6 Tugas Pertama

Hari ini Lia memiliki jadwal kuliah jam 8.40. Meskipun demikian, ia memilih untuk berangkat pagi ke kampus.

Sesampainya di kampus, ia langsung menuju ke perpustakaan. Ia harus meminjam beberapa buku yang akan digunakan sebagai sumber belajarnya. Minggu lalu ada dosen yang sudah mengarahkan mahasiswanya untuk meminjam buku di perpustakaan saat mata kuliah beliau.

Lia sudah janjian dengan temannya untuk meminjam bersama. Maklum, mahasiswa baru pastinya ke mana-mana harus barengan dengan teman-temannya. Mau pergi sendiri, rasanya masih malu dan belum percaya diri.

"Bukunya yang kayak apa?" Bisik salah seorang temannya. "Yang ini bukan?" tanyanya sambil memperlihatkan sebuah buku.

"Iya kayak gitu, tapi yang sampulnya bukan itu. Yang cetakan paling baru."

"Apa bedanya, sih? Kayaknya sama aja, deh."

"Yang terbaru udah direvisi lagi. Ya emang nggak beda jauh biasanya."

Kamipun sibuk mencari buku lagi. Ada sekitar lima buku yang kami butuhkan, jadi pinjamnya masing-masing anak dua buku. Rencananya nanti akan diperbanyak sendiri, supaya bisa gantian dengan mahasiswa lain yang ingin meminjam.

"Silahkan, pengembaliannya Rabu minggu depan, ya? Waktu peminjaman selama seminggu. Telat sehari terkena denda 500 rupiah."

Seusai dari perpustakaan, kami berlalu ke arah gedung keguruan untuk menghadiri mata kuliah yang sebentar lagi akan dimulai.

"Belum ada tugas 'kan, ya?"

"Masih belum. Mungkin nanti sudah mulai dikasih tugas. Nikmati aja waktu bebas kita sekarang. Nanti kalau udah banyak tugas bakalan susah nyari waktu luang."

"Iya juga. Lia, kamu misalnya tugas udah mulai banyak bakalan tetep kerja apa gimana?"

Lia menatap temannya itu, "aku bakal usahain semaksimal mungkin. Kuliah itu prioritasku, tapi kerjaanku juga sama pentingnya. Mau makan apa kalau aku nggak nyambi kerja?"

"Kan masih ada duit beasiswa?"

"Kurasa itu masih kurang untuk menyukupi kebutuhanku. Uang beasiswa kayaknya hanya cukup untuk kuliah aja. Biaya yang lain pasti nggak akan ketutup kalau cuma mengandalkan uang beasiswa."

Mungkin banyak diantara teman-temannya yang menganggap, anak beasiswa itu duitnya banyak. Memang iya, tiap semester dapat uang saku dari pemerintah. Namun dibalik semua itu, tentulah biaya hidup selama kuliah di kota orang sudah cukup buat menghabiskan uang tersebut.

Selain itu, mereka juga mempunyai tanggungjawab untuk selalu mempunyai nilai yang bagus di tiap semester. Turun sedikit saja dari standar, bisa langsung dicopot beasiswanya. Makanya harus benar-benar fokus jika menjadi anak beawiswa.

Apalagi bagi Lia yang sudah tidak mendapatkan bantuan dari orangtuanya. Rasanya beasiswa itu sedikit banyak membantunya dalam mengenyam bangku kuliah, walaupun masih harus menyambung hidup dengan bekerja di laundry.

Namun ia tetap mensyukuri segalanya yang ia peroleh saat ini. Berdosa rasanya jika ia sampai menyia-nyiakan kesempatan besar ini.

"Eh, nanti aku dipilihin bangku satu, ya? Aku mau ke toilet sebentar."

Tak menunggu waktu lama, pintu ruang kelas terbuka. Para mahasiswa mulai berhamburan ke luar kelas, dan mulai diisi oleh mahasiswa yang akan menggunakan ruangan tersebut di mata kuliah selanjutnya.

Wajah mereka terlihat asing, dan sepertinya mereka berasal dari kelas kakak tingkat.

"Gila! Cuma telat sebentar aja langsung dapet tugas! Malesin banget dosennya," gerutu salah seorang mahasiswa yang lewat di depan Lia dan temannya.

"Eh, kita juga diampu dosen ini nggak, sih?"

"Kayaknya sih iya. Mata kuliah kita kali ini kan beliau yang ngajar. Denger-denger nih ya, beliau tuh tegas banget. Ada salah dikit kena tegur, parahnya lagi kalau sampai dapet tugas khusus dari beliau."

"Serius? Ih, serem dong?"

"Tapi semua tergantung mahasiswanya juga, sih. Kalau kita nggak buat salah, pastinya nggak bakal dapet hukuman."

"Masuk kelas sekarang? Biar nggak kena hukuman," ajak Lia saat teman-temannya itu malah asyim ngerumpi.

Merekapun beriringan untuk masuk ke dalam kelas. Setelah menempatkan diri di kursi barisan tengah, barulah mereka menyadari bahwa masih ada dosen di meja depan.

"Habis ini kelas saya lagi, ya?" tanya dosen tersebut saat melihat kelas sudah setengah penuh.

"Iya, Pak."

"Sudah bawa buku yang saya sarankan?"

"Udah," hanya beberapa yang menjawab pertanyaan dosen tersebut.

Dosen tersebut terlihat menghela nafasnya perlahan. "Kalian itu sudah mahasiswa, persiapkan materinya sebelum mengikuti perkuliahan saya. Nanti saya tidak akan banyak menjelaskan materi, jadi kalian haruslah aktif untuk mencari materi. Saya menganggap kalian sudah dewasa, jadi sudah bisa saya lepas sendiri."

"Kali ini masih saya beri toleransi. Pertemuan selanjutnya semuanya harus sudah membawa materi masing-masing."

"Baik, Pak."

Tak lama kemudian kegiatan perkuliahan dimulai. Mahasiswa sudah memenuhi bangku di ruang kelas tersebut, bahkan masih ada yang harua mengambil bangku dari kelas sebelah.

Untung saja tadi tidak ada mahasiswa yang telat mengikuti perkuliahan pagi ini. Jika ada, pastilah ceramah dari dosen tersebut akan lebih lama, memangkas jam perkuliahan yang hanya 100 menit tersebut.

.

Lia terlihat sibuk dengan sebuah buku di tangannya. Sesekali ia terlihat mencatat sesuatu di buku tulisnya, kemudian kembali fokus ke buku bacaannya.

Baru dua minggu kuliah, kini ia sudah mulai mendapatkan tugas dari sang dosen.

Mata kuliah sebelumnya sudah mendapatkan tugas kelompok, yang langsung mereka kerjakan bersama di perpustakaan. Untunglah teman sekelompoknya menyetujui usulannya tadi, jadi selesai mengerjakan tugas ia bisa langsung bekerja.

"Nanti bagian yang ngetik makalah dua anak, yang buat powerpoint cukup satu anak. Kalau bisa besok materi sudah terkumpul, jadi bisa langsung menyelesaikan tugasnya."

Tak berselang lama, sebuah notifikasi pesan menimbulkan getaran di ponsel Lia. Ia merogoh ponsel miliknya di dalam tas, kemudian memeriksa pesan yang sudah masuk.

"Temen-temen, aku boleh ijin duluan? Baru saja ada pesan masuk dari UKM Jurnalistik. Ada beberapa hal yang akan mereka sampaikan, jadi aku harus ikut datang. Boleh, kah?" tanya Lia, meminta persetujuan teman kelompoknya.

"Duluan aja nggak papa, Lia. Kerjaan kamu dikirim nanti malem aja."

"Makasih, ya."

Lia bergegas ke luar perpustakaan, menuju sekretariat UKM. Beberapa senior dan anggota baru tampak duduk lesehan di dalam sekretariat, namun dengan lingkaran yang berbeda.

Anggota baru duduk menggerombol di dekat pintu, dengan pandangan malu-malu. Sesekali mereka berkenalan jika ada yang baru bergabung, namun selanjutnya mereka terdiam. Suasana masih terasa canggung.

Berbeda dengan para senior yang lebih ekspresif. Mereka rebahan di bagian dalam, dan beberapa sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada juga yang duduk di pojokan sambil membawa buku, yang sedang asyik dengan gitarnya juga ada.

Ejekan dan gelak tawa juga memenuhi lingkaran para senior itu. Lia dan para junior lainnya hanya duduk canggung sambil menunggu anggota baru lainnya.

"Ini masih kurang berapa anak, ya?" Setelahnya senior tersebut terlihat kaget dan menepuk jidatnya pelan.

"Eh, lupa. Ini kan anak-anak baru, ya? Oke, sambil nunggu yang lain dateng, kalian bisa nulis nama kalian dulu di selembar kertas. Nanti saya buatkan kelompok kecil kalian buat memulai proyek pertama kalian."

Tanpa banyak bicara, mereka mulai menulis identitas masing-masing di selembar kertas sambil menunggu yang lain datang.

Kakak seniro tadi sudah kembali ke perkumpulannya, dan mereka memulai rapat sebelum memberikan tugas kepada juniornya.

.

.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter