8 Hari-Hari Baru

Keesokan harinya Nana bangun dengan perasaan bahagia luar biasa. Akhirnya ia bisa menunjukkan bahwa keluarganya, Mama, Papa, dan Diana benar-benar nyata. Setelah bertahun-tahun janji akan pulang yang tidak berhasil ditepati, kini mereka benar-benar pulang.

Nana ingat dengan jelas bagaimana ekspresi kaget keluarga Kurosawa tadi malam, lebih-lebih Kojiro, saat mengetahui bahwa tetangga baru mereka adalah keluarga Nana.

Tapi Nana sedikit tidak enak melihat pandangan Kojiro terhadap Diana. Rasanya aneh melihat sinar kekaguman yang terpancar di matanya. Setahu Nana, Kojiro selama ini tidak pernah memperhatikan perempuan mana pun, lebih-lebih kagum.

Mungkin karena Diana memang cantik sekali…

"Lho..Nana, ngapain bersiap-siap sepagi ini? Sekolah, kan masuk jam 7.." tegur Mama yang sedang asyik menata meja untuk sarapan.

"Biasanya Kojiro menjemputku, Ma… Perjalanan naik sepeda kan hampir setengah jam, aku harus berangkat awal biar tidak terlambat.." Nana memeluknya dan bergegas keluar. Ia hampir tak percaya barusan ia memeluk ibunya sendiri.

Kojiro juga sudah siap. Ia baru akan pergi ke rumah Nana ketika gadis itu muncul di depan pintu.

"Hei…! Aku baru mau ke sana.."

"Dasar nggak bisa diandalkan! Kalau mesti nungguin kamu yang datang pasti kita akan terlambat terus."

Keduanya tertawa ringan dan kemudian saling mengejek. Ritual perjalanan bersama mereka pun dilakukan kembali.

"Oh, ya…aku lupa, kamu nggak berangkat bareng Diana?" tanya Kojiro di tengah perjalanan.

"Nggak, ah...Diana kan diantar Papa pake mobil yang menurutku sangat tidak sehat. Enakan naik sepeda, bisa sambil olahraga."

"Olahraga, kepalamu…! Kamu, kan cuma duduk, yang olahraga itu aku…!" omel Koji. "Harusnya kamu pakai sepedamu sendiri!"

"Kamu kan tahu aku nggak bisa naik sepeda! Sejak jatuh dari sepeda waktu kita SD dulu, aku udah takut untuk mencoba naik sepeda lagi… Memangnya salah siapa aku jatuh waktu itu?" balas Nana.

"Iya…iya…tapi aku kan menebusnya, sampai sekarang aku masih ngeboncengin kamu, kan?" Koji menoleh. "Tapi ulang tahunku nanti Papa sudah janji bakal ngasih aku motor dan aku boleh pilih sendiri yang aku suka…"

"Tapi…" Nana menggeleng tidak puas. "Motor itu, kan, tidak sehat?! Belum lagi polusi yang dihasilkannya!"

"Tapi kalau orang lain yang pakai kamu nggak keberatan..." Koji terdiam beberapa saat lamanya.

"Kemarin kamu dibonceng pulang sama Eri naik motor, kelihatannya bahagia sekali. Aku lihat di gerbang!"

"Eri?" Pikiran Nana melayang pada cowok bermata kebiruan yang kemarin hampir menabraknya.

Mereka sudah 2 kali bertemu, pertama saat bertabrakan di stasiun dan kemarin juga karena kejadian yang mirip, dan sampai sekarang Nana belum tahu namanya.

"Sorry…kemarin aku nggak sengaja melanggar prinsip, habisnya tumpangan gratis, sih…"

Ia tidak ingin Kojiro mengetahui bahwa Ia dan Eri bahkan belum saling mengenal…sebagai balasan atas pandangan kagum Kojiro terhadap Diana kemarin.

"Oh…" Kojiro tidak bicara apa-apa lagi.

Begitu tiba di kelasnya Nana dengan sigap segera mengumpulkan teman-temannya dan mencari informasi tentang Eri. Ia jadi ingin tahu lebih banyak tentang cowok itu.

"Nggak banyak informasi tentang dia, Na… Anaknya eksklusif banget, kabarnya sih anak orang kaya dan sangat tertutup, gaulnya cuma sama anak-anak klub musik…" lapor Dena, "Tanya Lucia, deh…"

"Dia nggak berminat pada sekolah, karena seluruh hidupnya didedikasikan pada musiknya, jadi kalo ada konser pasti dia sering bolos… Pak Kepala Sekolah memang ngasih keringanan sama dia…" sambung Mita.

"Konser?" Nana menggeleng tidak mengerti. "Dia bolos cuma untuk nonton konser?"

"Bukan nonton konser, Bodoh!" Lucia menepuk bahu Nana keras sekali. "Dia itu pemusik professional, udah ngeluarin dua album sebelum datang ke negeri ini…! Dia punya penggemar sendiri di Inggris dan sering diundang untuk konser di sana."

"Kok, aku nggak pernah lihat penampilannya, ya..?" gumam Nana heran. "Kalo ternyata dia artis kenapa dia nggak beken di sini?"

"Soalnya, jalur musik dia klasik, Non..di sini pasar musik klasik masih sangat terbatas. Tapi kakak gua punya CDnya kalo lu mau dengar…" kata Lucia dengan tampang menggoda. "Tapi bilang dulu dengan jujur kalo lu suka sama dia…"

"Nggak, deh…" Nana mengangkat bahu. "I`m just curious…"

Pada waktu istirahat barulah Nana bertemu dengan Diana. Mereka tidak sekelas. Diana berada di kelas yang sama dengan Koji—kemudian Nana mengetahui bahwa itu adalah permintaan khusus Mama agar Diana ditempatkan sekelas dengan orang yang dikenalnya supaya ia tidak canggung menghadapi situasi yang baru.

Hal itu sedikit membingungkan bagi Nana karena Diana toh juga mengenalnya—saudaranya sendiri—atau memang mungkin sekolah memiliki kebijaksanaan sendiri dalam menempatkan saudara. Ia tidak tahu.

Diana memang mengagumkan. Baru sehari masuk sekolah, orang-orang sudah mengenalnya, dan semua berbagi pandangan kagum yang sama seperti Kojiro.

Waktu Nana bergabung dengan Diana dan Kojiro di kantin. Ia mengetahui bahwa semua orang salah mengira Diana sebagai sepupunya.

Kojiro telah memperkenalkan Diana sebagai saudara Nana dan orang-orang menerimanya sebagai saudara jauh, yang dengan sedih diakui Nana karena dirinya memang kurang mirip dengan Diana, apalagi rambutnya selalu disanggul dua sementara rambut Diana yang indah tergerai bagus di bahunya, membuat mereka tidak tampak seperti saudara kembar.

Diana sedang bingung hendak masuk klub apa karena teman-teman sekelasnya telah menawarkannya masuk klub mereka.

"Klub-klub olahraga aku tak bisa…klub paduan suara, mmh...klub drama sama melelahkan dengan klub olahraga…klub melukis, aah…mereka terlalu profesional…" Ia mencoreti nama-nama klub yang tertulis di agendanya.

"Bagaimana kalau klub musik?" tanya Nana tiba-tiba. "Aku punya kenalan di sana, biar kamu diajak masuk…"

Ia tidak memperhatikan pandangan mencela Koji, saat pemuda itu mengomentari ucapannya.

"Maksudmu Eri?"

"Nggak…maksudku adalah Lucia, teman sekelasku…dasar bodoh..!" Nana nyaris bilang dia bahkan tidak mengenal Eri. "Lagipula Eri kan sangat sibuk."

"Siapa itu Eri?" tanya Diana ingin tahu.

"Itu…anak sok yang sekolah di sini… Murid pindahan di kelas 3. Orang bilang, sih, pemusik berbakat." jawab Kojiro ketus.

"Oh, aku pernah dengar tentang seorang pemusik berbakat dari Inggris yang namanya Eri. Mm… I mean, I even have one of his CDs, it`s quite remarkable. He played all the instruments and combined them in one record." Diana menggeleng-geleng. "Kalo ini Eri yang sama, aku mau masuk klub musik saja…"

Karena Diana sudah membuat keputusan, Nana dan Kojiro mengantarnya ke klub musik setelah pulang sekolah. Mereka diterima dengan ramah oleh Lucia dan teman-temannya.

"Wah..saudaranya Nana, ya? Kamu berminat pada klub musik?"

"Bisa alat musik apa saja?"

Diana mengangkat bahu. "Aku pernah belajar harpa…selebihnya cuma menguasai piano dan violin and just a little guitar…"

Orang-orang di klub saling pandang.

"Bagus sekali…" kata Tanto, anak kelas 3 yang menjabat sebagai ketua klub tahun ini. "Kamu boleh datang ke pertemuan besok."

"Aku boleh tanya, tidak?" tanya Diana sebelum mereka pergi.

"Silakan.."

"Apakah Eri besok akan datang?"

Mereka saling pandang lagi.

"Ehm, entahlah…sekarang ini Eri sangat sibuk." jawab Tanto.

"Oh, begitu?" Diana menggeleng pelan. "Terima kasih."

Saat mereka bertiga sudah ada di gerbang sekolah, Nana menanyakan maksud Diana tadi dengan menyebut-nyebut nama Eri.

"Nggak apa-apa, Na.. Aku pernah dengar gosip jelek tentang pemusik berbakat itu dan ingin membuktikannya sendiri."

"Gosip? Gosip apa?"

"Masa kamu nggak tahu?! Koji bilang kamu dekat dengan Eri, jadi sebagai saudara yang baik aku mau memastikan bagaimana laki-laki yang berhubungan denganmu…" jawab Diana kalem. Ia dan Koji bertukar pandang dan membuat Nana menjadi bingung.

"Tapi aku dan dia…" Ia mendesah. Nana tak mengira Kojiro akan membicarakannya dengan Diana. Ia merasa dicurangi. "Terserahmulah…"

***

Sore itu suara musik indah kembali mengalun di rumah. Diana sedang melatih komposisi terbaru yang ia pelajari dari buku. Mama duduk memperhatikannya dengan khimad sementara Nana yang duduk di sebelahnya merasa aneh karena ia tak mengerti musik sama sekali.

Dan, oh…melihat Mama memandang Diana—sama seperti cara semua orang memandang gadis itu—hatinya seperti ditusuk sebatang jarum. Luka itu kecil… tetapi sakit.

"Kasihan sekali Diana…dengan bakat sebesar itu ia tidak mampu hidup lama…" Mama membuang muka karena sedih.

"Tapi..bukankah Diana sudah sehat maka kalian kembali ke Indonesia..?" tanya Nana tak mengerti. "Diana sudah sembuh, kan?"

Mama menggeleng sedih.

"Semua dokter yang merawatnya bilang kesembuhan Diana sangat tergantung pada semangat hidupnya, karena itulah kami pulang. Kami berharap kehadiranmu akan membuatnya semakin ingin bertahan hidup… Beberapa hari terakhir ini sepertinya dia sangat gembira, bahkan mau bergabung dengan klub musik…"

Nana termenung, pasti berat sekali rasanya hidup seperti Diana.

"Aku berjanji, Ma…akan menjaga Diana biar dia cepat sembuh." kata Nana pelan.

"Itu bagus sekali, Nana…" Mama memeluknya dengan haru. "Kau tahu, Mama tadi pagi kepikiran sesuatu waktu melihat kamu pergi bareng Kojiro. Naik sepeda itu kan sehat sekali…bagaimana kalau mulai besok Diana ikut kalian…?! Maksud Mama, kamu akan dibelikan sepeda sendiri, jadi Diana bisa membonceng Kojiro...biar kesehatannya makin bagus. Bagaimana..?"

"Wah..itu…" Nana menggeleng pelan. "itu akan bagus sekali untuk Diana. Tapi aku nggak bisa naik sepeda, Ma…trauma soalnya, waktu kecil dulu pernah jatuh… Biar aku naik angkot saja."

"Kalau begitu, biar Papa yang antar jemput kamu…"

"Nggak, deh, Ma…Papa kan sibuk. Buat apa mengantar-jemput anak yang sehat seperti aku? ...Lagipula jadwalku nggak jelas karena latihan Basket dan macam-macam kegiatan kelas."

"Baiklah kalau begitu… Kamu beri tahu Kojiro, ya.."

"Oke, Ma…"

Nana menyampaikan hal itu pada Kojiro melalui telepon dan ia tak bisa memastikan apakah gerutuan Kojiro itu pura-pura atau tidak.

"Aku nggak mau direpotin, Na… Nanti gosipnya macam-macam lagi kalo orang liat aku ngebonceng cewek lain. Kalo sama kamu kan orang-orang udah ngerti…!"

"Masalahnya, Diana itu kan sakit, Kojiro…! Kamu berperikemanusiaan dikit, dong…!"

"Terus, kalo aku lagi ada acara klub?"

"Latihan klub Basket kan jadwalnya sama dengan klub musik…kamu tetap harus mengantar Diana." Nana menghela nafas. "Please, Koji…"

Agak lama barulah terdengar jawaban Kojiro. "Iya, deh…tapi ini cuma karena kamu yang minta."

Nana menutup telepon dengan lega.

Kojiro-nya masih seperti yang dulu.

avataravatar
Next chapter