4 sudah pagi?

nyanyian burung di pagi hari menggelitik kedua telingaku, lucu sekali mengingat aku yang hidup ditengah kota ini, mendengar banyak suara burung saling menyahut satu sama lain.

bukannya malah penasaran dengan jenis burung yang berterbangan diluar sana, tanganku malah mengambil bantal disebelahku lalu menutup kepala rapat-rapat, agar tak mendengar lebih banyak suara burung yang seakan terbang memutari kepalaku.

samar-samar aku mendengar langkah kaki berderit diantara celah lantai kayu, yah, rumah ku yang bobrok ini terdiri dari 100% bahan dari alam. Tentu saja rasa malas ku mulai menjadi-jadi, dan malah menutup telingaku rapat-rapat dengan bantal yang sengaja ku taruh diatas kepala.

tanpa aba-aba, sebuah tronton menabrak tubuh sampingku. "BANGUN KAU PUTRI KESIANGAN!!!" yah, bahkan kalksonnya lebih nyaring daripada suara mercusuar.

karena merasa dibangunkan dengan cara yang tidak menyenangkan, aku berdiri dari bawah kasur --karena tadi aku ditendang sampai terjatuh dari kasur, dan menatapnya dengan urat yang berkedut dipelipisku.

"Apa?" bukannya malah takut, ia malah balas memelototi ku. aku masih melihatnya kesal, tapi tanganku jelas-jelas bergetar. kali ini aku harus bersikap layaknya pejuang yang memperjuangkan hak-haknya!!

wanita itu menyilang kan kedua tangannya, "apa? ada yang mau kau katakan, hah?" dan menatapku seakan menantang. aku akan mengatakannya dengan lantang!!

"e-engga..ma-makasih sudah dibangunin, kak." sial, aku malah gemetaran.

ia menaikan salah satu alis matanya, "bagus. rapikan kasur, mandi, lalu turun kebawah." perintahnya sambil menunjuk setiap hal yang harus kulakukan. Kenapa aku mengalah lagi?!!!

***

yah, kuakui kakakku ini menyebalkan, kasar dan jauh dari kata feminim. tapi tidak ada yang bisa mengalahkan masakannya dalam bidang apapun, bahkan chef An bold sekalipun. "si asisten kaka kemana? tumben ga ngapel pagi-pagi." cengirku yang langsung dibisukan dengan lemparan garpu, yang untungnya meleset dan menancap di dinding belakang pundakku.

"jika yang kau maksud itu manusia yang bernama Ryan, aku menyuruhnya untuk mengambil cuti." walau ia baru saja melempar garpu kearah adek kesayangannya, ekspresinya datar layaknya talenan. "ambil cuti?" entah mengapa itu membuatku curiga, "bukannya dia ga pernah mau ambil cuti, ya?" lanjutku.

"selama 2 tahun manusia itu ga ambil cuti sama sekali, entah dia workholic atau gimana." jawab kak Michel. "ma-manusia?" aku selalu terkejut jika Kaka memanggil Ryan dengan sebutan 'manusia', aku masih tidak terbiasa.

"benar manusia, toh? ada tubuh, organ dan-" belum sempat kak Michel selesai, aku memotong, "iya, aku juga tau hal itu!"

"lalu untuk apa bertanya?" ia melirik kearahku, "kan dia punya nama, kak. masa semua orang Kaka panggil 'manusia'?" jawabku agak ragu saat ia melirik.

"toh dia juga setuju kupanggil 'manusia'." ujar kak Michel sambil mengangkat bahunya. baiklah, kuakui Ryan telah dibuat bodoh oleh kakaku yang bodo amat ini. oke, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan yang akhirnya akan menyudutkanku. ALIHKAN TOPIK!!

aku memutar mataku kesegala arah untuk mencari topik yang cocok kubicarakan dengan kak Michel. kaka memberitahu bahwa aku tidak sekolah tadi pagi, yah, itu membuatku kaget sesaat.. jujur saja, walau aku ini termasuk dalam daftar anak nakal, aku tidak pernah bolos kelas pagi maupun terlambat. sangat jarang kami berdua bisa sarapan pagi bersama seperti ini, biasanya ia sarapan deluan karena harus membuka klinik lebih awal, sebelum aku berangkat sekolah.

"jadi.. apa Kaka memaksa Ryan untuk ambil cuti?" tutur ku seraya melanjutkan makan. "sesuka apapun dia dengan pekerjaan, tubuh manusia itu butuh cuti." sebentar.. yang kakak maksud 'manusia' disini itu, kak Ryan atau benar-benar penyebutan tentang manusia? sekarang aku bingung.

"bagaimana cara kaka menyuruh workholic sepertinya untuk ambil cuti?" aku penasaran, karena selama bekerja dengan Kaka, Ryan sama sekali tidak pernah ambil cuti dan selalu fokus dengan pekerjaannya. sudah beberapa kali kakaku menyuruh Ryan untuk mengambil cuti tahunannya, dan meringankan beban pikirannya, bukannya malah berhenti, Ryan malah makin gila bekerja, yang sebelumnya masuk pukul 8.00-22.00 jadi 05.00-23.00.

"aku mengancam untuk memotong gajinya jika dia tidak mendengarku kali ini." jawab Kak Michel santai sambil menyeruput teh hangatnya. benar-benar ancaman mantan preman paling ditakuti dikota ini tiada duanya.

"semalam.." aku melirik ke kak Michel, "Atam pulang jam berapa, kak?"

Kaka membalas tatapanku dengan datar, "jika tidak kuusir dia akan pulang tadi subuh." cetusnya.

"kenapa sih Kaka ga pernah suka sama Atam?" ucapku manyun, yah, sampai sekarang aku memang ga pernah terbuka membicarakan hubungan ku dengan Atam. karena jika Kaka marah, siapa yang tau Atam bakal dibuang ke Empang belakang rumah. membayangkannya saja sudah membuatku merinding.

"oh?" ia tiba-tiba berhenti memakan roti panggang yang sudah setengah digigit itu, "kelihatan ya?" jawabannya yg datar dan terlihat tak berperasaan itu membuatku kesal.

"gimana bisa ga keliatan?! setiap kali Atam datang, Kaka selalu memelototinya dan bicara dengan nada mengancam!" kesalku, ia hanya merespon dengan salah satu alis yang terangkat, lalu mengangkat bahunya, "yah itu sudah wajar, bukan?"

"Hah?! kok wajar sih?" semburku, "melotot dan mengancam orang itu bukan hal yg wajar, kak!" aku menekankan kata 'kak' untuk mempertegas ucapanku.

suara meja yang terbentur lututnya menggetarkan piring didepanku, tapi itu bukan alasan kenapa jantungku berdetak tak karuan. saat ini kak Michel berdiri didepanku dengan matanya yang tertutup dibawah bayangan poninya, mulutnya sedatar tembok, dan tekanan yg kurasakan darinya bahkan lebih buruk daripada ulangan harian dadakan dari guru killer disekolah ku. aku ketakutan hingga membuat kakiku tak sanggup lagi melangkah.

ia tak bergerak selama beberapa saat, hingga akhirnya ia memajukan tubuhnya lalu menaruh tangannya ditengah meja dengan kesan tak bersahabat untuk menopang tubuhnya. semakin ia mendekat, aku semakin menjauhkan kepalaku darinya. seberapa lama aku hidup bersama dengannya, aku tidak pernah terbiasa saat ia melakukan hal ini.

aku terus menjauhkan tubuhku darinya, hingga akhirnya pundak ku menyentuh sandaran kursi, ia tak berhenti mendekatkan tubuhnya kearahku, hingga jarak kami hanya sejengkal anak usia 5 tahun.

kepalanya yang tertunduk perlahan terangkat. semakin wajahnya nampak, semakin jantungku berdisko tak karuan. sial! aku ketakutan bukan main!

bibirnya yang deluan terlihat hanya membentuk garis lurus yang datar, itu bisa saja mengartikan banyak hal, lalu lubang hidungnya itu terlihat bernafas dengan normal. biasanya saat seseorang menahan amarah, ia akan bersamaan menahan nafasnya yang mengebu-gebu karena harus menahan rasa panas didada. jadi, dia tidak marah? lalu apa?

inilah yang paling kutakutkan, tatapannya.. matanya yg tertuju kearahku, pandangannya yang lurus kedepan tanpa ekspresi itulah yang membuat bulu kudukku berdiri.

"kau." aku sontak terkejut dan tanpa sadar pandangan kami saling bertemu, "apa dengan diam saja kamu kira aku tidak tahu?"

apa maksudnya? apa yang dia katakan? aku tidak bisa berpikir jernih!! aku ketakutan.

"aku tahu apa yang kau sembunyikan, Sena."

mataku spontan terbuka lebar dengan penuh ketidakpercayaan, aku tidak bisa merasakan kaki dan tanganku. tapi aku bisa mendengar suara jantungku, aku merasakannya berhenti sesaat.

hanya satu hal yang terlintas dikepalaku, apa Kaka tau hubunganku dengan Atam?

avataravatar