2 Gadis Laundry

Kehidupan Lia berubah dalam sekejap.

Ia yang dulu tidak pernah mencuci baju sendiri, sekarang harus melakukan kegiatan itu. Bahkan yang ia cuci bukan hanya baju miliknya sendiri, namun juga baju milik pelanggan.

Ia harus menjalani kegiatan itu setiap harinya, demi tetap bisa bertahan hidup di kota orang. Walaupun sulit pada awalnya, namun beberapa minggu saja Lia sudah bisa beradaptasi dengan kondisi barunya.

"Lia, udah diambil belum punyanya Bu Intan? Katanya hari ini mau diambil?"

"Belum, In," jawab Lia menanggapi rekan kerjanya, Indri.

"Ish, kebiasaan deh Bu Intan tuh. Katanya harus cepet-cepet, tapi nyatanya molor terus ngambilnya. Untung beliau pelanggan setia, kalau enggak udah tak usir dari sini," gerutu Indri.

"Ya gitu kalau udah jadi pelanggan. Mau gimanapun kita harus baikkin mereka, walaupun sering bikin naik darah juga. Anggap saja ujian buat kita."

"Uang tipsnya juga gede! Minggu lalu dia ngasih aku duapuluh ribu." ucap Indri heboh.

"Ada sisi baiknya juga beliau."

Tak lama kemudian, terdengar suara motor matic yang berhenti di depan laundry. Dari suaranya, sudah dapat ditebak kalau itu adalah sosok yang tadi mereka bicarakan.

"Permisi, Mbak-mbaknya yang muanise kayak gula jawa. Punya Ibu sudah beres, kan? Awas lho, kalau belum selesai tak bawa ke laundry-an lain. Ibu itu pelanggan setia di sini, dari awal berdiri udah langganan di sini. Jadi harus dapat yang istimewa dari kalian."

"Sebentar ya, Bu. Lia ambilkan dulu. Ibu ditemenin Indri dulu, nggak papa?"

Indri tampak mengedip-ngedipkan matanya, memberi kode ke Lia supaya ia dapat terbebas dari Bu Intan.

"Oh, iya nggak papa. Mbak Indri, udah denger gosip belum? Itu yang katanya ada perempuan rebutan lelaki. Ealah, laki bukan cuma dia aja, kok ya sampai direbutkan gitu. Mbak Indri jangan kayak gitu kalau sama sesama perempuan, kalau cowoknya udah ada yang punya ya cari yang lain aja."

"Hehe... Iya, Bu."

"Eh, udah tau belum? Di sekolah depan sana ada guru baru katanya. Masih muda, ganteng, kerjaan juga udah ada. Kalau masih muda, Ibu udah gebet aja Si Bapak. Apa daya sudah ada buntut dan cucu," ungkap Bu Intan, menyuarakan keinginan terpendamnya.

"Oh, ya? Duh, malah baru tau saya."

"Lha kamu ini gimana, Mbak? Masih muda itu haruse lebih update, biar nggak ketinggalan informasi."

Tak lama kemudian, Lia menemui Bu Intan dan membawa barangnya.

"Ini, Bu."

"Makasih, Mbak. Ini uangnya, sisanya buat jajan kalian aja. Ya udah, Ibu langsungan aja, ya? Mau ada pertemuan sama ibu-ibu komplek. Permisi..."

Indri menghembuskan nafasnya pelan. "Akhirnya bisa terbebas dari Bu Intan..."

.

Selesai bekerja, Lia kembali ke kontrakan yang ia tinggali bersama Wina. Ia letakkan sepatunya di rak, kemudian mengganti dengan sandal rumahan yang biasa ia gunakan.

Ia langkahkan kaki menuju kamarnya untuk mengambil baju ganti dan handuk, kemudian berlalu ke kamar mandi. Guyuran air dingin mampu menyegarkan badannya yang terasa gerah setelah bekerja seharian.

Tak butuh waktu lama, ia menyelesaikan ritual mandinya. Selanjutnya ia berjalan ke arah dapur untuk menggantungkan handuk di jemuran, dilanjut membuat teh dan lauk untuk makan malam nanti.

Kebiasaan lama yang harus dilakukan, yaitu minum teh di pagi dan sore hari. Ia lebih menyukai teh dibandingkan dengan kopi, karena kopi malah membuatnya sering buang air kecil dan jadi susah tidur.

"Eh, udah balik?" Tanya Lia saat menjumpai Wina di ruang tamu.

"Udah. Huft, capek banget. Pingin langsung ngebo aja di kasur."

"Mandi dulu, baru makan." tegur Lia.

"Aku masih wangiii... Nggak mandi seharian juga nggak bau-bau amat," sanggah Wina.

"Jorok, ih! Kalau mandi dulu kan bisa seger badannya."

Setelah perdebatan yang cukup alot, akhirnya Wina mengalah dan memilih untuk mandi sore. Walaupun benar mandi sore menyegarkan, ia tetap menyesal sudah mandi sore ini. Kan rencananya dia pingin langsung tidur..

.

"Permisi."

"Silahkan. Ada yang bisa dibantu, Mbak?"

"Saya mau laundry beberapa seragam atasan saya. Kira-kira bisa diambil minggu sore, nggak ya?"

"Kami usahakan yang terbaik, Mbak. Dengan siapa, ya?"

"Mbak Eni, alamat di jalan duku empat."

"Baik, Mbak. Segera kami kerjakan. Terimakasih sudah berkunjung.."

"Sama-sama, Mbak."

Pelanggan hari ini cukup ramai, ada barang masuk dan ke luar juga. Bahkan sedari pagi pegawai laundry sudah sibuk, dan untuk makan siang dan istirahat harus gantian.

"Lia, kamu mau nitip makan siang? Aku mau beli nasi padang di depan."

"Iya, sekalian ya? Nanti uangnya kuganti," balas Lia.

"Sip!"

"Mbak, aku anter laundry-an dulu. Nggak papa aku tinggal?"

"Duluan aja, mumpung belum terlalu panas. Aku nunggu sendirian nggak papa. Bentar lagi Indri juga balik."

Lia menata laundry-an di jok belakang, dan beberapa di depan. Untungnya motor itu sejenis matic, jadi bisa mempermudah untuk bawa barang. Setelah semuanya siap, ia menjalankan motornya ke rumah customer.

Tiba di rumah pertama, iapun langsung menyerahkan barang, kemudian pergi setelah menerima uang pembayaran. Ya kali nggak mau dibayar, wkwkwk..

Begitu seterusnya sampai akhirnya ia tiba di rumah terakhir. Cukup jauh dari tempatnya bekerja, dan kali ini ia berada di wilayah dekat dengan salah satu kampus.

Cukup aneh, karena di sana ada beberapa tempat laundry, tapi malah milih di tempat yang jauh. Hmmm, ada-ada saja netizen zaman now.

"Permisi, laundry!" teriak Lia di depan gerbang.

Bel nggak ada, gerbangpun dikunci. Jadilah nggak bisa asal masuk ke dalam sana. Walaupun Lia juga nggak ada niatan mau masuk, sih.

"Laundry? Atas nama siapa, Mbak?" tanya Mas-mas yang baru ke luar dari dalam.

Ia mengecek nama pemilik barang itu, kemudian memberi upah setelah memastikan bahwa temannya-lah yang melaundry di tempat Lia bekerja.

Akhirnya selesai juga tugas Lia mengantar barang. Saatnya ia kembali ke tempat kerja dan makan siang!

.

"Kamu jadi daftar beasiswa? Lumayan kalau kamu lolos seleksi, udah kuliah nggak bayar, dikasih uang saku juga nanti," kata salah seorang siswi berseragam SMA.

Lia yang merasa penasaran, mencoba mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Jadi kayaknya. Nggak mungkin aku bisa kuliah kalau cuma mengandalkan gaji orangtua."

"Eh, denger-denger kakak kelas kita ada yang mau ikut ujian lagi. Padahal dia udah diterima di kampus ternama gitu, ternyata malah pingin pindah jurusan."

"Mulai dari awal lagi berarti?"

"Iyalah. Jadi mahasiswa baru lagi dia. Tapi nggak ada jaminan bisa cepet lulus juga walaupun dia daftarnya lebih dulu dari kita. Bisa aja kita seangkatan, tapi dia lulusnya malah duluan."

"Yaaah, jadi nggak kayak jaman sekolah, ya?"

"Beda kalau kata kakakku. Gimana sama kakakmu?"

"Kakak mau daftar juga bareng aku. Kali ini dia juga mau ambil jalur beasiswa, biar bisa meringankan beban orangtua."

Beasiswa? Pikiran Lia langsung tertuju pada impian yang selama ini ia idamkan. Sepertinya ia harus mencoba kesempatan ini. Baiklah, kali ini telah Lia putuskan untuk mengejar cita-citanya!

.

.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter