2 IBU

Terdengar suara Pak Hasan, sebagai tuan rumah yang mengumandangkan azan.

Suara beliau didengarkan kusyuk oleh para jamaah, termasuk empat serangkai itu.

Barra menoleh ke kanan saat terasa ada yang lewat. Ternyata Bu Lela dan anak perempuannya berjalan melewati mereka dan duduk di saf belakang.

Melihat anak dan ibu duduk menunggu waktu masuk shalat lengkap dengan mukenahnya, Barra tersenyum.

Kembali teringat di benaknya, Almarhumah ibunya yang selalu siap dengan mukenah putih, duduk menunggu waktu shalat atau pada saat membaca Al Qur'an.

'Seperti ibu dulu, yang selalu mengajak ku shalat,' ucapnya sedih dalam hati.

Lamunannya usai ketika nampak Surya dan Fajar, anak laki-laki Pak Hasan yang duduk di samping Ardi, ikut mendengarkan azan.

Shalat maghrib berjamaah dimulai lalu diakhiri dengan zikir. Begitu juga ketika shalat Isya yang kembali berjamaah dan diiringi dengan berzikir bersama.

Setelah selesai Shalat Isya, nampak Bu Lela kerepotan membawa makanan untuk disantap jamaah yang hadir, dibantu Gita dan Fajar.

Melihat hal itu, empat pemuda tersebut berinisiatif membantu sampai makanan sudah tersaji dan siap untuk disantap.

Sementara Barra masih ada di dapur mendengar percakapan ibu dan anak perempuannya.

"Mbak, makan dulu, nanti kamu enggak makan lagi, tahu-tahu udah ketiduran aja! Adiknya dipanggil juga, gih! Suruh makan!" seru Bu Lela pada Gita.

"Nanti aja, Bu. Belum selesai catatan buat besok, ada ulangan, ya? Ya? Ya?" rengek Gita pada ibunya.

"Ya udah, panggil Fajar sana! Dia enggak lagi belajar, kan? Mbak jangan lupa makan nanti sakit perut lagi! Suka amat sakit perut!" jawab ibunya agak kesal.

"Hehe, siap, Bu. Laksanakan!" jawabnya, "Dek, dipanggil Ibu suruh makan!" sambung Gita setengah berteriak memanggil adiknya Fajar.

Melihat adegan itu kembali teringat Almarhumah ibunya yang selalu kesal menyuruhnya makan.

"Dek, kok gak ikut makan? Udah pada mulai, loh!" sapa Bu Lela membuyarkan pikirannya.

"Iya, Bu, masih kenyang tadi habis pulang kerja makan dulu," jawab Barra.

"Oh, uda makan toh, masak apa ibunya tadi?" tanya Bu Lela sekedar basa-basi.

"Ibu baru pulang kerja, masih capek jadi belum masak, Barra tadi makan di kantin kantor!" jawab Barra.

"Loh, kok ibunya masih disuruh kerja sih Dek, kan Adeknya udah besar udah kerja lagi, disuruh istirahatlah ibunya Dek, diam di rumah istirahat!" tanya Bu Lela asal karena tidak tahu asal keluarga Barra.

"Ibu yang di rumah itu ibu sambung, Bu. Beliau dari gadis sampai sekarang memang masih bekerja. Dan ibu saya sudah meninggal waktu saya SMP," jawab Barra dengan senyum.

"Eh, maaf ya, Dek! Ibu enggak tahu, jadi buat adek sedih, aduh!" respon kaget Bu Lela mendengar jawaban Barra.

Barra kemudian menceritakan kisahnya pada Bu Lela hingga Bu Lela mengerti kesedihan anak itu.

"Ya sudah, jangan bersedih lagi, anggap aja Ibu, ibunya Barra. Barra boleh kok sering kesini biar hati Barra tenang. Ada Bapak sama Ibu dan adek-adek yang nemenin!" ujar Bu Lena dengan lembut.

Bertambah lagi keluarga Barra. Diapun semakin sering datang ke rumah Pak Hasan untuk berdiskusi soal agama. Dan dengan Bu Lela dia mendapatkan hangatnya keluarga seperti masa Almarhumah ibunya dulu masih ada. Diapun jadi lebih mengenal si gadis kecil lebih jauh.

"Gini toh rasanya punya adik? Asik juga! gumamnya dalam hati. Semakin hari Barra semakin akrab dengan keluarga Pak Hasan, ia pun juga sering menginap di sana, hingga keluarganya terutama ayahnya marah.

"Barra, kenapa kamu sering gak pulang sekarang? Ayah dengar kamu sering nginap di rumah Pak Hasan?" tanya ayahnya.

"Iya, Barra suka di sana, tenang. Di sini sepi, sekalinya ada suara cuma suara mbak sama ibu adu mulut, dan lagi Ayah sering enggak di rumah," jawab Barra dengan tenang.

Mendengar jawaban anaknya, Pak Sugi mengerti dan faham kalau anaknya ini butuh perhatian yang tidak bisa diberinya karena dia harus sering bolak balik keluar kota untuk pekerjaan.

Pak Sugi bekerja sebagai asisten supir di sebuah perusahaan travel pariwisata, yang sudah pasti akan sering bepergian mengantarkan wisatawan berlibur.

"Ya, sudah. Ayah mengerti perasaan kamu, tapi Ayah harap hal ini tidak mengundang cibiran tetangga yang menyangka kamu tidak akur sama ibu seperti Bunga!" pintar sang ayah.

"Enggak lah, Yah. Barra maklum kok sama ibu. Tapi Barra enggak bisa bilang apa-apa soal mbak Bunga, kita gak bisa maksain perasaannya berubah buat ibu," jawab Barra bijaksana.

Setelah cerita penolakan Ayahnya selesai, Barra mulai rutin lagi berkunjung ke rumah Pak Hasan, dia semakin akrab dengan Bu Lela dan juga Gita.

Namun, berbeda dengan Surya dan Fajar yang lebih asik bermain Playstation mereka di kamarnya.

Keakraban Barra dengan Gita menimbulkan rasa sayang kepada adik barunya itu. Dinikmatinya rasa memikirkan adik perempuan yang tidak pernah dia rasakan seperti saat ini.

Barrapun sering mengantar jemput Gita ke sekolah bila shif kerjanya tidak terbentur waktu sekolah Gita.

Mereka juga sering bercerita tentang keseharian mereka bila bertemu. Barra bercerita soal keluarga dan pekerjaannya bahkan membahas soal agama, seakan bercerita dengan teman sebaya, terasa menyambung dan nyaman.

Gita juga selalu bercerita tentang kehidupan sekolahnya yang suka sekali mendapat teguran dari wali kelas, yang kadang membuat Barra gemas melihat tingkah lucu adiknya itu.

Gita sangat suka menceritakan kejahilannya di sekolah pada Barra. Mungkin karena Gita merasa lebih didengarkan ketika bercerita dengan Barra, daripada bercerita atau mengobrol dengan dua saudara laki-lakinya.

Karena tiga bersaudara itu hanya akan satu frekuensi ketika membahas kartun favorit dan soal Playstation.

"Walah, Dek! Perempuan itu yang lembut jangan suka berantem, nanti banyak musuh baru tahu, loh!" protes sang abang.

"Ya, enggak bisa gitulah, Mas, kalau gak salah kenapa harus diam aja? Memangnya perempuan harus selalu ngalah gitu? Ish, enggak banget, deh! Bukan Gita itu mah!" jawab Gita protes.

"Ya, udahlah kalau maunya gitu, terserah Gita aja, kan Gita juga yang dimarahin guru terus!" ledek sang abang.

'Hmm, ada-ada aja tingkahnya, Ya Allah, makin hari makin buat orang tambah gemes, bikin makin sayang. Pelihara selalu adikku, Ya Allah dalam keadaan yang baik," doa Barra dalam hati saat melihat adik kecilnya itu.

Entah rasa sayang yang bagaimana dia rasakan ketika bersama Gita. Dia hanya tahu saat bersama Gita penat yang ada dalam fikirannya bisa hilang bersembunyi entah kemana.

Entah karena Barra hanya butuh perhatian dan kasih sayang yang sudah lama tidak dirasakannya dari keluarganya sendiri.

Tapi mengapa rasa itu di dapat dari Gita?

Gita, Gita... Apa yang ada pada dirinya yang membuat Barra semakin memperhatikannya? Entahlah...

avataravatar
Next chapter