9 APARTEMEN PANGERAN KAMPUS

Tangannya mengepal kuat saat melihat kepergian putranya yang selalu bersikap tidak sopan terhadapnya itu. Ia memejamkan mata berusaha menekan emosinya yang hampir tidak terkendali. Meskipun begitu, dirinya akan tetap pada pendiriannya untuk menjodohkan Yas dengan anak dari seorang rekan bisnisnya.

Bunda Yas yang melihatnya tidak bisa melakukan apapun selain menenangkan pria itu dengan mengusap dada bidangnya agar tidak terpancing amarah kembali. Karena hal itu sangat membuatnya merasa khawatir terhadap kesehatan Orland yang akhir-akhir ini sering mudah marah.

Pria itu pun menghela nafasnya, lalu menatap wanita yang ada dihadapannya dengan sendu. Ia menyunggingkan senyuman ketika melihatnya, kemudian menangkup wajah sang istri dengan lembut dan menatapnya begitu dalam.

"Maaf, aku melakukannya sekali lagi," ujar Orland begitu lirih.

Wanita tersebut yang mendengarnya langsung menggeleng, lalu memeluk Suaminya dengan erat. Ia benar-benar tidak ingin kehilangan keduanya, maka dari itu, setiap kali ayah dan anak itu bertengkar, dirinya hanya diam saja dan tidak menengahi atau bahkan, melakukan pembelaan diantara keduanya.

"Aku tahu kamu enggak bermaksud kaya gitu," ujarnya. Kedua manik matanya sudah berkaca-kaca, ia langsung memejamkan matanya dan menikmati memeluk prianya itu.

Setelah itu mereka berdua pun memutuskan untuk memasuki kamarnya dan berganti pakaian. Sebenarnya mereka berdua hendak ingin pergi, tetapi urung ketika melihat keadaan Suaminya yang seperti ini.

Disisi lain saat ini mereka bertiga sedang dalam perjalanan menuju kediaman Alfiz dan Didan. Sebelum kembali ke Apartemen, Yas mengantarkan kedua Sahabattnya itu terlebih dahulu.

"Yas," panggil Didan ketika melihat raut wajah laki-laki itu yang sepertinya sedang kurang baik..

Merasa terpanggil, Yas pun langsung menoleh dengan satu alis yang terangkat. Kemudian ia berkata, "Ada apa?" tanyanya.

Didan berkata, "Lo, gak apa-apa?" tanyanya.

Sementara itu disampingnya Alfiz hanya diam saja, meskipun begitu kedua telinganya tetap mendengar dengan jelas apa yang sedang dibicarakan oleh Sahabatnya sendiri.

"Gak apa-apa," jawabnya singkat, lalu kembali menatap kaca mobilnya, dimana semua orang terlhat sedang berlalu lalang.

Mengingat kejadian beberapa saat lalu, ia benar-benar ingin marah dan kecewa, akan tetapi dirinya tahu jika Bundanya tidak akan bisa berbuat apapun untuknya.

Sudah bertahun-tahun, tetapi semuanya masih tampak sama. Yas tidak pernah bisa tidak bertengkar dengan ayahnya sendiri karena pria itu yang selalu bersikeras menjodohkannya dengan anak dari rekan bisnisnya sendiri.

Yas merasa dijadikan sebagai boneka yang akan bisa membuat ayahnya itu mendapatkan sebuah keuntungan jika ditukarkan. Mengingat itu, ia tersenyum, begitu miris menjadi dirinya.

Suasana sepanjang perjalanan yang hening membuat Alfiz diam-diam memperhatikan laki-laki itu melewati kaca spion yang berada di tengah. Ia melihat Yas yang sedang menahan diri untuk tidak terlihat bersedih.

Siapa yang akan tahu bahwa orang yang diberi julukan Pangeran Kampus itu adalah seseorang yang memiliki banyaknya permasalahan di dalam hidupnya.

Tidak ada yang mengetahuinya, jika Yashel adalah laki-laki yang dipaksa untuk hidup mandiri hanya karena kedua orang tuanya yang tidak pernah mengerti dengan perasaannya sebagai seorang anak.

Yas adalah pewaris tunggal di keluarga Albert, maka dari itu ia sangat diharapkan oleh kedua orang tuanya, termasuk ayahnya sendiri, Orland. Akan tetapi laki-laki itu menolak keras untuk menjadi penerusnya dan lebih memilih saudaranya yang bernama James.

"Yas, udah sampe," ujar Didan kepada laki-laki yang sedang melamun tersebut dibelakang sana.

Tetapi tidak ada sahutan sama sekali dari laki-laki itu membuat Didan langsung menoleh menatap Alfiz yang kini juga tengah menatapnya balik. Sahabatnya tersebut mengedikkan bahunya, dan hal itu membuatnya menghela nafas.

"Yas," panggil Didan lagi, kali ini laki-laki itu mendengarnya dan langsung menegakkan tubbuhnya.

Laki-laki itu berkata, "Oh, iya. Udah sampe ya?" ujarnya.

Didan dan Alfiz yang mendengarnya langsung mendesah secara bersamaan membuat Yas yang melihatnya langsung mengerutkan keningnya.

"Lho, kalian kenapa?" tanya Yas ketika melihat kedua Sahabatnya yang seperti itu.

Alfiz menoleh, berkata, "Lo lagi kurang baik, gue khawatir kalau biarin lo pulang sendirian, sedangkan keadaan lo lagi kaya gini," ungkapnya jujur.

"Iya, gue juga Yas," timpal Didan yang membuat laki-laki tersebut yang mendengarnya langsung menyunggingkan senyum tipisnya.

Yas berkata, "Gue baik-baik aja kok, percaya sama gue," ujarnya meyakinkan kedua Sahabatnya itu.

Namun, ia melihat Alfiz dan Didan yang masih diam saja tidak berkutik membuat Yas mendesah. Sahabatnya itu tahu jika dirinya tidak pandai berbohong terutama mengenai perihal ini.

"Fine, lo boleh nginep di Apart malam ini," ujar Yas yang langsung diberikan senyuman oleh kedua laki-laki itu. Sedangkan ia yang melihatnya hanya menggeleng dan kembali menyandarkan punggungnya.

Setelah itu Didan pun kembali menjalankan mobilnya dan bergegas pergi membelah jalanan yang begitu ramai. Malam ini sepertinya Yas tidak akan bisa tertidur dengan nyenyak karena kedua Sahabatnya yang tidak pernah tidur setiap kali menginap di tempatnya.

Dua jam kemudian, akhirnya mereka bertiga pun telah sampai di sebuah Apartemen yang selama ini menjadi kediaman laki-laki itu sejak menginjakkan kakinya di bangku sekolah menengah atas.

Saat hendak menuruni mobil, Alfiz dan Didan melihat laki-laki itu yang tertidur di dalam mobil membuat keduanya menggeleng.

Didan terkekeh, lalu berkata, "Liat deh, dia lagi tidur aja ganteng, lah coba kalau gue," ujarnya yang langsung mendapat kekehan dari Alfiz.

"Ya jelaslah, dia kan pangeran kampus, dari julukanya aja udah jadi bukti kalau dia terganteng nomor satu di univ kita," ujar Alfiz cukup terkagum.

Mendengar hal tersebut, Didan langsung berdecak dan berkata, "Buruan lo, bukannya bantuin malah ngomong mulu," ujarnya kepada laki-laki itu.

Setelah itu Alfiz pun langsung membantu Didan yang sedang berusaha membawa Yas keatas punggungnya. Mereka tidak tega untuk membangunkannya karena sepertinya laki-laki itu merasa kelelahan.

Berhasil, kemudian Alfiz pun menutup pintu mobil dan menguncinya. Barulah setelah itu ia menyusul Didan yang sudah berjalan memasuki Apartemen dan menunggu didepan sebuah lift yang sepi.

Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mereka telah sampai didepan pintu Apartemen milik Yas. Alfiz langsung mengambil card yang berada disaku kemeja milik laki-laki itu dan menempelkannya pada pintu tersebut yang otomatis langsung terbuka.

Didan dengan cepat langsung menuju ke kamar Yas dan membaringkan laki-laki itu disana. Alfiz terkekeh ketika melihat ia yang sedang meringis sakit karena rasa pegal setelah menggendong Sahabatnya itu.

"Ngapain lo liatin gue kaya gitu, mending pijitin gue nih," ujar Didan kepada Alfiz yang saat ini sedang terkekeh.

Alfiz langsung berkata, "Ogah banget," ujarnya menolak membuat laki-laki itu yang mendengarnya langsung mendengus.

Akhirnya mereka pun memutuskan meninggalkan Yas yang tertidur dengan pulas di kamarnya, sedangkan keduanya memilih untuk berada di ruang tengah dan menyalakan televisinya.

"Dan, lo ngerasa gak sih kalau ada yang aneh sama Yas?" tanya Alfiz ketika beberapa kali tidak mendapati laki-laki itu ketika sedang berada di kampus.

"Aneh gimana? Ngada-ngada lo, ah! Jangan gitu lo sama Yas," ujar Didan yang saat ini sedang bersantai melihat tayangan di televisi.

Mendengar hal itu Alfiz langsung mendengus dan berkata, "Ternyata lo gak sepeka itu ya," ujarnya.

Didan yang mendengarnya hanya berdeham, lalu berkata, "Dih, lo yang aneh juga," jawabnya tak terima.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara keduanya, Didan sibuk menonton televisi sedangkan Alfiz dengan pikirannya yang akhir-akhir ini sering menganggunya.

Entahlah, laki-laki itu seakan merasa yakin bahwa telah terjadi sesuatu kepada Yas. Tetapi ia tidak mengetahui itu, mengetahui hal tersebut Alfiz langsung menghela nafas panjang.

avataravatar
Next chapter