5 05

"Ada apa?" tanya Patih pada Gisti. Pasalnya, semenjak naik ke dalam truk gadis itu ia perhatikan hanya termenenung dan termenung.

Gisti menggeleng lemah, ia bersandar pada badan truk yang kini tengah membawa para pasukan TNI dari Batavia menuju Ambarawa. Patih mengeluarkan napasnya sedikit kasar.

"Sudah, Gis. Tidak usah terlalu dipikirkan, saya yakin ibu kamu pasti baik-baik saja di rumah bersama ibu saya," ucap Patih seakan paham apa yang tengah gadis itu risaukan. Kini Gisti menatap Patih dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.

"Ibu saya sudah tua, seharusnya di usia senjanya ini saya menemaninya. Bukan malah meninggalkannya seperti ini."

"Gis, ini hanya sementara. Percaya dengan saya."

"Kita tidak tahu apa yang akan semesta lakukan pada kita setelah ini. Kalau saya nantinya akan mati menyusul romo, bagaimana dengan ibu saya nanti?" Patih lagi-lagi hanya mampu menghela napasnya berat. Tidak tahu harus merespon seperti apa, karena sebenarnya dirinya juga merasakan hal yang serupa dengan Gisti.

"Tidurlah, malam semakin larut. Ada bahuku untukmu bersandar." Patih merapatkan duduknya dengan sang gadis. Gisti lantas menyandarkan kepalanya pada bahu teman kecilnya itu, mulai memejamkan matanya dan menuju ke alam bawah sadar.

"Tidur yang nyenyak, gadisku."

***

Gisti merasakan sesuatu yang menyilaukan menerpa wajahnya membuat tidurnya terganggu. Perlahan ia membuka matanya, ternyata hari sudah kembali pagi. Gisti memperhatikan sekeliling, para pejuang dengan seragam hijau army yang sama dengannya tengah tertidur dengan berdesak-desakan di dalam truk ini. Ada beberapa dari mereka yang sudah bangun dan merenggangkan badannya yang mungkin terasa pegal-pegal karena tidur dengan posisi berhimpitan. Gisti lantas menoleh ke arah Patih, pria itu masih tertidur dengan mulut yang sedikit terbuka.

"Menjijikkan sekali," desisnya pelan. Namun sepersekon kemudian ia terkekeh geli membuat beberapa orang yang berada di sekitar Gisti menoleh ke arah gadis itu. Masalahnya, ini adalah sesuatu yang sangat langka sekali. Selama mereka mengenal Gisti, mereka tidak pernah sekalipun melihat Gisti tertawa ataupun sedikit terkekeh seperti tadi. Tersenyum mungkin iya, tapi senyumnya bukan senyum manis, melainkan seperti sebuah seringaian.

"Saya tidak bisa membayangkan jika ada kotoran burung yang masuk ke dalam mulut kamu," gumam Gisti setelah terkekeh dan menatap Patih yang masih tertidur pulas. Entah bagaimana caranya pria itu bisa tertidur sepulas ini. Gisti saja semalam masih sempat meracau tidak jelas, mencari posisi yang sekiranya sedikit nyaman untuknya tidur semalam.

"Gis, coba dibangunkan Patihnya. Sebentar lagi kita akan sampai." Gisti mengangguk kala Jenderal Sakardi memintanya untuk membangunkan Patih. Gisti lantas memencet hidung Patih membuat sang empu gelagapan dan terbangun, menatap Gisti dengan pandangan jengkel.

Kondisi wajahnya yang baru saja terbangun dan terkejut itu berhasil memecahkan tawa Gisti, membuat seluruh orang di sini menatap ke arahnya dengan pandangan benar-benar terkejut. Batin mereka berbicara, ternyata Gisti bisa tertawa sekeras ini sampai menepuk-nepuk tangannya.

"Tidak lucu, Gis. Bagaimana jika saya mati?" Gisti langsung menghentikan tawanya dan kembali pada muka datarnya. Menatap Patih dan berkata, "Tidak akan mati." Sedangkan beberapa orang pria di dalam truk ini mendesah kecewa, karena mereka melihat tawa Gisti yang tidak bertahan lama.

"Siapa tahu, kan?"

"Ya ya ya, saya tidak mau minta maaf." Patih mengerutkan dahinya bingung, baru kali ini ia menemui seseorang yang bersalah namun tidak mau meminta maaf.

Gisti yang mengerti raut bingung dari Patih pun lantas berucap kembali, "Mungkin saya akan mengulanginya lagi." Dan benar seperti dugaan gadis itu, Patih menoyor kening Gisti pelan.

"Bicara-bicara, Gis. Tumben kamu tertawa sekeras tadi di depan umum?" Gisti yang tengah membenarkan kepangan rambutnya lantas menatap Patih. Benar, bagaimana bisa dirinya lepas kendali sampai tertawa sekeras itu? Kini hampir seluruh pasang mata menatap ke arah dirinya tanpa berkedip. Mendadak tubuhnya menjadi kaku, sebenarnya tidak ada yang salah dengan cara Gisti tertawa. Namun ini lain, Gisti yang biasanya bersikap judes, dingin, kasar, dan angkuh kini bisa tertawa selepas dan sekeras itu hanya karena melihat muka kesal Patih yang baru saja gadis itu kerjai.

Suatu pemandangan langka bagi semua orang di dalam truk ini. Jenderal Sakardi pun sampai menatap gadis itu dengan ternganga. Sungguh, kecantikan Gisti bertambah berkali-kali lipat jika tertawa seperti tadi. Apalagi jika gadis itu berusaha keras melumpuhkan lawannya. Jenderal Sakardi menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, menghilangkan pikiran-pikiran ngawur yang baru saja menghinggapi otaknya. Astaga, tolong ingat anak istri di rumah, bisiknya dalam hati pada dirinya sendiri.

Kini mereka semua telah tiba di Kota tujuan, Ambarawa, Jawa Tengah. Di sinilah tempat yang memiliki kamp-kamp khusus sebagai penampungan para perempuan beserta anak-anak Belanda pada saat penjajahan Jepang dulu. Di sini pula terdapat sebuah benteng Pendem yang lokasinya tak jauh dari stasiun kereta api Ambarawa.

Mereka semua turun satu persatu, mengikuti arahan Jenderal Sakardi untuk menuju ke tenda yang dibangun sebagai markas para pasukan TKR Ambarawa.

Bentrokan yang terjadi antara pasukan Sekutu dengan Ambarawa ini telah terjadi sejak 20 November 1945 lalu, tepat saat Gisti baru saja pulang dari Surabaya setelah pertempuran 10 November.

Semua ini mulanya terjadi karena datangnya pasukan Inggris yang ternyata diboncengi oleh NICA¹ ke Indonesia pada 20 Oktober 1945 lalu. Pada awalnya memang baik-baik saja, justru pemerintah Indonesia dengan senang hati memperbolehkan mereka untuk melakukan rehabilitas terhadap para tawanan perang dari Belanda dan tentara Jepang di Jawa Tengah.

Namun ternyata mereka malah membebaskan para tawanan tersebut dan memberikannya senjata, perilaku ini yang membuat Indonesia geram dan memberikan perlawanan kepada mereka.

Letnal Kolonel Isdiman yang merupakan pemimpin pasukan TKR Ambarawa dalam melawan sekutu pun turut gugur pada tiga hari yang lalu, tepatnya ketika tanggal 26 November 1945. Karena hal ini pula, mereka meminta bantuan dari TNI pusat untuk ikut terjun dalam pertempuran ini. Dengan harapan, mereka dapat memukul mundur pasukan sekutu.

***

"Apa itu?" tanya Patih ketika melihat Gisti menggendong sebuah kotak.

"Surat."

"Dari orang tidak dikenal lagi?"

"Hm."

"Kenapa dibawa sampai sini? Bukankah itu justru akan mengganggu konsentrasimu selama di sini?"

"Saya ingin membuang, tapi ibu saya melarangnya. Beliau berkata, jika selama ini orang tersebut mengaku sebagai Dewa dan surat yang ia tulis dan dikirimkan kepada saya terlihat seperti sebuah ramalannya, bisa jadi surat ini dapat memberikan saya petunjuk di sini."

Patih mengerutkan dahinya bingung, tidak paham dengan apa yang dijelaskan Gisti. Entah gadis itu yang salah menjelaskan atau memang otak Patih yang terlalu lemah. "Ramalan ... apa?"

"Orang itu mengirimkan surat untuk saya setelah ia menulis surat tersebut, bukan?" Patih mengangguk, menunggu Gisti untuk melanjutkan ucapannya. "Tapi bagaimana bisa, surat yang ia tulis selalu terjadi saat saya membacanya. Bukankah ini terlihat seperti ramalannya?"

"Saya tidak paham, tolong berikan contoh." Gisti geram, memukul kepala Patih dengan kotak surat tersebut. "Beginilah kalau otak tidak pernah diasah."

"Memangnya pedang?"

"Bodoh! Otak itu diibaratkan sebuah pedang, kalau ia tidak diasah tidak akan bisa tajam. Sama dengan otak, kalau otak tidak pernah diasah, ya ... seperti ini jadinya. Lambat dalam berpikir."

"Ya ya ya, terserah kau saja, Gisti yang pintar. Cepat berikan saya contoh, saya tidak paham."

Gisti menghela napas, "Waktu itu ia pernah menuliskan surat dengan bunyi kalau tidak salah seperti ini 'saya tahu kamu sedang membaca surat ini saat hujan turun dan ditemani ibu kamu yang tengah memakan tempe dengan sambal terasi,' dan itu memang benar-benar iya. Ibu sedang makan dengan lauk itu, saya juga membacanya ketika hujan. Dan ... orang itu selalu mengejutkan saya dengan tulisannya yang terjadi ketika saya membaca surat darinya."

Gisti menatap Patih yang tengah menganga seraya gadis itu berdoa dalam hati semoga temannya ini paham dengan apa yang ia jelaskan. Jika sampai tidak paham, Gisti akan memukuk rahang tegas pria berotak siput di depannya ini.

Patih mengangguk paham setelah dua menit mencerna kalimat Gisti dalam-dalam, membuat sang gadis menghela napas lega.

"Hm ... orang itu selalu menyebut dirinya sebagai Dewa," ucap Patih dengan gestur seolah-olah dirinya sedang berpikir keras. Membuat Gisti menatapnya malas, "Sepertinya dia memang benar-benar Dewa."

Kali ini Gisti berdecih, "Kau menyebut dirimu sendiri sebagai Dewa?"

"Tunggu ... apa maksudmu?" tanya Patih bingung yang langsung dihadiahi Gisti dengan decakan, kali ini ditambah dengan rotasian bola mata Gisti.

"Astaga ... kamu masih menuduh saya jika saya yang mengirimkanmu surat itu?" lanjut Patih bertanya.

"Hm."

"Menulis saja saya tidak becus, bagaimana bisa saya yang kamu curigai?"

"Tidak tahu. Feeling saya mengatakan bahwa itu kamu," bohong Gisti. Dirinya hanya asal menebak saja, tidak yakin juga jika pengirimnya adalah Patih. Setahu Gisti selama ini, selain Patih tidak pandai menulis di atas kertas, pria itu juga sangat bodoh dalam hal merangkai kata-kata.

¹ Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (Netherlands Indies Civil Administration) - sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Sipil_Hindia_Belanda

avataravatar
Next chapter