webnovel

1. Aku

i

Namaku Lutfi Nurtika. Jenis kelamin perempuan. Zodiak Cancer. Golongan darah O.

Aku paling suka makan mie pedas. Hobi juga baca koran. Kadang iseng nulis kata-kata yang seringnya sama teman buat bikin status. Senang juga kalau lihat pemandangan, terutama dari bukit atau pantai.

Sebenarnya aku takut sama ombak, dan lebih tepat aku takut sama air, soalnya kebayang ada buaya di sana. Bahkan, aku sering kebayang hewan ganas itu ada di bak kamar mandi. Tapi sekarang, aku sudah mandi.

Orang-orang biasa memanggilku Lutfi, tapi kalau di rumah aku dipanggil Tika. Semua gara-gara tetangga yang terus salah memanggilku dengan sebutan Lupi, atau Lufi, atau Tupi, atau yang lainnya. Jadi, berhubung dulu masih kecil panggilanku diganti biar ga ngubah arti namaku, gitu kata Ayah.

Ya, Ayah adalah orang yang hebat dan sosok yang selalu kukagumi. Bahkan bisa dibilang—meski aku anak pertama dan punya dua adik, Syahid Ibnu Fatah dan Dinda Khairunnisa—aku masih tidak malu untuk bermanja dengannya. Karena beliau selalu sabar dan mengerti aku. Lebih dari itu, beliau sangat peka dan mengerti apa-apa yang kubutuhkan.

Seperti kejadian beberapa tahun sebelumnya, Ayah sudah menungguku satu jam bersama satpam sekolah untuk sekadar mengantar kotak pensil yang ketinggalan sewaktu SMP, karena aku saat itu sedang olahraga dan beliau tidak memberi tahuku sebelumnya. Jadi, yang salah Ayah, kan?

Atau aku?

Oya, nama Ayahku, Chudori. Beliau lahir di Pancurendang, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Ayahku bekerja melayani masyarakat di sekitar tempat tinggal kami. Kadang membuatkan KTP, mencairkan dana BPJS, melarang pembelian tanah warga untuk wisata, memimpin shalat, khutbah, dan banyak lainnya.

Sebenarnya, beliau bukan polisi atau pejabat dan semacamnya, Ayahku hanya sekretaris desa. Aku juga tidak mengerti kenapa seorang sekretaris desa mengerjakan begitu banyak hal seperti beliau.

Selain sibuk bekerja dan berdakwah, Ayah juga sangat senang memelihara hewan. Ada ayam jago, ayam bangkong, ayam mini, ayam haji—serba putih, burung merpati, burung perkutut, ikan mas, ikan lele, dan ikan munjaer. Tapi, tidak perlu kutulis jumlahnya karena cukup banyak dan aku sangat malas kalau harus pulang hanya untuk sekadar mengecek totalnya.

Ibuku, namanya Etik Dwiyanti. Biasa dipanggil Bu Carik oleh orang-orang di sekitar sini. Kalau sama aku dan adik-adikku, beliau dipanggil Mamah.

Sebelum dinikah dan diboyong ke Ajibarang oleh Ayahku, Mamah adalah seorang pelajar yang sangat aktif dalam berbagai organisasi. Mamah juga pernah menjadi bagian PASKIBRAKA sewaktu SMA, vokalis marawis, anggota pencak silat tapak suci, guru ngaji dan banyak lainnya.

Tapi semua kandas setelah beliau menikah. Karena bagaimanapun karir bagi seorang istri adalah menjaga dan mendidik anaknya sekaligus menggantikan posisi seorang ayah sewaktu beliau tidak ada.

Dan itulah yang dilakukan Mamah. Selain mengajarkan membaca, menulis, dan mengaji, beliau juga mengajariku menjadi seorang istri yang baik sepertinya. Mulai dari memasak, menyuci, menjemur, menyetrika, merapikan tempat tidur, dan tentunya menjaga diri agar tetap terlihat cantik.

Semua yang Mamah lakukan, dari kecil pasti kutiru. Jadi sekarang kupikir aku lebih baik darinya, tentunya dari segi usia. Kan, lebih muda, lebih baik. Menurutku sih.

Aku bersemangat tentang semua itu. Mamah sangat mengayomi dan membekali anak-anaknya untuk menghadapi tantangan masa depan mereka.

Beliau membantuku untuk melihat banyak hal dalam berbagai sudut pandang yang berbeda. Menjadi terbuka untuk segala ekspresi.

Ini adalah salah satu hal yang harus dilakukan oleh pasanganku kelak. Aku sangat berharap dipertemukan dengan seseorang yang mengerti aku tanpa aku harus memberitahu padanya bagaimana aku.

🌹🌹🌹

ii

Sejak kecil aku tinggal di Ajibarang, yaitu daerah sekitar balai desa Pancurendang, Jl. Masjid, gerumbul Kalilepa. Awal Juli tahun 2010, aku akhirnya duduk di bangku SMA di Purwokerto. Cukup jauh memang, setidaknya butuh waktu satu jam untuk sampai ke sekolah dari tempat tinggalku, jika menggunakan kendaraan umum.

Bagiku, di sana adalah tempat paling menyusahkan. Selain karena jarak dan kengerian perawan menaiki angkutan umum—kadang sebelum jam enam pagi dan setelah jam enam sore—seorang diri tanpa punya perlindungan. Di sana aku juga mendapat masalah lain, bahkan dapat kukatakan terlalu banyak masalah karena ulah Raja Tidur. Aku akan membahas orang itu nanti.

Tapi, selain menyusahkan, SMAN Purwokerto juga memberikan nuansa romantis dari berbagai bunga yang menghiasi tiap taman, ada juga beberapa gazebo, dan bangunan-bangunan baru—beberapa hanya dicat ulang—tampak menawan karena terjaga.

Di sekitar lapangan rumput tumbuh pohon besar. Cabangnya banyak, daunnya rindang. Tidak sedikit burung-burung kecil singgah di sana atau bahkan membuat sarang.

Memberikan suasana menyejukan di tengah hiruk-piruk keramaian kota. Sangat menentramkan jika dinikmati di sore hari, atau saat sunrice, pas siang juga boleh.

Aku juga dengar, beberapa siswa bilang kalau salah satu dari pohon besar itu berhantu. Aku sih ga takut, kecuali itu hantu buaya.

Selain suasana dan bangunan, seragam sekolah menjadi sesuatu yang juga kusukai dari SMAN Purwokerto. Aku juga yakin, kalangan siswa sekolah lain iri dengan pakaian yang kami kenakan. Kalau ga iri, ya aku ga peduli.

Dulu aku sengaja memasang jadwalnya di depan kamar untuk membuat adik-adikku bersemangat sekolah, dan menyusulku untuk masuk ke SMAN Purwokerto, meski nyatanya mereka justru iri. He he he.

Saat mengingat mengenakan seragam-seragam itu membuatku senang sekaligus tidak menyangka. Aku juga masih belum lupa, bagaimana dulu kutulis jadwalnya di depan pintu kamar.

Jadwal Seragam Sekolah Kakak

Senin : Seragam OSIS + Jaz Abu-abu

Selasa : Seragam OSIS

Rabu : Batik Merah-Putih leres Biru, Rok Hitam

Kamis : Kemeja Putih, Rok Biru Tua + Rompi Kotak kotak Biru Muda

Jumat : Seragam Pramuka Lengkap (Hasduk + Ring Rotan)

Sabtu : Seragam Hitam-Putih + Dasi Hitam

Selain menyusahkan dan romantis, sekolah itu adalah tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan. Terutama menyangkut seseorang yang kucintai, yang pernah dan selalu mengisi hari-hariku dulu, yang malam ini ingin kutulis semua tentang dia.

🌹🌹🌹

iii

Akan kutulis semua yang terjadi, meski aku tidak mengingat detailnya, tapi yang terpenting ialah intinya. Beberapa nama tempat, nama orang sengaja kusamarkan agar tidak merembet pada kisah yang lain.

Semua akan kutulis sesuai cara dia bertindak, memandang dunia dan berbahasa. Seperti apa? Pokoknya cara dia berkata melalui tindakannya—ini baru yang namanya cowo, ga banyak omong buat umbar janji—kalau dia bicara cenderung tanpa nada, kadang kaku dan gemetaran, seringnya tanpa kata.

Tapi itu bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan, ini cuma pandanganku tentang ciri khas dirinya.

🌹🌹🌹

iv

Sebelum aku bercerita tentang kisahku bersama dia, aku juga mau memberi tahumu—pembaca kondisiku sekarang ini. Kini, aku berada di Semarang, tepatnya kamar tamu milik saudara dari ayah, sembari menikmati alunan musik klasik, aku menahan lapar dan segala kerinduan yang terus menggebu di sepertiga malam tanggal 1 Januari 2019.

🌹🌹🌹

Aku di Istanbul.

Tersentak ketika kubaca habis bagian pertama. Air mata tidak dapat lagi kutahan, mengalir begitu saja di pipiku, membuat beberapa orang berhenti dan melontarkan pertanyaan yang sama. "Ada masalah, tuan?"

Jawabanku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum dan berkata, "Tidak, terima kasih."

Cukup lama aku bergulir dalam rasa pilu dalam dada. Aku sungguh tidak menyangka jika kau benar-benar pergi ke Semarang tepat di tahun kelahiranku yang menuju kali ke-23. Tak ada alasan yang terbesit dalam benakku kenapa kau melakukan semua ini, tapi aku yakin, aku akan menemukan seluruh jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku setelah membaca kisahmu ini. Itulah kenapa kau memberiku hadiah buku diary-

mu.

Mengusap air mata. Mengatur napas. Aku kembali membaca.

Next chapter