6 6. Sang Perantau

Ketika Juno merindukan dirinya dulu yang selalu berkata jujur dan tak pernah berpikir buruk pada orang lain. Dirinya adalah bocah cerdas yang terkadang menjadi sangat bodoh karena hujatan teman-temannya. Bocah yang tak pernah mengeluh atau memikirkan tentang kesederhanaan yang diberikan orang tuanya.

Dimana bocah kurus yang sukanya bermain di kali atau di rawa-rawa itu? Entah kemana bocah kurus dekil itu menghilang dan mungkin tak akan pernah kembali.

Bocah itu telah menjelma menjadi dirinya yang kini selalu berjalan dengan kaki terbungkus dan isi tas selalu penuh. Berada diantara keramaian dan kesibukan orang-orang ketika menyusuri jalanan kota.

Dibawah bola-bola lampu yang berjajar rapi, saling sambung menyambung. Sungguh Juno merindukan kedamaian yang sudah lama sekali tidak pernah dirasakan lagi. Merindukan kokok ayam jantan bersahutan di waktu malam menjelang pagi. Juno merindukan kicau burung Sikatan ketika pagi sebelum mentari muncul. Embun putih mengepul, bahkan pekatnya mampu membatasi jarak mata memandang.

Kembali berada di salah satu apartement mewah, tetapi dikawasan yang berbeda dari sebelumnya. Juno mencuci tangan, sambil matanya melihat bayangannya sendiri dari cermin. Terlihat pula boss Bram yang tanpa mengenakan pakaian tengah mengambil uang dari dalam dompetnya.

"Jadi berapa?" bertanya dengan posisi

membelakangi.

"250 ribu", untuk jumlah yang seharusnya masih dia

ingat.

Keluar dari kamar mandi lalu menerima dengan kesan tidak enaknya, walau sesuai tarif yang dia tentukan.

Memasukkan semua peralatan kedalam tas.

"Saya langsung pamit, Pak!" ucap Juno dengan sopan.

"Hemm", menjawab dengan hanya berdéhém. 

Kemudian Juno berjalan keluar. Jelas client yang untuk kedua kali memanggilnya, kembali kecewa karena tak mendapatkan apa yang dia inginkan.

Seharusnya dia tidak berpikir negatif pada pekerjaannya. Meski dirinya hanya seorang terapis panggilan, bukan berarti   dia bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya. Meski dengan tawaran uang lebih sekalipun, sama sekali Juno tak tertarik melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan.

Mungkinkah Reza sengaja

melakukannya. Memikirkan hal itu, Juno memutuskan untuk langsung menemui Reza.

Sampai dalam empat puluh lima

menit, Juno langsung menemui petugas lobby.

"Aku sudah ada janji dengan Reza!" Juno.

"Tunggu sebentar". __ "Pak Ali!" resepsionis memanggil security yang juga sangat mengenalinya.

Security mengantar Juno menuju lift lalu menempelkan kartu akses dan mempersilahkan Juno meluncur keatas, menuju ruang apartement Reza.

Masuk dan menemukannya tengah bersantai di ruangan depan yang terhubung langsung dengan dapur, terlebih dulu Juno mengambil air dingin dalam kulkas.

Memperhatikan Reza yang tengah asik dengan game manga Jepang-nya.

"Gue tahu Boss Bram orang seperti apa!"

Reza tertawa dan hanya menoleh pada Juno.

"Maksud lo?"

Berjalan mendekat dengan gelas berisi air dingin masih ditangannya.

"Dua kali dia manggil gue, dua kali pula dia rayu gue!" jelasnya tanpa merasa canggung.

"Terus lo mau?" dengan santai, tanpa melihat atau sekadar mem-pause permainannya.

"Lo pikir gue homo. Enggaklah. Najis!"

"So, ngga ada masalahkan?"

Memang benar tak ada masalah. Reza masih fokus dengan permainannya.

"Lo sengaja kasih kontak gue ke orang seperti itu?"

Berpikir jika Reza sengaja melakukan demi sekadar mendapat uang darinya.

"Gue emang sengaja kasih kontak lo, tapi lo jangan negatif thinking dengan ngira gue nge-jual lo!"

Mungkin saja itu benar atau mungkin dia tidak mau mengakuinya. Sepertinya Reza mengatakan sesuai kondisi yang ada. Sedikit dapat memaklumi jika

benar itu murni karena Reza berniat baik dengan memberi Juno pekerjaan dikondisinya yang sedang mengalami keterpurukan.

"Gue normal bro!" Juno menegaskan.

"Ya. Gue tau!" Reza menjawab dengan tegas pula.

"Kenapa lo kasih kontak gue ke dia? Seharusnya lo pilih-pilihlah kalau mau kasih kontak gue ke orang!"

Menertawai kemarahan Juni yang Reza anggap tak berkaitan dengan niat baiknya. Bahkan dia tak merasa berbuat salah dengan memberikan nomor handphonenya pada Boss Bram.

Apapun yang dilakukan Juno dengan pekerjaannya, sama sekali bukan menjadi urusannya. Masih berdiri didepan Juno dengan muka kesal, sementara Reza mulai tak nyaman dengan tingkah Juno yang dia anggap sudah terlalu berlebihan.

"Gue tahu lo bukan gay. Apa lo bisex?"

Seakan tak peduli dengan tuduhannya yang dirasa kekanakan. Tak merasa dirinya perlu menjawabnya atau tidak karena sama sekali itu tak penting.

"So, lo terganggu dengan seksualitas gue?"

Menjawab dengan terbata.

"T..tentu saja.., tidak, kalau lo juga hargai gue". Seolah Juno menyangkal pendapatnya sendiri. "Gimana kalau boss Bram berbuat nekad dan mencelakai atau memperkosa gue?"

Tertawa keras untuk ketakutannya yang dirasa terlalu berlebihan.

"Lo pikir lo keren banget sampe orang senekad itu cuma buat bisa ML sama lo?" bantahnya sambil menertawainya. "lagian, kalau Boss Bram bukan orang bener, gue ngga akan rekomendasikan Elo ke Dia!" bantahnya tegas.

Menatap curiga jika boss Bram adalah salah satu client dalam tanda kutipnya.

"Tadinya gue pikir dia cuma relasi lo!"

Hanya tersenyum menanggapi pernyataan yang seperti tuduhan buruk kepadanya. Tampak sama sekali Reza tak merasa tersinggung dengan ucapannya.

"Terus kenapa? Masalah?"

Masih dengan sikap santainya. "Dengar Bro! Gue kerja dan melayani mereka secara profesional, sebatas demi uang. NO MORE!"

Walau yang dikatakannya benar, sama sekali yang dia lakukan tidaklah benar. Meminum sisa air dalam gelas hingga habis.

"Gue tahu tujuan lo baik", berucap dengan terlebih dahulu memuji kelebihannya. "Tapi cara lo salah. Apa ibu lo senang kalau tahu dengan cara seperti lo dapat uang?"

Reza beranjak dari duduknya. Menatap tajam ke muka Juno yang menilai dirinya paling benar.

"Apa lo sedang berdakwah? Atau lo sedang menguji kesabaran gue, dengan bawa-bawa nama ibu gue dalam masalah ini?" menatap tegas pada Juno yang berdiri tak jauh darinya.

"Terserah gimana lo mengartikannya. Yang pasti, gue ngomong begini karena lo teman gue!"

"Oke, fine! Kalau lo memandang gue salah, sekarang tunjukkan cara yang benar agar gue bisa beli lagi rumah gue tanpa perlu menjadi gigolo yang hina dan menjijikkan!"

Terdengar itu seperti Reza yang sedang mengasihani dirinya sendiri. Seharusnya dia tahu jika salah satu faktor penyebab seseorang melakukan tindak bunuh diri adalah karena terlalu mengasihani dirinya sendiri.

"Kalau mau, gue bisa rekomenin lo ke client gue. Relasi gue cukup bagus kok!"

Berusaha memberi alternatif untuk membantunya mencarikan pekerjaan yang lebih layak.

"Lo pikir client lo mau bayar gue sampai berapa? Lo pikir harga rumah itu berapa?"

Seakan mengingatkan Juno untuk lebih berpikir menggunakan logika, bukan hanya dengan perasaan.

"Lo pikir perlu berapa tahun buat gue kerja sampe bisa beli rumah gue lagi?"

Sejenak sama-sama terdiam.

"Ya.., siapa tahu. Nasib baik, berpihak ke lo. Rezeki Tuhan yang mengatur!"

"Siapa tahu?" menggergah kelu dengan tawa tidak percayanya. Bahkan baginya pemikiran Juno lebih mendekati khayalan ketimbang ledekan.

Setengah percaya atas saran yang Juno sendiri tak yakin. Tersenyum singit tanpa menimpali ucapannya walau memang benar.

"Ya, siapa tahu dengan bermanufer ke jalan yang benar, Tuhan ngasih lo kemudahan."

Sekali lagi menertawainya yang kini membawa nama Tuhan dalam menasihatinya. Tanpa berpikir terlebih

dahulu apakah dirinya seorang yang benar dan bersih.

"Terus lo pikir, lo orang bener?" tanya Reza menertawai Juno.

Reza sendiri tahu bagaimana Juno menjalani profesinya tidak dengan seratus persen bekerja secara profesional. Bagaimana pun dirinya tetaplah manusia yang pernah melakukan kesalahan.

Menganggap Juno tak lebih baik dari dirinya.

"Lo bego atau pura-pura bego?" masih

menertawainya. "Berapa client yang udah lo tiduri selama lo jadi terapis? Segini?" menunjukkan tiga jarinya. "Segini?" menunjukkan lima jarinya. "Atau segini?" kali ini menunjukkan kesepuluh jarinya. "Gue rasa lebih, dan lo lupa total keseluruhannya!"

Juno menyesal telah memberitahukan kebiasaanya pada Reza ketika masih berstatus terapis ditempat bekerjanya dulu. Walau tanpa memberitahu seorang sepertinya sebenarnya pun tahu.

"Dulu? Terus lo yakin sekarang udah ngga main-main lagi?"

Untuk seorang sepertinya yang juga mendapat akses kemudahan untuk sekadar mendapatkan kesenangan seperti itu.

"Kita sama bro!" ucap Reza meyakinkan.

"Tidak, kita beda. Gue bukan gigolo seperti lo!" sangkal Juno.

Reza tersinggung atas pernyataan yang

menyudutkan. Walau memang benar, tak semestinya Juno berkata seolah dirinya hanya seorang asing yang tak dikenalinya.

Beranjak dengan menjatuhkan stick game-nya. Mungkin Reza tak akan tersinggung atau menganggap angin lalu jika yang mengucapkan itu bukan Juno tapi orang lain. Tetapi dia adalah sahabat yang sudah Reza anggap seperti saudaranya sendiri.

Berdiri menantang karena pernyataan yang dianggap telah melecehkannya.

"Maksud lo apa, datang-datang sok menghakimi gue?" berkata sambil menatap Juno yang berdiri hanya berjarak sekitar dua meter darinya. "Kalau emang keberatan, oke fine. Gue stop kasih client gue ke lo!"

Berjalan menjauh kemudian membukakan pintu untuknya.

"Lo usir gue?"

"Ya. Kenapa? Lo ngga terima?"

"Oke!"

Mengambil tas dan mengaitkannya di pundak.

Reza menghentakkan pintu kedinding seolah menunjukkan emosinya yang semakin menjadi.

"Keluar bangsat!"

"Oke, oke!" menjawab dengan suara keras.

Juno berlalu pergi dari ruangannya dengan tanpa ragu. Tanpa menoleh kebelakang sekalipun. Membuat Reza semakin kesal dengan tingkahnya yang seharusnya meminta maaf sebelum

meninggalkannya.

"Hehh, anjing! Bangsat, tunggu!"

Memanggil dengan kata-kata kasar, membuat Juno menghentikan langkahnya.

"Kalau lo ngerasa bukan gigolo, jangan pikir lo ngéwé sama client lo ngga berdosa, sedang gue ngéwé sama client gue berdosa!"

Kini Reza yang mengingatkan akan dosa. "Pelacur munafik!" ucap Reza tegas pada Juno. Membuat Juno tak lagi dapat menahan emosi.

Tanpa lagi memandangnya sebagai teman, Juno berbalik dan menyerangnya. Memukul mukanya dengan sangat keras. Menarik kerah bajunya dan melemparkan kedalam hingga membentur sofa dan tersungkur diatas karpet.

Reza mengusap darah yang keluar dari hidungnya. Juga darah yang keluar dari

sudut bibirnya.

"Hati-hati kalau ngomong Njing! Lo pikir gue bisa lo bego-bego'in pake kata-kata profesionalisme lo?"

Giliran Juno yang menyerang dengan kalimat yang lebih rasional untuk memberinya syok terapi untuk menormalkan lagi saraf-saraf otaknya yang tersumbat agar bisa lebih berpikir.

Sementara Reza masih

tersungkur dilantai dengan hanya menatapinya.

"Pikir pake otak!" kata Juno sambil menunjuk kepalanya sendiri.

Reza kembali tertawa kemudian keluar dari ruangannya. Berteriak sekencangnya sambil menyerapah tanpa berpikir bila ada penghuni lain yang mendengarnya.

"Anjing, bangsat lo!"

Dan memang benar, ada dua dari penghuni lain yang membuka pintu untuk sekadar memastikan apa yang terjadi.

Juno menunggu lift terbuka, kemudian turun kebawah. Sementara Reza hanya diam, seperti bocah kecil yang takut akan mendapat penghukuman.

Berjalan lunglai, kemudian duduk di sudut sofa sambil memeluk kedua kakinya. Badannya gemetaran. Penyesalan selalu datang belakangan. Menangis, meratapi nasib yang harus ditanggung badan. Malang nian kini dirinya. Seperti buih yang terombang-ambing ditengah lautan dan dilanda ketidakpastian.

'Inikah siksa pahit kehidupan?'

Layaknya luka sayat disekujur tubuh yang disiram air garam. Sakitnya meresap hingga ke sumsum tulang.

***

avataravatar
Next chapter