19 BERPAMITAN

Berkumpullah keluarga Pak Hasan di ruang keluarga rumahnya. Barra yang sedari tadi nampak murung menjadi perhatian semua anggota keluarga kecuali Pak Hasan.

"Alasan kita semua berkumpul di sini karena Ayah ingin memberitahukan satu hal penting pada kalian semua. Sebenarnya ini kabar yang baik dan sangat baik tapi tergantung pemikiran kalian yang mendengarkannya," pembukaan dari Pak Hasan.

"Barra telah dipromosikan naik jabatan menjadi manajer di perusahaannya," setiap orang yang mendengar kabar itu tersenyum gembira dan langsung mengucapkan selamat pada Barra, tidak terkecuali Gita yang berada di sampingnya.

"Selamat ya, Mas! Mas kok enggak cerita sama Gita?" ujar Gita kesenangan, "Pantas Mas diam terus dari siang, rupanya mau kasih surprise, ya?" sambungnya lagi yang hanya dijawab anggukan dan senyuman dari Barra.

Pak Hasan membiarkan suasananya menjadi gembira sesaat sebelum ia melanjutkan perkataannya.

"Karena Barra telah dipromosikan menjadi manajer, Barra akan di tempat kerjakan di perusahaan baru di luar kota seperti waktu itu,"

"Hah?! Ups, maaf!" ekspresi kaget Fazar keluar begitu saja, lalu secepatnya ia meminta maaf sambil menutup mulutnya.

Gita menoleh kesebelahnya. Memandang wajah Barra yang sudah menunggu tanggapan Gita sedari tadi.

Tidak satu katapun terucap dari bibir Gita. Mereka hanya saling menatap dengan bola mata yang berkaca-kaca dan kantung mata yang isinya sudah akan jatuh keluar.

Perlahan bangkit dari duduknya yang tidak lagi nyaman, Gita berpamitan, "Gita mau tidur ya, udah ngantuk!"

barra hanya terdiam dan semakin sedih. Tidak bisa berucap kalimat penghibur karena hatinya juga butuh dihibur.

"Pulanglah dulu, Bar! Nanti Ayah sama Ibu yang biara sama Gita. Kamu tenangkan dulu pikiranmu di rumah," bujuk Pak Hasan agar Barra mau mengerti perasaan Gita.

Sebelum berpamitan, disempatkannya dulu mengetuk pintu kamar Gita "Gita, Mas pulang, ya?" pamitnya yang berharap mendapat respon, namun nihil tidak ada suara bergeming.

Barra harus menerima kenyataan kalau hati Gita memanglah tidak siap mendengar kabar keberangkatannya.

***

Bunyi notifikasi pesan masuk di ponsel Barra membuatnya beranjak dari tempat tidur. 'Gita Sayang' adalah nama yang tertera di layar ponsel sebagai orang yang mengirimi pesan.

"Mas, maafin Gita, ya? Gita harusnya enggak diamin Mas Barra begini. Tapi Gita sedih waktu tahu Mas mau pergi lagi ninggalin Gita. Gita enggak marah sama Mas. Tapi Gita harap Mas mengerti perasaan Gita saat ini. Kita enggak usah ketemuan dulu ya Mas, untuk beberapa hari? Gita sayang Mas Barra!" isi pesan Gita untuk Barra.

Barra memutar nomor Gita berharap bisa bicara dengannya, namun sepertinya ponsel Gita sudah dimatikan terlebih dahulu. Lalu ia segera mengetik pesan sebagai balasan dari pesan Gita tadi.

'Git, tolong maafin Mas. Bukan maksud Mas ingin enggak jujur sama kamu, tapi Mas tahu sekalipun Mas jujur pasti kamu juga akan sedih,'

'Mas juga sedih karena harus ninggalin kamu padahal kita baru resmi tunangan. Mas juga sedih enggak bisa setiap hari lihat dan temanin kamu di sini,'

'Tapi Mas juga bingung kalau Mas enggak pergi, kesempatan yang sebagus ini enggak ada yang tahu kapan datang untuk kedua kalinya,'

'Saat ini yang Mas paling perlukan adalah dukungan kamu sebagai calon istri Mas, yang bisa buat Mas semangat kerja di sana untuk masa depan kita nanti,'

Begitulah isi pesan yang Barra ketikkan. Sambil terisak menahan tangis yang tidak bisa ditahan lagi. Barra tidak lagi tertidur karena sebentar lagi akan berangkat kerja.

Sampai di gudang kantor, kembali ia terkaget dengan kabar akhir pekan ini tepatnya hari sabtu, ia sudah harus berangkat, karena pada hari seninnya, ia sudah harus bekerja.

Kabar yang baik sebetulnya, namun bagaikan pukulan bertubi-tubi di pikirannya. Terhitung dari hari ini berarti hanya tersisa tiga hari untuknya menikmati kebersamaan dengan orang-orang terdekatnya.

Keluarga Barra yang sudah menerima kabar promosi kenaikan jabatan Barra, sangat antusias dan berbahagia. Selain karena anak mereka akan memiliki karier yang bagus, mereka diam diam mendoakan agar Barra mendapatkan berjodoh dengan perempuan yang lebih dari Gita.

"Gita, Mas sudah harus berangkat hari sabtu. Mas mau ngabisin waktu sama kamu sambil belanja keperluan Mas di sana nanti. Kita jalan-jalan, yuk! Mas juga kangen kamu," isi pesan Barra mengabari Gita.

Sudah beberapa hari Gita tidak ingin berbicara atau bertatap muka dengan Barra. Entah karena dia marah atau karena dia terlalu sedih memandang wajah kekasihnya itu. Namun, Gita masih mau membalas pesan singkat dari Barra.

Bukannya tidak rindu, mungkin rasa rindu Gita lebih besar dari Barra yang merindunya. Melihat usia Gita masih belia yang emosionalnya masih labil dan butuh perhatian ekstra. Namun Gita mencoba kuat dan berfikir bijak.

"Mas berangkat aja sama Mbak Bunga. Minta temenin belanja sama Mbak Bunga aja, ya! Hitung-hitung menghabiskan waktu sama keluarga Mas. Mas, kan lebih sering ke rumah Gita kalau libur. Dan keluarga Mas pasti juga mau dapat perhatian Mas Barar juga,"

"Gita ikhlas kok, Mas. Gita tahu, Mas berangkat karena Gita, untuk masa depan kita. Gita doakan semoga perjalanan Mas lancar dan sampai di tujuan dengan selamat. Maaf ya Mas, Gita enggak bisa ikut nganterin Mas ke Airport. Dan Gita yakin, Mas Barra tahu alasannya,"

Sekian panjang lebar isi pesan balasan Gita. Barra mengerti dari setiap kalimat yang diketikkan Gita padanya.

"Kamu memang perempuan hebat, Git. Kamu bisa menutupi kesedihan dengan ketegaran. Mas juga akan lakuin hal yang sama," gumamnya pelan sambil memandang layar ponsel yang menampilkan foto mereka saat memamerkan cincin di acara pertunangan mereka.

Hari Sabtu tiba dengan cepat. Semua persiapan, surat-surat kelengkapan penunjang administrasi juga sudah lengkap. Pakaian yang Barra bawa juga tidak banyak, karena akan dibelinya saja di sana.

Setelah berpamitan dengan para tetangga dan keluarganya, Barra berangkat menggunakan ojek online menuju kediaman Pak Hasan.

"Ibu. Barra pamit. Doain Barra sehat-sehat dan baik di sana," disalaminya tangan Bu Lela yang sudah dianggap ibunya sendiri.

"Ibu pasti doain kamu, Bar. Ibu minta maaf enggak bisa nasihatin Gita untuk mengantar kamu ke bandara," ujar Bu Lela sedih.

"Ya, sudahlah, Bu. Barra juga sudah pamit sama Gita kok. Ibu yang sehat, ya! Tolong jaga Gita buat Barra," ucapnya kembali sambil memeluk Ibu angkatnya tersebut. Lalu ia beralih ke Pak Hasan.

"Yah, bantu doa biar semua berkah, nanti Barra jemput Gita kalau sudah waktunya," pamit Barra pada Pak Hasan.

"Ya, Ayah tunggu kamu balik ke sini, ya! Yang semangat kerjanya, Nak!" perintah Pak Hasan seraya merangkul calon mantunya itu. Setelah itu, Barra tersenyum pada Fajar di sebelahnya.

"Dek. Lihat-lihat Mbak, ya! Bilangin, jangan suka berantem lagi. Nanti kalau SMA, barengan sama Mbak lagi, ya! Biar ada pawangnya dia, hehehe!" ucapnya pada Fazar sambil menggosok ujung kepala Adiknya itu.

"Siap, Mas! Nanti kalau Mbak Gita berantem lagi, Fajar aduhin ke Mas, deh!" ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking pada Barra tanda perjanjian.

"Salam buat Mas Surya. Mas belum sempat pamit tadi," ucapnya lagi yang mendapat anggukan Fajar.

Barra melangkah keluar dari rumah tersebut.

Bersambung...

avataravatar
Next chapter