7 7. Sex Toys

Getaran ponsel menyadarkan Juno dari lamunannya. Panggilan masuk dari wanita bernama 'Monika' yang sudah dia kenal sebelumnya melalui Albert. Seorang yang Juno ingat dengan sebutan Miyangga tanpa sepengetahuannya.

Tanpa pertimbangan, Juno langsung mengangkat panggilan Monika yang terlebih dulu memastikan namanya.

"Juno?" Monika.

"Ya", jawab Juno.

"Aku Monika, yang waktu itu ketemu di tempat Albert," Monika mengingatkan.

"Ya",

Tentu saja Juno tahu dan ingat dari nama di kontak ponselnya. __"Ada apa, Bu?" bertanya dengan sangat sopannya.

"Jangan panggil Ibu. Aku belum setua itu", disertai tawa ringannya. "Apa kamu sibuk hari ini?"

"Eemm, saya baru sampe ditempat mas Albert",

"O gitu. Tadinya aku mau panggil kamu ke rumah", ucapnya memberitahu tujuannya menghubungi. "Atau.., jam berapa kamu bisa ke rumah hari ini?"

"Belum tau. Tapi sekitar jam tiga saya baru selesai", ucapnya memperkirakan.

"Oke. Kamu konfirmasi nanti ya, kalau sudah selesai!"

"Baik, nanti saya konfirmasi kalau sudah selesai!"

"Oke", ucapnya setuju. "O ya, kamu bisa pijat dua orang? Aku dan ayahku!"

"Bisa!"

"Oke, ditunggu ya Juno. Nanti saya kirim alamatnya!"

"Baik, bu.., eh Mba..,"

Mengakhiri perbincangan. Sepertinya Monika tak seburuk seperti yang Albert gambarkan. Setelah memasukan kembali ponselnya kedalam saku, Juno melangkah masuk setelah seorang penjaga membukakan pintu untuknya.

Berada di halaman rumah kos elit, disana tampak Albert tengah berbincang dengan seorang wanita di ruang depan tak berjendela. Mendapati Juno telah sampai, Albert mengangkat tangan sekadar mengisyaratkan untuk dia menunggu sebentar.

Dari jarak lebih dekat, Juno seperti tak asing dengan wanita yang sedang berbincang dengan Albert. Walau tak yakin karena bisa saja sekadar mirip atau memang dia pernah bertemu dengan wanita itu, meski entah kapan dan dimana.

Sementara di dalam sana, Albert langsung membuang pandang, seolah menertawai wanita yang tak lain adalah ibunya yang tiba-tiba diam saat melihat Juno datang.

"Kenapa? Tertarik juga sama terapis itu?" ucap Albert menohok.

"Jaga bicaramu, Albert!" dengan menatap tajam putranya yang tak sepantasnya berkata seperti itu kepadanya.

Namun tampak tak menyesal Albert malah terkesan senang dengan sikap tidak terima ibunya.

"Sudahlah, tak usah munafik!"

Ny. Cindy, nama wanita itu menahan nafasnya.

"Sampai kapan kamu bersikap seperti ini, Albert?"

"Mungkin sampai mati, aku akan mengingatnya!"

Menyandarkan diri pada kursi tempatnya duduk sambil menatap wajah putranya yang kemudian memalingkan pandangannya.

Wanita itu kembali terdiam karena hampir tak ada kesempatan untuknya membela diri.

"Papah ingin kamu pulang dan membantunya mengurus perusahaan", pintanya.

"Kalian tahu, aku tidak pernah tertarik berada disana."

"Lalu kami harus berharap sama siapa? Kamu satu-satunya penerus papah!"

Seakan memaksanya untuk bertanggung jawab atas takdir yang menjadikannya terlahir menjadi satu-satunya garis keturunan mereka.

"Albert, sedikitlah kamu bersikap dewasa. Jangan egois seperti itu!"

"Cukup!" Beranjak dari duduknya. "Albert ada tamu," Albert.

"Kamu usir Mamah?" dengan nada tidak percaya.

Walau sadar dirinya bukan seorang Ibu yang baik, setidaknya dia masih memiliki perasaan dan hak sebagai seorang wanita yang dapat dengan mudah mengeluarkan air mata.

Beranjak sambil meraih tissue dari dalam tas kemudian mengusap air mata yang membasahi kelopak matanya.

"Oke kalau itu mau kamu", dengan suara serak seperti ditahan.

Albert hanya diam. Dalam hati pun sebenarnya dia tak tega, tetapi mengingat apa yang telah mereka lakukan sungguh diluar batas logika.

"Sebaiknya jangan pernah datang kesini lagi atau aku akan benar-benar menghilang dari hadapan kalian!" Ancamnya.

Sejenak menatapi wajah putranya sebelum berlalu pergi. Saat melintas didepan Juno, Ny. Cindy nampak canggung namun berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara Juno kini sangat yakin jika benar dia adalah wanita yang dikenalinya.

Tersenyum kaku, kemudian Juno berjalan masuk.

"Sorry bro jadi nunggu!" Albert.

"Ngga apa-apa", Juno. "Tadi siapa, Mas?"

"Nyokap gue", datar.

Mendengar jawaban Albert, seketika Juno merasa seperti tersedak biji salak meski dirinya tidak sedang menelan apapun. Benarkah yang baru saja dia dengar. Jika wanita itu adalah orang tuanya. Sempitnya dunia ini.

"Kenapa, lo kenal nyokap gue?"

Seolah tak ada sesuatu yang penting Juno bersikap biasa saja saat Albert mencoba menggali informasi tentang sesuatu yang mungkin Juno mengetahuinya.

"Enggak mas. Cuma familyar aja. Mungkin dulu pernah datang ke tempat kerja saya", menjelaskan.

Segera menetralisir keadaan menjadi kembali biasa saja.

"Nyokap gue emang suka pijat", tanggapnya santai. "Bisa kita mulai sekarang?" Lanjutnya.

"Boleh," jawab Juno.

Kemudian Albert setengah berbaring ditempat tidur sambil membuka-buka layar iPad lalu beralih pada ponselnya. Setelah menyiapkan semuanya, Juno memulai treatment pada kedua kaki Albert terlebih dahulu. Sepertinya dia sedang sangat kelelahan.

"Lelah karena terlalu lama menanggung beban hidup yang berat ini," pikir Juno dalam hati, membuatnya hampir tertawa.

"Tadi mba Monika telpon, minta saya datang ke rumahnya", ucap Juno memberitahu.

"O ya. Kapan?"

"Selesai dari sini."

"O gitu. Salam aja nanti buat dia!"

"Siap Mas!"

Dua jam berlalu, Juno selesai dengan pekerjaannya.

"Gue transfer nanti ya, bro!"

"Oke",

Juno berbenah kemudian langsung cabut.

*

Setelah menukar peralatan dan perlengkapan dengan yang baru, Juno langsung meluncur ke alamat yang Monika kirimkan. Terlebih dulu mengkonfirmasi jika dirinya sedang dalam perjalanan menuju rumahnya.

Sampai dalam dua puluh menit kemudian.

"Halo Juno. Silakan masuk!" ucapnya

mempersilakan dengan sangat ramah.

Juno melepas sepatu dan menunggu diruang depan, sementara Monika masuk kedalam dan tak lama kemudian kembali dengan membawakan air minum untuknya.

"Langsung dari tempat Albert?"

"Eemm.., enggak. Tadi pulang dulu baru kesini."

"Ou, oke. Apa kabarnya dia?"

"Baik. Tadi mas Albert nitip salam."

"Mana salamnya?" bertanya seolah itu adalah sebuah benda. "Cuma omong doang kan?" sambil membawakan piring berisi potongan kue untuknya.

"Ya, iya sih. Masa salam ada bentuknya",

Monika tertawa dengan candaan garingnya sendiri. Berpikir tak perlu membuang waktu, jika treatment bisa langsung dikerjakan.

"Sekarang, atau mau istirahat dulu?"

"Sekarang boleh!"

"Oke!"

Meminta seorang pekerja dirumahnya untuk mengambilkan matras. Membentangkan di depan televisi berlayar lebar, Monika duduk dengan bersandar pada bagian sofa.

"Begini?"

Memastikan jika dirinya tak salah posisi.

"Ya",

Mengeluarkan peralatannya, kemudian Juno memulai treatment.

"Sering dipanggil Albert?" Tanya Monika sambil tangannya memencet-mencet tombol remot, mencari acara televisi kesukaannya.

"Hampir seminggu sekali."

"Sudah berapa lama kenal Albert?"

"Lumayan lama. Lebih dari dua tahun."

Monika menanggapi dengan santai.

"Apa dia suka kasih tips? Aku yakin dia pasti kasih uang pas. Dasar cowok pelit!" simpulnya.

Tak terlalu menanggapi, Juno hanya tersenyum sambil tetap fokus pada pekerjaannya.

"Albert suka bawa pacar atau teman ceweknya ke sana?" Pertanyaan yang terlontar penuh dengan rasa ingin tahu, tetapi disampaikan seolah seperti biasa saja.

"Eemm, belum pernah. Kayaknya mas Albert ngga punya pacar", ...

Tersenyum Monika mendengar jawaban Juno.

"Pasti!" Simpulnya senang. "Mana ada cewek mau sama cowok angkuh kayak dia". Sambungnya.

Juno hanya kembali tersenyum menanggapi pernyataannya.

Hampir satu setengah jam berlalu dia melakukan treatment, sebatas kaki dan tangan saja karena Monika sudah ada janji diluar.

Juno mengakhiri pekerjaannya.

"Tunggu ya, aku kasih tahu ayahku dulu." Monika beranjak kemudian masuk kedalam.

Sementara Juno duduk disofa, sekadar menghabiskan minumannya.

Tak lama Monika kembali dan memintanya untuk ikut ke kamar Pak Mikail, ayahnya. Mengetuk pintu yang sudah setengahnya terbuka, tampak didalam seorang lelaki tua tengah duduk bersandar diatas tempat tidur. Dengan suara pelan dan nada beratnya dia mempersilakan masuk.

Dengan diantar Monika, Juno masuk kedalam.

"Ini Juno, terapis yang tadi Monika ceritakan."

"Hemm..,", sergahnya.

Menatap dengan mata dingin dan wajah kaku, Pak Mikail menutup buku kemudian melepas kacamatanya.

"Pantas saja, bapaknya aja sedingin itu." Dalam hati Juno membenarkan pernyataan Albert mengenai Monika yang lebih mirip sebagai macan betina.

__"Jadi gimana?" Tiba-tiba bertanya, membuat Juno tersadar dari lamunannya.

Mengenai tata cara melakukan treatment dirumah karena biasanya Pak Mikail hanya mendatangi tempat massage atau reflexy jika ada waktu luang.

"Begini?" Pak Mikail bertanya pada Juno yang terkejut karena perkataan kerasnya.

"Oh, iya", ...

Menjelaskan posisi ternyaman dengan setengah berbaring.

"Pertama kaki dulu. Tangan, badan. Terakhir pundak sama kepala", ucap Juno menjelaskan.

"Oke!"

Mengeluarkan peralatan seperti biasanya.

"Apa itu?" bertanya tentang benda yang seharusnya dia tahu jika itu adalah Baby powder.

"Bedak!"

"Pakai bedak?"

"Ya",

Tampak heran karena baru kali ini pijat dengan menggunakan bedak bukan dengan minyak atau cream, berbeda dengan treatment yang pernah dia lakukan sebelumnya.

Tak ada salahnya dicoba toh Pak Mikail selalu tertarik dengan sesuatu yang baru dan menantang.

"Kenal Putriku darimana?"

"Dari mas Albert. Teman kerjanya."

"Albert itu.., teman atau client?"

"Client, sekaligus teman,"

"I see,!"

Mulai tertarik dengan keterbukaan serta kesederhanaannya. Sepertinya anak muda polos lugu itu juga memiliki nilai juang yang tinggi serta self selling yang patut diperhitungkan.

"Kamu asli mana? Sebelumnya kerja dimana?" dua pertanyaan

terlontar sekaligus.

"Asli jawa. Dulu saya kerja untuk perusahaan, sekarang freelance."

"Kenapa ngga buka sendiri saja?"

"Sudah, tapi gagal."

"Gagal?"

"Ya. Tidak berjalan sesuai rencana,"

"Kenapa tak coba lagi?" Pak Mikail bertanya.

Juno diam, seperti enggan menjawab.

"Pelajaran terbaik adalah dengan melakukannya!" Lanjut Pak Mikail antara menasehati dan memotivasi. "Melihat keberanian kamu dalam mengambil langkah krusial, seharusnya kamu tidak mudah menyerah begitu saja!"

"Saya tidak menyerah,"

"Lalu?"

Pembelaan Juno tertahan dan Pak Mikail memperhatikan bagaimana reaksi Juno yang hanya tersenyum kering. Sementara Juno merasa ada yang kurang benar karena dia datang untuk kerja, bukan untuk di interview.

"Mungkin belum waktunya saja", ragu, seolah menghibur diri sendiri.

Pak Mikail tersenyum sambil mengamati. Bocah lugu ambisius yang sedang bermain-main dengan telapak kakinya, kini begitu dekat dan begitu mirip dengannya, ketika dulu.

"Fokus pada impianmu dan selalu waspada karena hukum alam masih berlaku. Yang kuat akan memangsa yang lemah!"

Sekadar memperingati untuk sesuatu yang belum pasti terjadi. Juno menelaah. Benar memang. Seharusnya dia bisa lebih sabar dan lebih fokus jika ingin menang. Bahkan kuat secara finansial saja belumlah cukup.

Mendongak keatas, untuk melihat raut wajahnya. Benar saja, lelaki paruh baya itu sedang menatapnya. kemudian Juno kembali fokus pada pekerjaannya, mencoba mengalihkan permainan otaknya sendiri.

"Apa bapak juga menganggap saya ceroboh dan keras kepala, sama seperti bapak?"

Tiba-tiba Juno bertanya tentang sesuatu yang tak jelas dan tak seharusnya. Entah mengapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya tanpa terpikirkan terlebih dulu.

"Beraninya kamu bertanya seperti itu!"

"Maaf, saya hanya reflek saja,"

"Bagaimana kamu berpikir jika aku keras kepala?" Sejenak sama-sama diam. "Apa kamu juga berpikir kalau aku sering melakukan tindakan konyol tanpa berpikir terlebih dahulu?"

Juno semakin tak mengerti dengan naluri dan perkiraannya yang seperti tersambung begitu saja dengan orang yang baru sekali ini dia temui, bahkan sama sekali tidak pernah dia kenal sebelumnya.

Berpikir tentang sesuatu yang aneh bila saja dia adalah titisannya yang bereinkarnasi lebih cepat dari seharusnya. Tentu saja itu khayalan yang terlalu tidak mungkin.

"Apa bapak juga berpikir saya orang yang akan melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang saya inginkan tanpa melihat baik-buruknya?"

Pertanyaan tidak nyambung kembali terlontar begitu saja dari mulut Juno dengan sangat mudahnya.

Pak Mikail sedikit menegakan badannya.

"Siapa kamu sebenarnya?"

Berusaha menutupi rasa gugup yang tiba-tiba muncul dengan bersikap seolah biasa saja.

"Tentu saja saya terapis yang dipanggil untuk mentreatment bapak!"

Seolah tak ada sesuatu yang aneh.

"Ya, kau benar," kilahnya.

Merasa tenang karena ternyata orang tua itu tidak semenakutan seperti perkiraannya. __"Aku yakin pertemuan kita ini adalah takdir!" Sambung Pak Mikail penuh misteri.

Juno berusaha tak terlihat sedang memikirkan perkataannya. Waktu berlalu, treatment pun selesai. Akhirnya Juno bebas dari beban mental yang tak terlihat.

Langsung berkemas dan pulang, meninggalkan Pak Mikail, orang tua yang seperti akan menjerat dan memenjarakannya di tempat yang akan sulit untuk dia dapat bebas lagi.

Untuk sekali ini, Juno benar-benar dibuat letih oleh permainan prasangka dan pembelaannya sendiri. Untuk sesuatu yang tak pasti dan tak seharusnya.

*

Sementara Albert yang akhirnya menerima tawaran Reza, dan langsung cabut tak lama setelah selesai treatment.

Kenapa bukan Tentara Militer atau Polisi. Kenapa bukan Pilot atau Damkar. Bahkan pakaian kerjanya masih lebih keren bila dibandingkan dengan Uniform yang ia kenakan saat ini.

Merasa aneh dengan seragam pengantar barang yang dia kenakan serta kotak berbungkus warna purple yang entah apa isinya. Reza yang mempersiapkan semuanya.

Apa benar sebagian wanita menyukai pria berseragam yang murah senyum sepertinya atau hanya kebetulan saja. Bukankah dokter juga murah senyum dan selalu rapi. Bahkan menurutnya, Dokter jauh lebih menarik dari pengantar barang seperti dirinya saat ini.

'Entahlah!'

Berangkat dengan menggunakan sepeda motor yang sengaja Reza pinjamkan padanya. Berlokasi diperbatasan kota yang tampaknya akan masuk kawasan wisata puncak.

Tepat di depan rumah berpagar tinggi, seorang security membukakan gerbang untuknya. Mempersilakan masuk bersama motor yang dia kendarai setelah

mengatakan jika dirinya akan mengantar barang pesanan pemilik rumah.

Halaman yang cukup luas, melewati jalanan setapak hingga teras rumahnya yang teduh. Lima mobil mewah yang semuanya ada dalam daftar keinginan untuk Albert dapat memilikinya.

Memarkir motor lalu membuka chat dari Reza yang masuk beberapa menit lalu. Pesan berisi permintaan untuk kali ini dirinya lebih menggunakan seni bercinta yang tak standar. Serta pesan yang kembali megingatkan untuk dirinya tetap safety, dalam kondisi apapun. Sedikit turun kebawah, sebuah chat yang lebih panjanggg ...

'Apa ini naskah pidato?'

Tentu saja bukan, melainkan skenario yang harus dia jalankan. Berperan seolah dirinya benar-benar seorang pengantar barang yang sesungguhnya.

Merasa dirinya menjadi lebih profesional dari sebelumnya. Bila disimpulkan, kini dirinya bukan lagi sekadar main-main, tetapi benar-benar seorang gigolo profesional.

Menakar jumlah uang yang akan dia dapatkan kali ini. Bila mendapat penawaran untuk dapat memiliki salah satu mobil yang terparkir dihalaman, dirinya akan bersedia melakukan apa saja. Termasuk jika datang dalam satu minggu sekali.

'Ralat! tiga kali dalam seminggu, boleh!'

Dengan syarat, wanita itu harus cantik. Berumur tak boleh lebih dari 35 tahun. Memiliki bentuk tubuh seperti penyanyi sekaligus VJ (Video Jockey) salah satu acara musik live yang piawai bermain gitar.

Wangi dan sedikit humoris. Sudah itu saja! Diakhiri dengan tawa senang atas khayalannya sendiri.

Albert mengetuk pintu lalu menunggu seseorang membukakan pintu. Berdo'a pada Tuhan agar yang membuka pintu bukan nenek tua renta. Jangan pula wanita gemuk dengan fantasi liar yang akan memperkosanya.

"Semoga yang muncul Wanita cantik bertubuh sintal, berpakaian sexy. Amien!" do'a-nya dalam hati untuk satu pekerjaan yang tidak halal.

Lalu Tuhan mengabulkan Do'a nya hanya dalam beberapa detik kemudian. Wanita cantik dengan mengenakan piyama sutera berdiri tepat didepannya.

Menatap tajam dengan satu tangannya bertengger pada tepian pintu.

"Ibu Anyelir?" bertanya memastikan.

"Tak usah pakai ibu. Panggil saja, A-nye-lir!" memberitahu dengan mengeja namanya secara perkata.

Tertawa dengan menunjukkan sikap

ramahnya. "Oke. A-nye-lir!" Albert mengikuti.

Tersenyum dengan menunjukkan muka gembira. Membuatnya merasa sangat senang saat mendengar pria berseragam rapi dan ramah itu menyebut namanya.

Menunjukkan gerakan yang seperti

meliuk.

"Saya Albert, pengantar ...?" lupa tak melihat terlebih dahulu jenis barang yang harus diantarnya.

Memutar kotak berwarna purple untuk menemukan cantuman Merek pada secarik kertas bertuliskan,

"Sex Toys?" ucap Albert ragu saat membacanya.

"Ou..", reaksi Anyelir setengah menggoda.

Dengan menunjukkan wajah senang Albert merasakan jantungnya berdetak kencang seketika itu. Berharap A-nye-lir segera memintanya masuk kedalam.

Sekali lagi Tuhan kembali mengabulkan do'a nya hanya dalam beberapa detik kemudian.

"Coming, please..",

Goyangan pinggul bak burung Unta yang sedang berjalan. Seperti tahu sekali cara menunjukkan jika dirinya, 'bisa!'.

Menuju salah satu ruang pribadinya, suara ketukan terdengar dari High heels yang dia kenakan saat itu.

Membayangkan dirinya tengah

menjadi aktor dalam sebuah film biru.

Masuk kedalam kamar dan duduk diatas tempat tidur.

"Silakan", kemudian Albert duduk dengan meletakkan kotak didepannya.

Kini mereka duduk saling berhadapan dengan berselang kotak berwarna purple yang dibawanya.

Menunggu tanpa tahu apa yang harus pertama dia lakukan.

"Bisa bantu aku membukanya?" Pinta Anyelir.

"Sure", jawab Albert.

Membuka dan melihat semua benda didalamnya. Membayangkan fungsi serta cara menggunakan sex toys yang sulit dia jabarkan dengan kata-kata.

Albert menatap Anyelir antara senang dan tak sabar dengan kejutan yang akan dia terima. Mengambil salah satunya dan mengangkat lalu memperlihatkan

pada Anyelir.

"Borgol!" ucap Albert menyebut nama benda ditangannya. "Untuk mengikat penjahat supaya tak kabur!" jelasnya, membuat Anyelir tersenyum

senang.

Menarik muka dan menahan napas sesaat. Deskripsi yang sangat benar dan akurat. Tetapi bukan penjelasan seperti itu yang dia inginkan. Menjadikannya seperti bocah dalam kelas privat sementara Albert berusaha menutupi kekonyolannya dengan tertawa, seolah menertawai dirinya sendiri.

Masih sama-sama duduk diantara kotak berisi sex toys yang dibawanya. Anyelir menunjuk dengan melirik isi kotak, mengisyaratkan untuk Albert kembali mengambil satu benda lagi untuk dijelaskan fungsinya.

"Topeng pesta!" ucap Albert. "Tapi tak ada lubang dibagian matanya", tertawa kering karena sudah pasti itu bukan dikhususkan untuk datang kepesta, juga bukan untuk pertunjukkan drama Zoro atau sejenisnya. Walau benar alat itu menyerupai topeng.

"Untuk menutupi mata agar tak melihat!" jelasnya membuat Anyelir kembali tertawa mendengarnya. Penjelasan yang sekali lagi sangat benar dan akurat. Semua anak kecil juga akan mengatakan jika itu adalah topeng.

Sekali lagi mengambil sebuah benda

yang kali ini dia tak terlalu mengerti fungsi selain fungsi dasarnya.

"Tali.. tambang, mungkin?" ucapnya ragu. "Ini juga bisa untuk mengikat penjahat. Bisa juga buat tali jemuran. Kalau lebih panjang", jelasnya.

Sedikit ragu akan kemampuannya, seperti inikah pria khusus yang Reza rekomendasikan untuk bersenang-senang dengannya. Berpikir positif mungkin saja dia sengaja bertingkah bodoh untuk membuatnya tertawa.

Merasa semakin geregetan, Anyelir mengambilkan sebuah benda yang tak mungkinkan untuk Albert bermain-main lagi dengannya.

"Kalau ini?" bertanya sambil mengelus benda yang lebih menyerupai rudal.

Albert mengambil dari tangan Anyelir. Berpikir dirinya harus menjelaskan fungsi kelebihannya.

__ "Eemm, ini", ...

Tidak sengaja Albert menekan tombol On yang seketika benda itu bergetar kencang, membuatnya terkejut. Buru-buru mengembalikan tombol ke posisi Off, dan kali ini Albert benar-benar tertawa karena keisengannya.

Walau sudah sering dia melihat dari video dan tahu nama serta fungsinya, tapi baru sekali ini dia memegang secara langsung alat itu.

"Alat getar. Supaya bisa gemetaran!" jelasnya semakin terdengar seperti ucapan seorang bocah kecil.

Setidaknya itu terdengar lebih baik, dan sedikit kena. Anyelir kembali mengambil sebuah benda berbentuk cambuk pemukul dan memukulkan kepadanya dengan tak terlalu keras.

"Apa ini sudah benar?" Bertanya tentang fungsi alat yang langsung dia praktikkan pada Albert kemudian Anyelir menggeser kotak berisi sex toys yang dibawanya.

Merangkak dan meraih kerah baju Albert lalu menarik dan mendorongnya sehingga terhempas kebelakang. Seperti yang Reza perintahkan, Albert pun

melakukan semua yang tertera dalam naskah yang dia kirimkan, lalu bla, bla, bla...

Dalam posisi mata tertutup oleh alat yang dia sebut sebagai topeng pesta. Tangan terikat dengan tali yang dia sebut sebagai tali jemuran, sementara Anyelir berada diatas tubuhnya. Menikmati sensasi bermain kuda-kudaan dengan Albert yang sepertinya sangat tidak keberatan dengan itu.

Anyelir melepas tali pengikat tanpa menghentikan alur permainan. Mengubah posisi menjadikan Albert lebih leluasa pada pihak yang dominan.

"I like missionary and I'll do the best!" Pikir Albert dalam hati.

Sangat menyenangkan, membuat Anyelir semakin hanyut dalam kenikmatan.

Atau membiarkan dia menikmati gaya 'Serigala menatap bulan,' yang kata Reza bisa bikin cewek merem-melek sampe kentut. Bilang 'Aauuu..,' sambil bunyi 'Preett..,'

Albert tertawa kecil.

"Something happens?" Tanya Anyelir.

"Nothing," Jawab Albert.

Albert yang merasa seperti melayang-layang hingga merasakan sesuatu yang lain. Asmara berkasih dengan wanita cantik yang menggairahkan. Senyum menggoda serta bentuk tubuh, bermanis kata-kata manja merayu.

Katakanlah Insan menginginkan cumbu dan pemabuk akan membiarkan tubuhnya menjadi budak seutuhnya.

Seekor kumbang yang rela dipermainkan sesuka hati.

Asa hati mengisap sari-sari madu yang sekuntum bunga miliki.

Tiba-tiba Albert terusik oleh suara dan merasakan keterlibatan orang lain dalam permainannya. Membuka topeng penutup dan melihat seorang lelaki tak dikenal dengan bertelanjang dada telah berada didalam ruang kamar.

"Ou, fakk!" ucapnya dengan segera menutup badannya. Tak tahu sejak kapan lelaki asing itu berada diantara dirinya dan Anyelir.

Melihatnya menampar Anyelir

hingga kesakitan.

"Mati gue!" ucap dalam hati ketakutan.

Menutupi diri dengan pakaian lalu Albert menghindar kesisi tembok. Albert merasa nyawanya tengah diujung tanduk.

Melihatnya menarik rambut Anyelir dengan kejamnya. Tetapi yang terjadi

adalah lelaki itu malah menciuminya.

Tampak mereka menjadi

bernafsu dan tampak sangat liar.

Terkejut Albert saat client-nya memanggil dengan lambaian tangan, isyarat untuk dia bergabung dengannya.

Syok, dari rasa ketakutan berubah menjadi rasa ketidakpercayaan atas permainan terencana yang baru dirinya menyadari.

"Fakk! Apa-apaan ini!"

Menarik diri dan merapat pada sisi tembok. Terkejut Anyelir yang tak menyangka jika Albert akan bereaksi seketerkejut itu.

Seharusnya dia tahu aturan main

yang sebenarnya dan tidak bersikap brutal.

Menjelaskan jika pria asing itu sama seperti dirinya. Memberitahu permainan akan semakin menyenangkan, jika dia tetap pada peranannya.

"Anjing, bangsat!"

Tentu saja itu semakin membuatnya lepas kendali. Kecewa karena permainan tak berjalan sesuai skenario sebelumnya.

Buru-buru mengenakan kembali

celana kemudian keluar meninggalkan mereka berdua dengan sangat marah.

Terasa kakinya menjadi sangat lemas, tetapi dalam jiwanya berkecamuk hebat. Berkali-kali peristiwa tak

mengenakkan yang baru saja terjadi terlintas dalam benaknya. Membuatnya teringat pada peristiwa lalu

yang tak lebih menyakitkan.

Bagaimana mungkin

kini dirinya terjebak dalam situasi yang sama. Betapa bodoh dan menyesalnya dia karena sama sekali tak

menyadari hal itu sebelumnya.

*

Melaju kencang, melewati jalanan panjang menuju arah kota.

Terus saja terlintas secara berulang-ulang dalam otaknya peristiwa mengejutkan itu. Hingga sebuah melintas dengan sangat cepat dan cukup tipis saat melewatinya. Merasa terusik sekaligus untuk meluapkan kekesalannya, Albert tancap gas untuk mengejarnya. Mengekor, mencari kesempatan sambil menunggu kondisi jalanan hingga memungkinkan. Saat jalanan di depan tampak kosong, Albert segera menarik gas hingga mencapai kecepatan rata-rata diatas 120km/hours. Melesat cepat, melewati motor yang sempat menyalipnya hingga tertinggal beberapa meter darinya sambil mengacungkan jari tengah tanpa peduli pengendara itu akan tersinggung atau tidak.

Hingga memasuki jalanan Ibu kota, Albert memelan lalu belok dan masuk kedalam area parkir di basement gedung perbelanjaan.

Naik menggunakan lift tanpa peduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh karena tampak kacau dengan napas masih sesenggahan.

"Dimana Reza?" tanya Albert pada kasir begitu dia masuk.

Mencari kesekeliling ruangan dan bertanya pada siapa saja yang melihatnya.

"Reza ada di steam room", ucap salah satu personal trainer memberitahunya.

Langsung saja Albert menuju ruang yang dia tahu dimana letaknya. Menemukan Reza yang tengah bersantai di steam room bersama beberapa member lainnya. Semua orang dikejutkan oleh Albert yang tiba-tiba masuk dengan mengenakan pakaian bebas, bukan pakaian olahraga.

"Oi Bro!" sapa Reza sambil mengangkat satu tangan untuknya.

Beranjak dan berjalan dengan kesan senangnya, Reza memperhatikan Albert yang tampak kusam dan seperti ngos-ngosan.

"Kenapa Lo?"

Tak menjawab atau sekadar berkata-kata, Albert langsung menjatuhkan tinju kebagian antara pipi dan hidung Reza hingga membuatnya jatuh tersungkur.

Seketika semua orang dibuat terkejut oleh tindakannya yang seperti orang primitif. Belum sempat Reza bangun, terlebih dulu Albert mengunci

badannya dan kembali memukulinya dengan tanpa ampun.

Saat itu semua orang yang berada di steam room berusaha melerai. Hingga beberapa saat kemudian datang petugas yang membawa mereka

keluar dari sana.

*

Duduk bersebelahan di rooftop gedung di sore hari yang hangat. Sebatang kretek ditangan Albert sudah

tinggal setengahnya. Sementara Reza masih menempel-nempelkan bungkusan es batu pada luka diwajahnya yang memar dan terasa sangat sakit.

Maksud hati memberi kejutan kecil untuk profesi barunya. Tak disangka menjadikannya sebuah musibah yang cukup memalukan.

"Baru saja gue berpikir Tuhan selalu mengabulkan keinginan gue dalam satu detik. Benar saja, Tuhan juga baru saja menunjukan kalau gue ternyata ngga ada bedanya dengan mereka," ucap Albert mengumpamakan kondisi dirinya dengan kedua orang tuanya.

"Sory Bro. gue bener-bener ngga tahu soal orang tua lo!" meminta maaf dan menjelaskan jika dirinya benar-benar tak tahu tentang latar belakang, kisah

lalunya.

"It's oke", jawabnya sigkat.

Menatap kesal kemudian mereka sama-sama tertawa.

"Kenapa lo ngga masuk kelas muay Thai saja?"

Tak disangka tenaganya begitu kuat. Tak sadarkah kalau dirinya baru saja merusak aset penting yang dia miliki.

Kembali mengisap dan mengembuskan asap kreteknya ke udara bebas. Angin bertiup tak terlalu kencang.

"Gue yang seharusnya minta maaf", ucap Albert berbesar hati. "Tolong jangan beritahu hal ini pada siapapun!"

Tersenyum dan sama sekali Reza tak keberatan dengan permintaannya.

"Tentu saja!" jawab Reza yakin.

Melihat seragam pengantar barang yang dipakai Albert tampak lusuh.

"Itu uniform gue boleh pinjam. Tolong balikin kalau sudah di loundry!"

Menertawainya yang masih saja sempat memikirkan hal yang tek terlalu penting. Bahkan begitu cepat dia lupa dengan kesalahannya.

"So, kalau ada client lagi, masih mau?"

"No!" jawabnya singkat dan tegas.

***

avataravatar
Next chapter