webnovel

Part 2. Kehidupan baru

"Mmm ... pantes aja dari kamar udah ada bau masakan enak, ternyata dari sini asalnya," ucap Satya, dengan nada bicara yang tengah memuji, sambil melangkahkan kaki mendekati Fatma yang tengah berkutat dengan wajan dan juga kompor.

Mendengar suara suaminya, Fatma segera menengok ke belakang, lalu tersenyum saat melihat Satya yang berjalan mendekat ke arahnya.

Melingkarkan kedua tangan ke pinggang, dengan dagu yang diletakkan di atas bahu. Mencium bau tubuh Fatma yang memiliki aroma khas seperti bayi, karena istrinya itu memang sangat suka menggunakan minyak telon.

"Mas, geli tau! Aku mana bisa masak kalau kek gini," tegur Fatma, yang dijawab gelengan kepala oleh Satya.

Menghembuskan napas kesal, lalu memilih untuk mematikan kompor dan perlahan membalikkan tubuhnya, sehingga mau tak mau membuat Satya melepas posisi seperti tadi.

"Mandi dulu, gih! Bau acem!" titah Fatma, dengan tangan yang menutup lubang hidung, berpura-pura jika apa yang diucapkan itu adalah benar adanya.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Satya, ia langsung melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, padahal sebenarnya ia sudah bersiap untuk hal ini, bahkan dirinya membawa handuk dari dalam kamar.

Namun, saat melihat pemandangan Fatma yang tengah memasak di dapur, membuat Satya lebih memilih untuk memeluk perempuan yang sudah sah menjadi istrinya itu.

Setelah memastikan jika Satya sudah masuk ke dalam kamar mandi, Fatma menggelengkan kepalanya, lalu kembali menyalakan kompor dan melanjutkan kegiatan memasak yang sempat tertunda tadi.

Dengan gerakan yang secepat kilat, semua pekerjaan langsung terselesaikan oleh kedua tangan Fatma. Setelah mencuci tangan, Fatma memilih untuk melangkahkan kaki menuju ke kamar Vina terlebih dulu untuk membangunkan dari tidur.

"Sayang! Bangun, yuk! Berangkat sekolah!" titah Fatma, sambil menepuk pelan pipi kanan milik Vina.

Namun, usaha Fatma yang seperti itu justru tak membuahkan hasil. Malah Vina semakin terlihat lebih pulas.

Sadar jika tak ada respon sama sekali, Fatma lebih memilih untuk keluar dari kamar Vina, lalu melangkah menuju ke kamar milik Tian yang berada di sebelah kamar Vina.

"Tian! Nak, mandi yuk! Bangun, udah jam tujuh," ucap Fatma, ia sama sekali tak berputus asa untuk melakukan hal ini.

Padahal, ini adalah hari pertama ia merasakan menjadi seorang ibu rumah tangga. Namun, ternyata rasanya sangatlah melelahkan.

Andai saja Tian dan Vina adalah anak yang menurut pada ucapan Fatma, tetapi hal itu hanya keinginan saja. Karena pada kenyataannya, Tian dan Vina sama.

"Huft ... sabar, Fatma. Sabar," ucap Fatma pada dirinya sendiri supaya tak patah semangat.

Ini adalah jalan hidup yang sudah dipilihnya, hati Fatma jatuh pada seorang laki-laki yang baru saja berpisah dengan istrinya, dan meninggalkan dua anak yang memiliki prasangka salah terhadapnya.

"Eh, Mas! Tolong bangunin anak-anak ya!" pinta Fatma yang langsung menghentikan aktivitas menyapu lantai, saat Satya melintas di depannya setelah selesai mandi.

Satya tersenyum miris, lalu mengusap lembut puncak kepala Fatma dan menjawab, "Oke, Sayang. Nanti Mas bangunin anak-anak ya."

Fatma menganggukkan kepala, lalu dengan terpaksa ia pun tersenyum. Sepertinya Satya, ia pun kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi, yaitu menyapu seluruh lantai rumah.

"Eh! Anak-anak Ibu udah bangun? Pinter-pinter banget sih!" sapa Fatma, dengan kata-kata pujian.

Tetapi hal itu justru membuat Tian muak, lalu menyahut, "Kita itu anak-anak mama! Bukan kamu!"

"Enggak boleh ngomong gitu, Tian!" sentak Satya, yang mendengar ucapan Tian barusan. Ia sangat paham bagaimana perasaan Fatma barusan.

Mendengar suara ayahnya yang tiba-tiba muncul, Tian langsung diam dan menundukkan pandangannya. Hingga sampai Satya berdiri di depan Tian dan juga Vina yang masih menunduk.

"Ayah enggak pernah ngajarin kalian kek gitu! Enggak punya sopan santun!" ujar Satya berusaha menasihati kedua anaknya itu.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut keduanya, baik Tian maupun Vina. Semuanya bungkam. Tiba-tiba saja Tian melangkahkan kaki menuju ke kamar mandi, meninggalkan Satya yang akan kembali berucap untuk menasihati.

Vina bingung di posisi saat ini, ikut dengan kakaknya sangat tak mungkin, tetapi kalau berada di sini dengan orang jahat, pasti nanti dirinya akan terluka.

"Vina mau makan?" tawar Fatma, mencoba untuk mencairkan sesuatu, lalu ia pun mengulas seyuman.

"Enggak suka!" jawab Vina, dengan suara yang bergetar.

Satya yang menyadari hal itu, segera menggandeng Vina, lalu mengajaknya keluar untuk berbicara.

"Sudah, Sayang. Jangan dipikirin," ucap Satya sebelum keluar dari rumah, sambil mengusap lembut kepala istrinya itu.

Fatma mengangguk, lalu berusaha untuk melupakan kejadian yang tadi. Meskipun sebenarnya jauh di dalam hati, ia sungguh merasa sangat sakit.

Namun, Fatma langsung menepis semua pikiran buruk tentang masa depannya di rumah itu, lalu memilih untuk mengaduk nasi panas yang akan diletakkan di atas meja. Karena akan dihidangkan.

"Vina kenapa sih? Enggak suka sama Ibu?" tanya Satya, sambil mengajak anaknya untuk duduk di teras depan rumah.

Panggilan antara Fera dengan Fatma memang dibedakan. Karena apa? Ya supaya lebih enak saja.

"Kamu tahu tidak? Ibu itu baaik banget! Kalau bilang ibu jahat, berarti kamu belum sepenuhnya kenal sama ibu," ujar Satya, dengan kepala Vina yang mengangguk. Mungkin saja otaknya tengah bekerja supaya dapat menerima kehadiran Fatma sebagai keluarga baru.

"Vina belum mandi ya?" tanya Satya yang langsung diangguki oleh Vina. "Ya udah mandi dulu ya, nanti baru makan!"

Satya kembali membawa Vina masuk ke dalam rumah, lalu mengantarkan hingga ruang makan saja.

"Sayang, kamu mau mandi?" tanya Satya, saat mendapati Fatma yang hanya mengenakan handuk.

Dengan ragu Fatma menganggukkan kepalanya dan menjawab, "Iya, Mas. Memangnya kenapa?"

"Vina ikut, boleh tidak?" tanya Satya, yang membuat raut wajah Fatma langsung senang.

"Boleh banget dong! Mana vina-nya?" jawab Fatma.

Belum juga dijawab oleh Satya, Vina tiba-tiba saja datang dengan tubuh yang juga diselimuti dengan handuk. Sama halnya dengan Fatma.

"Kita mandi bareng yuk, Nak!" ajak Fatma, dengan senyuman yang sudah sangat lebar.

"Enggak ah! Enak aja! Bisa mandi sendiri, kan?" tolak Vina dengan nada bicara yang sedikit membentak.

"Nanti aja gantian!" Setelah itu Vina terlebih dulu masuk ke dalam kamar mandi, percakapan seperti itu terdengar langsung di telinga Satya.

Berdiri dari posisi duduknya tadi, lalu menghampiri istrinya itu. "Sabar ya, Sayang."

Fatma hanya mampu mengulas senyuman palsu, yang akhir-akhir ini selalu ia tunjukkan. "Tidak apa-apa, Mas. Namanya juga anak."

Mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Fatma, membuat hati Satya sedikit dicubit, ia ikut merasakan apa yang sedang Fatma rasakan saat ini.

Satya hanya bisa memeluk perempuan yang menjadi istrinya itu. "Maafin aku ya, untuk semua apa yang dilakuin sama anak-anak aku tadi."

"Tidak ada yang salah sama sekali, Mas. Ya ... namanya juga anak kecil, aku enggak heran kok," jawab Fatma, dengan kedua tangan yang bertambah erat untuk memeluk sang suami.

Tak dapat ditahan lagi, air mata langsung lolos begitu saja dari kedua sudut air mata Fatma. Rasa sakit langsung sampai di alam hati, bahkan memiliki efek yang sangat menyesakkan.

"Loh, Sayang, kamu nangis? Jangan eperti ini. Aku enggak akan tega kalau liat kamu nangis kek gini," ucap Satya, lalu mengusap pelan air mata tersebut.

Next chapter