4 Maaf

LIA POV

Selama perjalanan di dalam mobil hanya ada keheningan. Tak ada suara dari kami berdua, radiopun tak kami nyalakan sekedar untuk membunuh keheningan. Hanya suara lalu lalang kendaraan yang bersahutan di luaran sana.

Sesekali ia bertanya tentang arah jalan menuju kontrakan tempatku tinggal selama ini. Hingga tak terasa kami sudah tiba di depan gerbang kontrakan.

"Terimakasih, Om. Sudah mengantar saya sampai kontrakan," ucapku setelah melepas seatbelt yang membelitku tadi.

"Tunggu," ia mencegah pergerakanku yang hendak membuka pintu mobil sebelah. "Tidak adakah yang hendak kamu katakan selain terimakasih?" lanjutnya keheranan.

Kuurungkan gerakanku, dan kembali ke posisi awalku. Helaan nafas kami terdengar, pertanda sunyinya keadaan mobil ini.

"Apa yang ingin Om ketahui?"

"Maaf, bisakah kamu tidak memanggil saya dengan sebutan 'Om'? Orang lain bisa salah paham dengan panggilan itu."

"Lalu mau dipanggil apa? Bapak? Kak? Mas?"

"Yang terakhir terdengar lebih manis. Di keadaan tertentu kamu bisa menyematkan panggilan 'Bapak' kepada saya."

"Apakah kita hanya akan mendebatkan hal ini? Saya capek, mau istirahat."

"Pulanglah," ucapnya pelan.

Aku terkekeh saat mendengar ucapannya tersebut. "Pulang ke mana? Ini saya sudah pulang, kok."

"Pulang ke rumahmu. Sesekali tengoklah orangtuamu di kampung sana."

"Mereka sudah mengusir saya, nggak ada alasan lagi buat saya kembali ke sana."

"Mereka tetap orangtuamu, Lia. Penyesalan selalu menghantui mereka setelah kepergianmu dari rumah."

"Mereka sudah membenci saya..."

"Tidak ada orangtua yang membenci anaknya. Mereka hanya kecewa dengan sikapmu, dan pengusiranmu itu hanyalah kemarahan sesaat mereka," ia menoleh ke arahku. "Pulanglah," bujuknya.

"Saya belum bisa."

"Apa yang kamu tunggu? Setelah mereka pergi baru kamu akan pulang? Tega sekali kamu menyiksa mereka dengan perasaan bersalah seperti itu."

"Apa pedulimu Mas? Kenapa kamu masih baik padaku, sedangkan aku sudah memutuskanmu saat itu?"

"Perkataanmu saat itu memang menyakiti saya. Tapi saya bukan pendendam, dan hidup tetap harus berjalan dengan atau tanpa kamu. Sebenarnya, apa alasanmu memutuskan saya? Saya rasa alasanmu saat itu sangat tidak masuk akal. Saya tahu bagaimana kamu selama ini, dan tindakanmu saat itu seperti bukan kamu pelakunya."

"Kamu nggak perlu tau."

"Dan sekarang saya tau bahwa alasanmu saat itu adalah kebohongan semata. Hamil? Bahkan kamu tak ada dekat dengan lelaki lain selain saya. Saya tau bagaimana kamu, Lia."

"Benarkah?"

"Saya kenal kamu bukan hanya kemarin sore. Luar dalamnya kamu saya sudah tau."

"Tapi kamu tidak paham apa keinginanku! Kenapa kamu menerima saja saat dijodohkan denganku? Sedangkan kamu saat itu masih dekat dengan wanita lain? Dan kamu masih bilang kamu tau semuanya tentangku?"

"Saya sudah mengatakan semuanya bahwa saya tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun selain kamu. Perasaan saya tidak pernah berubah, dari awal memang milik kamu, Lia. Saya ingin melindungimu."

.

Setelah perkataan panjang itu, aku langsung ke luar dari mobilnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Rasa kecewa dan marah masih meliputiku, bahkan terkadang masih menghantuiku.

Aku paham, sangat paham akan kesalahnku itu. Menyakiti perasaan orangtua, mengecewakan mereka, dan membangkang. Rasanya itu adalah pemberontakan pertama yang kulakukan. Bahkan sampai mengutarakan kebohongan akan kehamilanku. Hamil? Dengan siapa pula?

Benar ucapannya tadi, aku hanya dekat dengannya. Tapi sebelum terdengar kabar bahwa aku akan segera dijodohkan.

Aku mengetahui berita itu saat awal kelas XII SMA, namun kala itu aku masih bisa mengutarakan penolakanku dengan dalih aku masih sekolah, ingin fokus dengan ujian kelulusan. Namun setelah kelulusan, sepertinya hal itu sudah tak bisa lagi ku elak.

Penolakan terus kulakukan, walaupun masih belum berhasil menggagalkan rencana itu. Hingga akhirnya acara pertunangan dilangsungkan, barulah aku tau siapa calon yang sudah disiapkan untukku.

Ujian demi ujian selalu menghampiri hubungan kami, terutama dari pihak Pamanku yang tidak menyetujui tentang perjodohan ini. Dan puncaknya adalah kejadian beberapa bulan lalu, hari di mana aku pergi dari rumah.

Perasaan menyesal sedikit kurasakan, ingat hanya sedikit. Rasanya aku masih menikmati hari-hariku yang sekarang, terasa damai dan bebas.

Ternyata hidup mandiri di kota orang tak terlalu buruk. Buktinya aku masih bisa bertahan, dan berhasil memasuki jalur untuk menggapai cita-citaku.

"Gimana hari pertama ospek?" tanya Wina setelah selesai makan malam.

"Cukup melelahkan. Kebanyakan duduk di dalam ruangan ber-AC, rasanya kayak masuk angin aku."

Ia tergelak, "dasar orang kampung," ejeknya. "Kalau aku udah males mau sekolah lagi. Bisa lulus SMP aja udah syukur banget dulu. Itu juga otakku udah keriting kayak brokoli."

"Nggak apa-apa. Malah kamu sudah punya pengalaman kerja yang cukup banyak, sudah bisa menghasilkan duit sendiri. Itu juga patut disyukuri, Win."

"Ngomong-ngomong, tadi kulihat ada mobil bagus yang nganterin kamu. Siapa?" tanyanya penasaran. Bahkan sampai ia berpindah tempat duduk di sebelahku.

"Dia Mas Awan."

"Mas Awan anak pak carik? Yang jadi dosen itu?"

"Iya. Tadi dia lihat aku di depan kampus, dan nawarin buat nganter pulang."

"Dia kerja di mana memangnya?"

"Di kampusku sekarang."

"Wah, bisa sekalian pacaran, toh?"

"Nggak bisa," jawabku dingin.

"Kenapa? Kalian udah putus?"

"Intinya aku udah nggak mau sama dia lagi. Aku pingin fokus nyelesain kuliahku. Beasiswa hanya sampai delapan semester, jadi aku harus lulus kuliah sebelum itu."

"Kamu mau ngelewatin dia gitu aja? Sayang banget, Lia. Hubungan kalian itu udah lama banget, dan Mas Awan juga sayang banget sama kamu dan keluargamu. Dia bahkan mau nunggu kamu selesai sekolah, dan tetap menjagamu."

"Tapi aku udah nggak bisa sama dia."

"Kenapa?" cecarnya terus menerus.

"Tidak semuanya harus kuceritakan padamu, bukan? Tolong hargai privasiku."

Wina terhenyak saat mendengar ucapanku barusan. "Baiklah. Maaf aku terlalu ikut campur. Ya udah, aku ke kamar duluan ya? Besok aku harus berangkat awal."

Perasaan bersalah menerpaku. "Win, maaf... Aku nggak maksud buat nyembunyiin semua dari kamu. Jangan marah, ya?"

Ia tersenyum, "nggak papa. Aku yang justru minta maaf ke kamu, udah melewati batas. Semoga nanti kamu bisa curhat ke aku. Aku tuh penasaran banget tau nggak? Udah kayak digantungin sama author, sakit tapi tak berdarah."

"Oke, semoga nanti aku bisa cerita semuanya ke kamu. Maaf, untuk sekarang aku belum bisa."

.

Kali ini giliranku yang menyiapkan sarapan. Setelah siap dengan perlengkapan ospek hari ini, akupun langaung berkutat di dapur kontrakan, membuat menu sarapan yang sederhana untuk pagi ini.

Nasi, mie goreng instan, dan teh hangat. Sama seperti sebelumnya, aku tidak membawa bekal selain air putih dalam botol minum.

Selesai sarapan, aku langsung berangkat ke kampus setelah berpamitan dengan Wina. Dengan bermodalkan gadget, kupesan ojek online yang sudah siap di pagi buta seperti ini.

Suasana pagi ini cukup dingin. Angin berhembus cukup kencang, dan motor matic yang dikemudikan oleh driver ojol ini terus membelah pagi yang dingin ini.

Tak butuh waktu lama, ojol yang mengantarku sampai di kampus. Beberapa panitia sudah bersiap di dekat gerbang, namun sepertinya aku berangkat lebih awal dibanding kemarin. Terlihat dari antrean presensi yang belum terlalu banyak.

Dengan perasaan penuh semangat, kulangkahkan kaki ke arah barisan tersebut. Semangat ospek hari kedua!!!

.

.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter