

"Maafin Anggun, Bu." Anggun menangis dan memeluk ibunya.

"Sabar, ya, Nduk. Ibu cuma pengen liat kamu bahagia," tandas Sukma sembari mengelus lembut rambut hitam dan ikal milik Anggun.

"Besok Anggun akan mencari pekerjaan, Bu. Anggun akan mencoba buat ngelupain Mas Bimo dan memulai semuanya dari awal lagi." Anggun menghapus air matanya dan mencoba bangkit dari kenyataan.

"Ibu doain, ya, Nduk." Sukma langsung menangis bahagia dan merasa lega begitu mendengar keputusan Anggun.

Anggun mendekap erat tubuh ibunya, terisak lebih keras. Saat itulah Anggun mengeluarkan semua rasa sesak dan beban dalam hatinya demi menata masa depan baru yang jauh lebih indah.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Kepala Arya terasa berat saat memasuki ruang kerjanya. Kesibukkannya belakangan ini tak mengizinkannya untuk memperoleh istirahat yang cukup. Urusan perusahaan telah banyak menyita waktunya, belum lagi urusan kepolisian yang telah menetapkannya sebagai tersangka. Karena kecerobohannya, Arya tak sengaja menabrak seorang dokter hingga meninggal sebulan lalu.

Tok ... Tok ...!

Terdengar suara pintu diketuk, tak lama kemudian seorang wanita muda masuk ke dalam. Ia bergegas menyodorkan beberapa dokumen untuk di tanda tangani. Arya membuka dan mengecek satu per satu lembaran kertas itu sebelum menggoreskan tinta tanda persetujuan darinya.

"Apa saya ada meeting hari ini?" tanya Arya, tangannya mengetuk berirama di atas meja.

"Seharusnya ada jadwal meeting jam 09.00 pagi tadi dengan PT. Adi Raksa, Pak," jawab wanita itu dengan suara lirih.

Arya langsung melirik arlojinya, jam saat ini menunjukan pukul 10.00, terlambat satu jam dari jadwal temunya. Dengan geram Arya memandang ke arah wanita muda yang tak lain adalah sekretarisnya itu.

"KAMU INI BISA KERJA NGGAK, SIH?!" bentak Arya.

"Ma—maaf, Pak, saya bingung soalnya pas saya telepon ke rumah katanya Bapak masih tidur," jawabnya gemetaran.

"Kamukan bisa kasih tahu saya sehari sebelumnya, atau suruh pembantu bangunin saya!!" tegur Arya.

"Tender ini nilainya milyaran!!" tambah Arya. Wanita itu hanya memainkan jemarinya karena ketakutan mendengar amarah Arya.

"Sa—saya ...," ucapannya tergagap karena takut.

"Sudahlah! Kamu saya pecat! Keluar sana!" usir Arya. Nada bentakan terus keluar dari bibir tipis Arya sampai membuat wanita itu keluar dan menangis ketakutan.

Arya mengambil ponselnya untuk menghubungi rekan bisnisnya. "Halo, Steve, sorry, gue kelupaan sama meeting kita hari ini. Sekretaris konyol itu nggak ingetin gue!"

"No problem, Ar, untung aja kita sahabatan, kalau nggak, hilang sudah tuh tender jutaan dollar," kikih suara dari seberang sana.

"Bisa aja, lo. Gue bener-bener minta maaf, ya." Arya masih sungkan dengan sahabatnya, "terus kapan kita bisa ketemu lagi?"

"Hari ini kita lunch bareng saja, Bro. Soalnya jadwal gue padet banget seminggu ke depan."

"Oke, kalau gitu, see you, Bro. Jangan lupa lo share loc ke gue alamat restoran-nya, ntar gue yang traktir."

Setelah mengucapkan salam perpisahan dengan sahabatnya, Arya bergegas menyahut jas hitam dari sandaran kursi. Arya berjalan cepat meninggalkan ruangannya untuk menuju ke bagian personalia.

"Sas, cari-in saya sekretaris baru, yang pinter!! Awas kalau dapat sekretaris oon lagi!"

"Tapi, Pak. Bukannya Ranny baru seminggu jadi sekretaris Bapak?" tanya wanita ini bingung.

"Dan sudah saya pecat hari ini!!" tutur Arya dengan nada tinggi.

"Apa?"

"Sudah nggak usah banyak nanya! Cari-in yang baru secepatnya dan saya mau dia benar-benar berpotensi jadi sekretaris! Jangan asal punya title doang!"

"Ba—baik, Pak."

Arya masih berkacak pinggang saat ia tersadar dengan bayangan seorang gadis muda. Gadis itu dari tadi menunduk di depan meja personalia. Rambutnya panjang dan ikal, wajahnya cantik dan kulitnya bersih, bibirnya terlihat begitu plumpy dengan belahan tengah pada bagian bibir bawahnya. Perlahan gadis itu mengangkat wajahnya dan membuat pandangan mereka bertemu. Matanya yang bulat berhiaskan bulu mata yang melengking panjang.

Hati Arya berdesir, tak biasanya Arya memperhatikan seorang wanita sampai sedetil itu. Tatapan hangat gadis muda ini sepertinya telah berhasil membiaus Arya dengan pesonanya.

Padahal dia hanya pakai setelan kemeja kerja biasa, kenapa bisa terlihat begitu menarik?kagum Arya dalam benaknya.

Wajah cantik gadis itu terlihat bingung, mungkin merasa canggung dengan situasi barusan. Bagaimana tidak? Ia mendengar amarah dari sang pemilik perusahaan tepat di hari pertama ia melamar pekerjaan.

"Siapa dia?" tanya Arya pada Saskia, manajer personalia di perusahaannya.

"Namanya Anggun, dia melamar kerja, lowongan di bagian administrasi keuangan," jawab Saskia.

Arya kembali mengamati gadis itu mulai dari ujung rambut sampai ke pangkal kakinya. Tanpa ragu Arya langsung berkata pada Saskia, "ya, sudah, suru dia jadi sekretaris saya saja. Masuk mulai besok." Arya langsung pergi begitu saja setelah memberikan perintah yang membuat Saskia dan Anggun melongo bingung.

"Beneran, Bu? Saya diterima kerja di sini?" tanya Anggun, mencoba memastikan kembali perkataan Arya lewat Saskia. Masa iya dia diterima kerja tanpa tes sebelumnya.

"Iya, kamu di terima kerja. Boss saya memang gitu orangnya," terang Saskia. "Hati-hati, ya, tempramennya tinggi. Nggak ada yang bertahan lebih dari satu bulan jadi sekretarisnya."

Anggun menelan salivanya, sedikit takut saat mendengar perkataan Saskia. Namun, Anggun butuh pekerjaan ini, uangnya sudah habis karena terlalu lama menganggur.

"Saya akan bekerja dengan baik, Bu," ucap Anggun penuh semangat.

"Iya, mulai besok datang sebelum jam 8 pagi. Tugasmu simpel, hanya mencatat jadwal Pak Arya dan mengingatkannya. Jangan lupa siapin jugadokumen yang beliau butuhkan saat rapat."

"Baik, Bu." Anggun mengangguk tanda mengerti.

"Selamat bekerja."

"Terima kasih, Bu."

"Sama-sama."

Puji Tuhan langsung dapat pekerjaan, pikir Anggun sembari meninggalkan

bagian personalia.

— GORESAN WARNA PELANGI —

IG @dee.Meliana

avataravatar
Next chapter