7 Senior dan Junior

Sabtu pagi Lia sudah bersiap di depan ruang sekretariat UKM Jurnalistik untuk menerima tugas pertamanya sebagai calon anggota baru.

Dalam pembagian kelompok sebelumnya, ia bersama ketiga temannya dibimbing oleh seorang senior. Mereka mendapatkan tugas untuk meliput di acara festival tahunan di suatu kecamatan.

Dalam sebuah grup yang sudah dibuat, mereka sudah sepakat untuk berkumpul terlebih dahulu di sekretariat pada jam tujuh pagi. Mereka akan memulai kegiatan hari ini dengan briefing pagi, pemberangkatan ke lokasi acara, kemudian eksekusi di tempat festival diadakan.

"Kak, semua sudah datang," ucap Lia pada seniornya.

"Oke. Bentar, ya. Kakak mau memantau yang lain dulu udah sampai mana."

Lia berjalan ke luar sekretariat, kemudian bergabung dengan teman-temannya.

"Gimana?"

"Kakaknya lagi memantau yang lain. Bentar lagi ke sini," jawab Lia.

"Kalau kita yang telat, udah dihukum. Kalau mereka yang telat aja, cuma minta maaf. Huh!"

"Senior mah bebas."

Tak lama kemudian senior pembimbing menemui mereka, kemudian memulai briefing pagi. Briefing tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya menanyakan persiapan masing-masing dan jobdesk yang harus dilakukan.

Dengan berboncengan, mereka berangkat ke lokasi festival yang cukup jauh dari kampus. Butuh waktu sekitar 45 menitan untuk sampai di lokasi, itupun jika tidak ada kemacetan.

.

Lia terduduk bersandar ke sebuah dinding untuk mengistirahatkan tubuh lelahnya. Ia sudah menyelesaikan tugasnya, dan kini harus menunggu teman-temannya yang lain selesai.

Ia sudah mengabari di grup lokasinya saat ini. Titik kumpul ini ia pilih karena lokasinya yang strategis, dan tentunya tidak terlalu panas. Jika ingin membeli makan siang atau minuman juga dekat dengan stand penjual.

Ia mengambil botol minumnya dari dalam tas yang ia bawa. Beberapa tegukan kemudian ia mengembalikan botol ke dalam tas. Rasa hausnya sudah terobati, dan sekarang indera penciumannya menangkap aroma manis gurih dari penjual leker di dekatnya.

Lia mendekat ke penjual leker tersebut, dan memesan satu leker untuk mengobati rasa kepinginnya.

"Pak, lekernya satu, ya?"

Ia hanya membeli satu. Selain tidak tau apa keinginan temannya yang lain, ia juga hanya membawa uang saku yang tak cukup untuk mentraktir mereka.

"Yang rasa apa, Mbak?"

"Yang pisang cokelat, Pak."

"Antre dulu ya, Mbak?"

"Pak, nanti panggil saya aja kalau udah jadi. Saya duduk di belakang bapak," ucap Lia yang langsung disetujui oleh penjual tersebut.

Tak lama kemudian teman-temannya mulai berdatangan. Mereka sudah membawa jajanan masing-masing, lengkap dengan minuman yang terlihat menyegarkan. Embun nampak menghiasi kemasan minuman yang mereka bawa.

"Nggak jajan?"

"Lagi nunggu pesanan."

"Yang lain belum balik, ya?"

"Iya. Kakak pembimbing juga belum ke sini," jawab Lia.

"Palingan dia nemenin yang satunya lagi. Kelihatan banget."

"Apanya?" tanya seorang mahasiswi yang duduk di sebelah Lia.

"Kalian nggak sadar emangnya? Masnya itu kayak kelihatan suka cari perhatian gitu. Makanya pas ada yang ngerespon, jadi gitu deh. Nempelin mulu ke mana-mana," gerutu mahasiswa itu pelan.

Lia hanya tersenyum menanggapi gerutuan mereka terhadap salah satu teman kelompoknya. Sudah jadi rahasia umum kalau kakak pembimbingnya itu kelihatan suka sama salah satu juniornya, yang kebetulan sekelompok dengan Lia.

"Biarin ajalah. Toh nggak ada ruginya buat kita."

"Itu karena belum. Gimana kalau dia jadi seenaknya sama kita? Mentang-mentang lagi deket sama senior, dia jadi berlagak ratu di kelompok kita. Ogah banget, aku."

"Udah, biarin aja. Nanti juga dia yang rugi sendiri. Kalau nggak dalam waktu dekat, nanti pasti ada saatnya dia mendapat balasan dari kelakuannya itu. Yang penting kita baik-baikin aja, attitude kita tetap harus baik."

"Huft, ngeselin banget sumpah!"

"Udah-udah, daripada kesel mending kalian makan aja."

"Lia mau nyicip cimolku? Ini aku beli banyak," tawar mahasiswi itu.

"Makasih, kamu makan aja. Aku lagi nunggu lekerku, bentar lagi udah jadi."

"Mbak, lekernya udah jadi," panggil penjual leker tersebut. Panjang umur, baru juga disebut namanya.

"Makasih, Pak. Berapa jadinya?"

Lia membayar pesanannya setelah penjual tersebut menyebutkan nominal harganya. Ia kembali bergabung dengan temannya, dan di sana sudah kumpul semua lengkap dengan seniornya itu.

"Eh, udah pada jajan? Padahal baru mau ngajak beli mie ayam bareng."

"Hehe, kalau kakak mau beli juga nggak papa."

"Nggak ada yang mau emangnya?"

"Kakak nawarin gitu mau nraktir kita? Oke aja kalau gitu, mah.."

"Maunya aja gratisan! Lagi bokek ini. Tapi kalau nggak mau ya udah, aku mau nyari bakso kuah bentar yang murah."

.

Kali ini Lia sudah sampai di kontrakannya. Ia sudah mandi keramas, dan kini badannya sudah segar dan wangi. Gerah banget rasanya setelah beraktivitas di luar tadi.

Hari ini ia ijin bekerja, sehingga tidak perlu datang dan bisa ia pergunakan waktu untuk menyelesaikan tugasnya.

Ia membawa beberapa buku dan laptop ke meja makan, kemudian menyalakan laptopnya. Sambil menunggu, ia menyantap mie kuah instan yang baru saja ia buat.

Rasa pedas asam dari mie soto yang ditambah beberapa cabai mampu menyegarkan pikirannya. Keringat tampak bercucuran di dahi dan hidungnya, sesekali ia seka agar tidak mengganggu acara makannya. Meskipun begitu, ia tetap menikmati mie instan tersebut.

"Eh, udah selesai tugasnya?" tanya Wina yang baru saja memasuki kontrakan.

"Udah, baru juga sampai. Kamu pulang awal lagi?"

"Iya, soalnya bosnya mau liburan ke luar kota. Biasa, weekend gini pasti pada piknik mereka. Apalah aku yang cuma babu."

Wina berlalu dari ruang makan menuju kamarnya. Sedangkan Lia, ia mulai fokus dengan tugasnya setelah mencuci peralatan bekas makannya.

"Nggak capek?"

Lia menengok ke arah Wina yang baru saja ke luar dari dalam kamar. Handuk masih tampak menggulung di kepalanya.

"Capek nggak capek tetep harus dikerjain, Win. Udah resiko," jawab Lia.

"Huft, kadang aku ngerasa kasihan sama kau, Lia. Udah kerja, kuliah, bahkan tugasnya juga kadang banyak banget. Kamu istirahatnya kapan? Apa nggak capek itu badan?"

"Aku yang udah milih jalan ini, jadi ya udah jalanin aja. Selama aku masih sanggup, pasti semua baik-baik saja. Bisa diposisi sekarang aku udah bersyukur banget, Win."

"Beruntung banget aku punya sahabat kayak kamu, udah selalu ada buat aku, ngedukung aku di kondisi apapun. Kalau nggak ada kamu, aku udah nggak tau lagi mau gimana, Win."

Wina menggenggam sebelah tanganku yang berada di atas meja.

"Kita udah jadi keluarga, Lia. Nggak usah mikirin apapun, aku juga seneng banget ada kamu di sini. Aku jadi nggak kesepian setelah kamu tinggal di sini."

"Yang penting kamu harus selalu jaga kesehatan. Sibuk boleh, tapi tubuh kamu juga butuh istirahat. Keinginan kamu masih menyala, tapi kalau tubuh kamu udah butuh istirahat ya diturutin. Jangan malah maksain tubuh buat kerja. Ngerti, kan?"

Lia tersenyum. "Ngerti. Makasih ya, udah baik banget sama aku."

.

.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter