10 Eri & Diana

Pagi itu Nana terlambat ke sekolah karena angkot yang dinaikinya mogok di tengah jalan. Mau memanjat gerbang ia tidak berani, sebab selama ini kalau terlambat ia selalu bersama Kojiro dan mereka berdua adalah tim yang kompak untuk melarikan diri dari pengawas piket, kalau sendirian ia tidak berani.

Akhirnya ia menemui guru piket dan menerima hukuman untuk mengepel lorong sekolah. Karena kebetulan petugas kebersihan sudah membersihkan tempat itu, maka Nana disuruh membersihkan aula.

Di depan pintu aula, langkah Nana tiba-tiba terhenti. Dari dalam aula terdengar alunan musik yang indah sekali. Tubuhnya seperti terpaku dan jiwanya melembut oleh musik yang mengalir. Nana tidak pernah mengerti musik, tapi musik yang sekarang didengarnya adalah sesuatu yang berbeda. Ia mengerti yang ini.

Tak terasa tangkai alat pelnya terjatuh. Nana tersentak dan tiba-tiba alunan musik terhenti. Seorang laki-laki keluar dari dalam aula. Melihat Nana yang bengong dengan tangkai pel pada ember di lantai, ia tertawa terpingkal-pingkal.

"Kamu…hik…lucu sekali. Mau ngepel aula? Sepertinya kamu bukan petugas kebersihan."

Nana menggeleng. "Aku terlambat."

"Oh." Pemuda itu mengeleng-geleng. "Jadi hukuman purba seperti ini masih di lakukan, ya?"

"Sepertinya begitu. Kamu sendiri ngapain ada di aula?"

"Bolos."

"Sudah kuduga." Nana mengangkat embernya ke dalam dan mulai mengepel aula. Pemuda itu mengikutinya.

"Kamu sudah menduga kalau aku bolos?! Memang di jidatku ada tulisan pembolos?"

"Aku sudah dengar banyak hal tentang dirimu… Orang bilang kamu jenius musik dan seluruh hidupmu kamu abdikan pada musik… Setiap kali konser kamu pasti bolos sekolah…tapi itu nggak apa-apa buat seorang Eri karena dia berbakat…!" Nana mencelupkan tangkai pelnya ke dalam ember lagi dan melanjutkan mengepel. "Aku pikir sih kalau nggak niat sekolah kenapa nggak berhenti saja? Buang-buang duit...!"

Eri melongo mendengar cecaran itu.

"Maaf, ya, kalau kehidupan pribadiku membuatmu kesal…tapi aku punya alasan untuk itu!" Eri mengangkat bahu. "Papaku dulu sekolah disini…sebelum meninggal dia memintaku untuk merasakan kehidupan disini, paling tidak setahun… Aku benar-benar nggak bisa berkonsentrasi pada dua kehidupan. Di satu pihak aku punya kehidupan musik yang sudah cukup baik, di pihak lain aku harus hidup jadi murid sekolahan yang bahkan nggak ngerti apa yang diajarkan sekolahnya. I mean…yang diajarkan disini sulit sekali, paling yang aku ngerti Math sama Physics…lainnya payah."

Nana menatap Eri keheranan.

"Jadi kamu malas sekolah cuma gara-gara itu?! Kalau aku seperti kamu, aku nggak bakalan tamat SD, deh…!"

Eri tertawa kecil. "Kamu benar. Aku akan berusaha lebih keras lagi biar lulus dengan nilai yang bagus."

"Nah, itu baru benar."

"Karena kamu sudah memberiku nasihat yang bagus, bagaimana kalau aku membantu mengepel? Aku cukup ahli, lho…"

"Nggak usah, deh…ini adalah hukumanku. Aku termasuk orang yang idealis dalam hal ini, apa kata anak buahku kalo tahu KM-nya menghindar dari tanggung jawab?!" Nana tersenyum gembira sambil menunjuk piano di sudut aula. "Kamu bisa mainin musik yang tadi untuk membuat aku semangat mengepel."

"Kamu suka musikku? "

"Aku akan menjadi penggemarmu yang baik."

"Well…thank you."

Akhirnya Eri memainkan musiknya sementara Nana mengepel. Keduanya gembira sekali pagi itu. Ketika akhirnya bel tanda jam pelajaran kedua dimulai berbunyi, Nana meloncat bahagia dan membereskan embernya siap untuk pergi ke kelas.

"Hei, Na…!" panggil Eri tiba-tiba.

"Ya?" Nana berbalik keheranan. "Ada apa? "

"Kalau kamu benar-benar suka musikku… datanglah ke klub musik siang ini, aku bakal mempertunjukkan pada mereka komposisiku yang terbaru…"

"Tapi aku ada latihan basket…"

"Bolos saja." Eri menepuk keningnya sendiri. "He he…maaf. Itu ide yang buruk."

Nana tertawa dan pergi ke kelasnya.

Seingatnya ia dan Eri belum pernah berkenalan resmi…dari mana Eri tahu namanya? Ah, ya…bodoh…! Ia melirik badge nama yang tersemat di seragamnya.

Setibanya di kelas, Nana disoraki anak-anak karena terlambat.

"Kamu bodoh, seharusnya periksa kelas dulu, ada guru atau nggak…! Harusnya tadi masuk aja, soalnya Bu Ida juga nggak masuk. Kamu sebenarnya nggak perlu menjalani hukuman demi surat izin masuk kelas itu." omel Amy yang duduk di sebelahnya.

"Iya, deh…aku salah…! Tapi tadi aku ketemu Eri dan mendengarkan dia main musik…jadi nggak ada ruginya, kan?!"

"Eri? " Lucia ikut nimbrung. "Maksudmu Eri…The Eri?"

"Yap."

"Wah…kalian ngobrol nggak?"

"Mm…ya, sedikit…"

"Ngapain kamu ngobrol sama dia?"

"Oh, yang benar aja, dong, Lus… Emangnya kenapa kalo aku ngobrol ama dia? Dia ngggak ngegigit, kok…"

Lucia menggeleng dengan wajah misterius. "Gua pernah denger gosip jelek tentang dia waktu masih di Inggris…katanya…dia pernah…membunuh."

"Kalo membunuh nyamuk aku juga sering. Mereka itu memang menyebalkan sekali."

"Ah, kamu ini, yang serius dong, Na…"

Nana menggeleng dan mengangkat bahu. Lucia terpaksa kembali ke bangkunya karena guru Biologi sudah masuk kelas.

Orang yang mampu menciptakan musik seindah itu takkan mampu membunuh…

Nana takkan percaya gosip jelek itu.

Nana merasa tubuhnya lemah sekali saat berjalan menuju klub basket. Tidak seperti biasanya…

"Hei, Na…" Kojiro muncul dari kelas sebelah dan menepuk bahunya keras sekali. Nana terhuyung-huyung hampir jatuh kalau tidak segera ditangkap oleh Koji. "Kamu sakit, ya?!"

Nana menggeleng pelan.

"Aku belum sarapan…soalnya tadi buru-buru…eh, malah terlambat gara-gara angkotnya mogok... Mungkin karena lapar aku jadi lemes begini…"

"Ayo kuantar makan di kantin."

Koji hendak mendukung bahu Nana ketika tiba-tiba Eri lewat dan segera menghampiri mereka.

"Nana…kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir

"Aku nggak apa-apa..." Nana berhasil menegakkan dirinya dan mendorong Koji ke samping. "cuma lapar…"

"Ayo kutemani makan, aku juga lapar." kata Eri sigap.

"Terima kasih." Nana menoleh pada Koji. "Wah…kamu sangat dibutuhkan di lapangan, Koji, bagaimana tim bisa main tanpa kaptennya?! Pertandingan persahabatan dengan SMA 5 jangan di anggap remeh, lho…! Aku nggak apa-apa kok, begitu selesai makan aku bakal ke lapangan untuk menyoraki kamu, oke?! "

Kojiro menatap Nana dan Eri berganti-ganti, baru kemudian menjawab dengan nada terpaksa.

"Baiklah…"

Eri memapah Nana ke kantin tapi ternyata Nana tidak mau makan apa-apa. "Sorry merepotkan Kak Eri..tapi aku nggak selera makan. Kakak makan sendiri, deh…aku temenin."

"But, why? Tadi kamu bilang lapar, tapi sampai di sini nggak mau makan. Kamu ada masalah?"

"Nggak ada apa-apa, kok… Tadi rasanya badanku sakit sekali… Aku nggak pengen bikin Koji cemas, karena itu kubilang aku lapar…"

"Aku juga sebenarnya nggak lapar, sih… Aku cuma nyari alasan biar bisa makan bareng kamu." Eri tertawa. "Kalo begitu kita seri."

Nana mengangguk. "Tentu saja…"

"Kamu mau datang ke klub musik? Kudengar sudah ada anggota baru yang terus-menerus menanyakanku… Kata orang dia itu saudara kamu."

"Eh, Diana…dia itu cuma penasaran. Baiklah…aku mau lihat permainan kalian. Aku mau belajar mengerti musik..."

Nana mengikuti Eri ke ruangan klub musik, melewati lapangan Basket yang riuh oleh teriakan-teriakan penonton yang menyaksikan pertandingan persahabatan antara SMA Nusantara dan SMAN 5. Ia melihat skor tim sekolah masih unggul. Kojiro bermain baik sekali.

Sesaat rasanya Kojiro berhenti di tengah lapangan dan mengikuti geraknya yang menuju ruang klub musik bersama Eri.

Eri memang orang yang special di klub musik, begitu ia tiba mereka segera mengerumuninya dengan bersemangat dan menanyakan kabarnya.

"Aku baik-baik saja. Hari ini ada peninjau dari klub lain yang akan melihat pekerjaan klub musik." Ia memperkenalkan Nana yang disapa ramah oleh semua orang. "Aku punya komposisi baru yang akan kumainkan hari ini. Oh, ya…mana Diana..? Kudengar ia ingin sekali melihatku bermain.."

"Aku di sini.." Diana yang baru tiba di pintu, masuk dan tersenyum manis sekali. "Aku pengagummu…"

Seperti yang lain, Eri pun tertegun menatap Diana.

"Terima kasih, kamu cuma memuji.." katanya kemudian.

"Aku kagum karena Kakak menguasai begitu banyak alat musik. Aku sering menirukan permainan Kakak dan merubah versi akhirnya. Begitu pula komposisi pianomu.."

"You`re kidding…" Eri menggeleng-geleng tak percaya.

Mereka semua keheranan melihat Diana membuka kotak biolanya dan mulai memainkan salah satu karya Eri yang populer dan merubah endingnya yang sedih menjadi ceria. Diana memang belum pernah menunjukkan permainan musiknya kepada mereka sehingga praktis orang-orang klub tidak terlalu memperhitungkan kemampuannya.

Kini pandangan mereka telah berubah.

"Hebat…" desis Lucia pada Nana.

"Kamu bermain baik sekali." Kata Eri sambil tersenyum. "Beberapa tahun lagi pasti sudah bisa profesional."

"Maksud kakak aku belum cukup baik?" tanya Diana.

"Ya. Kamu tidak mengerahkan power yang cukup dalam memainkan musik, padahal dalam musik kita harus bersungguh-sungguh…"

Diana mengambil biolanya dan kembali memainkan musik, kali ini salah satu gubahan Mozart yang paling sulit. Mereka semua terpaku mendengarnya, tetapi hanya Nana yang memperhatikan peluh yang membanjiri tangan dan leher Diana.

Ia menyadari ekspresi kesakitan yang biasa dialami saudara kembarnya itu walau pun Diana menutupinya dengan senyuman.

"Di…jangan memaksakan diri..!"

Tetapi Diana terus bermain…

Nana akhirnya terpaksa merebut biola itu dari tangan Diana…tanpa sengaja menjatuhkannya ke lantai membuat tangkainya patah, sementara ia menahan tubuh Diana yang tiba-tiba ambruk.

"Kenapa dengan Diana!?"

"Dia terlalu capek…seharusnya kalian jangan memaksanya bermain sekeras itu hanya untuk membuktikan kemampuannya..!" Nana meraba isi tasnya dengan panik. "Aduh..obatnya jatuh..! Tolong panggilkan ambulans…jantung Diana rusak sejak lahir…dan kalau tidak berhati-hati dia bisa mati…"

Barulah semua maklum apa yang terjadi. Mereka segera panik mengambilkan air minum dan apa pun yang bisa menolong.

"Hari ini aku bawa mobil… Dari pada menunggu ambulans lebih baik kita bawa ke rumah sakit segera!"

Eri sigap menggendong Diana dan menyuruh Nana mengikutinya.

Pemuda itu ngebut dengan mobilnya sementara Nana mencoba sebisanya merawat Diana.

10 menit kemudian Diana sudah berada di UGD.

avataravatar
Next chapter