3 Chapter 3

Nicky duduk di sebelah jendela menyaksikan hujan di luar. Jalanan nampak lumayan sepi, seolah-olah para pengendara kompak berteduh tanpa aba-aba.

Baru kali ini Nicky sadar akan hal itu. Jalanan Jakarta bisa lumayan sepi karena hujan. Ia sedikit menyesal karena harus pergi keluar, berakhir di café menunggu Muza. Muza berniat meminjam gitar milik kakaknya Nicky yang kebetulan dititipkan pada Nicky. Warnanya pink.

Terbungkus tas gitar, bersandar pada kaca.

"Hhhh . . ." hela napas Nicky.

Kakinya apalagi lututnya membeku kedinginan. Badannya kurus sehingga hawa dingin dengan mudah menyeruak di tulang tubuhnya. Tak kalah sakit di area kepalanya. Hawa dingin memang tak cocok dengan Nicky.

Café tersebut juga sepi. Lagu yang diputar tak menambah suasana menjadi riang atau menaikan mood. Yang ada mendukung mood menggalau. Nicky yakin orang akan semakin galau berada di tempat ini. Beruntung Nicky tidak ada yang ia galaukan kecuali perutnya yang lapar.

Perjanjian meminjam ini disepakati Nicky bila Muza menjajakannya makanan. Telah lama Nicky menahan lapar menunggu Muza. Sesekali Nicky mengelus perutnya, menenangkan perutnya agar tak mengeluarkan suara yang akan membuatnya malu bila terdengar orang lain.

Suara lonceng berbunyi. Itu artinya pelanggan baru masuk ke dalam. Dari tempat duduk Nicky, Muza yang ia tangkap. Jaket abu-abu Muza jelas terbasahi hujan pada di bagian pundak dan punggung. Sebelum Muza menghampiri Nicky, ia memesan makanan dan minuman.

Muza melepas jaketnya. Meletakan di kursi sebelahnya. Jemarinya mengacak poninya yang basa, entah mengapa Muza tetap tampan dengan keadaan kuyuh. Nicky jadi tidak tega memarahi Muza atas apa yang telah terjadi.

"Apa nggak ada payung?" heran Nicky.

"Nggak bawa payung, nggak sempet juga takut kamu nunggu lama, Nick. Sorry telat, tadi macet." Muza masih sibuk mengacak poninya dengan jemarinya.

Nicky memberikan tisu pada Muza. Muza menerima tisu lalu menggunakan tisu untuk mengeringkan rambutnya.

"Tapi di daerah sini sepi."

"4 tikungan dari sini macet." jelas Muza sebagai saksi mata.

Pelayan pun menghidangkan tiga kue, satunya untuk Muza dan dua untuk Nicky. Tak lupa ditemani minuman hangat, coklat panas kesukaan Nicky. Ketika makanan dan minuman tersebut mendarat di meja langsung saja Nicky menyambar, mengikis satu persatu dinding kue tersebut.

Muza pun duduk di sebelah Nicky. Mengeluarkan gitar dari tasnya. Semburan tawa yang tertahan pun meledak setelah Muza mengetahui warna gitar milik Nicky berwarna pink. Betapa panasarannya Muza ingin melihat dirinya di depan kaca sambil memangku gitar pink itu.

"Pink warna kesukaan nih, kkkkkk." celetuk Muza.

"Terus kamu manggung pakak jas pink, celana pink, mantap banget deh." timpal Nicky menambah tawa Muza.

"Suka lagu apa?" Muza mulai memetik senar gitar acak namun bermelodi.

"Jangan deh, mood-nya lagi adem gini, entar aku jadi tambah ngantuk." Nicky menoleh ke arah Muza, "Lihat nih mataku, merah kecapean nahan ngantuk."

"Oke, makasih ya sudah minjamin gitar, besok habis pulang sekolah langsung aku kembaliin."

"Gapapa, lagian nggak ada yang mainin itu gitar." jawab Nicky polos.

Muza kebingungan dengan apa yang baru saja ia dengar, "Terus kenapa beli gitar coba?"

"Itu hadiah ulang tahun kakakku dari pacarnya."

"Kakakmu bisa main gitar."

Nicky menggelengkan kepalanya, "Nggak bisa." lalu Nicky melahap kuenya tanpa dosa.

"Kamu yang bisa?" tembak Muza.

"Kakakku yang dikado bukan aku."

"Tapi bisa?" Muza berusaha.

"Nggak bisa, cuma tau kuncinya aja kalau udah memetik senar, berantakan semua melodinya."

Muza terkekeh akibat keluguan Nicky.

Sedangkan dari sisi pandang Nicky, seakan-akan sudah menjadi trik Muza menggait perempuan dengan kekehan yang dibuat terlihat tampan dimata. Trik itu mana mungkin mengalahkan Nicky, pandangannya langsung ia lempar pada kuenya yang hampir habis. Lebih baik Nicky melewati pemandangan kekehan Muza daripada terperejat triknya. Muza orang yang berbahaya.

Sama dengan Yuri, Muza sering ganti pacar, perbedaanya jangka waktu berpacaran masih lama Muza dibandingkan dengan Yuri.

Dari tingkat 1 sampai tingkat 3, Muza sudah merasakannya. Rasa berpacaran dengan beda usia. Ending paling sering menjadi alasannya putus adalah tidak bisa move on dari cinta pertamanya. Janji ketika masih bersama pacarnya dibangku SMP. Itu senjata ampuh Muza memutuskan pacaranya.

Bila pacarnya tak sebanding dengan cinta pertamanya maka usailah sudah hubungan mereka. Sulit bagi Muza melepas bayangan cinta pertamanya. Selalu saja menjadi pantokan atau tolak ukur dia memilih pasangan.

Muza bisa saja memutuskan pacarnya dalam keadaan masih sayang-sayangnya. Sekecil apapun kesalahan pasanganya, Muza tak tanggung-tanggung menyudahi. Tak salah Nicky memasang pertahanan pada predator alpha itu.

Sekarang pun gerak-gerik Muza hanyalah trik lama yang dipakai pada semua perempuan. Sedikit kesal Nicky pada Muza, kenapa trik tersebut harus diterapkan pada Nicky. Kenapa coba? Kenapa?!

"Aneh-aneh aja kamu Nick." cengiran Muza.

"Aku emang aneh, dan aku bangga." sahut Nicky bangga.

"Tapi aku tau kuncinya, jangan lupa itu." ujar Nicky bangga.

Muza menodongkan pegangan gitar-letak kunci nada. Sudah pasti Muza menantang Nicky. Lantas Nicky menerima tantangan Muza.

"Kunci G." soal dari Muza. Jemari Nicky menekan senar pada kunci g. Muza pun mengangguk, mengisyaratkan lumayan.

"Kunci C." testnya lagi. Tiga jari Nicky menekan senar gitar. Dan memang benar yang Nicky tekan adalah kunci C.

"Coba A." ujinya terakhir kali, bila Nicky benar maka Muza megakui Nicky.

Sayangnya jemari Nicky meleset menekan senar hingga tak membentuk kunci A. Rasa puas menyeruak ditubuh Muza. Akhirnya ada bahan celahan untuk Muza. Sebelum Muza mengeluarkan caciannya, tawanya meledak.

"Bhahahhaha, bukan A itu." Muza menggenggam jemari Nicky. Lalu jemari Nicky ia tuntun ke letak kunci A. Beberapa saat kemudian Nicky menyadarinya, trik lagi, Muza sangat lihai memanfaatkan keadaan.

Ingin sekali tonjokannya mendarat di hidung Muza.

Nicky salut dengan daya pikir Muza yang gesit.

"Kamu tau tangan kananku pegang apa?"

Tangan kanan Nicky sedang memegang cangkir coklat panas. Senjata ampuhnya untuk mengancam Muza bila tak melepaskan jemarinya yang digenggaman. Reflek Muza melepas genggamannya dan tertawa puas menggoda Nicky, Nicky pun ikut tertawa. Iya benar, ikut tertawa.

Dalam keadaan apapun Nicky tertawa. Mau orang mengejeknya, mengodanya atau membuatnya marah, pasti Nicky tertawa karena ia tak mampu mengeluarkan emosi amarah terlalu lama.

"Nick." panggil Muza.

"Oit." sahut Nicky.

"Jadi prom-ku, ya."

Dua bulan lagi menuju kelulusan. Sekolahan mengadakan prom, malam perpisahan yang dinanti-nanti tiap pelajar sebagai pelepas stress menghadapi ujian. Pertanyaanya kenapa Nicky yang diajak, meskipun sebenarnya Nicky sendiri belum mempunyai pasangan.

"Aku nggak ikut Muza."

"Wajib, lho."

"Tidak." sahut Nicky santai.

"Kebijakan sekolah."

"Tidak mau wahaha."

Suara dering ponsel Muza berbunyi, "Bunyi." ujar Nicky.

"Jangan ngalihin topik 'napa, sih. " runtuk Muza

avataravatar
Next chapter