3 03

"Sudah tahu nama pengirim suratnya?" tanya Patih. Hari ini Gisti berkunjung ke rumah Patih, hanya untuk mengobrol dan menuangkan ceritanya kepada sang teman.

Gisti menggeleng, "Belum."

"Ada yang kamu curigai?"

"Ada."

"Siapa?"

"Kamu."

"Saya?" Patih menununjuk dirinya sendiri dengan raut wajah yang bingung. Gisti mengangguk, menyesap kopi pahit yang disuguhkan Patih padanya.

"Bagaimana bisa saya yang kamu curigai?"

"Hanya kamu satu-satunya pria yang berani dekat dengan saya setelah mendiang ayah saya."

"Gisti, saya sudah bilang denganmu, pengirim surat itu tidak mau mati di tangan kamu. Itu kenapa dia tidak menyantumkan namanya di surat itu, karena jika dia menuliskan nama dan alamatnya seperti kebanyakan surat lain, kamu pasti akan mencarinya dan akan menghabisinya."

"Memang, karena kamu takut mati di tangan saya. Itu kenapa kamu mengirimkan surat aneh tanpa nama itu."

"Kenapa jadi saya?"

"Karena saya yakin kamu pengirimnya."

"Berharap sekali, cih."

"Bukan berharap, tapi memang benar itu nyatanya."

Gisti bangkit setelah menghabiskan satu gelas kopi hitam yang Patih suguhkan padanya. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun untuk berpamitan, dirinya keluar dari rumah Patih dengan langkah yang tegas. Patih hanya menghela napas, mengusap dadanya sabar karena memiliki jenis teman seperti itu.

Gisti berjalan tanpa tujuan lagi hari ini, dia hanya ingin berjalan-jalan menghilangkan beban yang bersarang di kepalanya. Sebenarnya Gisti memang tidak yakin jika Patih yang mengirimkan surat itu, pasti ada orang lain. Tapi siapa?

"Argh!" Gisti menggeram frustasi, mengacak-acak rambutnya yang menyebabkan rambut yang ia kepang satu menjadi berantakan. Dirinya menendang batu asal, sampai hampir mengenai seseorang. Untung saja hampir, belum belum benar-benar terkena.

"Siapa sih kamu ...."

"Nona?" Gisti menoleh, mendapati seseorang yang baru saja turun dari sepeda ontelnya. Mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang ia bawa.

"Ada surat, untuk Nona." Gisti kini benar-benar dibuat pusing setengah mati. Bagaimana bisa orang ini tahu bahwa ia adalah Gisti? Jika dilihat-lihat, pria yang berdiri di depannta ini bukanlah seorang tukang pos.

"Saya?"

"Iya, Nona Gisti," jawabnya seraya menyodorkan amplop berwarna cokelat. Seperti dua surat yang ia terima dua hari lalu.

"Mas tahu siapa yang mengirimkan?" pria itu lantas menggeleng dengan senyumnya. "Saya hanya menjalankan tugas, permisi," tutur pria itu dan sedikit membungkuk hormat. Berbalik mengambil sepeda ontel tuanya dan mengayuhnya perlahan, meninggalkan Gisti yang sedang bingung ditambah bingung.

Gisti lebih memilih menyusun strategi dalam pertempuran daripada harus menerima surat tanpa nama ini, surat ini membuatnya harus berpikir dan menebak-nebak siapa pengirimnya. Sebenarnya bisa saja ia mengabaikannya, namun entah mengapa hatinya berkata lain. Seakan-akan ada bagian dari jiwanya menyuruh Gisti untuk tetap membaca surat tanpa nama tersebut.

Gisti ingin sekali membuang surat itu ke dalam tong sampah yang kini tak berada jauh darinya, namun jujur, rasa penasarannya tetap mendominasi dalam dirinya. Pada akhirnya ia pun melanjutkan berjalan, amplop tadi ia pegang di tangan kanan. Melangkahkan kakinya menuju rumah, Darmi pasti sudah menunggu kepulangan putri satu-satunya itu.

***

"Kenapa wajah kamu, Nduk? Lemas sekali, kamu sakit?" pertanyaan bertubi-tubi ia dengar dari sang Ibu.

Gisti menggeleng, "Ndak, Buk. Gisti hanya lelah saja."

"Ya sudah, makan dan istirahat. Ibuk mau ke ladang sebentar." Gisti mengangguk, menggantung senapan di samping senapan milik mendiang ayahnya. Perlahan tangannya terulur, mengusap pelan senapan milik sang ayah yang sudah tiada. Hatinya terasa sesak, sungguh, dirinya sangat merindukan sosok ayahnya.

"Romo apa kabar? Semoga tenang di sana ya. Gisti rindu sekali sama romo. Titip salam buat Gusti Allah ya, romo. Pasti romo di sana bahagia di surga sekarang, bersama dengan pahlawan-pahlawan yang telah gugur. Tunggu Gisti sama ibuk di surga ya, romo," ucap Gisti seraya mengusap pelan senapan ayahnya. Air mata yang ia tahan perlahan mulai tumpah, mengalir deras bak air terjun. Membasahi pipi tirusnya yang lembut.

Darmi tidak jadi ke ladang, karena tiba-tiba saja hujan turun. Ketika ia masuk ke dalam rumah, baru saja kaki kanannya melangkah masuk, dirinya sudah melihat Gisti berdiri di depan senapan mendiang suaminya, mengusap senapan tersebut dengan halus seraya bergumam sendiri. Hatinya seperti tersayat sebuah pisau. Sakit, namun ia tidak melihat ada darah yang keluar dari tubuhnya.

Darmi tersenyum pedih, mencoba menerima kenyataan bahwa suaminya telah pergi. Meninggalkan dirinya dan Gisti sendiri. Darmi harap-harap cemas, karena menurut radio yang ia dengar, di Ambarawa sedang terjadi pertempuran sengit. Darmi takut jika Gisti harus ke sana. Dirinya belum siap. Sungguh.

Gisti menoleh, mendapati Darmi yang kini tersenyum penuh arti kepadanya. "Loh, Ibuk ndak jadi ke ladang?" tanyanya kepada sang Ibu.

Darmi menggeleng, meletakkan bakulnya di lantai. Menatap Gisti yang juga menatapnya, "Di luar hujan, Nduk. Kamu ndak dengar, ya, kalau hujan?" Gisti menggeleng, dirinya terlalu larut dalam mengenang mendiang ayahnya sampai tidak mengetahui keadaan sekitar.

"Ayo makan, bersih-bersih, lalu istirahat," ajak Darmi seraya merangkul bahu putrinya, mengajaknya ke dapur untuk makan bersama.

Tok tok tok

Gisti dan Darmi yang tengah makan lantas menghentikan kegiatannya. Saling tatap kemudian menoleh ke arah pintu rumah yang diketuk.

"Siapa ya, Buk?"

"Ndak tahu, hujan-hujan deras begini kok bertamu."

"Hust! Orang bertamu kok ndak boleh. Siapa tahu kehujanan di jalan, mau mampir ke sini buat berteduh." Gisti hanya meringis kuda, membuat Darmi menggelengkan kepalanya.

"Ya sudah kamu buka sana," suruh Darmi pada Gisti.

Gisti berjalan, membuka pintu rumahnya, namun tidak ada siapapun di sana. Kepalanya ia tolehkan ke kanan dan ke kiri. Mencari seseorang yang mungkin berada di sekitaran rumahnya. Namun nihil, dirinya tidak menemukan siapapun.

"Tadi ada yang ketuk pintu kok ...," gumamnya sendiri. Apa mungkin hanya perasaannya saja? Tapi Darmi juga mendengarnya tadi. Atau jangan-jangan angin yang mengetuk pintunya? Ah mana mungkin.

Gisti hendak berbalik, namun kakinya menendang sesuatu yang membuatnya harus menunduk. Berjongkok, mengambil sebuah rantang kecil yang sempat tertendang tadi. Digoyang-goyangkannya rantang itu, namun seperti tidak ada isinya.

Duar

Gisti terkejut, rantang yang ia pegang tadi terjatuh di lantai karena mendengar suara gemuruh langit yang menggelegar. Gadis itu mengusap dadanya kaget, berjongkok untuk mengambil rantang dan menutup pintunya.

"Siapa, Nduk?" tanya Darmi. Gisti menggeleng, menenteng rantangnya tinggi-tinggi, "Ndak ada orang, Buk. Tapi nemuin rantang di depan."

"Coba dibuka."

Gisti mengangguk, membuka tutup rantang tersebut. Hanya ada sebuah amplop cokelat, bentuknya sama persis seperti surat yang ia terima belakangan ini.

"Siapa sih yang kirim surat," ucap Gisti frustasi. Hari ini ada dua surat yang ia terima, pertama saat perjalanan pulang dari rumah Patih. Dan yang kedua baru saja, ketika hujan datang mengguyur bumi.

"Coba dibaca, Nduk, suratnya."

"Malas, Buk."

"Ndak boleh seperti itu. Hargai pemberian seseorang, meskipun kamu ndak tahu siapa yang memberi. Orang itu sudah berusaha memberikanmu surat, kamu bacalah."

Gisti menghela napas, mengangguk pasrah menuruti perkataan Darmi. Ia membuka surat pertama yang ia terima.

Teruntuk Gisti,

calon istri saya di masa depan.

Seperti biasa, saya akan menanyakan kabarmu. Apa kabar, Gisti? Sehat-sehat, ya. Hari ini kamu akan menerima dua surat, saya akan memastikan bahwa kedua surat tersebut akan sampai di tangan kamu.

Saya tahu,  kamu sedang membaca surat saya ini ketika turun hujan, bersama ibumu yang kini tengah makan tempe goreng dengan sambal terasi.

Gisti mendongak, menatap sang Ibu yang tengah sibuk mengunyah. Benar, tempe goreng dan sambal terasi. Ah, bagaimana orang ini tahu? Gisti bingung sendiri, surat itu ia terima setelah sang pengirim menuliskan surat, bukan? Tapi bagaimana bisa pengirim surat ini tahu apa yang akan terjadi ketika Gisti membaca surat darinya.

Sudah, jangan pusing. Suatu saat saya akan menemuimu, Gisti. Tapi tidak sekarang. Jika saya sudah tidak mengirimkanmu surat lagi, itu tandanya ada sesuatu yang terjadi pada saya dan kamu akan segera bertemu dengan saya.

Salam, Dewa.

Gisti menutup surat itu, kembali memutar otaknya untuk berpikir. Apa lagi yang akan dilakukan pengirim surat itu? Teka-teki ini tidak lucu. Gisti benci ini semua.

Gisti kembali membuka surat yang kedua, hanya tertuliskan lima kata.

Jangan dibanting rantangnya kalau terkejut.

Lima kata yang sudah lebih cukup membuat Gisti merinding, ia mulai sedikit takut jika yang mengirimkannya surat adalah benar-benar seorang Dewa.

avataravatar
Next chapter