7 07

"Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh hilang berganti."

Ambarawa, 15 Desember 1945

Hari-hari sudah berlalu, pertempuran berlangsung dengan sengit. Jalanan Ambarawa–Semarang dikuasai penuh oleh pasukan Indonesia.

Strategi supit urang yang diarahkan oleh Jenderal Sudirman berhasil membuat musuh terkepung di segala penjuru. Membuat sekutu tidak bisa bergerak secara leluasa karena ketatnya kungkungan yang dilakukan oleh pejuang RI.

Gisti mengabaikan nyeri yang masih terasa kental di area perutnya. Ia tidak bisa jika hanya diam dan diam sementara di depannya, para pejuang Indonesia tengah bertaruh nyawa demi menyelamatkan kemerdekaan negeri ini.

Perlahan bangkit dari tidurnya, ia meraih senapan yang tergeletak di sampingnya. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berjalan dengan cepat mendekati keramaian.

Gisti tidak akan terlalu mendekat ke area pertempuran. Dia berusaha membantu dari kejauhan. Gisti sadar, nyawanya dalam bahaya jika dia terlalu masuk ke dalam area pertempuran. Mengingat, lukanya yang masih begitu basah.

Bukannya takut mati atau bagaimana, tapi dia tidak bisa egois. Darmi pasti begitu khawatir dengan keselamatan Gisti. Ia pun cukup sadar untuk tidak menambah angka kematian pasukan Indonesia. Meski mati demi membela ibu pertiwi adalah suatu kebanggaan bagi Gisti, tapi tetap saja, ia akan mengutamakan nyawanya demi pulang untuk Darmi.

Gisti memicingkan matanya, mencoba melihat lebih jelas ke depan sana. Terlihat Patih yang baru saja menancapkan sebuah belati tepat pada perut lawan. Gisti mendesis, mengarahkan senapannya ke depan.

Rentetan peluru melesat begitu cepat sesaat setelah Gisti melepaskan tembakannya. Patih menoleh ketika mendapati seseorang menjerit di belakangnya, di sekitarnya cukup lenggang, namun, musuh di belakangnya baru saja tertembak.

"Bedebah! Lihat ke depan, kau itu tengah bertempur, bodoh!"

Patih mengarahkan matanya ke arah Gisti yang kini berdiri sedikit jauh di ujung sana. Tersenyum tipis setelah menyadari bahwa musuh yang kini telah terkapar dengan mata terbuka serta kepala berlumur darah adalah hasil dari perbuatan Gisti.

Kembali menyerang musuh, Patih hampir saja tertusuk karena terlalu fokus menatap Gisti dari kejauhan. Meskipun dengan kondisi yang sedang tidak baik-baik saja, gadis itu baru saja menyelamatkan nyawa Patih dari tikaman tombak sekutu.

Tembakan meriam sampai letupan granat seakan-akan menjadi musik merdu di telinga mereka. Meski sadar jika kekuatan militer lawan lebih moderen, itu semua tidak menciutkan semangat pasukan RI dalam mempertahankan haknya.

Gisti kembali mengangkat senapannya dan mengarahkan tembakan kepada sekutu dari kejauhan. Perlahan, terlihat dengan jelas musuh sudah mulai melemah karena persediaan logistik serta amunisi mereka mulai berkurang. Bahkan, ada beberapa yang ingin menyerang namun kembali berbalik lagi.

Lucu. Gisti terkekeh kecil melihatnya.

Hari pun semakin berlalu, matahari sudah hampir kembali ke tempat peristirahatannya. Melihat musuh yang semakin melemah dan perlahan berjalan mundur, terbesit senyuman mengembang di balik keringat para pejuang Indonesia. Mereka semakin menggencatkan kembali serangan-serangan untuk sekutu.

Senyum Gisti perlahan mengembang, ia sedikit lari untuk mendekati Patih yang juga menatap ke depan. Sekutu baru saja melakukan perusakan seluruh bangunan di sekitaran sini. Seketika sorak-sorak riang menggema dan saling bersautan.

Aksi bumi hangus yang dilakukan oleh pasukan lawan sebagai tanda mundurnya mereka dari pertempuran ini membuat para pasukan Indonesia tersenyum bangga. Pengorbanan mereka tidak sia-sia, tepat ketika matahari sudah tidak menampakkan wujudnya pada hari itu, kala semburat jingga mulai berganti gelap malam pekat, Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya.

***

Asap-asap sisa pertempuran masih berkabut tebal. Mayat pun bertebaran dari ujung sampai ke ujung. Indonesia kehilangan banyak pasukan, mungkin sekitar 2.000 pejuang telah gugur dalam pertempuran ini. Beruntung, Gisti bukan salah satunya. Jika sampai itu terjadi, mungkin bab ini adalah akhir dari kisah Gisti tanpa mengungkap siapa sang pengirim surat.

Bicara soal surat, Gisti baru saja menemukan amplop cokelat yang sama. Ia menduga, sepertinya pengirim surat ini begitu mencintai warna cokelat.

Gisti jadi semakin yakin, jika pengirim surat itu berada di sini. Karena, bagaimana mungkin, tiba-tiba saja ada surat di atas tikar tempatnya beristirahat jika tidak ada yang sengaja meletakkannya di sana.

Dengan kekesalan yang memuncak, Gisti berjalan dengan cepat meski menahan nyeri karena lukanya untuk menghampiri sang tersangka yang saat ini membuat Gisti yakin jika dia adalah pengirimnya.

Gisti menjambak rambut Patih tiba-tiba, membuat kepala sang pria mendongak ke belakang dan meringis sakit.

"Lepas!"

"Tidak, sebelum kamu mengakui semuanya."

"Mengaku apa? Apa yang saya perbuat?"

Gisti geram, ia semakin mengeratkan tarikannya pada rambut Patih membuat pria itu menjerit kencang. Sampai-sampai, jeritannya itu mengundang perhatian lebih oleh orang-orang di sekitaran mereka.

"Lepaskan dulu!"

Baiklah. Gisti dengan berat hati harus mengalah, ia melepaskan tangannya dari rambut Patih dengan sedikit dorongan. Dikibas-kibaskannya tangan tersebut, seolah-olah rambut Patih adalah kuman.

Kepala Patih benar-benar terasa nyut-nyutan. Jambakan Gisti pada rambutnya bukan hal yang main-main. Gadis itu benar-benar emosi. Jelas terlihat dari kedua bola matanya yang seakan-akan memancarkan bola api yang siap dikibarkan begitu saja.

"Ada apa? Datang-datang sudah menyerang saja."

"Bodoh. Untuk apa kamu menulis surat itu?"

Patih menghela napas, lelah karena terus-menerus dituduh yang tidak-tidak oleh Gisti. "Gis—"

"Ya ya ya, kamu akan bilang kalau bukan kamu yang mengirimkan," potong Gisti cepat, seakan paham apa yang akan dikatakan oleh Patih.

"Itu mengerti."

"Tapi siapa lagi kalau bukan kamu?!" ujarnya seraya mencengkeram erat kerah baju Patih. Menariknya semakin dekat ke tubuh Gisti seraya menatap Patih dengan tajam. Patih menunduk, bola mata mereka bertemu, jantung Patih seakan berdegub lebih kencang dibanding biasanya.

Pantas saja, Dewa surat itu begitu mencintainya.

***

"Dar, Darmi!"

Darmi yang tengah sibuk dengan tanaman di ladangnya lantas bangkit dan menoleh. Ia memicingkan matanya, terlihat Ani sedang berlari dengan jarik yang tercincing-cincing.

"Ono apa, ta?" (Ada apa, sih?) tanya Darmi dengan dahi berkerut.

"Ada kabar ...," Ani berhenti sejenak untuk mengambil napas. Lelah karena telah berlari-lari dari rumah Darmi sampai ke ladang Darmi. Karena jarak rumah dan ladang yang cukup jauh, juga panas matahari yang berada tepat di atas kepala.

"Kene, liren sik. Mulakno ora usah mlayu-mlayu. Rasakno kui, kesel, kan? Untung ora tibo!" (Sini, istirahat dulu. Mangkannya tidak usah lari-lari. Rasakan itu, lelah, kan? Untung saja tidak jatuh!) ceramah Darmi panjang lebar.

Ani hanya mengangguk dan memegang dadanya, masih dalam kondisi napas yang terengah-engah ia duduk mengikuti Darmi.

"Awakmu uwes krungu kabar soal Ambarawa durung?" (Kamu sudah dengar kabar mengenai Ambarawa belum?)

Darmi melotot, mendekatkan diri ke arah Ani. "Ambarawa? Bagaimana? Apakah perang sudah selesai?"

"Uwes!" (Sudah!) jawab Ani dengan senyum sumringah. Darmi ikut menarik kedua sudut bibirnya, sedikit lega juga bahagaia karena pertempuran sudah selesai.

"Piye? Indonesia piye?" (Bagaimana? Indonesia bagaimana?)

"Wah ... sangar, Dar! Pejuang-pejuang tangguh Indonesia mampu ngalahke musuh-musuh!" (Wah ... hebat, Dar! Pejuang-pejuang tangguh Indonesia mampu mengalahkan musuh-musuh!)

"Alhamdulillah, ya, Ni. Doa kita dikabulkan sama Gusti Allah. Harapanku, mugo wae ora ono perang-perang maneh. Tidak tenang sekali rasanya kalau harus mengirimkan anak-anak kita ke medan pertempuran." (Semoga saja tidak ada perang-perang lagi)

"Amiin ...."

"Gisti Patih apa kabar? Mereka selamat, kan?" tanya Darmi. Hampir saja ia lupa menanyakan bagaimana kabar putrinya dan juga Patih, karena sudah terlalu bahagia mendengar kabar bahwa Indonesia kembali berhasil mempertahankan kemerdekaan.

Raut wajah Ani berubah, "Nah kui! Aku durung ngerti kepiye kabare anak-anak. Waswas meni atiku," (Nah itu! Aku belum tahu bagaimana kabar anak-anak. Waswas sekali hatiku) jawabnya sedih seraya menyentuh dadanya.

Darmi menghela napas, menatap sahabat karib masa kecilnya itu dengan sendu. Jangan tanyakan bagaimana perasaannya, jelas-jelas sekali ia juga merasa sedih dan khawatir yang teraduk menjadi satu.

"Semoga mereka selamat."

Ani menarik Darmi ke dalam pelukannya, kabar bahagia atas kemenangan Indonesia belum lengkap rasanya jika mereka juga belum tahu kabar bagaimana keadaan putra dan putri mereka di sana. Apa baik-baik saja, atau mungkin ... kembali ke Sang Khalik?

avataravatar
Next chapter