8 8. Bergabung Kembali Dengan Miracle

Randy sengaja menemui Pak Mikail, ayahnya. Di ruangan yang hanya ada mereka berdua saja, Randy berdiri dengan sikap tenang dan pandangan lurus. Walau berusaha tidak tegang, Pak Mikail tahu sekali putranya seorang yang tak pandai bersandiwara. Dengan sangat santai, Pak Mikail memperhatikan gelagat putranya. Seperti yang dia perkirakan, pada akhirnya putranya akan kembali kepadanya.

"Kapan kamu mulai aktif lagi?" bertanya pada Randy.

"Secepatnya!" Jawab Randy yakin.

Menatap penuh tantangan.

"Aku ingin tahu, apa kau masih bisa berprestasi seperti dulu atau tidak!"

Masih dengan tatapan yakinnya. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin." Jawab Randy.

"Itu harus!" reaksinya cepat.

Meluruskan posisi duduk, menjadikannya terlihat lebih serius.

"Kamu pasti sudah mendengar isu-isu tentang Monika, bukan?" Bertanya seolah memberitahu.

Randy menarik nafas dan sedikit membusungkan dadanya sebelum berbicara.

"Aku dengar Monika melakukan pertemuan tertutup dengan Gilang." Memberitahu jika dia sudah tahu mengenai affair adik perempuannya yang sudah menjadi rahasia umum.

"Bukan hanya itu. Dia juga menerima project yang ditawarkan Gilang kepadanya. Bodohnya dia!" Serapah Pak Mikail geram.

Kesal dengan tindakan putrinya karena telah tidak memandangnya sebagai orang yang harus dia segani. Randy sangat paham permasalahan diantara mereka.

"Aku akan menangani masalah ini!"

Senang dengan kesiapan putranya.

"Pertama. Aku ingin kamu memberi sanksi pada siapa saja yang terlibat dalam masalah ini," perintah Pak Mikail. "Terutama pada Monika!" Lanjutnya.

Randy tahu masalah ini tidak sesederhana seperti yang dia perkirakan.

"Sepertinya masalah ini akan melibatkan banyak pihak.",

Berpikir tentang perkiraan terburuk yang mungkin saja terjadi bila benar Monika terbukti bersalah dan kasus yang menjeratnya melibatkan lebih dari satu devisi, tidak ada pilihan bagi Randy untuk menghadiahi mereka sanksi berat. Sedangkan sanksi untuk kesalahan yang dilakukan Monika dan rekan-rekannya adalah mengeluarkan mereka dari pekerjaan atau jabatannya. Randy tak mau sekejam itu dan bagaimanapun Miracle masih membutuhkan mereka.

"Maka dari itu, aku ingin masalah ini diselesaikan secara tuntas sampai ke akarnya!" Tegas Pak Mikail

Randy berpikir apakah dia bisa sekejam itu. Bagaimanapun sebagian dari mereka masih menggantungkan kehidupan keluarganya pada Miracle. Walau tidak menutup kemungkinan mereka bisa menemukan pekerjaan yang lebih baik dibanding dengan ketika masih menjadi bagian dari Miracle.

"Bagaimana jika ada satu atau dua tim yang terlibat dalam kasus ini?" Tanya Randy.

"Membunuh kanker hanya bisa dilakukan dengan membasmi hingga keakarnya. Membiarkankan buah busuk dalam satu tangkai hanya akan membuat lainnya tertular penyakit. Kau tahu apa yang harus kau lakukan pada mereka!" Nasehat Pak Mikail agar puteranya tidak lunak dan berani mengambil tindakan tegas.

"Bagaimana jika mereka memberontak?"

"Pertahanan terbaik adalah dengan cara membunuh lawan!" Geram dengan pertanyaan bodoh putranya. "Penyakit tetaplah penyakit. Parasit tetaplah parasit. Kamu harus tega kalau mau menang!"

Dalam hati membenarkan ucapan ayahnya, meski pada dasarnya bukan itu yang menjadi pertimbangan utama, melainkan rasa kemanusiaan karena bagaimanapun mereka masih butuh penghasilan untuk menghidupi keluarganya.

"Tapi Miracle juga masih membutuhkan mereka",

Tahu jika putranya hanya sedang mencoba memainkan egonya.

"Kau tidak boleh lemah dan harus menang!" Ucapnya mantap. "Terlalu banyak orang berbakat di kota ini. Siapa yang kuat, dia yang menang. Siapa yang loyal, dia yang bertahan!"

Sementara dilain sisi, Randy juga mempertimbangkan mengenai proses dan waktu untuk menemukan pengganti yang layak jika terpaksa dia harus melakukan apa yang diperintahkan orang tuanya.

"Tapi trouble utamanya bukan pada sumber daya manusia, melainkan pada fleksibelitas dan kredibilitas perusahaan. Pekerjaan sudah didepan mata dan saat ini kita masih membutuhkan mereka!"

Memang benar, tidak mungkin merubah susunan team secara sepihak, sementara client tidak akan mau mentolerir bila sampai wanprestasi dari hasil produksi apalagi jika terjadi pembengkakan biaya produksi.

"Itu menjadi tugasmu dan aku tak mau kamu salah dalam mengambil langkah!"

Bukan pak Mikail kalau tak mampu mengintimidasi lawan bicaranya, terutama dengan puteranya dan demi perusahaan yang telah dia bangun dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Sementara dia juga tidak ingin puteranya menjadi lemah atau cengeng hanya karena memiliki bakat belas kasihan yang pernah menjadi bagian dari dirinya.

Pak Mikail sejenak inget tentang masa lalunya yang juga sama, pernah memiliki sifat mudah iba dan kasihan sebelum beberapa kali dikecewakan oleh orang yang dia percayai hingga membentuk mentalnya menjadi keras dan tidak mudah mentolerir kesalahan orang lain.

Mempertimbangkan usulan Randy, puteranya yang memang ada benarnya.

"Aku beri kau sedikit kekuasaan. Lakukan apapun yang terbaik untuk Miracle! Sekalipun itu menentang prinsip pribadimu!

Mengangkat muka dan melihat kearahnya.

"Akan ku usahakan yang terbaik, demi kerja sama ini," ucapnya mantap, menyanggupi. "Demi kelangsungan Miracle, tentunya!" Lanjutnya.

Tersenyum senang dengan kesanggupan puteranya.

Tidak seperti Monika yang keras kepala dan sangat tidak hati-hati dalam mengambil keputusan. Andai saja Randy tidak membangkang dan tidak meninggalkannya, seharusnya dia jauh lebih dapat diandalkan dari Monika.

Menandatangani surat perjanjian untuk sekadar memintanya kembali pada Miracle. Memaksa Randy menggantikan posisinya meski sebatas hingga Monika menjadi lebih tangguh dan sadar akan kesalahannya, lalu dirinya kembali hengkang dan Pak Mikail kembali kehilangan putranya.

Seketika hati Pak Mikail menjadi sedih dan mengkhawatirkan bila saat itu tiba dan dia benar-benar kembali kehilangan Randy, sosok putranya yang selalu dapat diandalkan.

"Bagaimana jika aku menggunakan hak-ku untuk mempertahankan mereka yang masih layak dan membutuhkan Miracle?"

Diam tak menjawab. Selalu saja puteranya memiliki sisi tak tegaan yang meski baik namun bisa menjadi bumerang untuknya.

"Bagaimana? Apa ayah setuju?" Mengulang pertanyaannya, membuat Pak Mikail tersadar dari lamunan singkatnya.

"Lakukan yang terbaik menurut versimu. Aku hanya ingin hasil terbaik dan Miracle tetap berjaya!" Menyetujui.

Sama-sama puas dengan perjanjian awal, kerjasama mereka.

"Satu hal lagi yang perlu kamu tahu,"

Menunjukan sebéndel berkas berisi daftar riwayat hidup salah satu karyawannya, diatas tumpukan Maps berisi laporan kerja serta keuangan perusahaan yang kini menjadi tanggung jawabnya.

"Aku rasa ini tak kalah penting dari tugas utamamu untuk membuat Monika sadar akan kebodohannya!"

Sekilas membaca CV berisi data laki-laki yang tak lain adalah Albert pada halaman teratasnya.

"Siapa dia?" Tanya Randy.

"Itu yang ingin aku tahu darimu. Cari tahu siapa dia sebenarnya!" Jawab Pak Mikail.

Membuka lembar-lembar dalam maps berikutnya.

"Dan.., apa ini?"

Rencana kerja yang sempat Monika susun tetapi gagal eksekusi karena Pak. Mikail lebih dulu mengetahuinya

"Kau pelajari semua itu, karena aku akan segera bahas masalahan ini dalam rapat!"

"Baik", ucapnya patuh.

Setelah pembicaraan selesai, Randy kembali meninggalkan ruang Direksi.

*

Diwaktu yang sama, Juno yang berada di lobby gedung perusahaan, melihat alamat yang masih dia simpan pada inbox ponselnya.

'Miracle, lantai lima!'

Kemudian naik menggunakan lift.

Setibanya di lantai lima dia langsung menemukan tulisan besar, logo 'Miracle' pada pintu kaca.

Masuk dan langsung bertemu dengan petugas Resepsionis.

"Saya ada janji dengan Pak Mikail", ucap Juno pada resepsionis cantik yang murah senyum itu.

"Dengan bapak siapa?" terlebih dahulu bertanya dengan sangat sopan padanya.

"Juno, Juno adji", menjawab dengan menyebut nama lengkapnya.

"Tunggu sebentar ya, Pak Juno!"

Menekan formasi singkat yang terhubung langsung ke saluran ruang Direktur. Memberitahu jika ada tamu bernama Juno untuknya dan memang benar. Mengakhiri obrolan singkatnya, dan kembali pada Juno.

"Silakan, Bapak sudah ditunggu. Langsung saja keruang Direktur."

"Disebelah mana ya, mba?"

Juno yang memang sama sekali tak tahu dimana ruang Direksi berada.

"Mari saya antar!" tawarnya.

Mengetuk dan membuka pintu setelah dipersilakan. Disana tengah duduk Pak Mikail dengan mengenakan jas berwarna hitam.

"Juno..," ucapnya senang menyambut tamunya. "Akhirnya kamu datang juga!" Lanjutnya. "Silakan masuk!"

Resepsionis kembali pergi setelah tugas mengantarnya selesai.

"Hahh, untunglah kamu cepat datang. Si Tua ini butuh pertolonganmu", canda'an merendah atas keluhannya.

Pak Mikail memang merasakan hampir seluruh badannya pegal karena lelah beraktifitas.

"Lihatlah!" Menunjukkan kursi bersantai yang sama persis dengan yang ada ditempat kerjanya. "Aku beli khusus biar bisa panggil kamu kesini!" ucapnya senang.

"Wahh, kapan Bapak belinya?"

"Dua hari lalu. Monika yang membelikannya."

"Keren!" pujinya.

Bahkan jauh lebih bagus dari miliknya dan Juno dapat memperkirakan harganya yang bisa lebih dari

dua kali lipat harga kursi ditempatnya.

"Jadi gimana. Aku sudah tak sabar untuk mencobanya", ucap Pak Mikail dengan sikap kekanakan yang tak pernah dia tunjukkan pada orang lain.

"Baik. Sebentar!" terlebih dahulu memasang handuk putih pada kursi bagian kaki. Mengatur sandaran hingga posisi sudut ternyaman. Mengambil

satu kursi untuknya duduk. "Silakan, Pak!" ucapnya mempersilakan, kemudian Pak Mikail duduk santai disana.

"Hohh, nyamannya!" Hela napasnya dari mulut seolah lepas semua beban dalam hidupnya. "Cuma kamu yang bisa buat

aku merasa santai seperti ini!" ucapnya.

Seperti biasa mereka mengobrol tentang topik kehidupan masing-masing. Kali ini Pak Mikail yang lebih banyak bercerita mengenai kehidupannya.

"Dulu, Aku pernah berencana pensiun di usia 60 tahun", sambil menghela napas.

Juno yang hanya bereaksi dengan tersenyum ramah.

"Kamu tahu kenapa Aku memilih usia 60'?" bertanya untuk pernyataanya sendiri.

Juno menggeleng.

"Ayahku adalah keturunan Jawa. Kau boleh menyebutnya sebagai leluhur. Dia seorang yang begitu tinggi menjunjung nilai filsafat. Beliau pernah memberitahu makna-makna bilangan yang salah satunya adalah enam puluh."

Mulai bercerita mengenai masa lalunya.

Dalam hati Juno berpendapat, seharusnya dia tidur dan menikmati saja waktu bersantainya. Lalu Pak Mikail mulai menjelaskan panjang lebar mengenai makna kata enam puluh atau sewidak yang merupakan kependekan dari sejatine wis wayahe tindak yang bila di terjemahkan dalam bahasa indonesia adalah sebenarnya sudah waktunya pergi.

"Sekarang usiaku 59!" Berhenti berkisah dan terdiam. Seperti ada sesuatu yang memukul perasaannya sendiri. "Sepertinya aku tidak akan bisa beristirahat dengan tenang. Sekarang aku seperti orang yang ketakutan,

dan sulit sekali menemukan ketenangan",

Mengusap air mata yang keluar dari sudut-sudut matanya. Dapat diperkirakan seperti apa

kecemasannya saat ini.

Menatap Juno dengan sangat

serius seperti seorang kakek pada cucunya yang tengah mendengarkan dongeng. Tentang kebahagiaan dan ketenangan yang dia tukarkan dengan harta serta kedudukan. Kemewahan serta kemegahan yang sebenarnya hanya

simbol semata.

"Kamu tahu?" ucapnya bertanya membuat Juno yang sedang fokus mentreatment salah satu kakinya, mendongak kearahnya. "Bila Aku boleh menukar kembali semua yang kumiliki, aku akan dengan senang hati melakukannya!" Lanjut Pak mikail.

Kembali fokus pada treatment-nya, saat Pak Mikail mulai diam dan tak berbicara lagi.

"Juno, bila kamu melihat bukit, apa kamu juga ingin berdiri dipuncak tertingginya?" tanya Pak Mikail, membuat Juno yang sebelumnya fokus kembali mendongak kepadanya.

Rupanya dia masih belum tidur.

"Ya. Saya selalu berharap suatu saat bisa berdiri dipuncak tertinggi", ucapnya.

"Kamu tak takut jatuh?" Tanya Pak Mikail.

"Jatuh hanya bagian dari risiko hidup. Saya tak mau jatuh, tapi kalau sampai jatuh, saya akan berusaha bangkit dan saya tak mau terlalu memikirkan

kesakitan saya."

"Memang kamu mau jadi apa?"

Diam dan berpikir.

"Ngga tau, pak".

Membuat Pak Mikail heran dan tak mengerti dengannya.

"Kenapa bisa begitu?"

"Ngga tahu juga. Sekarang saya gampang takut. Saya takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum saya miliki."

Tak terlalu mengerti maksud perkataannya. Tetapi mendengar alasan takut kehilangan, itu seperti yang terjadi padanya saat ini. membuatnya semakin penasaran dan ingin tahu.

"Aku kurang paham maksud kamu!"

Dengan terlebih dahulu tertawa ringan.

"Kalau dijelaskan, panjang Pak. Ngga selesai hari ini."

"Ya, intinya saja!"

"Eemm, saya merasa apa yang sudah saya miliki selalu diambil paksa oleh Tuhan, melalui seribu caranya", terdengar kata-katanya cukup berat.

"Padahal untuk dapat sesuatu yang bagi orang mungkin mudah, saya harus berjuang mati-matian untuk bisa mendapatkannya."

"Contohnya?"

"Saya buat usaha tetapi selalu gagal. Masih banyak lagi, cuma saya berat mau ceritanya."

Tersenyum dan menghela napas.

"Yang namanya usaha memang begitu. Kalau kamu takut bangkrut ya ngga usah bikin usaha. Kerja saja terus, jadi buruh atau karyawan seumur hidup!"

Tak terasa treatment pada kedua kakinya sudah selesai, kini berganti pada tangannya. Juno terlebih dahulu mencuci tangan sebelum melanjutkan treatment pada Pak Mikail yang kembali berkata-kata tentang kehidupan.

"Hidup ini seperti berlayar. Ada banyak sekali ujian dan rintangan didalamnya. Kalau kamu takut ya.., mendingan ngga usah berlayar daripada kamu hilang dan tenggelam",

"Karena saya sudah hidup, berarti mau ngga mau saya harus berlayar dong, Pak?"

"Ya begitulah. Tapi kalau kita mengibaratkan hidup ini adalah pelayaran, kamu punya dua pilihan. Mau tetap berlayar, atau kembali kedaratan. Tetap berlayar dengan menanggung segala risiko yang ada untuk menemukan harta karun yang tidak semua orang dapat memiliki atau tetap berada di daratan dan nikmati saja apa yang sudah kamu punya tanpa perlu berharap lebih!" ucapnya pada Juno yang dengan hati-hati berusaha mencerna kata-katanya.

"Kalau diibaratkan seperti itu, berarti saya sudah turun kelaut untuk berlayar dong, Pak. Karena sudah telanjur berlayar, tapi saya capek, mau istirahat

sebentar boleh ngga, Pak?"

"Bisa saja. Dengan risiko, perahu kamu hilang terbawa angin dan kamu akan tersesat dari tujuan awal, kecuali kamu pasang jangkar!"

"Jangkar?"

"Iya, jangkar yang kuat biar perahu kamu ngga kebawa angin dan tenggelam oleh ombak!"

Kali ini Juno tak terlalu paham dengan semua ucapannya, terutama bagian 'tenggelam oleh ombak'.

*

Sementara Randy masih berada disekitaran kantor. Menyapa orang-orang yang diam-diam mencuri pandang. Walau pandangan mereka aneh, Randy tetap bersikap ramah pada mereka yang terkejut karena kemunculannya kembali. Tentu saja, sudah menjadi rahasia umum ketika dulu dia terpaksa angkat kaki dari Miracle karena perselisihannya dengan Pak Mikail yang juga melibatkan Mila. Saat itu Mila merupakan client yang membawa pekerjaan untuk pihak Miracle.

Mila yang datang bersama Randy, memilih untuk tak langsung pulang ke rumah, melainkan terlebih dahulu menemui Monika.

Tak banyak perbincangan untuk pertemuan kali ini. Saat mereka duduk untuk membicarakan sesuatu hal yang sebenarnya Monika sudah tak ingin mengingatnya lagi.

"Apa ini?" tanya Monika untuk sesuatu yang sebenarnya dia ketahui.

Mila memikirkan alasan yang tepat agar Monika tidak gagal paham.

"Aku harap kamu tidak tersinggung. Aku kembalikan uang yang pernah aku pinjam darimu."

Membuang pandang seolah menertawainya. Bukan hanya karena sejumlah uang yang dia kembalikan,

tetapi lebih karena sikap sombong dan keangkuhan yang bagi Monika sangat tidak pantas Mila tunjukkan kepadanya.

"Bukankah sudah kubilang, aku tidak akan menjilat ludah sendiri. Kau tak perlu mengembalikannya!"

Menatap dengan mata menyelidik. Mencurigai dari mana dia mendapat uang yang tak sedikit jumlahnya

hanya dalam hitungan beberapa hari saja.

"Jangan katakan kau menerima pemberiannya."

Menunduk dan mengangguk.

Sekali lagi menertawainya yang begitu bodoh dengan menerima bantuannya yang pasti memiliki tujuan tertentu.

Bagaimana mungkin seorang Mila percaya begitu saja dengan kebaikannya.

"Monika, aku mohon mengertilah. Sama sekali aku tak bermaksud", ...

"Aku ingatkan. Berhati-hatilah dengan keputusan kalian!"

Memotong kalimatnya. Mengingatkan untuk dia berhati-hati pada ayahnya yang sudah pasti memiliki misi tertentu atas kebaikannya.

Beranjak, mengambil

uang yang sebenarnya dirinya sudah tak menginginkannya lagi.

"Dia juga meminta Randy bergabung kembali dengan perusahaan!"

Sekali lagi Monika dibuat terkejut atas

pemberitahuannya, namun dia hanya bersikap seolah hal itu bukan sesuatu yang penting baginya.

"Apa Randy menerimanya?" Tanya Monika.

Tak ada jawaban berarti dia memang menerimanya. Tertawa, mengejek atas kekacauan yang terjadi. Sepertinya kehidupan terlalu keras hingga membuat mereka kembali muncul kepermukaan.

"Sudah kuduga!" ucap monika pelan.

Melihat Randy berada disekitar kantor. Satu sejarah baru saja terjadi. Dengan santai, Monika menghampirinya.

Mengucapkan salam dan berdiri Tepat dihadapannya. Monika memperhatikan keadaan saudara laki-lakinya yang tampak jauh lebih baik. Sama sekali tak tampak dirinya baru saja melawan penyakit yang hampir merenggut nyawanya.

"Seharusnya, aku tidak sedang mabuk!" Berkelakar untuk sesuatu hal yang menurutnya tidak masuk akal.

Randy tersenyum pada Monika yang metatap curiga dan memperhatikan semua yang ada pada dirinya.

"Aku baru saja bertemu dengan Direktur." Ucap Randy memberitahu.

"Ya, aku tahu. Aku melihatmu keluar dari sana!" Jawab Monika masih berusaha tetap bersikap tenang.

"Aku menerima tawaranya untuk bergabung kembali dengan Miracle",

"Benarkah? Aku tak tahu harus merasa senang atau tidak dengan kedatanganmu kembali."

Bereaksi untuk sesuatu hal yang sudah dapat dia perkirakan.

"Aku ucapkan selamat bergabung kembali dengan Miracle!"

"Terima kasih!"

Tersenyum simpul.

"Kapan kamu mulai aktif?"

"Mulai besok, aku sudah aktif bekerja."

"Okey. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik."

"Ya, semoga!"

Entah apa maksud dari perkataan yang seperti memiliki beberapa makna.

"Monika, terima kasih atas bantuanmu."

Untuk uang yang dia berikan beberapa waktu lalu sebagai biaya operasi atas pengobatanya.

"Ouh. Aku melakukanya bukan karena kamu, atau istrimu. Aku tak tega melihat putramu yang tak berdosa, bila harus menjadi korban karena keegoisan kalian!"

Seolah menganggap itu adalah sesuatu yang tidak penting baginya. Sebenarnya Monika hanya tidak suka mengungkit kebaikannya pada orang lain.

"Aku ada Recce hari ini, jadi harus ke lapangan!"

Terdengar janggal. Sejak kapan seorang Manager ikut Recce dan mengambil alih tugas team produksi. Tetapi tak ada gunanya untuk sekarang membahas

perihal itu.

"Sekali lagi, aku ucapkan selamat!" ucap Monika sambil mengangkat satu tangannya.

Menerima ucapan selamat dengan menyambut jabat tangan yang Monika tawarkan.

Mengalihkan perhatia, Monika menghubungi seseorang dengan ponselnya. Setelah menunggu beberapa saat Albert muncul dengan berjalan cepat kearahnya.

"Lama sekali. Kemana saja kamu?" Ucap Monika.

"Aku baru selesai meeting." Jawab Albert.

Randy yang saat itu masih berada didekatnya, ingin sekali menasihati adik perempuannya itu untuk tidak bersikap kasar pada anak buahnya, tetapi waktunya belum tepat dan itu hanya akan membuat Monika merasa

direndahkan didepan anak buahnya. Randy membalas senyum Albert yang dia tunjukkan sebagai salam sapanya.

Berpikir Monika adalah satu-satunya orang yang berada dipihaknya. Randy masih ingat bagaimana Monika begitu sangat membela dan menahannya dulu ketika akan hengkang dari Miracle. Tapi entahlah, waktu berjalan terlalu cepat dari yang dia perkirakan. Bukan suatu yang mustahil bila keadaan seseorang berubah. Seperti dirinya yang kini bersikap seperti memusuhinya.

***

avataravatar
Next chapter