14 Ending

Aku tau, ini adalah kesempatan kedua dalam hubunganku dengan Mas Awan. Setelah melalui beberapa hal yang mendewasakanku, akhirnya kuputuskan untuk membuka diri lagi untuknya.

Penolakanku yang telah lalu, kini menyisakan malu untukku saat kembali mengingatnya. Rasanya aku masih tak percaya bisa menjalin hubungan kembali dengannya, disaat kukira dia telah melepaskanku dan memilih untuk menjalin hubungan serius dengan wanita lain.

Namun ternyata Sang Pencipta masih menakdirkan kami untuk bersama.

"Sayang sekali saya harus kembali sekarang."

"Memangnya kenapa?" tanyaku heran.

"Saya masih ingin bersamamu di sini."

"Gombal," ucapku sambil menahan senyum. Aku tersipu dengan kalimat sederhananya itu.

"Beneran. Di perantauan nanti saya adalah dosen kamu, nggak bisa seleluasa ini buat gandengan tangan," balasnya sambil mengangkat jari-jemari kami yang saling bertautan.

"Harusnya kita sudah menikah kalau kamu tidak kabur dulu," sesalnya. "Mungkin juga sudah punya anak yang gemesin."

"Ish, jangan bahas itu lagi.." rengekku.

"Tapi dengan kejadian itu, saya juga menyadari satu hal. Bahwa pernikahan itu bukan hanya tentang rasa saling suka, namun juga kesiapan masing-masing. Saya sudah siap, tapi apa jadinya kalau calon saya belum siap?

Lagipula saat itu usiamu masih belia, dan impian kamu juga masih jauh, rasanya terlalu egois kalau saya terlalu memaksamu untuk menjadi istri saya.

Saya hanya ingin memberimu kesempatan untuk mewujudkan cita-citamu selagi masih ada waktu. Saya ingin menjadi saksi dalam proses pendewasaanmu, Lia."

"Kamu nggak kecewa sama aku?"

"Kecewa tentu saja. Kamu tidak mempercayai saya sebagai tempat berkeluh kesah, dan malah memilih memendam semuanya sendiri. Kamu memutuskan hal yang seharusnya masih bisa dibicarakan, andai saja kamu mau membicarakan sama saya."

"Maaf..." sesalku.

"Yang lalu kita jadikan pelajaran, jangan dijadikan penghalang. Yang terpenting, kita jalani hubungan ini dengan serius. Komunikasikan semuanya dengan saya, jangan dipendam sendirian lagi. Oke?"

"Oke!"

.

Mas Awan sudah mengantarku kembali ke rumah sakit. Saat ini ia sedang berbicara serius dengan Bapak yang sudah terlihat lebih segar dibandingkan kemarin.

"Jadi kalian sudah kembali berhubungan? Benar begitu?" tanya Bapak.

"Benar, Pak," jawab Mas Awan.

"Bapak harap kalian tidak main-main dengan hubungan ini. Jangan bertingkah kekanakkan seperti kemarin, terutama kamu Lia!"

Teguran Bapak masih saja membuat rasa

penyesalanku semakin bertambah. Hanya anggukkan yang bisa kulakukan untuk merespon perkataannya.

"Lalu kapan pernikahan kalian akan dilaksanakan?"

Perkataan Ibuku mampu membuatku tersedak minuman yang sedang kunikmati. Astagaaa...

"Bu..."

"Semua harus jelas, Pak. Semakin cepat semakin baik pula bagi mereka, tidak baik menunda hal baik seperti ini."

"Sepertinya tidak dalam waktu dekat, Bu. Lia masih terikat dengan beasiswanya, dan saya masih ingin melihat perkembangan Lia ke depannya seperti apa."

"Nak, kamu punya calon seperti ini kenapa malah kabur kemarin? Dasar kamu ini..." gerutu Ibuku.

"Sabar, Bu. Nanti kalau memang sudah waktunya mereka juga menikah. Sekarang kita nikmati saja memanjakan putri kesayangan kita ini. Nanti bakalan susah kalau Lia sudah menikah."

"Ehmm, maaf Pak, Bu. Sepertinya saya harus segera berangkat sekarang. Pekerjaan saya sudah tidak bisa ditinggal lagi.."

"Baiklah, hati-hati di jalan. Terimakasih sudah menemani putri saya," Bapak menepuk pundak Mas Awan sebelum ia beranjak dan menyalami kedua orangtuaku. Sampai di depanku, ia menepuk pelan kepalaku dan tersenyum.

"Saya pamit, ya? Sampai jumpa lagi."

"Hati-hati, Mas."

Sepeninggal Mas Awan, godaan tak hentinya kudapatkan dari kedua orangtuaku. Wajahku sudah cukup memerah namun mereka masih saja semangat dengan kegiatan itu.

"Nak, jangan banyak menunda lagi ya? Cepatlah selesaikan pendidikanmu, biar kalian bisa segera meresmikan hubungan ini. Ibu sudah tak sabar menunggu berita itu."

.

Beberapa hari di rumah membuatku enggan untuk kembali ke perantauan. Rasanya berat sekali saat harus meninggalkan kedua orangtuaku, apalagi Bapak baru saja sembuh dari sakitnya.

"Kamu bawa keripik yang Ibu siapkan tadi, ya? Buat cemilan di kontrakan nanti. Sayuran sama lauk pauk lainnya juga jangan lupa dibawa, biar bisa ngirit seminggu ini."

"Berasnya juga jangan lupa, sama pakaian yang kemarin Ibu belikan itu dikasihkan ke Wina temanmu. Bilang saja dapat hadiah dari Ibu, gitu ya?"

"Iya, Bu."

"Duh duh... Ini kok udah kayak mau pindahan rumah saja, barang-barang dikumpulin semua di sini," heran Bapak saat melihat teras yang terdapat beberapa barang.

"Buat persediaan di sana, Pak," jawab Ibuku.

Selanjutnya barang-barang tersebut dimasukkan ke dalam mobil yang akan mengantarku ke kota orang. Kedua orangtuaku melarang keras saat kuutarakan niatku untuk naik bis saja.

"Hati-hati di sana, jangan kebanyakan main-main. Ingat, Nak, kamu sudah tidak sendiri lagi. Ada perasaan orang yang perlu kamu jaga dan kamu hargai. Paham?"

"Paham, Bu," jawabku saat Ibu menasehatiku.

"Lia berangkat, ya? Bapak sama Ibu jaga kesehatan di sini.." pamitku sebelum memasuki mobil.

"Hati-hati di jalan, Nak. Do'a kami menyertaimu.."

Beberapa jam di perjalanan, akhirnya sampai juga di kontrakan tempatku berlindung. Dengan dibantu supir, kuangkut barang bawaanku menuju kontrakan.

"Istirahat dulu, Pak? Lia buatkan minum sebentar," tawarku saat beliau hendak berpamitan.

"Tidak usah, Mbak. Bapak langsung pulang saja.."

"Lia tau Bapak capek. Tunggu sebentar, ya?"

Setelah istirahat untuk sejam sambil makan siang, akhirnya beliau undur diri yang tentunya ku-iyakan. Yang terpenting Bapak sudah istirahat barang sejenak.

Sekarang saatnya beberes...

.

"Lia!" teriakan heboh terdengar dari arah ruang tamu. Sepertinya Wina sudah pulang dari tempatnya bekerja, tapi kenapa dia teriak-teriak?

"Kenapa, Win?"

"Ini kok banyak banget barangnya.." jawabnya syok saat melihat isi kulkas yang penuh dengan beberapa sayuran.

"Oh, itu tadi dibawain sama Ibu. Eh iya, Ibu juga ngasih titipan khusus buat kamu. Nih," kuangsurkan sebuah tas kertas ke arahnya.

"Ini apa?" tanyanya sambil membuka isi tas tersebut. "Ya ampun... Kok malah repot-repot sih? Kan aku jadi nggak enak, Lia."

"Udah, terima aja. Jangan buat aku dimarahin sama Ibu, gegara kamu nolak pemberian beliau. Oke?"

Ia langsung memelukku erat, "Makasiiiih... Sampaikan ke Ibumu, ya? Terimakasih atas hadiahnya, aku suka. Udah dibawain bahan makanan juga..."

"Sama-sama. Jangan bosen sama kehadiranku di sini, ya?"

"Ish, mana mungkin aku bosen?"

"Ya siapa tau, 'kan? Aku udah sering gangguin kamu, ngerepotin kamu, tapi jarang bantuin kamu.."

"Jarang bantuin gimana? Kamu aja malah udah sibuk di dapur pas aku baru bangun tidur. Justru aku yang ngerasa nggak enak, udah bangunnya telat, eh jarang ngurus kontrakan. Maaf ya, kamu masih harus ngurus rumah pas baru balik kuliah.."

"Ya mumpung lagi free, kalau sibuk juga malah lebih sering diem aja di kamar."

"Ya udah, kita stop sampai di sini debatnya. Makan dulu, yuk? Udah laper nih..."

"Mau makan apa?" tanyaku bersiap untuk menyiapkan makanan.

"Eits, kali ini aku yang masak. Kamu ngerjain yang lain aja, mumpung aku lagi ada waktu buat manjain kamu. Oke?"

"Ya udah, deh," pasrahku.

Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan acara berbenah di kamarku. Beberapa hari ditinggal ternyata cukup membuat kamarku berantakan :).

Rasanya tenang sekali saat ini. Permasalahan yang kemarin sempat menghantuiku, kini telah terurai satu persatu. Banyak pelajaran berharga yang kutemui, dan itulah proses pendewasaan bagiku.

Untuk hubunganku dengan Mas Awan, aku yakin masih ada banyak rintangan yang akan kami temui. Namun kali ini, aku akan lebih mempercayainya. Sekali lagi, aku sangat bersyukur akan kesempatan yang Tuhan berikan padaku.

.

.

.

.

.

The End

avataravatar