8 08

"Gis, ada surat."

Gisti menoleh, terlihat Patih sudah berdiri seraya menyibakkan sedikit layer pintu tenda. Bukannya berjalan menghampiri, Gisti justru mendesis meremehkan.

"Sudah berani menampakkan wujud, wahai Dewa Surat?" tanya Gisti seraya membenahi tikar tempatnya beristirahat.

Patih menurunkan tangannya, ia menghela napasnya sebelum akhinya berkata, "Tukang pos yang memberikan. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada Jenderal Sakardi. Beliau melihatnya."

"Kalian berdua pasti berkompromi. Sudahlah, mengaku saja apa susahnya? Kamu mencintai saya, tapi tak berani mengungkapkan secara langsung."

"Terlalu percaya diri sekali dirimu. Saya mencintai kamu? Seperti tidak ada perempuan lain saja."

Gisti terdiam, entah mengapa ucapan Patih baru ini membuat ulu hatinya terasa nyeri. Apa ada yang salah dari ucapan Patih? Sepertinya tidak. Memang dasarnya hati Gisti saja yang aneh. Sakit tiba-tiba padahal tidak tahu apa penyebabnya.

Menggelengkan kepalanya pelan, Gisti mencoba menampik segala rasa juga pikiran yang menyerang dengan tiba-tiba. Ia mengangkat angkuh dagunya, menatap Patih dengan remeh.

"Cih. Kamu pikir saya percaya?"

"Berapa kali saya bilang? Bukan saya yang mengirimkan!"

Gisti terperangat, ia terkejut karena nada suara Patih yang meninggi. Dada pria itu naik turun, seakan-akan tengah menahan emosi yang akan segera meletup. Gisti diam, dia menyadari jika curiganya sudah berlebihan.

Sepertinya memang bukan Patih yang mengirimkan. Toh, Patih memang tidak pandai menulis. Sedari dulu, pria itu tidak pernah becus memegang sebuah pena. Tangannya selalu saja berkeringat setiap kali memegang benda panjang itu.

Tetapi, Gisti tetap Gisti. Meminta maaf bukan hal yang mudah untuk gadis itu. "Saya tidak peduli. Pada intinya, saya mencurigai kamu," ujarnya sedikit yakin tidak yakin.

Patih melempar amplop cokelat tadi tepat di pangkuan Gisti. Ia berbalik dengan langkah tegas tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun. Mungkin, dia benar-benar marah saat ini.

Karena rasa penasaran yang mendominasi dirinya, Gisti membuka surat tersebut. Seperti biasa, secarik kertas dengan warna cokelat lebih muda sudah ada di dalam amplopnya. Namun, mata Gisti justru terbeliak sempurna setelah membuka surat tersebut.

Jelas nama pengirim juga nama penerimanya. Gisti mendongak, menatap pintu tenda dengan nanar. Ia jadi merasa bersalah karena sudah menuduh Patih.

Dari Darmi

Untuk Gisti

Anak gadisku, apa kabarmu, Nduk? Ibuk kangen sama kamu. Semangat, ya. Ibuk hanya bisa membantu doa dari sini. Entah kapan surat ini akan sampai di tanganmu, Nduk. Tapi Ibuk harap, kamu membacanya dengan keadaan baik-baik saja. Ibuk kangen, Nduk sama kamu. Cepatlah pulang, Anakku ....

Batavia, 1-12-45

Darmi

"Gisti juga kangen sama ibuk ...," rintih Gisti seraya menutup surat dari Darmi dengan pelan. Air matanya tumpah, tak dapat ia bendung lagi. Sungguh, kerinduannya dengan Darmi sudah memuncak.

Ingin rasanya Gisti cepat-cepat pulang ke dalam pelukan sang ibu. Namun, tugasnya di sini belum selesai. Ia masih harus membantu warga sekitar untuk memperbaiki pemukiman yang ikut melebur dengan tanah karena pertempuran lalu.

***

Gisti berjalan dengan pelan, menghampiri Patih yang tengah mengelap senapannya. Ia berdeham sebentar, untuk menetralkan suaranya dan mengalihkan perhatian Patih.

Patih hanya menilirik, tak berniat untuk bertanya atau sekadar mendongak. Gisti memutar bola matanya jengah, ia menarik senapan Patih dari tangan pemiliknya dan meletakkannya di atas meja.

"Jangan diamkan saya."

Bukannya menjawab, Patih justru meraih kembali senapannya, berniat untuk melanjutkan kegiatannya. Namun, lagi-lagi dihalangi oleh Gisti. Kali ini, bukan di atas meja, namun di tangan kanan sang gadis.

"Kembalikan."

"Tidak, sebelum kamu memaafkan saya."

"Saya maafkan. Cepat kembalikan!"

"Tidak ikhlas."

"Bagaimana saya bisa ikhlas memaafkan? Kalau kamu saja tidak meminta maaf tulus dengan saya."

"Untuk apa?"

"Untuk apa juga saya meamaafkanmu kalau kamu tidak tahu meminta maaf untuk apa."

"Saya menuduhmu. Minta maaf."

"Menuduh apa?"

"Jangan pura-pura lupa, bedebah!"

"Niat meminta maaf tidak? Kalau tidak, pergilah. Saya tidak punya waktu banyak untuk gadis keras sepertimu."

Gisti mengumpat dalam hati, ingin rasanya ia mencabik-cabik mulut Patih. "Maaf. Sudah menuduhmu sebagai pengirim surat tersebut."

Patih berusaha keras untuk tidak tertawa. Namun gagal, raut wajah Patih yang terlihat jelas tengah menahan sebuah ledakan tawa sudah tertangkap oleh indra penglihatan Gisti.

Gisti mengangkat senapannya, memukulkan dengan keras ke atas kepala Patih.

"Sakit!"

"Tidak peduli!"

Gisti berbalik setelah melempar senapan Patih ke pangkuan sang pria. Ia benar-benar marah dengan Patih saat ini. Bisa-bisanya dia menertawakan Gisti. Padahal, Gisti sudah meruntuhkan seluruh harga dirinya hanya untuk meminta maaf dengan sahabat sialannya itu.

Dengan hati yang terus menggerutu, Gisti terus berjalan dengan langkah kaki yang lebar dan cepat, tidak mempedulikan luka pada bagian perutnya yang tak kunjung mengering. Sebuah tangan dengan mulus telah meraih tangan Gisti, membuat gadis itu berbalik dan spontan menendang sang pembuat onar.

"Astaga!" jerit korban.

Gisti membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan, menatap Patih yang sudah tersungkur dengan kedua tangan memegang perutnya.

"Tega sekali kamu dengan saya."

"Tidak peduli."

Patih menatap Gisti dengan pandangan tidak suka, ia bangkit dengan menahan sakit di area perutnya. Sial memang, tendangan Gisti berhasil membuat Patih merasa ingin memuntahkan segala isi perutnya.

"Semarah itu kamu dengan saya?"

"Entah."

"Ayolah, Gis .... Harusnya saya yang marah denganmu karena sudah dituduh yang tidak-tidak."

"Hanya sekali saya menuduhmu."

"Sekali dari mana? Setiap saat kamu menuduh saya!"

"Tidak. Yang lalu hanya sekadar curiga, jika benar-benar menuduh itu tadi."

Patih diam, menatap Gisti dengan tidak percayanya.

"Saya memang mencurigai jika kamu pengirimnya. Tapi saya belum begitu yakin karena kamu terlalu bodoh dalam hal menulis di atas kertas."

"Gis-"

"Tenang saja, saya akan menyelidikinya. Jika kamu mau mengaku dari sekarang, akan saya maafkan. Tapi jika tidak, saya akan membunuhmu."

Gisti menepuk pundak Patih sebanyak dua kali, sebelum akhirnya berlalu meninggalkan pria yang tengah berdiri dengan mulut menganga akibat terkejut.

Patih mengusap wajahnya kasar, tak sengaja tatapan matanya menangkap seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di balik sebuah pohon mangga. Patih menatapnya lekat-lekat, pria itu melambaikan satu tangannya.

Meski wajahnya tertutup sebuah kain hitam, Patih tahu jika pria itu tengah tersenyum bahagia. "Berani sekali dia ke sini, bagaimana jika ada orang yang melihatnya dan menduga yang tidak-tidak tentangnya? Dasar Dewa!"

***

Darmi diam, matanya lurus ke depan. Ia menatap nanar hujan yang turun di sore hari. Biasanya jika sedang hujan seperti ini, dia dan Gisti selalu menghabiskan waktu bersama, seperti makan masakan Darmi atau bahkan hanya sekadar duduk dan bercerita kecil-kecilan.

Darmi rindu dengan Gisti. Entah bagaimana keadaan putrinya itu, baik-baik saja atau ....

"Dar ...." Darmi menoleh, ia tersenyum simpul. Ani sudah berdiri di belakangnya.

"Kangen sama Gisti?"

Tanpa Darmi jawab pun, Ani sudah tahu jawabannya. Ia menarik lengan Darmi pelan dan mengajaknya masuk ke dalam rumah untuk duduk.

"Gisti itu sangar. Percaya karo aku, Gisti bakal selamet." (Gisti itu hebat. Percaya denganku, Gisti pasti selamat) Ani berusaha menenangkan, meski hatinya merasakan hal yang serupa dengan Darmi. Ia juga harap-harap cemas dengan keadaan Patih.

"Tapi aku wedi, Ni ...." (Tapi aku takut, Ni)

"Sudah. Ndak usah takut, percaya saja dan yakin, kalau Gisti sama Patih di sana bakal baik-baik aja. Berdoa saja sama Gusti Allah. Udan-udan ngene ki, waktu doa sing paling manjur!" (Hujan-hujan seperti ini, waktu doa yang paling mustajab)

Darmi mengangguk, ia menatap ke luar, hujan masih turun dengan derasnya, membasahi bumi dengan segala nikmat yang tiada tara. Ia berdoa dalam hati, memohon kepada Sang Maha Segalanya untuk mempercepat kepulangan Gisti dan Patih dengan keadaan baik-baik saja.

avataravatar
Next chapter