12 Kali Pertama

Alarm berdenting-denting. Waktu menunjukan pukul 04.15.

Krekeet ...

Seorang perempuan paruh baya membuka pintu kamar Angga. Tidak lain dia adalah ibunya Angga. Kemudian ia menekan saklar lampu kamar itu. Ia menghampiri sosok yang bergelung dengan selimut seperti kepompong.

"Angga bangun, ini alarm berisik terus dari tadi," ucap ibunya sambil menggoyangkan sedikit badan Erlangga.

Namun Erlangga masih asyik dalam mimpinya, bahkan tak terganggu sedikit pun. "Angga sayang udah jam empat lebih tuh," usahanya lagi membangunkan Erlangga masih dengan menggoyangkan sedikit badan Erlangga.

"Duhhh ini anak susah bener kalau dibangunin. Lagian kenapa sih mau bangun pagi biasanya juga suka bangun siang," gerutunya. "Kalau kamu nggak bangun, nanti marah-marah sama mama lagi, kayak kemarin, huuh!"

"ANGGA BANGUN, NAK!" kali ini bundanya agak berteriak di dekat telinga Erlangga. Dan akhirnya dia berhasil bangun karena suara bundanya yang sangat memekakkan telinga.

"Tuh lihat, sudah mau setengah 5," kata bundanya.

"Emangnya kenapa, Ma? Duh telinga Angga jadi budeg kan ahh..." gerutu Erlangga sambil mengusap-usap telinganya.

"Katanya minta dibangunin sebelum Subuh?!"

"Ya kan ini masih pagi banget, Ma," rengeknya masih dengan wajah lusuh khas bangun tidur. "Azan Subuh kan sebentar lagi, Sayang. Lima belas menit lagi tuh mau azan Subuh. Cepet persiapan gih!"

"Duhh males banget deh ah, Rendra brengsek emang," makinya dengan suara kecil.

"Kenapa, Nak?" tanya bundanya, tidak terlalu paham dengan makian anaknya barusan.

"Eh enggak kok, Ma. Ini mau ke kamar mandi."

Erlangga pun menuju kamar mandi, ia langsung mencuci wajahnya. Kemudian dia menggosok giginya. Setelahnya ia mengambil air wudhu.

Lima menit kemudian ia telah siap dengan baju koko. Kali ini ia memadukannya dengan celana jeans dengan merek levis yang rapi tanpa bolong-bolong di lututnya seperti yang biasa ia kenakan.

Biarin kali nggak pake celana bahan juga, pake celana jins kan nggak haram kali. Lu jangan semprot gue, kalo salah, Rendra kupret!

Celana jeansnya kini sepertinya celana jeans yang baru saja ia beli. Modelnya tak terlalu ketat, tak terlalu longgar juga. Ia pun mengambil mogenya di garasi dan langsung tancap gas seakan-akan takut telat lagi.

Sejuknya udara pagi menyentuh hingga ke pori-pori kulitnya. Ia bahkan ikut terlena dan meresapi kesejukan udara pagi. Ia jadi teringat kata mutiara yang pernah ia baca di timeline IG-nya.

Kurang lebih kata-tanya seperti ini. Mengapa udara di pagi hari terasa sejuk? Sebab, belum tercampur dengan napas orang munafik yang belum bangun di waktu subuh.

Sebenarnya ketika pertama kali membaca kata mutiara itu ia sempat mencibirnya. Yah sedikit tersinggung dengan kata-kata tersebut. Karena ia tidak merasa jadi orang munafik walau suka bangun siang.

Namun kini dia benar-benar merasakannya sendiri. Benar-benar sejuk. Tak ada sedikit pun rasa sesak. Belum ada polusi di sana-sini.

Perjalanan kurang lebih 15 menit ia tempuh. Azan subuh telah berkumandang beberapa menit yang lalu.

Ketika ia sampai di pelataran Masjid Jami Ad-Dakwah, ia melihat para jamaah yang tengah merapikan shafnya. Tak mau ketinggalan, ia buru-buru ikut barisan belakang dari para jamaah.

Sebelum imam mengucapkan takbir, ia sempat bergelut dengan pikirannya sendiri. Kapan kiranya ia melaksanakan salat subuh tepat waktu, apalagi dengan berjamaah seperti ini. Rasa-rasanya tidak pernah.

"Allahu akbar..." Rendra mengikuti takbiratul ihram imam bersama para jamaah lain dan pikirannya mulai fokus mendengarkan bacaaan sang imam.

Shalat berjamaah di masjid berlangsung dengan sangat khidmat. Pada rakaat pertama Imam membaca Surah Surah al-A'laa. Sedangkan pada rakaat kedua, surah yang dibaca adalah Surah at-Thaariq.

Usai menunaikan shalat berjamaah dan zikir, Erlangga pun mulai mencari keberadaan Rendra. Erlangga celingak-celinguk ke arah kanan dan kiri. Dia mengedarkan pandangannya.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. "Akhirnya kamu datang juga, sudah siap?" Rendra tersenyum. Kali ini perlakuannya terhadap Erlangga jauh lebih ramah. Rendra sangat respek, karena Erlangga sudah terbukti memenuhi janjinya.

Erlangga pun jadi tersenyum, meskipun agak malu-malu dan kaku. Dia merasa kaget. Ini benaran Rendra, tumben pagi ini lu ramah sama gue?

"Yuk kita ke pojokan sana, teman-teman sudah menunggu!" ajak Rendra sambil menunjuk salah satu pojok masjid yang sudah berkumpul beberapa orang anak muda. Sepertinya mahasiswa juga.

***

Punggung dan kepala Erlangga terantuk-antuk. Kelopak matanya tertutup. Dia benar-benar ngantuk.

Rendra yang berada di sampingnya berkali-kali menyenggol tangan Erlangga. Sebenarnya, pada awalnya Rendra hanya mengusap dan menggoyang bahu murid binaan barunyai itu. Tapi ternyata tidak mempan, Erlangga masih terlihat nikmat dalam kantuknya.

Rendra menarik napasnya dalam-dalam. Dia berpikir bagaimana caranya supaya materi kajian yang disampaikan pagi ini bisa dicerna Erlangga tanpa mengantuk.

Akhirnya, dengan tak segan, Rendra menggetok kepala lelaki berpotongan rambut undercut itu.

Erlangga terbangun seraya mengusap kepalanya yang sakit. "Kenapa sih, mesti dipukul, sakit!"

Angga mengabaikan pandangan aneh dari teman-teman kajiannya. Dia memasang wajah datar. Bodo amat, emang gue salah ya?

"Kalau ngaji jangan ngantuk, nanti ilmunya nggak masuk lagi. Sana cuci muka dulu," bisik Rendra dengan menyenggol lengan Angga yang masih memejamkan mata.

"Tadi kan dijelaskan soal hukum pacaran dalam Islam. Coba kamu jelaskan lagi, Ngga."

"Apa hukum pacaran?" tanya Erlangga. Dia berpikir keras. Mampus gue, lu tadi jelasin apa ya soal itu.

"Oya, jadi begini teman-teman," Erlangga memulai penjelasan seakan-akan dia sudah mendengarkan penjelasan. "Allah itu kan Mahakasih. Pacaran itu kan dalam rangka menjalin kasih sayang antara laki-laki dan perempuan, jadi Islam membolehkannya," jelas Erlangga dengan mantap.

Teman-temannya yang lain menutup mulutnya. Mereka berusaha keras menahan tawa. Sementara Rendra geleng-geleng kepala. Lalu menepuk jidatnya.

"Astagfirullah, kamu memang pengarang berbakat!" wajah Rendra memerah menahan amarah. "Itulah kenapa kalau lagi ngaji usahakan tidak ngantuk. Bahayanya bisa fatal. Ilmunya jadi nggak masuk."

"Habisnya lama banget kajiannya," balasnya dengan berbisik.

"Baru juga 20 menit," celetuk Rendra.

"Iya 20 menit, tapi rasa 2 jam."

"Udah ah cuci muka sana," usirnya

"Iya, iya. Jadi cowok lu bawel banget dah," Erlangga pun bergegas ke kamar mandi. Dalam hati ia sudah berniat untuk berlama-lama di kamar mandi. Kalau perlu ia tidur sekalian di sana.

"Awas ya kalau kabur, gue anggap lu GAGAL TOTAL," kata Rendra dengan penuh penekanan.

Udah kaya cenayang aja tuh Lu Rendra, Erlangga merasa muak.

Meski dengan ketidakantusiasannya mendengarkan ceramah, namun akhirnya Erlangga bisa bertahan hingga ceramah usai. Di akhir pertemuan, Rendra mengumumkan bahwa kelompok kajiannya ini berikutnya akan dipegang oleh Kevin.

"Pertemuan berikutnya nanti diisi oleh Kevin ya."

Aduh, ketemu Kevin lagi. Males gue, gerutu Erlangga dalam hati.

Usai kajian, sejenak Erlangga tengah duduk bersama Rendra di teras masjid.

"Kamu itu udah semester berapa sih, Angga?"

"Kepo banget lu, kaya Dora,"

"Heh gue serius nanya!"

"Semester 12. Emang kenapa?"

"Dua semester lagi kalau nggak lulus-lulus lo DO kan?"

"Tuh eloh tau."

"Kamu serius nggak sih sama kuliahmu? Kalau nggak serius keluar aja, daripada nanti malu di-DO." Rendra sengaja menjeda ucapannya. Menunggu respon yang akan diberikan Erlangga.

"Kalau emang serius makanya cepet lulus. Jangan main-main. Bukannya lu cinta sama Tania?" lanjutnya.

Kali ini Erlangga tidak membalas perkataan Rendra. Entah apa yang sedang ia pikirkan, namun terlihat dari raut wajahnya ia tengah memikirkan banyak hal. Dia berusaha mencerna apa hubungannya antara kuliah dan cinta Tania.

"Aku ngomong kaya gini sebagai sahabat dan calon kakak, kalau lu emang minat menjalin hubungan serius sama Tania," Rendra menepuk pundak Angga.

Namun, Angga masih bertahan dalam keterdiamannya.

"Apa gue keluar aja kali ya, Ren? Abis itu gue buka cafe coffee."

"Emang nggak sayang apa kuliah lama-lama tapi akhirnya malah keluar?"

Rendra terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Erlangga yang emang mempunyai sifat yang sedikit batu.

"Ya, tapi keputusan ada di tanganmu, aku percaya kamu bisa memutuskan mana yang sekiranya terbaik untuk kamu. Jangan lupa minta petunjuk sama Allah juga."

Erlangga kemudian berdiri dan melangkah menuju mogenya yang terparkir di pekarangan masjid.

"Gue cabut duluan Ren, mau lanjut tidur."

Rendra hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Jangan lupa kontak-kontak dengan Kevin ya, untuk pertemuan berikutnya."

Erlangga tak mempedulikannya. Motor Erlangga pun meninggalkan pelataran masjid dan menyisakan asap yang keluar dari knalpot motornya.

Rendra berharap ini adalah awal datangnya hidayah untuk Erlangga. Ia tak sabar melihat perubahan yang baik pada sahabatnya itu. Jika Erlangga berhasil membuktikannya, Rendra takkan menghalanginya selama dia bisa punya niat baik untuk menjadi calon suami impian adiknya.

avataravatar
Next chapter