8 TANGIS DAN MARAH

Duduk di bangku yang di atapi rindangnya pohon Tanjung. Duduk berdua, masih meresapi kalimat-kalimat yang Bu Shifa jabarkan tadi.

"Jangan marah, ya, Gita, Zaki. Pahami orang tua yang ingin melihat masa depan anak-anaknya. Kalian bisa tunjukkan hubungan kalian adalah hubungan remaja yang sehat!" ucapan Bu Shifa menggema di benak Gita.

"Ki, aku enggak salah, loh, kok sampai begini, sih? Kita, kan enggak buat yang macam-macam, kenapa sampai jadi bahan omongan serius gini?" tanya Gita pada Zaji yang masih terdiam.

"Kita putus aja, Ki!" kalimat singkat yang membuat Zaki menoleh pada Gita.

"Gita?" sebut Zaki kaget.

"Orang tua segalanya Ki, ridho Allah adalah restu orang tua. Kalau orang tua kamu enggak izin, ya udah enggak perlu kita paksa, aku baik-baik aja, kok!" jawab Gita tenang.

"Aku yang enggak baik-baik aja! Kamu coba ngerti aku. Satu sisi orang tuaku, sisi lain kamu. Kita baru jadian dua bulan, terus putus gitu aja?" ucap Zaki marah atas usul Gita.

"Terus mau apa? kita masih anak-anak. Aku udah mulai sayang sama kamu, tapi kejadiannya jadi begini. Mungkin ini jalan Allah, Ki" sambil tersenyum Gita menasihati Zaki, padahal batinnya sendiri sakit.

"Enggak, enggak! Ini masalah sepele, Gita. Aku bisa jelasin ke ayahku. Sabar, ya?" bujuk Zaki ke GITA. Namun, gelengan kepala Gita semakin membuatnya sedih.

"Memang ini masalah sepele, coba kita pikir sekarang. Sekarang kita bisa berteman, lebih akrab, lebih nyaman, kalau memang takdir, suatu saat kita pasti bisa sama-sama lagi," ajak Gita mencoba memberi semangat.

"Aku enggak mau! Nanti kalau kita putus terus kamu ditembak sama yang lain. Kamu kira aku enggak tahu berapa banyak laki-laki yang suka kamu? Aku gak mau Gita, okey!" balas Gita menolak.

Namun Gita seorang gadis berpendirian keras. Sebelum berbicara pasti sudah difikirkan dengan matang.

"Zaki, kamu hidup sampai sekarang dari orangtua. Enggak pantas buat kecewa orang tuamu gara-gara kamu baru kenal aku. Aku juga gak mau jadi perempuan yang di enggak baik. Aku mau berhenti disini!" tegas Gita sekali lagi.

"Ternyata kamu, dari awal memang enggak bisa sayang aku. Mungkin kejadian ini memang kamu harapin buat jauh dari aku, buat bisa jadian sama orang lain, kan? Ya udah. Dari sekarang anggap aja kita enggak pernah kenal. Terima kasih ya, Gita!" jawab Zaki sembari melangkah pergi namun dicegah Gita segera.

"Kok gini sih, Ki? Aku enggak pernah bilang sayang bukan berarti enggak sayang kamu, dan lagi siapa bilang aku mau pacaran sama orang lain lagi? Aku mikir seperti ini supaya kamu enggak jadi anak durhaka. Dosa, Ki, buat orang tua kecewa!" amarah Gita meluap.

"Demi Allah, setelah ini, aku enggak akan pacaran sama siapa pun lagi! Kecuali kalau jodohku dekat, aku akan langsung menikah!" entah sumpah atau sekedar ucapan amarah yang keluar dari mulut Gita. Disambut dengan angin dingin melewati mereka.

"Oke. Aku inget janji kamu, Git! Dan pegang kata-kata tadi. Kalau aku tahu kamu jadian sama orang lain, kamu lihat aja aku bisa lakuin apa!" ancam Zaki pada Gita.

Angin dingin, langit mendung, hujan rintik, dan patah hati. Melengkapi hari Gita yang kelabu.

Baru dirasakan indahnya pacaran. Namun dengan cara-Nya, Allah menjadikan semua berbeda jauh dari inginnya.

•••

Hari ini sekolah selesai lebih cepat. Jam sebelas siang bel tanda usai sudah berbunyi. Barra yang hari itu kedapatan shif malam langsung meluncur menjemput adik kesayangannya seperti biasa.

"Mas, jangan pulang dulu, ya!" pinta Gita padanya.

"Memangnya kenapa? Berantem lagi? Dimarahin guru lagi?" tanya Barra santai.

Enggan menjawab, Gita hanya menggelengkan kepalanya. Merasakan ada yang salah dengan adiknya, Baraa membelokkan motornya untuk berhenti di sebuah kios kelapa muda di sekitar jalan menuju sekolah.

"Kok berhenti, Mas?" tanya Gita bingung.

"Minum dulu. Mas haus!" alasannya. Padahal bermaksud mengobrol dan bertanya.

"Kamu kenapa? Udah enggak mau cerita sama Mas?" Barra memulai inspeksinya.

Gita menarik nafas panjang mengawali cerita.

"Gita marah, kesel, sedih, bingung. Rasanya pengen hajar orang tapi enggak tahu siapa yang mau dihajar!" mulainya.

Sebelum Barra bertanya, Gita langsung menambahi, "Mas, Gita mutusin Zaki!" mendengar itu membuat Barra tersedak air kelapa.

"Apaan sih, Mas! Kayak anak kecil baru belajar minum aja!" omel Gita sambil refleks menepuk punggung Barra.

"Mas kaget, kok bisa?" tanya Barra setelah agak tenang.

"St-12," jawab Gita singkat yang membuat Barra tambah penasaran.

"Apaan sih, Git? Serius ini!" tanyanya lagi.

Sambil menepuk dahinya, Gita menjawab, "St-12 loh, Cinta Tak Direstui. Gitu aja enggak tahu! Tambah sebel, kan?" decak Gita.

"Yee, memang Mas enggak tahu. Masa marahnya jadi sama Mas, ish takut!" ledek Barra padanya.

Dan kemudian Gita menceritakan semua kejadian di hari itu yang membuat Barra membuat kesimpulan untuk Gita.

"Percaya sama jalan yang Allah buat. Yang kamu lakuin ini sudah benar. Mungkin Allah ngasih petunjuk untuk kamu fokus belajar dulu. Jangan berkecil hati, Allah lebih tahu apa yang kita butuhkan daripada yang kita inginkan, karena enggak setiap yang kita inginkan baik buat kita!" Barra memberi nasihat panjang.

Mendengar nasihat Barra, hati dan fikiran Gita sedikit ringan. Semakin ikhlas, semakin ringan beban fikiran yang dirasanya.

Terdengar azan merdu berkumandang pertanda masuknya waktu sholat zuhur.

Mereka mampir di sebuah masjid terdekat. Sebelum masuk ke dalam masjid, tak lupa mereka berwudhu dahulu.

"Gita, minta sama Allah soal masalah yang kamu rasa. Mudah-mudahan segera diberikan solusi," ujar Barra pada Gita.

"Aamiin. Iya, Mas!" jawab Gita singkat sembari masuk ke dalam masjid.

"Ya Allah. ampuni dosa hamba ini. Hamba ikhlaskan semua hanya padaMu. Rezeki, jodoh, maut, dan semuanya hanya milikMu. Bantu hamba menjaga janji yang hamba ucap kepada Zaki. Sebisa mungkin tolong bantu jaga hati ini sampai menunggu orang yang tepat. Dan jadikan hamba pribadi yang lebih baik lagi. Aamiin ya Rabbal alamiin," doa yang Gita panjatkan.

Tak terasa beban di hatinya jatuh bersamaan dengan air mata yang mengalir. Amarah yang sedari tadi tidak dapat keluar, kini hilang terbawa air mata yang jatuh dengan keikhlasan.

Di sisi lain.

"Jika memang Engkau ingin hati ini tertambat padanya, lancarkan, Ya Allah. Kalau bukan maka beri petunjuk pada Hamba. Bantu Gita menenangkan hati dan fikirannya. Sungguh hamba tidak ingin melihatnya menangisi orang lain," pinta Barra dalam doanya.

Masing-masing dari mereka memanjatkan doa tulus pada Sang Maha Pembolak Balikan Hati. Mereka ikhlaskan jalan hidup mereka dalam sujud yang mereka lakukan.

avataravatar
Next chapter