1 Keputusan

Suasana ruang tamu keluarga Kusumawardhana semakin menegang. Ekspresi yang sebelumnya nampak sumringah, lenyap sudah dan berganti menjadi ekspresi kaget, kecewa, dan tak habis pikir.

Kekecewaan bermula dari penolakan keras yang diutarakan oleh seorang gadis, kepada semua orang yang berada di sana. Ia merasa terlalu diatur hidupnya, bahkan untuk bergaul dengan temannya pun ia diatur.

"Kenapa kamu menolak? Bukankah sebelumnya kamu sudah mau menerimanya?" tanya Sang kepala keluarga, Widyo Kusumawardhana.

"Sudah cukup Lia terkekang selama ini. Bapak terlalu membatasi Lia," ucap Lia.

"Apakah permintaan Bapak terlalu memberatkanmu? Ini semua demi masa depanmu, Lia. Bapak tidak mungkin menjerumuskan kamu."

"Lia udah nggak suka sama dia!" teriak Lia, ia menunjuk ke arah seorang lelaki yang duduk di seberangnya.

"Rasa suka bisa tumbuh kembali seiring kebersamaan kalian," ucap Pak Widyo.

"Lia nggak mau, Bapak. Mau bagaimanapun juga Lia tetap nggak mau sama dia. Dia nggak sebaik yang Bapak kira, dia itu-"

"Yang sopan kamu sama saya!" bentak lelaki yang sedari tadi hanya diam, menengahi perdebatan bapak dan anak tersebut. "Saya diam bukan karena takut, tapi saya nggak terima kamu mulai mengarang cerita buruk tentang saya," lanjutnya.

"Apa yang Om inginkan dari keluarga saya? Harta? Jabatan? Atau wanita?"

"Lia! Jaga perkataan kamu! Bapak yang memintanya untuk segera menikahimu. Harusnya kamu bersyukur karena dia mau menerima semua kelakuan burukmu itu," lagi. Pak Widyo menegur anaknya dengan keras.

"Lia menolaknya, Pak! Lia nggak mau nikah sama dia."

"Ada dendam apa kamu sama saya? Apa saya pernah menyakitimu?"

Tatapan Lia beralih ke arah lelaki itu.

"Kamu sering bermain wanita!"

"Apakah ada bukti?" tanyanya pelan.

"Bahkan banyak yang sudah tau kelakuanmu itu," sindir Lia.

Lelaki itu menghela nafas pelan. Dipandanginya orang tua Lia, kemudian beralih ke arah Lia yang masih kekeh menolaknya. "Mereka semua rekan sesama dosen, rekan penelitian di desa kita. Tidak ada yang namanya bermain wanita seperti tuduhanmu itu."

Semua penolakan yang Lia utarakan sepertinya belum cukup untuk membatalkan perjodohan itu. Apakah ia harus mengutarakan kartu AS-nya? Walaupun hal itu sangatlah beresiko, tapi akan lebih baik daripada ia harus hidup dengan lelaki itu.

"Lia tetap tidak bisa. Lia nggak mau hidup susah, apalagi kerjaan dia nggak seberapa penghasilannya. Bagaimana nasib Lia kedepannya?"

Nanti. Ia akan menahan kartu ASnya sejenak.

"Sebentar lagi saya pelantikan sebagai Kepala Program Studi. Usaha yang saya bangun bersama teman juga sudah mulai jalan. Saya rasa itu semua cukup untuk menghidupi kamu dan anak kita nanti."

Apakah sekarang saatnya?

"Lia hamil."

Akhirnya kartu As sudah Lia keluarkan. Ia siap dengan segala konsekuensi yang harus ia terima. Ia tidak akan mundur lagi, tidak akan! Kali ini biarkan Lia menempuh jalannya sendiri.

"Kamu!!!"

Plak!!!

Sebuah tamparan keras menyapa pipinya, menimbulkan rasa kebas dan perih tak terelakkan. Sebuah pelukan hangat yang biasa ia terima dari sang Ibu, kini harus ia relakan. Bahkan raut kekecewaan sangatlah jelas di mata sang Ibu.

"Siapa yang berani melakukan hal itu padamu? Bilang sama saya!"

Lia menggeleng di pelukan Sang Ibu. Air matanya sudah menggenang dipelupuk matanya.

"Sudah puas kamu mempermalukan saya? Dasar anak tak tau diuntung! Pergi kamu dari rumah saya! Jangan pernah kau injakkan kaki di rumah saya!"

Gadis itu terus menunduk. Air mata mulai mengalir di pipi merahnya, menetes ke pangkuannya. Ini benar-benar berat untuknya!

"Sini ikut saya! Kamu bereskan semua barang-barang kamu! Angkat kaki dari sini! Sudah cukup kamu mencoreng nama keluarga saya!"

Pak Widyo menarik lengan anaknya ke sebuah kamar di lantai satu. Ia buka lemari dan mengeluarkan semua pakaian dari sana, memindahkan ke sebuah koper di samping lemari. Tas sekolah Lia ia isi dengan berbagai barang yang tak muat di koper, dan dalam sekejap sebagian besar barang milik Lia sudah berpindah ke dalam tas serta koper.

Ia angkut semua barang itu ke luar rumah, dan melemparkan ke teras. "Bawa semua barang ini."

Tanpa banyak kata, Lia menggendong tas dipunggung. Kedua tangannya sibuk menenteng sebuah tas dan menggeret koper.

"Maaf."

Hanya satu kata yang mampu ia ucapkan, sebelum berlalu dari rumah yang selama ini melindunginya.

Kini ia harus bisa berjuang sendiri, mempertanggungjawabkan semua yang sudah ia mulai.

.

Sebuah kontrakan kecil menjadi tujuannya sekarang. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi teman SD-nya yang sekarang bekerja di luar kota.

"Lia! Akhirnya kamu sampai juga. Sini masuk dulu," ajak temannya tersebut.

"Makasih, Wina. Maaf ya jadi ngerepotin kamu," ucap Lia tak enak.

"Santai aja, Lia. Kayak sama siapa aja. Ngomong-ngomong, tumben banget kamu bisa ke luar dari rumah? Maaf banget, nih. Biasanya kamu kan nggak boleh ke luar.."

"Aku pergi dari rumah."

Ekspresi terkejut nampak jelas di wajah Wina. "Bagaimana bisa?" tanyanya tak percaya.

"Intinya aku menolak lamaran seseorang, dan akhirnya aku bisa ke bebas sekarang."

"Oke, apapun itu alasannya aku nggak bakal terlalu mengorek. Lalu, apa rencanamu ke depan? Tentunya kamu sudah punya rencana, kan?"

"Aku ingin bekerja. Apakah kamu ada kenalan yang lagi butuh karyawan?"

"Emmm, sebenarnya kemarin ada tawaran kerjaan. Tapi kurasa itu nggak cocok sama kamu, deh."

"Kerjanya apa? Kalau itu kerjaan baik aku nggak keberatan, kok.."

"Kerja di laundry. Kamu tau sendiri aku hanya lulusan SMP, jadi kerjaan yang aku tau ya hanya seperti itu. Atau kamu mau coba nyari kerjaan di pabrik? Deket tempat kerjaku ada kawasan industri, mungkin kamu bisa coba cari lowongan di sana?"

Lia tampak berfikir sejenak. Ia lulusan SMK, tapi dijaman sekarang pastilah sulit mencari pekerjaan. Apalagi ia tidak mempunyai chanel orang dalam.

Baru sekarang ia menyesali perbuatannya tadi. Rasanya, ia terlalu bodoh dan hanya menuruti ego masa mudanya. Namun, sudah tak ada jalan kembali untuknya. Ia sudah cukup mengecewakan keluarganya, bahkan untuk menampakkan wajahnya saja ia sudah cukup malu.

"Oke, besok kamu bisa antar aku ke tempat laundry? Aku bakalan coba kerja di sana. Apapun bakalan aku lakuin, asalkan itu kerjaan yang baik. Makasih, yaa.."

"Kamu mau nginap di mana rencananya? Ini udah malem, dan tentunya akan sulit buat nyari kontrakan. Pekerjaanpun belum dapet.."

"Entahlah. Hanya kamu kenalanku di sini," jawab Lia pelan.

"Emm, kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa ngontrak di sini sama aku. Nanti bayarnya kita patungan aja, jadi bisa agak ringan. Itupun kalau kamu setuju."

Tanpa pikir panjang, Lia menyetujui usulan Wina. Mulai sekarang ia akan tinggal bersamanya di sini. Ia tidak boleh seenaknya sendiri, tidak boleh manja, dan ia harus berubah demi masa depannya.

"Wina, kamu ada stok pembalut, nggak?" tanya Lia pelan. Sebenarnya ia cukup malu..

"Ada-ada. Kamu tata dulu baju kamu di kamar satunya, nanti aku ambilin pembalutnya dulu. Eh iya, kamarnya juga cukup kotor karena belum sempat aku bersihin, jadi nanti disapu dulu biar nyaman."

"Makasih, Winaaa..."

.

.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter