2 Bunda?

Happy Reading!!

Remaja cantik kuncir kuda yang masih mengenakan seragam batik sekolah itu terasa cemas, menggigit jarinya, sembari bergumam dan berjalan ke sana kemari mencari balita yang di tinggalnya tadi.

"Aduh, Aarav kemana si? Bisa di gorok gue sama bang Van." Buru-buru ia berlari masuk kantor. Tidak peduli akan menabrak ataupun apa, yang jelas ia cemas karena Aarav tidak ada di taman tadi.

"Mba, lihat Aarav?" Tanya gadis kuncir kuda itu kepada wanita yang lewat di depannya.

"Mba, nggak lihat, coba tanya yang lain, Al." Sumpah, benar-benar Alya takut Aarav hilang, entah bagaimana nanti nasibnya.

"Ya udah deh, mba. Makasih." Tidak lupa Alya berterima kasih kepada Mba tadi. Alya memilih berjalan ke arah lift menuju ruang CEO, memikirkan nasib diri sendiri nanti.

"Non, Alya, dari mana non." Alya terkejut, ya Alya sedang membayangkan nanti akan di gorok oleh abangnya. Tetapi mana tega abangnya berlaku demikian.

Memegang dadanya sembari beristighfar. "Pak Tarman!! ngagetin aja. Oh iya pak, lihat Aarav nggak?"

Alya masih saja celingak-celinguk mencari sosok mungil itu.

"Tadi teh, Den Aarav sama Ibu sudah masuk ke ruang Bapak, Non. Kayaknya Non, teh cemas gitu, kenapa atuh?" Tanya pak Tarman dengan logat sundanya.

"Aarav di sana pak? Ampun dah, Alya takut Aarav itu ilang, makanya Alya cemas sampe lari-larian." Menepuk dahinya pelan, dan bernapas lega. Setidaknya ia tidak jadi di gorok oleh Abangnya, Aarav saja tidak hilang.

"Iya, tadi nangis pas sama Ibu minta ke bapak, pak Tarman juga yang nganterin Aden sama Ibu." Pak Tarman memang terkenal ramah, Alya juga mengenal dekat pak Tarman. Alya sering bercerita ke pak Tarman, jadi tak heran jika kelihatan dekat. Tidak memandang pak Tarman itu siapa.

Alya mengangguk-angguk. "Oke, deh pak. Alya ke sana dulu, makasih ya pak."

"Siap atuh, Non."

Alya berlari ke ruang milik abangnya. "Mama ke sini? Nggak biasanya, kenapa ya?"

Mendorong pintu sembari berteriak kencang. "AARAV!!"

"Alya!" Baru saja masuk, Alya sudah mendapat tatapan tajam dari Abangnya. Alya menyengir kuda.

"Ntyyy." Balita itu ikut memanggil Alya. Seketika Alya membulatkan matanya, bukan Mamanya, tetapi sosok lain.

"Bu Yola?" Alya menghampirinya, menyalami Bu Yola yang merupakan guru baru di sekolahnya.

"Alya Cynthia?" Yola memastikan bahwa itu anak muridnya.

"Hehe, iya Bu. Ibu ternyata ingat saya," Ucap Alya cengengesan. Menggaruk rambutnya yang tidak gatal, Alya masih malu karena tadi berteriak kencang.

Yola ikut tersenyum menanggapi anak muridnya.

"Nty, jajan Aalav ana?" Tanya balita itu mengalihkan pembicaraan mereka.

Alya menggaruk rambutnya lagi, kenapa Alya suka banget menggaruk rambut? Apa Alya memelihara kutu? Sembari menyengir ke arah abangnya meminta bantuan.

"Aarav beli jajan dulu sama nty sana," ucap Rezvan, lelaki berjas hitam yang sedari tadi diam.

"Api ... Anti Buna gu Aalav cini cama Ayah, ote Buna," ucapnya seraya berjalan menuju Yola.

"Iya, bundanya di sini sama Ayah, Aarav sama aunty dulu, katanya jajan," ucap Rezvan membuat Alya melongo dan Yola membulatkan matanya.

"Abang? Bu Yola?" Alya tidak mengerti dengan keadaan ini.

"Sudah sana," ucap Rezvan sebelum Yola membuka suaranya. Alya berpamitan keluar membeli jajan dengan menggandeng Aarav.

Setelah Alya dan Aarav pergi,Yola menatap tajam ke arah Rezvan. "Maksudnya apa?" Tanyanya sengit.

Rezvan terkekeh. "Seperti yang Aarav ucapkan." Sebelumnya Yola memang sudah menjelaskan kepada Rezvan mengenai kejadian yang sebenarnya. Secara detail dan begitu rinci. Mereka belum mengenal satu sama lain, Yola hanya tahu nama Rezvan dan mengenal wajahnya, ini pertama kali Yola bercakap dengan CEO Seth' Corporation.

Begitupun Rezvan, malah dia tidak mengetahui sama sekali tentang Yola, hanya karena Yola menyebutkan nama panjangnya, Rezvan akhirnya tahu, karena Abi Yola bekerja sama dengan Rezvan.

Yola melupakan sesuatu. Ia buru-buru mengecek gawainya. Panggilan dari sahabatnya sudah begitu banyak. Niat, ke sini hanya untuk menjemput sahabatnya bukan malah kejadian seperti ini. "Saya pamit pulang, sahabat saya sudah menunggu."

"Kamu mau Aarav nangis mencari Bundanya? Bilang sama sahabat kamu, suruh ke sini, biar nanti kamu saya antar." Yola mengepalkan tangan mendengar ucapan Rezvan, pria itu semaunya sendiri.

"Lagian anak situ yang nangis, situ bapaknya kenapa gue yang repot-repot?" Yola sudah menghilangkan bahasa formalnya, siapa yang tidak kesal? Baru saja kenal sudah di atur semau dia. Memang dia siapa?

"Kamu Bundanya. Panggil sahabatmu," gertak Rezvan pada Yola.

***

Tak hentinya Yola menggerutu, tetapi hanya berani di dalam hati. Namun, ketika melihat wajah damai balita yang dengan lancangnya memanggil dirinya bunda itu sedikit menghilangkan rasa kesal.

Balita itu begitu tampan, hidungnya mancung, alisnya pas serta pipi gembul yang sangat Yola sukai. Mirip dengan ayahnya. Kenapa Yola berpikiran seperti itu.

Alya setelah jajan sudah pulang, sedangkan Aarav tertidur pulas di kamar yang tersedia di ruangann itu. Yola masih terjebak di sana bersama dua lelaki berbeda umur itu.

"Ayo pulang," ucap Rezvan membuyarkan lamunan Yola.

"Terus, Aarav?" Pertanyaan bodoh, Yola menyesali pertanyaan itu.

"Ya di gendong lah, kamu bawa tas Saya, saya yang gendong anak," ucap Rezvan. Ingin sekali Yola menabok bibir Rezvan yang berkata seenak jidat.

Begitu Rezvan menggendong Aarav, Aarav menggeliat kecil seperti tidak nyaman. "Bunda deh yang gendong," ujar Rezvan.

Yola sudah melotot dan berancang-ancang akan memukulnya dengan tas Rezvan. Rezvan terkekeh, menempatkan tubuh Aarav dalam gendongan Yola.

Yola pasrah mengikuti Rezvan yang sudah berjalan lebih dulu. Mengusap punggung Aarav agar tertidur lagi dengan pulas.

Di dalam lift tidak ada percakapan sama sekali, Yola masih saja mengusap punggung kecil itu. Lift terbuka Rezvan berjalan mendahului Yola.

"Emang gue babu apa? Sumpah itu orang ngeselin banget," gerutu Yola pada Rezvan.

"Eh, Ibu ketemu lagi, si Aden kasep teh tidur Bu?" Pak Tarman sudah di takdirkan untuk membuat orang kaget atau bagaimana? Lagi-lagi beliau muncul begitu saja.

"Iya, pak," ucap Yola. Ia sudah capek, malas untuk menjawab. Kesal pada Rezvan semua terkena imbasnya.

Rezvan berhenti menunggu Yola yang tertinggal beberapa langkah darinya. "lama."

"Berisik, ah." Menggendong Aarav itu berat, mana Rezvan jalan cepat. Yang pasti Yola sangat lelah.

"Tunggu sini." Yola menurut, Rezvan mengambil mobilnya.

"Mari, Bu," ucap karyawan Rezvan pada Yola, sepertinya memang semua karyawan di kantor Rezvan itu sopan dan ramah, Yola mengangguk.

BMW putih berhenti tepat di depan Yola. Rezvan turun dan membukakan pintu untuk Yola kemudian menutupnya kembali. Aarav yang mungkin terganggu dengan suara pintu, mulai membuka mata.

"Bunaaa." Yola menunduk menatap Aarav yang masih merem melek.

"Loh, anak ayah bangun? Melek sayang," ujar Rezvan sembari menusuk-nusuk pipi gembul Aarav.

Plak

Yola menabok tangan kiri Rezvan. "Nyetir yang bener." Yola takut mobilnya akan menabrak dan terjadi kecelakaan, mana Yola belum nikah. Lebay memang.

Rezvan kembali menusuk-nusuk pipi Aarav, kemudian mengacak kepala yang belum tertutup sempurna oleh rambut. Rezvan bahagia kali ini.

Seketika tangis Aarav memenuhi mobil. Balita memang seperti itu, tidur belum pulas malah di ganggu, kan rewel.

"Hiks huaaa, bunaaa."

"Ayah!"

Mendengar itu, Rezvan mengerem mendadak, tubuhnya terdiam kaku, jantungnya berdetak kencang. Tetapi, rasanya ada yang melayang. Apakah Malaikat Izrail mencabut nyawanya?

avataravatar
Next chapter