10 LUKA LAMA YANG BELUM BERAKHIR

Ketika sedang asyik memakan popcorn, ponsel milik Didan berdering membuat Alfiz yang sedang tertidur pun merasa terganggu. Ia melenguh dan mulai mengerjapkan kedua matanya. Laki-laki itu pun langsung bangun dari baringannya sesaat setelah dirinya menguap beberapa kali.

Alfiz menggosok kedua matanya, lalu menatap sebuah ponsel yang berada diatas meja. Ia menghela nafas dan melihat tertera nama James disana, kemudian dirinya melirik kearah dimana Didan yang saat ini tentah tertidur.

Akhirnya dengan sangat terpaksa, laki-laki itu pun mengangkat panggilannya dan kembali menguap akibat kantuk yang masih menderanya.

"Halo, James, ada apa?" tanya Alfiz.

"Lho, kok bisa diangkat sama lo? Si Didan mana?"

Mendengar hal itu, Alfiz langsung menoleh menatap Sahabatnya yang saat ini tertidur lalu kembali menatap layar televisi yang masih menyala. Rupanya ia tertidur dan sekarang sudah menunjukkan pukul 22.31 malam saat dirinya melihat kearah jam dinding.

"Iya, gue sama dia nginep di apartemen," jawab Alfiz.

"Nginep? Kok lo pada kagak ngasih tahu gue sih?!"

Lagi, Alfiz kembali menguap membuat James yang mendengarnya langsung berkata, "Pokoknya gue marah sama lo!" ujarnya.

"Dih, kok malah gue yang kena? Ini kan handphone bukan punya gue!"

"Ya tapi tetep aja, lo yang angkat kan?"

Alfiz berdecak, kemudian menghela nafasnya. Ini sudah hampir tengah malam dan manusia yang bernama James itu bisa-bisanya membuat lelucon disaat-saat seperti ini.

Mengetahui itu, ia langsung menggelengkan kepalanya. Kemudian berkata, "Lo ada apaan telepon jam segini?" tanyanya kepada laki-laki itu.

"Gini, gue tadinya mau ngajak si Didan ke club, tapi ternyata yang angkat telepon malah elo."

Keningnya langsung berkerut, lalu berkata, "Maksud lo apaan? Minta di tabok lu, ya?!" ujarnya mulai merasa kesal.

Terdengar suara kekehan dari seberang sana membuat Alfiz semakin mengerutkan keningnya. Sedangkan James, laki-laki itu langsung berkata, "Apaan sih lo? Sensi amat jadi cowok," ujarnya.

Seandainya laki-laki itu tahu, jika wajah Alfiz saat ini benar-benar ditekuk. Ia berkata, "Dih, najis lo." Kemudian mematikan sambungan panggilannya, benar-benar kesal pikirnya.

Alfiz langsung melempar ponselnya asal, ia tidak peduli itu milik siapa, yang jelas kekesalannya saat ini benar-benar membuat dirinya kembali sulit untuk tertidur. Laki-laki tersebut menghela nafasnya, lalu menyandarkan punggungnya pada sofa dengan kepala yang mendongak menatap langit-langit.

Bertepatan dengan itu, tidak lama kemudian sebuah suara yang berasal dari ponsel pun kembali terdengar. Alfiz langsung menegakkan tubuhnya, lalu menatap benda tersebut yang kembali berdering.

Awalnya ia mengacuhkannya, tetapi saat melihat Didan, dirinya mendadak merasa bersalah kepada Sahabatnya itu. Dengan cepat Alfiz pun kembali meraihnya yang berada dikolong meja dan tertera nama James disana.

Mengetahui itu, Alfiz langsung menghela nafas kasar dengan kedua mata yang terpejam. Ia pun memutuskan untuk mengangkatnya dan mendekatkan ponselnya pada telinga.

Baru saja menempel, sebuah suara seseorang yang berada diseberang sana membuat laki-laki itu menghela nafas.

"Halo, kok dimatiin sih?!" ujarnya. "Halo, lo denger gue kan? Halo!"

Tanpa sadar Alfiz mengepalkan satu tanganya saat ini. Ia benar-benar tidak suka ketika mendengar sifat James yang begitu menyebalkan itu kembali.

"James, gue denger. Kenapa sih lo? Gue tahu ya, lo telpon lagi cuma karena pengen jailin gue!"

Setelahnya ia mendengar suara kekehan, lalu berkata, "Lo, cenayang ya?" ujar James membuat laki-laki itu menghela nafas kasar.

"James---" Perkataannya harus terpotong karena dibelakang sana ia baru saja mendengar suara seseorang yang memanggil. Laki-laki itu pun memutar tubuhnya dan benar saja, tepat diambang pintu kamar, dirinya melihat Yas disana.

Alfiz berkata, "Eh, Yas, udah bangun lo?" ujarnya yang masih menggenggam ponsel ditelinganya.

"Eh, coba gue pengen ngomong sama dia, cepetaaannn!!!" ujar James memaksa, sedangkan ia yang mendengarnya langsung berdecak.

Kemudian Alfiz pun mendongak melihat Yas yang masih berdiam diri diambanh pintu kamar sembari bersandar dengan kedua tangan yang melipat.

"Yas," panggilnya kepada laki-laki itu.

Laki-laki itu mengangkat kedua alisnya, berkata, "Apaan?" ujar Yas.

"Ini... Si James katanya pengen ngomong sama lo," jawab Alfiz dengan satu tangan yang mengambang sedang menggenggam ponselnya.

"Ngapain?" tanya Yas dengan satu alis yang terangkat. Sedangkan Alfiz yang mendengarnya langsung berdecak.

Tidak lama kemudian terdengar suara seseorang ditelepon membuat Yas menoleh kembali kearah ponsel yang berada dalam genggaman Alfiz.

"Yas, gue mau ngomong!"

Benar, itu suara James. Akhirnya, Yas pun memutuskan menerimanya dan mengambil ponsel yang berada digenggaman Alfiz yang sedari tadi menatap kearahnya dengan tatapan memohon.

Setelahnya ia pun pergi memasuki kamar kembali dan tidak lupa menutup pintunya, sedangkan Alfiz, laki-laki itu pun menghela nafas leganya. Karena dirinya bisa terbebas dari manusia menyebalkan seperti James, Sahabat yang tidak ada bedanya dengan Didan yang saat ini sedang tertidur pulas.

Lihatlah, bahkan laki-laki itu tidur dengan popcorn yang berada dalam mulutnya. Sepertinya Didan melakukannya lagi, memaksakan diri menonton televisi padahal sudah mengantuk.

Mengetahui itu Alfiz menggeleng, laki-laki itu berkata, "Dasar aneh," gumamnya. Kemudian berdiri menuju dapur untuk mengambil segelas air karena merasa tenggorokannya kering.

Disisi lain kini Yas sedang berada di dalam kamarnya dengan posisi tubuh yang bersandar diujung ranjang. Ia menatap kosong lurus ke depan saat mendengar perkataan saudaranya itu yang membuatnya tertegun seketika.

"Yas, gue tahu kok, lo pasti berantem lagi kan sama bokap lo?" tanya James.

Yas masih diam, ia masih enggan untuk membahas perihak ini, apalagi jika itu tentang keluarganya, benar-benar malas, pikirnya. Tetapi, James, malah mengatakan sesuatu yang membuatnya tidak bisa berkata apapun.

"Bunda lo tadi telepon gue, nanyain gimana keadaan lo, padahal gue lagi gak sama lo. Jadinya, gue terpaksa bohong sama nyokap lo tentang keadaan lo, yang bisa gue pastiin kalau lo gak akan baik-baik aja."

Mendengar hal tersebut, Yas langsung menghela nafasnya, kedua matanya bahkan sudah memerah. Sebentar lagi ia akan menangis, dan James, laki-laki itu telah membuat saudaranya sendiri harus menanggung luka yang dipendamnya selama bertahun-tahun.

Masa lalu itu yang membuat keduanya sedikit merenggang, bahkan sampai saat ini. Hanya saja, karena kehadiran Alfiz dan Didan, setidaknya mereka kembali membaik walau hanya kepura-puraan semata.

"Gue gak peduli, James. Sejak kapan lo peduli sama gue, hah?" ujar Yas dengan suara beratnya, sedangkan James yang mendengarnya langsung menghela nafasnya.

"Yas, jangan mulai, oke?" ujar James yang masih berusaha untuk setenang mungkin. Karena, bagaimanapun ia benar-benar tidak bisa seperti ini dengan Yas.

Dirinya tahu jelas apa yang membuat ia dan saudaranya itu seperti ini. Bahkan rasa kecewa diantara keduanya masih membekas dan belum menghilang, hanya saja James sedang tidak ingin mengingat kejadian itu.

"Lo yang mulai, James, bukan gue!" ujar Yas dengan suara beratnya.

James terkekeh sinis, lalu berkata, "Apa lo gak sadar sama apa yang lo bilang barusan? Itu lebih cocok buat lo, asal lo tahu itu!" ujarnya penuh penenakan.

"Gue mau lo berhenti ikut campur sama masalah keluarga gue, paham?!" ujar Yas dengan suara dinginnya.

"Lo pikir gue juga mau terus-terusan kaya gini, hah? Coba lo pikir, gimana perasaan nyokap lo kalau seandainya dia tahu keadaan lo selama tinggal di apartemen, sendirian!"

Yas yang mendengarnya langsung memejamkan kedua matanya, bahkan satu tangannya mengepal kuat. Ia benar-benar marah saat ini, dan laki-laki itu, manusia yang bernama James telah mengusik ketenangannya.

"Gue bilang, jangan ikut campur sama masalah gue," ujar Yas. Setelah mengatakan itu, ia pun langsung mengakhiri panggilannya. Kemudian menyimpannya diatas meja yang berada didekatnya.

Laki-laki itu mengerang, perasaan itu kembali datang dan bayangan-bayangan kilasan di masa lalu kembali teringat membuat Yas muak. Rasa sakit dihatinya belum juga pulih, entah sampai kapan ini akan terus berlanjut, ia pun tak tahu.

avataravatar
Next chapter