11 HIJAU

GORESAN WARNA PELANGI

WARNA KEEMPAT - HIJAU

_______________

— HIJAU, kedamaian tercipta seiring dengan warna hijau yang membentang luas. Hamparan rumput hijau mengembuskan kesegaran angin pagi dari tiap pucuk tunasnya, menggambarkan keindahan rasa rindu pada tiap tetesannya. —

________________________

Kini genap satu minggu Arya dan Anggun memadu kasih. Anggun meminta Arya untuk menyembunyikan hubungan mereka saat berada di kantor. Tak ingin dirinya menjadi bahan pergunjingan di antara karyawan kantor lainnya. Arya menyanggupi permintaan Anggun. Mereka tetap berjalan seperti atasan dan bawahan pada saat jam ngantor.

Pesawat telepon di meja Anggun berbunyi.

"Halo," sapa Anggun, tangan dan matanya masih fokus pada layar laptop.

"Bu, saya bagian pajak. Bisa minta BPHTB tanah Kalimantan yang dulu dibawa Pak Arya? Kami butuh untuk lapor SPT tahunan pabrik di sana."

"Oh, baiklah. Saya tanya ke Pak Arya dulu, ya." Anggun menjawab balik permintaan departemen perpajakan.

"Terima kasih."

"Sama-sama." Anggun menutup panggilannya dan beralih untuk memencet nomor ponsel Arya. Tak butuh waktu lama dan Arya sudah menjawab panggilannya.

"Pak, maaf mengganggu waktunya. Bagian perpajakan minta dokumen BPHTB tanah Kalimantan yang dulu saya berikan ke Bapak untuk dicek." Anggun menjelaskan panjang lebar.

"Kalau nggak salah di laci paling bawah, Nggun," jawab Arya.

"Baik, Pak."

"Aku rindu padamu, Nggun. Di sini sangat membosankan nggak ada kamu." Arya terkekeh, dengan klien siang ini Arya tidak didampingi oleh Anggun.

"Baru satu jam, Pak," jawab Anggun, "tapi saya juga rindu, Pak." Anggun tersipu malu.

"Tunggu saya, ya, kita makan siang bareng!"

"Baik, Pak." Anggun mengembangkan senyuman di wajahnya begitu sambungan telepon terputus.

Anggun menurunkan bahu dan beranjak dari bangku menuju ke meja kerja Arya, membuka laci paling bawah untuk mengambil berkas tanah di Kalimantan.

"Di mana, di mana?" Anggun membuka satu persatu berkas yang menumpuk di laci Arya.

"Sekalian aku rapikan saja," guman Anggun.

Anggun mengeluarkan semua berkas di laci bawah yang bertumpuk acak-acakan.

Anggun senang saat menemukan dokumen yang ia cari. Setelah menyisihkan dokumen itu, Anggun merapikan sisanya. Mata Anggun tertuju pada sebuah file dengan lambang kepolisian di atasnya.

"Berkas penetapan tersangka kasus penabrakan dr. Bimo Yudha Putra?" Anggun membaca tulisan pada bagian perihal kop surat.

Mata Anggun terbelalak, pupilnya mengecil, tangannya bergetar hebat. Dengan perlahan, Anggun membuka file case-nya. Membaca rentetan demi rentetan surat penahanan yang menetapkan Arya Nitiraharjo sebagai tahanan kota.

Air mata Anggun menetes perlahan, tangannya menutup mulut yang mengangga lebar. Anggun membaca sekali lagi berkas itu, sekali lagi, dan sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama. Arya adalah tersangka kasus penabrakan seorang dokter muda bernama Bimo.

Tubuh Anggun langsung merosot lemas ke lantai. Jantungnya berdebar tak keruan, rasanya sakit, dan menyesakkan. Anggun menjambak rambutnya karena rasa pusing yang tiba-tiba datang mendera. Pria yang begitu dicintainya telah direnggut paksa, dan ternyata bukan Tuhan yang merenggutnya, tetapi ....

"Anggun." Arya kaget melihat tubuh Anggun yang terduduk lemas, dandanan acak-acakan. Air matanya mengalir deras.

"Arya ...."

Dengan berat, Arya menelan salivanya. Matanya pun tak kalah melebar saat melihat surat kepolisian berada di tangan Anggun. Arya ingin menjelaskan pada Anggun. Namun, Anggun sudah terlebih dahulu bertanya padanya.

"Apa maksud semua ini?"

"Anggun, bisa aku jelasin semuanya." Arya mendekat.

"JANGAN MENDEKAT!" teriak Anggun.

"Anggun, aku ...."

"JANGAN MENDEKAT!"

"Saat itu, lampu hijau, Anggun," jelas Arya, ia berjalan perlahan berusaha tenang saat mendekati Anggun.

"Apa kau tahu? Apa kau tahu aku calon istri Mas Bimo? Apa kau tahu bahwa dokter muda yang kau tabrak itu adalah calon suamiku?" cerca Anggun.

"Iya, aku tahu Anggun."

Hati Anggun langsung ambles, tak disangka telah memberikan hatinya pada orang yang telah membunuh Bimo, calon suaminya sendiri. Anggun merasa menjadi wanita paling bodoh di dunia. Terpedaya oleh laki-laki berengsek seperti Arya.

"Sejak kapan kau tahu?" lirih Anggun.

"Sejak di panti asuhan, saat aku melihat Ibunya." Arya tertunduk malu, keegoisannya telah melukai hati Anggun.

Harusnya Arya mengakui saja semuanya, harusnya Arya katakan saja semuanya.

Namun Arya takut, Arya takut Anggun tak bisa memaafkannya, tak bisa menjadi miliknya. Kenyataannya salah, Anggun malah lebih terluka dengan kebenaran ini, kebenaran yang disembunyikan membuat Anggun semakin membencinya, semakin kecewa, dan semakin sakit.

"Anggun, dengerin dulu, ya!" pinta Arya.

"Nggak!" tolak Anggun.

"Anggun, tolonglah! Aku nggak bisa bicara jujur karena takut kehilangan dirimu." Arya menarik tangan Anggun dan memeluknya.

"LEPASIN! LEPASIN! AKU BENCI PADAMU!" Anggun meronta.

"Anggun! Tolonglah." Arya mengunci pergelangan tangan Anggun, memandang wajah cantiknya yang kacau karena berlinang air mata.

"Kau jahat, Arya! Jahat!" Kaki Anggun lemas dan kembali terduduk. Arya ikut merosot, mengikuti tubuh Anggun, memeluk erat kekasihnya.

"Maaf, Anggun. Maaf." Arya ikut menitikan air matanya, menyatukan dahi mereka. Tangannya terus memeluk erat tubuh Anggun, seakan-akan takut perempuan itu akan meninggalkannya begitu dekapan mereka terlepas.

"LEPASIN! AKU HARUS PERGI! KAU BERENGSEK!" Dengan sekuat tenaga Anggun melepaskan diri dari cengkraman Arya. Ia berlari menuju pintu keluar, Arya mengejarnya.

"Anggun! Jangan pergi!" Arya mencengkram pergelangan tangan Anggun.

Plak!

Anggun menampar Arya. Melemparkan pandangan muak dan penuh dengan kebencian pada Arya. "Kau pengecut, Arya! Aku menyesal telah memberikan hatiku untukmu!"

Arya terpaku setengah tak percaya, wanita yang begitu dicintainya kini benar-benar telah membencinya. Anggun tak melepaskan kesempatan ini, ia langsung pergi dari pandangan Arya.

— GORESAN WARNA PELANGI —

Anggun menghapus air mata yang membanjiri wajah cantiknya. Sudah dari pagi ia tak berhenti menangis. Batinnya benar-benar tersiksa dengan keadaan ini. Anggun tak bisa memungkiri bahwa ia pernah begitu mencintai Arya. Cintanya yang dalam membuatnya semakin membenci Arya. Anggun marah dan geram, pasalnya Arya juga tak pernah jujur pada dirinya. Arya menabrak Bimo dan lelaki itu tahu Anggun adalah calon istri dari pria yang telah ditabraknya.

Kenapa Arya tega menyembunyikan semua kebenaran ini?

Anggun merasa sakit, hatinya sesak. Padahal baru seminggu ini ia merasa bahagia, mulai merasakan kembali manisnya cinta dan kini dia harus merasakan kembali pahitnya kehilangan.

"Anggun, ada Nak Arya di bawah," panggil Sukma dari depan kamar, membuat Anggun terperanjat. Anggun bergegas menghapus air matanya dan menetapkan hati.

"Iya, Bu," jawab Anggun, suaranya terdengar parau karena terlalu banyak menangis.

"Kamu nggak apa-apa to, Nduk? Kok suaramu aneh? Flu?" Sukma mengetuk lagi pintu kamar Anggun, memastikan keadaan putri bungsunya itu.

"Nggak kok, Bu. Anggun baik. Bisa Ibu tolong suruh Pak Arya tunggu sebentar?" Anggun berbicara di balik pintu, tak ingin menampakkan wajah menyedihkannya di depan Sukma.

"Baiklah, jangan lama-lama, ya, Nduk! Kayaknya penting."

"Iya, Bu."

Anggun bergegas membasuh wajahnya dengan air. Mencoba sedikit menghilangkan rona merah kusut pada wajah cantiknya sehabis menangis. Anggun harus tegar, ia harus mengakhiri semua hubungannya dengan Arya. Hatinya begitu membenci Arya, dan tak mungkin bisa melanjutkan tali asmara yang terjalin di antara mereka saat ini.

"Anggun." Arya langsung memanggil nama Anggun begitu wanita lembut ini keluar dari pintu ruang keluarga.

"Mau apa datang ke sini?" tanya Anggun nyolot.

"Maafin aku, Nggun." Arya mencoba menggenggam tangan Anggun, tetapi Anggun menepisnya.

"Terlambat! Aku membencimu! Aku tak percaya lagi padamu! Pergilah! Mulai saat ini, kita putus." Anggun memutar tubuhnya dan meninggalkan Arya.

Arya masih berusaha menggenggam pergelangan tangan Anggun sebelum menjauh pergi. "Anggun! Semudah itukah kau menghapus cinta kita? Menggantinya dengan rasa benci?"

"Asal kau tahu, beda antara cinta dan benci hanyalah setipis benang! Dan aku membencimu, Arya! Aku sangat membencimu!" geram Anggun.

"Anggun!" Arya menarik tubuh Anggun dan hendak mencium bibirnya. Anggun menghindar, ia tak ingin Arya menyentuh apa lagi sampai menciumnya.

"Berengsek!" murka Anggun, seumur-umur baru kali ini Anggun begitu marah sampai tak bisa menjaga ucapannya. Ucapan kasar dan nada tinggi terus keluar dari bibir merahnya.

"Anggun!"

"Pergi! Jangan temui aku lagi!" usir Anggun.

"Kenapa kau tega padaku?" Arya belum bisa menerima penolakan kan Anggun.

"Aku sudah tak lagi mencintaimu! Aku membencimu!" Anggun menepis tangan Arya dan kembali masuk ke rumah. Di tengah jalan, Anggun bertemu dengan Sukma yang membawa nampan dengan es sirup di atasnya.

"Lho, kok cepet banget?" Sukma keheranan, bahkan anak gadisnya itu dengan tak acuh meningglkan ruang tamu. Anggun melirik ke arah es sirup, menangis dan marah membuatnya haus. Dengan secepat kilat Anggun meminum es sirup buatan ibunya.

"Itu buat Nak Arya," kata Sukma.

"Gak usah dibikini!" gerutu Anggun sebal.

"Kenapa?" tanya Sukma

"Pembunuh itu sudah mau pulang!" Anggun memang sengaja berteriak agar Arya pergi.

Arya tertunduk lesu. Tak mudah baginya untuk menyembuhkan kembali hati Anggun yang terlanjur remuk redam. Serpihannya terlalu susah untuk disusun kembali. Akhirnya Arya menyerah saat ini, menunggu suasana hati Anggun menjadi jauh lebih baik.

Anggun terus bersedih dan menangisi kisah hidupnya di dalam kamar. Kenapa Tuhan memberikan hujan di saat hari sedang bersinar cerah? Kenapa Tuhan harus memberikan kenyataan pahit padahal manisnya kehidupan baru saja terasa kembali pada kehidupan Anggun.

"Arya!" teriak Anggun sambil menangis pilu.

Setiap hari, Arya pergi ke rumah Anggun untuk menjelaskan semuanya. Namun, hati Anggun terlanjur beku, mati oleh rasa kecewa dan penyesalan. Penolakan demi penolakan terus disampaikan oleh Sukma saat Arya bertandang ke rumahnya. Anggun telah menceritakan semuanya pada Sukma bahwa Aryalah yang telah membunuh Bimo. Aryalah yang telah menabrak calon suaminya. Sukma hanya bisa menghormati keputusan anak gadisnya saat ini.

"Maaf, Nak. Anggun nggak mau bertemu."

"Baik, Bu."

Arya selalu kembali pulang ke rumahnya dengan perasaan terluka. Hatinya dipenuhi rasa penyesalan. Aku nggak boleh menyerah dan kehilangan Anggun.

— GORESAN WARNA PELANGI —

avataravatar
Next chapter