1 PROLOG

Suasana malam yang mencekam, ditambah hujan turun begitu deras seakan menggambarkan perasaannya yang saat ini sedang buruk.

Duduk bersandar ditepian kasur sambil membayangkan kejadian-kejadian yang membuatnya lagi-lagi tak mengerti akan apa yang sudah terjadi akhir-akhir ini.

Suara ketukan pintu kamarnya membuat dirinya menoleh, dengan malas ia berjalan menghampiri pintu dan membukanya.

Wajah tanpa ekspresi ia tunjukkan pada Mamanya sendiri yang kini tengah tersenyum begitu manis kearahnya.

"Mama, ada apa malem-malem begini?" tanya nya malas.

"Ada yang mau ketemu kamu dibawah, samperin gih!" Titah sang Mama, tetapi tak membuatnya untuk mau menghampiri orang yang bertamu untuknya itu.

"Bilang aja Yacel lagi istirahat, Ma," ujarnya lalu hendak menutup pintunya, tetapi langsung ditahan oleh sang Mama. "Apa lagi sih, Ma?!"

Mamanya yang melihatnya pun menggelengkan kepalanya dengan sikap putra satu-satunya itu yang masih belum berubah.

"Setidaknya temuin dulu pacar kamu itu, kamu yang nembak, kamu juga yang mutusin, kasian dong, udah ah, sana cepet samperin dulu!"

Mendengar pembicaraan sang Mama membuatnya terkejut, tak mengerti dengan apa yang Mamanya sendiri katakan padanya.

Ia langsung menggelengkan kepalanya tak terima, sejak kapan dirinya memiliki seorang kekasih? Satu pun saja tak punya, kalau yang pengen jadi pacarnya sih banyak, tapi kalau dirinya yang menginginkannya, sejauh ini belum ada wanita yang bisa memikat hatinya.

Jika orang-orang mendengarnya pasti takkan ada yang mempercayainya, itu karena mereka hanya melihat luarnya saja, seolah semua penilaian orang lain memang benar tentangnya.

Mengingat itu ia tersenyum sinis, memang manusia-manusia yang hidup dengan penuh kepalsuan pasti akan memandangnya hanya dari satu sisi, tanpa tahu bahwa mereka pun sama memiliki sisi lain yang tak ingin orang lain lihat.

"Yacel, kenapa kamu?" tanya sang Mama. Ia yang tersadar pun langsung menggelengkan kepalanya, lalu berjalan kedekat pagar untuk melihat kebawah sana yang memperlihatkan sebuah ruang tamu.

Dari atas sini ia bisa melihat wanita yang akhir-akhir ini selalu ada disampingnya, dimana dan bagaimanapun keadaan dirinya, gadis itu, tidak, wanita itu selalu ada untuknya.

Entahlah ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi agar wanita itu menerima kenyataannya. Kenyataan itu memang sangatlah pahit, apalagi ketika teringat kenangannya, bagai sebuah cerita singkat dimana dirinya dan wanita itu juga saling mengenal satu sama lain dalam waktu singkat.

Bahkan hubungan yang tak jelas seperti apa kejelasannya pun juga hanya singkat. Ia tidak berniat sama sekali menjadikan wanita itu sebagai kekasihnya atau semacamnya, entahlah, ini semua adalah ulah saudaranya yang menyebalkan itu menurutnya.

Ia menghela nafasnya sebentar, lalu memalingkan wajahnya kearah lain ketika ternyata wanita itu menyadari kehadirannya dari atas sini.

Begitu jelas terlihat dari sudut matanya jika wanita itu kini tengah menatap kearahnya, malas sekali rasanya melihat wajah itu, akan tetapi entah kenapa begitu sulit untuk dilakukan.

Yas membuatnya seakan terdapat dinding yang besar diantara dirinya dan wanita itu.

Tiba-tiba sebuah tangan mengusap pundaknya, ternyata itu adalah sang Mama. Wanita paruh baya itu tersenyum kearahnya, "Mama tahu, kok, dari sekian ribu perempuan yang ingin menjadi pacar kamu, hanya gadis itulah yang mampu menaklukan kamu. Benar, kan?" ujarnya.

Mendengar itu, ia langsung menundukkan kepalanya, tak bisa mengelak, ataupun beralasan apapun pada Mamanya. Karena biar bagaimana pun semua ucapan Mamanya benar.

Ia tak bisa membohongi hatinya, tetapi pikirannya terus saja menolak dan melarangnya untuk mengingat dia yang takkan bisa ia lihat lagi.

"Yacel males banget, Ma. Sama Mama aja, ya?" tanya nya dengan mata yang memerah, ia akui dirinya memanglah laki-laki cengeng yang bisa dengan mudahnya menangis, tetapi dimata Mamanya, dirinya tetap hanyalah anak laki-laki satu-satunya yang disayanginya. "Yacel, gak kuat, Ma. Mama ngerti, kan, maksud Yacel?"

Mamanya yang melihat itu pun langsung mengusap kedua pipi putranya, ketika akhirnya putranya itu menangis, ia langsung memeluknya dengan erat, seolah berusaha memberikannya ketegaran pada anaknya itu.

"Dengerin Mama, semua pasti akan baik-baik aja," ujarnya, "Jadi, kamu harus tenang dan yakin. Yacel percaya, kan, sama Mama?"

Yas yang mendengarnya pun langsung melepaskan pelukannya itu, lalu menatap Mamanya dan mengangguk. Sedangkan Mamanya tersenyum membuatnya juga ikut tersenyum.

Akhirnya laki-laki itu menuruni tangga, ia berjalan menuju wanita itu dengan tatapan datarnya, benar-benar malas berhadapan dengan wanita ini.

Setelah sampai dibawah, ia bisa melihat secara langsung wanita itu yang tengah menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang bertaut.

Yas pun mendudukkan dirinya disofa dengan wajah yang dibuat sedatar mungkin, itu tak lepas sejak tadi dari pandangan sang Mama. Bahkan Mamanya pun menggelengkan kepalanya sambil tersenyum ketika melihatnya.

"Ada apa?" tanya nya dingin. "Gue udah bilang, kan, kita gak pernah pacaran. Harusnya lo tahu diri, dimana tempat lo yang sebenarnya!"

Ucapan yang dilontarkan laki-laki itu padanya benar-benar membuatnya seperti tertusuk ribuan pisau tajam yang menancap diseluruh tubuhnya.

Hatinya benar-benar sakit melihat laki-laki yang ada dihadapannya ini sudah benar-benar berubah drastis menjadi laki-laki yang dingin, tatapan dan mulut yang tajam, serta hati yang mati.

"Yas, maafin aku." lirih wanita itu dengan tangis yang pecah. "Aku tahu, aku udah nyakitin kamu, tapi mohon kasih aku kesempatan sekali lagi."

Yas yang mendengarnya pun langsung memutar bola matanya malas, lalu menggebrak meja yang ada dihadapannya itu sedikit keras. Bahkan Mamanya yang berada diatas sana pun sedikit terkejut dengan tindakan putranya itu.

Mamanya tentu saja langsung marah, karena biar bagaimana pun ia tak pernah mendidik atau mengajarkan putranya untuk sekasar itu pada seorang perempuan.

"YACEL!" tegur Mamanya, sedangkan Yas yang mendengarnya langsung melirik Mamanya yang berada diatas sana sambil tersenyum jahil membuat sang Mama menggelengkan kepalanya melihat kelakuan anaknya itu.

Kemudian Yas berdiri dari duduknya, lalu mendekati wanita itu dan menarik lengannya secara kasar membawanya keluar Rumahnya sendiri.

Malam itu hujan begitu lebat, akan tetapi tak membuat Yas merasa takut dengan hal itu. Ia lalu mendorong tubuh wanita itu yang sudah basah kuyup terkena terpaan angin dan air hujan yang menambah kesan dingin dimalam hari.

Yas juga ikut membasahi dirinya sendiri dengan air hujan, menatap tajam sosok yang ada dihadapannya itu sekali lagi dengan tatapan menusuk.

"Gue memang bukan cowok baik, tapi gue masih punya otak buat ngerusak masa depan cewek, apalagi cewek kaya lo!"

Wanita itu pun tertunduk menangis saat mendengar perkataan orang yang ada dihadapannya sekarang.

Laki-laki itu masih tak mengerti dengan pikiran wanita yang ada dihadapannya ini, menyukai belum tentu mencintai, bisa saja wanita itu hanya terobsesi kepadanya sampai-sampai wanita itu mau menyerahkan kehormatannya demi dirinya.

Memang benar bahwa laki-laki itu memiliki semua yang para wanita idamankan. Harta, ketampanan, berasal dari keluarga terpandang dan satu lagi adalah style yang selalu digunakan dari seorang Yashyelino Albert begitu mampu membuat para wanita begitu memujinya.

Namun, bukan berarti semua itu bisa ia manfaatkan dengan mudah untuk mempermainkan setiap wanita. Meskipun ia dikelilingi teman-temannya yang selalu bermain dengan banyak wanita, tetapi bukan berarti dirinya juga termasuk didalamnya.

Tak ada orang lain yang mengetahui tentangnya itu, kecuali para teman-temannya itu. Yas hanya sedang bersembunyi dibalik kelemahannya yang selalu ia sembunyikan sedari dulu.

"Gue beneran suka sama lo, Syel!"

Laki-laki itu tersenyum kecut, menurutnya sangat disayangkan melihat wanita ini yang entah sudah menjadi orang ke berapa yang menawarkan diri untuknya hanya demi menjadi pacar dari dirinya.

"Lo berhak suka sama gue, tapi lo gak berhak relain harga diri lo demi gue!"

avataravatar
Next chapter