12 HIJAU

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KEEMPAT - HIJAU

_______________

Sudah sebulan sejak Anggun memberikan surat pengunduran dirinya ke bagian personalia. Berkali-kali pula Arya berusaha menghubungi Anggun untuk meminta maaf, tetapi Anggun masih tetap tidak mau menemui Arya dan selalu menolak panggilan telepon darinya. Anggun juga selalu meminta tolong pada ibunya untuk mengusir Arya saat ia bertandang ke rumah.

Anggun terus saja menangis dan mengurung diri di kamar. Anggun juga sering termenung dan merasa bersalah pada mendiang Bimo. Hal ini semakin bertambah parah saat beberapa hari belakangan Anggun sering merasa lemas dan pusing. Entah kenapa seluruh nafsu makannya menghilang. Membuatnya enggan untuk sekadar keluar dari kamar.

"Nduk, turun sini! Kakakmu beliin kamu durian, nih, kesukaanmu, kan?" teriak Sukma dari ruang keluarga.

Mau tidak mau Anggun keluar dari kamarnya dan ikut berbicang dengan kakak laki-laki juga iparnya. Mereka sedang asyik menikmati buah berduri yang baunya sangat khas itu. Bau tajam durian menimbulkan suatu perasaan aneh yang memberontak dari dalam perut Anggun. Rasa mual terasa begitu tajam, langsung berlari kecil ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh makanan di dalam perutnya.

"Adek kenapa, Bu?" tanya Dio kaget.

Sukma langsung bangkit dan bergegas melihat keadaan Anggun yang masih terus muntah di kamar mandi.

"Kamu pasti sakit mag, Nduk. Akhir-akhir ini makanmu nggak pernah teratur. Jadinya begini, kan? Mual terus karena magmu kambuh," omel Sukma sambil mengoleskan minyak angin ke leher dan perut Anggun.

"Anggun mau istirahat di kamar saja, Bu," pinta Anggun.

"Iya, sana istirahat dulu. Mau Ibu bikinin teh manis?" tawar Sukma.

"Nggak usah, Bu. Mau tidur saja," jawab Anggun lesu.

Dengan lemas Anggun memasuki kamarnya, merebahkan diri di antara kumpulan boneka-boneka lucu pemberian Bimo dulu. Beberapa hari belakangan ini tubuhnya terasa aneh, pinggangnya pegal dan sering pusing. Sepintas Anggun mulai teringat hubungan yang dijalaninya dengan Arya sebulan lalu, dengan terperanjat Anggun langsung menengok ke arah kalender.

"Terlambat 14 hari." Anggun tertegun, selama ini Anggun tak pernah memperhatikan siklus haid bulanannya karena belakangan pikirannya lebih tertuju pada rasa benci akan sosok Arya.

Nggak mungkin, dalam hati Anggun berharap tidak akan ada benih yang tumbuh di dalam rahimnya. Anggun terus menjambak rambutnya, mencoba menenangkan diri sambil mondar-mandir kebingungan di kamarnya. Anggun langsung menyambar ponsel pintarnya dari meja. Tangannyq bergetar hebat saat memencet nomor sang sahabat.

"Ha—Halo, Olin."

"Anggun? Ke mana aja? Kantor setiap hari seperti neraka karena Pak Arya marah-marah terus." Caroline langsung bicara panjang lebar sebelum Anggun sempat berkata-kata.

"Boleh gue ke kos lo nanti sore? Gue takut."

"Bo—boleh. Kenapa sih, Nggun?" tanya Caroine ikutan bingung.

"Nanti gue cerita, thanks, ya."

"Iya, nanti pulang kerja gue langsung pulang, lo hati-hati, ya."

"Ok, bye."

Langsung saja, Anggun bergegas melepaskan pakaiannya untuk mandi. Sempat terlihat bayangan dirinya yang terpantul pada kaca lemari, memperhatikan bagian perutnya. Anggun terus memandangnya dengan saksama. Tak ada yang berubah, masih ramping seperti biasa. Tidak mungkin dia hamil. Cepat-cepat ditepisnya pikiran yang muncul dan segera masuk ke kamar mandi.

•••

"Ibu, Anggun pergi dulu. Mungkin pulang malam atau tidur di kos Caroline," pamit Anggun tergesa-gesa.

"Kamu kan lagi sakit, Nduk, besok saja kalau sudah sembuh."

"Harus hari ini, Bu. Anggun mau omongin bisnis," elak Anggun, entah sejak kapan dia begitu luwes berbohong pada ibunya.

"Hati-hati, ya, Nduk. Jangan lupa makan."

"Iya, Bu, Anggun berangkat." Diciumnya tangan Sukma sebelum pergi.

Anggun melesat cepat ke arah jalan raya untuk menunggu sebuah taksi online. Selama perjalanan, Anggun tak bisa tenang, pikirannya selalu dihantui akan bayang-bayang dirinya menjadi seorang ibu.

"Sebentar, Pak." Anggun menghentikan laju taksi dan turun di sebuah apotek.

"Tes kehamilan 5, Bu." Sang pegawai toko tampak kaget dengan pesanan Anggun, tetapi tetap mengambilkannya juga.

"Makasih, ini uangnya."

"Kembaliannya?"

"Ambil saja." Anggun kembali berlari masuk ke taksi kembali setelah membeli beberapa alat tes kehamilan yang belakangan dijual bebas di apotek.

Suara ketukan pintu menggema sampai ke kamar kos Caroline, memaksa pemiliknya untuk segera membuka pintu.

"Anggun, ayo masuk!"

Anggun langsung memeluk sahabatnya begitu masuk ke kamar. Ia langsung menceritakan semua kejadian yang dialaminya sebulan belakangan bersama dengan Arya, juga tentang hal tabu yang seharusnya tidak boleh dilakukannya sebelum sah menjadi pasangan suami istri.

"Anggun, lo sadar nggak, sih?"

"Gue tahu gue salah, Lin, tapi nggak mau hamil."

"Mendingan lo tes sekarang," usul Caroline.

Caroline dengan cemas menunggu Anggun keluar dengan hasil tes kehamilan yang dipakainya, namun Anggun tak kunjung keluar dari kamar mandi.

"Anggun? Nggun?" Caroline mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada jawaban, hanya isak tangis terdengar lirih.

Terpaksa Caroline mencoba masuk ke dalam. Bisa dilihatnya dua buah alat tes kehamilan berwarna biru di tangan Angun dan dua-duanya memiliki dua tanda strip merah.

"Gue nggak mungkin hamil, Lin." Anggun memeluk kedua kakinya untuk mengurangi rasa kecewa, kepalanya bersandar pada dinding keramik kamar mandi yang dingin. Anggun menerawang kosong ke langit-langit kamar mandi. "Gue nggak mungkin hamil."

"Anggun." Caroline hanya mampu iba dan memeluk tubuh sahabatnya. Caroline menyeka setiap butiran bening air mata yang keluar dari kelopak dan membasahi bulu mata Anggun yang lentik.

"Gue coba lagi! Gue belum percaya kalau gue hamil!" Anggun menghabiskan semua sisa alat tes kehamilan itu, dan hasilnya sama, semuanya positif.

Lalu, apa yang harus dilakukannya sekarang?

Anggun tak ingin menjadi pembunuh, ia tak bisa begitu saja mengugurkan kandungannya. Namun kehamilan ini bagaikan aib ini begitu memalukan, hamil dengan pria yang begitu dibencinya saat ini.

Solusi?

Ya, Caroline mencoba mencari solusi yang terbaik untuk Anggun, yaitu berbaikan dengan Arya dan menikah dengannya. Bukan hal buruk, kan? Arya seorang pengusaha sukses bergelimang harta, pintar, dan wajahnya tampan. Kurang apa lagi coba?

"Menurut gue itu yang terbaik, Nggun."

"Gue nggak bisa!"

"Terus, apa? Lo mau gugurin kandungan lo, gitu?"

"Gue nggak mau jadi pembunuh, Lin."

"So? Lo nggak bisa egois dengan semua keadaan ini, akui saja, Nggun. Lo butuh Pak Arya buat nyelesain semua masalah ini."

"Nggak mungkin Lin, gue benci banget sama dia."

"Tapi pas lo bikin bayi itu, lo nyadar, nggak?? Lo bikin pake cinta nggak?" bentak Caroline.

Anggun terduduk lesu pada bibir ranjang, terus memainkan jemarinya. Tanpa terasa air matanya pun kembali menetes dengan deras, egois sekali membiarkan bayi ini tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah, tapi bagaimana? Beda antara rasa benci dan cinta hanyalah setipis benang.

Kenapa sekali lagi Anggun harus merasakan pahitnya rasa kehilangan? Bahkan kali ini rasanya jauh lebih menyakitkan, karena muncul bersamaan dengan rasa benci yang mendalam.

"Tenangin diri lo. Pikir baik-baik buat lo dan bayi itu, dia nggak salah, Nggun. Lo yang salah kalau membiarkannya tumbuh tanpa kehadiran seorang Ayah." Caroline memeluk Anggun. Anggun hanya bisa terisak pasrah pada pelukkan sahabatnya.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Sudah dua bulan berlalu, janin di rahim Anggun terus menguat, seakan membentuk dinding keras yang melindunginya. Rasa mual dan pusing, serta pegal-pegal pada pinggang tak pernah absen menemani Anggun setiap hari. Tampaknya bayi di dalam kandungannya selalu ingin memperoleh perhatian.

Dua bulan bayi itu tumbuh, tanpa cinta apa pun, Anggun tak pernah menganggap kehadirannya sebagai sesuatu yang membahagiakan. Kalau bisa, mungkin Anggun akan membunuhnya, tetapi hati nurani Anggun masih tidak mengizinkannya untuk melakukan hal itu. Siksaan demi siksaan kerap dilakukan oleh Anggun pada calon bayinya, paling gampang adalah dengan tidak makan.

Sebagai seorang ibu, Sukma semakin curiga dengan perubahan tubuh dan sifat putrinya, tapi memilih diam dan memahami perasaan anak bungsunya itu. Anggun sendiri belum berani berkata jujur tentang kehamilannya. Masih ada rasa yang mengganjal, was-was, sungkan, malu, dan entahlah ada berapa banyak lagi rasa yang membaur dalam benaknya.

"Nduk, ini Ibu bikinin sayur asem." Sukma masuk ke dalam kamar Anggun dengan nampan berisi sayur asem dan sepiring nasi.

"Ibu tahu aja Anggun lagi pingin banget makan ini," jawab Anggun spontan.

Langsung saja Anggun beranjak dari kasurnya dan duduk di bibir ranjang. Walaupun kadang sering tidam mau makan, namun bau sayur asem dan rasanya yang segar membuat nafsu makan Anggun langsung bangkit.

"Enak?"

"Enak banget, Bu," jawab Anggun masih dengan mulut penuh.

Sukma tampak senang, ia mengelus rambut Anggun. Melihat Anggun makan dengan lahap membuatnya bahagia. Namun tiba-tiba Anggun menghentikan suapannya, mungkin si jabang bayi tidak suka dengan sayur asem buatan neneknya. Perut Anggun kembali terasa seperti diaduk-aduk. Anggun berlari, memuntahkan kembali semua makannya di kamar mandi.

"Anggun, kamu muntah-muntah terus setiap kali makan. Mau Ibu bawa ke dokter?" Sukma tampak begitu khawatir dengan kondisi Anggun.

Anggun menangis saat melihat wajah ibunya yang khawatir. Anggun tak mampu lagi menyembunyikan semua dosa ini. Yang paling dibutuhkannya sekarang adalah dukungan, kasih sayang, dan juga perhatian dari orang terdekatnya. Perlu keberanian ekstra saat Anggun terselungkur ke bawah dan memeluk kaki ibunya.

"Maafin Anggun, Bu. Anggun hamil," tangis Anggun.

"Ya, Tuhan, YA TUHAN!!" Sukma berseru, penuturan jujur Anggun langsung membuat kakinya lemas.

Anggun hanya bisa terisak di bawah kaki ibunya, sedangkan Sukma menangis dan terduduk lemas. Tak percaya anak gadis yang dengan susah payah dibesarkannya telah hamil di luar nikah. Sukma berusaha tegar. Bukankah seharusnya dia merasa senang dengan berita tersebut? Bukankah kehamilan merupakan sesuatu yang harus disyukuri oleh setiap manusia?

"Siapa, Nduk? Siapa laki-laki yang melakukannya?" tanya Sukma lirih. Anggun hanya menggelengkan kepalanya, menghindari pertanyaan ibunya.

"Suruh dia bertanggung jawab!" Sukma menutup mulut dengan tangan keriputnya, menahan tangisan.

"Anggun nggak mau, Bu. Anggun akan membesarkan anak ini sendiri!" teriak Anggun.

"Bagaimana bisa? Ibu dan ayah membesarkan kalian bertiga saja masih harus dengan bersusah payah. Apa lagi kamu akan membesarkannya sendirian?" bentak Sukma.

Anggun terdiam mendengar bentakan ibunya, sudah lama sekali ibunya tidak pernah semarah ini padanya. Anggun memilih diam, tak lagi mampu berkata apa pun. Anggun sadar betul bahwa semua ini memang adalah kesalahnya. Keegoisannya yang membuat Anggun tak mampu berbaikan dengan Arya.

"Siapa Anggun? Siapa?" bentak ibunya lagi. Anggun masih terus tertunduk lesu.

"Maaf, Bu. Anggun nggak bisa kasih tahu Ibu siapa Ayahnya." Anggun siap kalau ibunya kembali membentak atau bahkan mungkin memukulnya.

Namun, bukannya bentakan ataupun pukulan yang mendera Anggun, melainkan sebuah pelukan. Ya, sebuah pelukan hangat dari ibunya yang langsung membuat Anggun kembali terisak. Memang hanya ketenangan jiwa yang diperoleh Anggun dari pelukan itu, tetapi rasanya begitu tak ternilai di dalam batin, "Maafin Anggun, Bu." Tangisan Anggun semakin menjadi-jadi.

"Sudah-sudah, kasihan bayi itu kalau kamu terus menangis." Tangan keriput yang hangat itu menghapus butiran air mata Anggun dengan lembut.

"Anggun nggak mencintai bayi ini, Bu."

"Ngomong apa kamu, Nduk? Bayi itu anugerah, dan setiap manusia harus bersyukur karenanya."

"Anggun nggak pernah menginginkannya, Bu," lirih Anggun.

"Suatu saat kamu pasti akan mencintainya melebihi dirimu sendiri, Nduk. Sekarang cobalah kembali makan, bayi itu butuh nutrisi!" Ucapan ibunya membuat Anggun terdiam malu.

"Sudah berapa bulan, Nggun?" tanya Sukma sambil mengusap perut Anggun.

"Hampir 3 Bulan, Bu."

Sukma kembali mengelus perut anaknya, ia tersenyum simpul, tetapi bukan senyum yang dipaksakan. Anggun melihat ekpresi tulus di wajah ibunya dan tertunduk malu. Dalam hati Anggun berjanji akan mulai mencoba mencintai janin yang mulai tumbuh menjadi bayi mungil dalam rahimnya itu.

— GORESAN WARNA PELANGI —

avataravatar
Next chapter