1 Athelina Rathbone

Aku menatap ke tanah di bawah, melihat sedikit orang lalu lalang di jalanan ibu kota mengabaikan aku yang menonton mereka dari balkon kamarku di istana.

Beberapa tidak sengaja menemukan mataku, tapi cepat memecahkan kontak antara kami berdua dan mempergegas langkah mereka untuk menuju ke tujuan awal.

Setiap kali itu terjadi, aku tersenyum kecil, menyembunyikan rasa sakit yang aku rasa akan ketakutan mereka terhadap wujudku yang tidak begitu menakutkan.

Ingin rasanya aku turun ke bawah sana, menyapa dan menjelaskan kepada mereka bahwa aku normal. Sayangnya, aku tidak bisa. Semua yang bisa aku lakukan adalah duduk di balkon kamarku yang gelap dan lembap, atau kembali ke dalam kamar untuk membaca cerita lainnya.

Atau mungkin aku bahkan bisa berkeliling istana dan melihat-lihat sekitar untuk mencari hiburan. Apa pun itu yang ingin aku lakukan selama aku tidak keluar dari istana.

"Benar 'kan, Ayah?" Aku berbalik dengan senyuman hangat, menemukan orang yang bukan ayahku di sana.

Sang pelayan membatu, "Ah ... uh ...." Gugup, tapi tidak lama.

Cepat sang pelayan memperbaiki posturnya, "Yang Mulia Raja sedang disibukkan oleh hal lain untuk kemari dan memanggil Anda secara langsung, Tuan Puteri." Dan menjelaskan.

Senyuman aku jaga sepanjang penjelasan. "Begitukah ...." Tidak ingin memberikan banyak petunjuk kekecewaan, "Bagaimana dengan Ibu dan Kakak?" Topik aku ganti dengan bodoh.

Setelah si pelayan diam sebentar, "Tuan Puteri Pertama dan Yang Mulia Ratu baru saja pulang dari perjalanan mereka ke kerajaan seberang untuk menyelamati raja barunya."

Terkejut dengan susah diriku tahan di tenggorokan. Menghentikan mulutku dari menarik napas terkesiap tajam, "Jadi mereka sudah pulang?" Aku melemparkan pertanyaan lain dengan semangat yang ditekan.

Pelayan itu mengangguk segera, "Benar, Tuan Puteri." Menggunakan dua orang yang suka aku temani bicara itu sebagai senjata, "Hamba yakin Tuan Puteri Pertama dan Yang Mulia Ratu sedang bersiap-siap untuk makan malam juga."

Setelah mendengarkan itu semua, aku berdiri. "Kalau begitu ...." Berjalan masuk ke dalam kamar pelan-pelan membuka gaun malam yang aku kenakan bahkan setelah mandi pagi tadi, "... bantu aku."

Pelayan wanitaku menunduk dalam, "Tentu saja, Tuan Puteri." Kemudian membuka pintu kamarku untuk mengizinkan cahaya dari lorong istana dan banyak pelayan wanita lainnya masuk ke dalam kamarku.

Berbeda dengan cahaya yang menghilang saat pintu itu kembali tertutup, para pelayan wanita ini tidak. Mereka menggerogotiku, memegang setiap sudut kamarku.

Lentera-lentera yang tertempel di tembok menyala oleh api yang berdansa dari balkon yang cepat ditutup, cahaya memantul di kulit pucatku yang cepat ditutup gaun berbeda.

Buku-buku yang aku lihat dan baca ditaruh di atas meja, kasurku yang agak berantakan karena aku gunakan berguling dan berpikir kembali rapi sempurna seperti rambut pirangku yang mengalir turun agak gelap bagai malam yang akan segera tiba.

Dan mereka selesai, mengizinkan aku untuk melihat cermin berdiri yang mereka seret ke depanku untuk setuju atau tidak setuju kepada apa yang baru saja mereka lakukan kepadaku.

Namun, apa yang bisa seseorang protes dari pantulan yang mereka lihat di cermin sana? Mata zamrudku melihat gaun merah tua berbentuk kuncup bunga menutupi kulit pucat dan tubuh kurusku, memperhatikan rambut lurusku jatuh lembut ke punggung.

"Terima kasih ...," aku berbisik tidak sengaja kepada mereka semua yang hanya menunduk rendah menjawabnya.

Tidak bisa lagi menarik kalimatku, dan juga sudah pasti tidak akan mendapat jawaban verbal dari mereka, aku menghapus ekspresi terharu bodohku dan menggantikannya dengan senyum hangat.

Tubuhku sedikit menunduk pamit kepada mereka yang tidak mau bertatap mata, lalu kakiku mulai melangkah ke ruang makan malam tempat ayah, ibu, dan kakak sudah menunggu.

Lorong-lorong dengan lentera yang menari bersama angin itu menyapaku dengan dingin, menggemakan entak sepatuku yang berkilau di bawah cahaya.

Beberapa penjaga melewatiku, mereka menundukkan kepala dengan hormat, tapi tidak ada dari mereka yang benar-benar mau menatap mataku, seperti biasa.

Aku hanya tersenyum dan membalas gestur mereka, tidak menghentikan perjalanan ke ruang makan yang sudah semakin dekat pintunya.

Saat pintu itu terbuka untukku, "Ayah, Ibu, Kakak," aku menyapa dan membungkuk kecil kepada tiga orang yang sudah duduk di sana, belum menyentuh apa pun, sedang menunggu aku yang senang melihat mereka.

Wanita paling muda di sana itu berdiri, "Lina!" Dan berteriak. Kakakku membuka tangannya, lalu berlari kecil ke arahku untuk memberikan pelukan.

Senyumku melebar, "Kakak." Tanganku ikut terbuka menyambut dia yang sudah semakin dekat dengan aku yang sudah terlalu lama tidak melihatnya.

Akan tetapi, "Rosamund!" Ibu cepat menghentikan kami berdua dari bersentuhan hanya beberapa jengkal sebelum semua rinduku akan lepas ke udara.

Aku menurunkan tangan perlahan, menghapus senyum lebar dan menggantinya dengan senyum sopan, kemudian kepalaku menunduk kecewa ke bawah, menyerah.

Berbeda dengan Kakak, "Apa?" Yang membalikkan mata dan menantang ibu kami di nada dan tatapan matanya yang melontarkan protes keras. "Aku hanya ingin memeluk adik kesayanganku."

Ibu berbicara dengan tenang dan dingin, "Dan membunuhnya setelah itu?" menjawab Kakak menggunakan kebenaran yang tidak bisa Kakak dan aku bantah.

Meski begitu, "Aku tidak ...." Kakak mencoba.

Mencoba dengan sia-sia, "Masih ingatkah dirimu terhadap kejadian saat adikmu berusia sepuluh tahun itu?" Sebab Ibu memotong Kakak dengan fakta lainnya.

"Itu ...!"

Ibu mengangkat alis, "Berbeda?" Memotong Kakak lagi, "Bagaimana kejadian saat itu berbeda dengan sekarang?"

Mulut Kakak terbuka, tangan wanita yang aku sayang itu mengepal putih dengan marah, tapi tidak ada suara yang keluar dari sana, tidak ada lagi yang bisa.

Ayah sudah memukul meja makan, "Bisakah kita berhenti berdebat dan segera makan dengan tenang?" Melemparkan perintah yang dia samarkan sebagai pertanyaan.

Kakak mengangguk gugup, melepaskan kepalannya dan membuang napas berat. Lalu, Kakak menatapku dengan senyuman manis, dan mengisyaratkan dengan kepala agar aku segera duduk juga sebelum dia melangkah kembali ke kursinya.

Ikut di belakang, aku mengambil kursi tepat di depan Kakak, mengosongkan kursi di depan Ibu sebab Ayah duduk di sisi atas meja panjang itu.

Perlahan, tensi jatuh tenang, membuatku bisa tersenyum dengan lebih natural dan mendengarkan cerita Kakak dan Ibu tentang perjalanan mereka, serta kesibukan Ayah.

Lalu, meja mulai terbagi ke dua topik berbeda. Ayah dan Ibu entah sedang membahas apa, sementara aku dan Kakak sedang membahas perjalanan dia.

Kakak menjelaskan semua detail perjalanannya, mulai dari pemandangan angkasa di kerajaan seberang hingga bau bunga yang namanya tidak pernah aku dengar sebelumnya.

Mataku menyala dengan ketertarikan yang jujur, tapi senyumku sibuk menyembunyikan iri. Sangat bahagia pada kebaikan Kakak, tapi juga ingin melihat secara langsung semua hal indah yang Kakak lihat.

Menyadari ekspresiku, Kakak terdiam. Senyumnya terhapus pelan saat dia jatuh ke dalam pikiran.

Aku mengulurkan tangan, "Ka ...." Berusaha mencapai Kakak yang sudah aku paksa diam karena iriku yang tidak pantas diarahkan kepadanya.

Namun, "Oh!" Kakak menghentikanku dari mencapainya dengan teriakan yang menarik perhatian semua orang di meja, "Kita mengundang Raja Peterarchland ke pesta dansa bulan depan. Bagaimana kalau kau ikut, Lina?" Dan membuat kami semua membatu bingung pada ajakannya.

avataravatar
Next chapter