15 Kenangan Terakhir

Pihak sekolah telah menghubungi orangtua Nana, dan dengan panik mereka datang ke sekolah, hampir tak percaya dengan berita yang didengarnya.

"Di mana Nana..?! Apa yang terjadi…?" jerit Mama histeris. "Di mana Diana…?"

Ia segera menemukan Diana yang duduk menangis di depan kantor guru. Mama mengguncang-guncangnya dengan panik. "Ada apa Diana? Beritahu Mama apa yang terjadi…"

"Nana, Ma…!" Diana menghambur pada Mama dengan airmata yang membanjir. "Nana…meninggal…!"

"Tidak mungkin…" Mama mendekap mulutnya dengan tangan. "Nana itu…kan…sehat dan kuat… Ia tidak mungkin meninggal…itu tidak mungkin…!"

"Nana sakit, Ma…mungkin waktu lahir ia sehat… tapi kemudian jantungnya juga bermasalah…huk… Selama ini ia menyembunyikan penyakitnya karena tak ingin menambah beban kalian…dengan seorang anak yang sakit lagi… Ia sakit, Ma…! Dan selama ini ia merahasiakannya…menanggungnya sendirian…"

Papa menggeleng-geleng dengan wajah tampak sangat terpukul. Ia terduduk di kursi dengan lemah. Mama menekap wajah dengan kedua tangannya dan menangis tersedu-sedu. "Ooh..anakku yang malang…"

"Di mana Nana sekarang?" tanya Papa kemudian. Pak kepala sekolah memberitahu bahwa Koji sudah pergi membawa Nana. Mereka segera berlari ke mobil dan melaju untuk mencarinya.

Koji ternyata tidak mengambil jalan menuju rumah Nana.

Sekarang…ia berjalan tertatih-tatih menggendong Nana pulang melewati jalan yang biasa mereka lalui sewaktu Nana masih tinggal di rumah neneknya.

Itulah yang dianggap Kojiro sebagai rumah Nana sesungguhnya…

Orang-orang yang mengikuti di belakangnya mulai berkurang karena lelah. Banyak dari mereka berhenti dan beristirahat. Tetapi Kojiro tetap maju. Punggungnya terasa pegal dan kakinya sakit tetapi ia tetap melangkah, tak peduli dengan pandangan heran orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan.

Eri terus berjalan di dekatnya tanpa bicara apa pun.

Mama dan Papa serta Diana akhirnya berhasil menemukan mereka. Mama berlari keluar mobil sambil menjerit histeris menghampiri Kojiro. "Aaah….anakku, Nana…! Nanaku..!! Huk…Nana..! Kembalikan Nanaku…!"

Kojiro tidak peduli. Ia terus berjalan. Mama, Papa, dan Diana susah payah mendekatinya.

"Untuk apa kamu melakukan ini? Letakkan Nana biar kami membawanya…" kata Papa dengan suara tegang karena emosional. "Kojiro..! Berhenti!!"

Namun Kojiro terus berjalan.

"Kamu tidak boleh membawa Nana!" bentak Mama histeris. "Turunkan anakku…aku mau memeluknya..!"

Kojiro berhenti, lalu berbalik dan menatap mereka dengan pandangan yang sangat sendu.

"Anda terlambat…seharusnya Anda bisa memeluknya kemarin…bilang bahwa Anda menyayanginya… Sekarang itu percuma saja. Nana tidak membutuhkannya lagi. Kalian bukan keluarganya, akulah keluarganya yang sebenarnya… Kalian hanya orang asing dan tidak berhak membawanya..!"

"Bicara apa kamu..?! Dia anakku…" kata Mama hampir marah.

"Nana sangat mencintai Anda… Selama bertahun-tahun ia selalu menerima kabar bahwa kalian akan pulang… Ia selalu sabar menunggu kalian tiba walaupun hal itu tidak kunjung terjadi…dan ia tidak putus asa…selalu berbicara padaku mengenai kepulangan kalian suatu hari nanti. Ia begitu rindu pada keluarganya… Nana sangat bahagia ketika akhirnya kalian pulang. Ia berharap dapat memiliki keluarga yang lengkap…" Kojiro menggeleng-geleng sedih. "Ternyata ia salah, kalian terlalu lama berpisah dan tidak saling mengenal… Anda bilang…Anda tidak bisa mencintai Nana, karena anakmu hanyalah Diana… Nana sungguh iri melihat Diana begitu disayangi sedangkan ia tidak… Karena itulah, kemarin ia seharian menjadi Diana untuk mendapatkan kasih sayang anda… Tapi..ia malah mendapati kepedihan…"

Mama menekap mulutnya dengan mata terbelalak kaget. Ia sangat terpukul hingga tak mampu bicara. Tubuhnya terasa lemas dan harus berpegangan pada suaminya agar tetap berdiri.

"A..apa yang telah kukatakan kemarin…? Huk…apa yang telah kulakukan pada Nanaku yang malang…? Apa yang telah kuperbuat..?!"

Ia duduk menangis pedih dengan wajah dibenamkan ke dua tangannya. Suaminya tertegun dan tidak mampu bergerak. Diana menangis diam-diam di sisinya.

Perlahan tapi pasti, Kojiro kembali berjalan.

"Nana…kita hampir sampai…" bisiknya pelan. "..Kita hampir pulang…

***

Kematian Nana yang mengejutkan itu mendukakan hati banyak orang. Pemakaman gadis periang itu dihadiri oleh banyak sekali orang. Teman-temannya dari SMP…teman-teman SMA-nya..anak-anak yang se-klub dengannya… Juga keluarganya yang berduka sangat dalam.

Eri muncul sebentar menaruh bunga dan pergi tanpa bicara apa-apa. Kojiro datang terakhir ditemani ayah, ibu, dan Akira, kakaknya. Ia tampak kuyu sekali berjalan pelan-pelan menghampiri makam dan meletakkan seikat mawar merah di samping nisan.

"Selamat jalan, Nana…" bisiknya. "Berbahagialah…"

Mama menangis lagi dan jatuh pingsan. Kojiro membelai nisan sebentar lalu beranjak pergi. Teman-temannya segera merubung dan menghiburnya. Andy datang dan menepuk bahunya pelan.

"Aku mengerti perasaanmu.." katanya singkat.

Kojiro mengangguk sedikit. Ia berjalan menuju mobil keluarganya dan duduk di belakang, termenung. Keluarganya segera datang dan membawanya pergi.

***

Dua bulan kemudian :

Diana mengeluarkan foto Nana dari dalam tasnya dan dengan hati-hati menaruhnya di atas pasir. Kedua orangtuanya tersenyum dan mengangguk.

"Nana..lihatlah, pantainya indah sekali… Ombaknya sedang berkejaran menuju ke mari…" kata Diana pelan. "…Kamu benar…laut memang indah.."

Mereka bertiga duduk di pasir memandangi laut dan berbicara pelan selama berjam-jam. Menikmati keindahan laut dan suasana haru yang meliputi mereka sampai saatnya matahari terbenam dan mereka harus segera pergi.

***

Eri tersenyum melihat para penonton yang bertepuk tangan seperti tiada henti atas penampilannya. Musik yang ia mainkan hari ini memang bagus sekali.

"One more…this is the last song for tonight… I dedicate it to a very special girl I met in Indonesia..and I always remember her… This song is dedicated for her strength…her spirit and joy…for her love towards all the people around her…for the light she had became into the hearts of so many people. I hope the tunes reach her in heaven…"

Suasana seketika hening.

Eri lalu memainkan lagu yang sangat ia sukai… Lagu yang dimainkannya saat mengiringi Nana mengepel aula. Di akhir lagu, semua orang berdiri dan bertepuk tangan untuknya, termasuk orkestra pengiringnya.

"Thank you…" Eri membungkuk sekali dan menghapus matanya yang kembali basah.

***

Kojiro masih berduka, tetapi ia berhasil memaksa dirinya untuk belajar menghadapi ulangan umum. Walaupun hasilnya tidak sebaik biasanya, Kojiro berhasil menyelesaikan ujiannya dengan baik.

Di hari ulang tahun Nana, ia datang mengunjungi makamnya dan menaruh seikat mawar merah di sana, sesuatu yang akan menjadi kebiasaannya seumur hidup. Ia tahu Nana sangat menyukai bunga itu.

Setibanya di rumah ia segera naik ke kamarnya dan baru membuka kado dari Nana yang selama ini tersimpan di lemarinya. Ia tersenyum melihat isinya, sebuah buku biru bergambar pesawat gantole di sampulnya dengan judul : The Flyer, Nana sangat tahu betapa Koji mencintai aeronautika dan bermimpi suatu saat akan dapat terbang.

Di halaman pertama terdapat tulisan Nana yang rapi kecil-kecil.

Hai, Kojiro…selamat ulang tahun…! Aku tidak lupa, kan..? Sebenarnya aku tidak pernah lupa..ha..ha..cuma tidak ingat..(eh, sama saja, ya..?) Karena sekarang umurmu sudah 17, aku tidak akan pernah memanggilmu Unta Jelek lagi…(kecuali kalau kamu masih memanggilku Kodok..)!

Kamu suka terbang, kan..? Terbanglah dengan buku ini…kalau sudah berhasil jangan lupa membawaku bersamamu… Kemana pun kamu pergi aku ikut, deh…(habis, aku ikut siapa lagi kalau bukan kamu..? Payah, ya..)

Sebenarnya pengen ngasih kamu hadiah lain yang lebih mahal (aku lihat ada model Zeppelin, lho..), tapi kamu selalu bilang, kan, yang penting adalah ketulusannya..ha..ha.. aku tulus sekali memberikan buku ini, jadi kamu harus suka..! (Ini bukan ancaman !)

Dari : Nanamu yang cantik.

Kojiro mengangguk. Ia tersenyum menatap awan.

"Terima kasih, Nana..hadiahmu..aku suka sekali…"

Ia duduk di jendela dan mulai membuka lembar-lembar buku itu. Sesaat kemudian ia sudah tenggelam ke dalam dunianya.

.

.

*****Hanya dalam mimpinyalah manusia menemukan kebebasan*****

avataravatar
Next chapter