13 RESTU BERSYARAT

Masih di ruangan yang sama namun Gita dan Barra sudah keluar di teras membiarkan keluarga Gita berembuk.

Di sana, Bu Lela menceritakan apa yang diceritakan Gita kepadanya.

"Yah, Surya harap Ayah mengambil keputusan dengan bijaksana. Gita masih kecil, Yah! Masa depannya masih panjang dan dia punya cita-cita yang harus dikejarnya. Apa Ayah rela anak perempuan satu-satunya di keluarga kita tidak bisa meraih cita-citanya dan hanya bisa menjadi ibu rumah tangga biasa di rumah karena menikah muda?" Surya mengutarakan pendapatnya.

"Bagaimana kalau begini. Kita terima niat Barra tapi dengan syarat. Tidak ada pernikahan sebelum Gita meluluskan SMA-nya. Untuk saat ini biarkan bertunangan dulu untuk menjaga pandangan masyarakat dan keluarga. Dan jika memang sudah waktunya, setelah lulus SMA, bila mereka memutuskan untuk menikah, maka kita akan memberi izin," Pak Hasan menarik kesimpulan.

"Gita tetap bisa melanjutkan kuliahnya dengan status sudah menikah dan kita juga tidak akan khawatir menjaga pergaulan Gita karena dia sudah bersuami. Bagaimana, Bu?" lanjut Pak Hasan meminta pendapat istrinya.

"Ibu rasa itu keputusan yang baik untuk saat ini, Yah. Tidak mungkin juga mereka dipisahkan karena mereka sudah sama-sama suka. Barra dan Gita adalah anak yang baik, Ibu tidak tega melukai perasaan mereka. Mungkin memang Allah sudah menuliskan takdir mereka untuk bersama. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak kita untuk bahagia," ucap Bu Lela sambil tersenyum.

"Tapi Surya minta, Gita dilamar setelah lulus SMP ini. Surya mau, Gita bisa mengulur waktu dengan banyak pertimbangan," Surya memberikan pendapatnya.

***

"Mas, sekarang apa yang harus dilakuin? Gita bingung," keluah Gita.

"Kita enggak harus apa-apa lagi. Mas sudah ngungkapin semuanya sama orang tua Mas. Sama Ayah Ibu juga. Sekarang kita minta sama Allah mudah-mudahan diperlancar semuanya ya!" Barra memberi semangat pada Gita.

"Hubungan kita ini rentan dan banyak celahnya, Git. Gampang diputusin, terlebih kalau bahas usia kamu. Jadi, kalau memang betul-betul rezeki kita bersama, pasti celah itu akan ditutup oleh Allah. Tetap yakin dan minta yang terbaik. Apapun yang terjadi, mas tetap sayang sama kamu," Barra menguatkan Gita yang sudah menangis tak bersuara, sambil dikecup tangan mungil yang ada di genggamannya.

Tidak ada yang menyadari kalau di ujung mata Barra mengeluarkan bulir air mata juga. Namun, tidak ia nampakkan agar tidak membuat Gita lebih sedih.

'Sesulit ini memperjuangkan cinta ya? Dari segala arah kasih penolakan. Bantu hamba, Ya Allah. Kalau memang Engkau memberi Gita sebagai rezekiku," doanya dalam hati sembari menatap langit malam berbintang.

Saat ia ingin mengusap air matanya yang keluar, dari depan pintu itu Pak Hasan memanggil mereka berdua kembali ke ruangan keluarga.

"Barra, Ayah sama Ibu dan Surya sudah mengambil keputusan sebagai orang tua Gita," Pak Hasan berhenti sejenak.

Wajah Barra tegang. Seakan menunggu hasil kelulusan UN. Napasnya tertahan. Dari celah celah rambut Barra mengalir keringat dingin yang tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.

"Kami terima lamaran kamu malam ini untuk Gita," sambung Pak Hasan.

"Alhamdulillah, ya Allah," sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya dia bersyukur pelan. Kemudian langsung menoleh ke arah Gita yang duduk di sebelah Bu Lela. Pandangan mereka bertemu dan mereka saling tersenyum lega.

"Tapi, lamaran tidak boleh terjadi dalam waktu dekat!" satu kalimat ini berhasil membuat pandangan mereka terputus dan sama-sama menoleh ke arah Pak Hasan.

"Maaf, Yah. Maksudnya bagaimana, saya kurang paham?" tanya Barra yang kurang mengerti maksud pembicaraan Pak Hasan.

"Ayah, Ibu, dan Surya memutuskan untuk merestui hubungan kalian tapi dengan syarat, pernikahan akan berlangsung setelah Gita menamatkan sekolahnya sampai lulus SMA. Setelah tamat SMA kalian bisa memutuskan langkah selanjutnya," jelas Pak Hasan.

"Dari situ kalau Gita ingin melanjutkan kuliah, Ayah lebih tenang karena sudah ada kamu di sampingnya. Sudah paham, Bar?" lanjut Pak Hasan lagi.

"Barra paham, Yah. Lalu apalagi syaratnya, Yah?" tanya Barra.

"Syaratnya lagi, kamu harus bisa membahagiakan anak perempuan kesayangan kami ini. Dan selalu jaga adab dan iman! Ayah percaya sama kalian,"

"Setelah Gita meluluskan SMPnya, segera bawa keluarga kamu meminang Gita secara resmi supaya hubungan kalian diketahui keluarga dan agar tidak timbul fitnah di masyarakat," perintah Pak Hasan pada Barra.

"Insya Allah, besok saya akan bicarakan lagi dengan keluarga. Terima kasih, Yah, Ibu, dan Surya. Sudah mau merestui niat saya," lanjutnya lagi yang kemudian menyalami serta memeluk Pak Hasan, Bu Lela dan Surya.

"Bar, tolong jaga Gita. Dia adik kesayanganku, memang aku enggak bisa sering menemani dan menjaganya. Tapi aku sangat berharap dia bisa bahagia dengan cita-citanya. Jangan kecewakan aku, Barra!" sambil menepuk punggung Barra , dia tersenyum.

"Ya, sudah. Sekarang sudah beres. Sebaiknya Barra pulang biar besok bisa langsung bicara soal ini sama Ayah kamu. Bukan Ayah ngusir, soalnya kamu sama Gita kalau sudah ngobrol suka lupa waktu,"

Serasa lega dan ringan ketika batu besar yang menindih tubuhnya diangkat. Barra bahagia sekali saat ini. Cintanya terbalas, restu orang tua dikantonginya serta pinangan untuk kekasihnya diterima walau bersayatan.

"Alhamdulillah terima kasih, Ya Allah. Inikah rasa bahagia itu? Inikah rasa buah kesabaran itu? Sungguh nikmat dan indah. Terimakasih Ya Allah" doanya seraya sujud syukur atas jawaban yang diharapkan nya sejak lama.

Pulanglah Barra dengan hati bahagia menyampaikan kabar itu pada Ayahnya. Sang Ayah sudah pasrah dan sudah lebih menerima saat Barra menceritakan secara detail alasan Pak Hasan menerima pinangan untuk anaknya walaupun restu yang diberikan mereka memiliki syarat yang harus Barra terima.

Begitu juga dengan tanggapan keluarganya yang awalnya menolak keras hingga saat ini setelah dijelaskan kembali mereka akhirnya menerima walaupun masih berat hati.

Barra seorang pria yang keras dan berpikiran matang, walau keputusannya dinilai teramat asal dan gegabah, tapi dirinya tidak peduli selama ia merasa apa yang dipirkannya itu benar dan tidak merugikan orang lain.

avataravatar
Next chapter