5 5. Kau Menganggapku Pelacur?

Monika menemui Mila yang sudah menunggu di kantin rumah sakit. Sepertinya dia baik-baik saja walau tampak kelelahan dari raut mukanya. Memandangi lemon tea ice dalam gelas diatas meja yang hanya tinggal setengahnya. Terlebih dahulu Monika

berargumen tentang keburukan Mila sebelum Monika menemuinya hanya agar bisa membuatnya bisa bersikap lebih tegas dan tidak melunak kepadanya.

Mila yang melihat Monika sudah ada disekitar kantin segera berdiri sebagai bentuk penyambutan sekaligus keterbukaannya.

Monika menghampiri kemudian duduk setelah Mila mempersilakan.

"Salim sama tante," perintah Mila pada putranya yang langsung dia lakukan.

Meski dengan sikap dingin, Monika masih memberinya perhatian dengan membawakannya sebuah mainan sebagai hadiah.

"Bilang apa?"

"Makasih, tante!"

Monika membalas ucapannya dengan senyum.

Perhatian Mila kembali pada Monika. Berbicara sambil mengusap kepala putranya yang tampak senang dengan hadiah mainan barunya.

"Maaf telah memaksamu datang kesini", dengan nada lembut. Senyum yang tampak dipaksakan.

"Apa yang terjadi dengan Randy?" Monika langsung bertanya tentang apa yang menimpa saudara lelakinya.

Mila terdiam dan tidak langsung menjawab pertanyaannya, sementara Monika tetap memperlihatkan raut tegasnya pada Mila yang tampak berusaha menguatkan diri.

"Stenosis", jawabnya.

Kerusakan pada bantalan ruas tulang leher.

"Dokter hanya menyarankan untuk segera dilakukan operasi." Jelas Mila.

Satu-satunya jalan untuk bisa kembali membuatnya normal. Belum satu bulan saja sudah terlihat perubahan pada

fisik serta alat gerak motoriknya. Raut wajahnya terlihat sedikit mencong, seperti orang dengan penyakit struk. Perlahan sebagian dari

tubuhnya mulai kebas atau mati rasa. Untuk berjalan saja hampir tak dapat mengangkat kakinya dengan sempurna. Mila tahu untuk mengobati sakitnya itu memerlukan biaya yang tak sedikit.

Mendengar kabar buruk yang menimpa saudaranya, Monika malah menertawai sambil membuang pandang dari Mila.

"Apa yang terjadi pada kalian. Bukankah dulu kalian sangat yakin dengan jalan hidup kalian?"

Seolah menempatkan dirinya bukan sebagai makhluk sosial yang suatu saat mungkin saja membutuhkan bantuan manusia lain.

Sikap tegas Monika membuat Mila merasa dipojokan dengan ketidakberdayaannya.

"Monika, aku mohon. Aku tak punya banyak pilihan", ucap Mila sunguh-sungguh.

Menatap dengan pandangan sinis, seperti tidak ada yang perlu dikasihani darinya.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" Tawar Monika.

Berpikir dan menimbang apakah dirinya benar meminta bantuan Monika. Sementara bila Randy tahu tentang apa yang sudah Mila lakukan, sudah pasti dia akan marah besar kepadanya. Tetapi Mila tak punya banyak pilihan agar suaminya mendapat penanganan secepat mungkin dari pihak rumah sakit.

"Aku ingin uang pesangon Randy!" Ucap Mila cepat, dengan nada gemetar dan dipaksakan.

Seakan memberi tekanan pada Monika yang malah menanggapi permintaannya sebagai lelucon. Bagaimana mungkin Monika akan mengabulkan, sementara sama sekali dirinya tak memiliki hak untuk mengabulkan permintaannya.

"Kenapa tak langsung minta saja kepada dia?"

Dia yang dimaksudkan Monika adalah Pak Mikail, ayahnya atau dengan kata lain mertuanya yang tak pernah menganggap atau setuju dengan pernikahan mereka. Tentu saja mereka sama-sama tahu jika Pak Mikail tidak akan bersedia mengabulkan permintaannya.

Memohon agar Monika mau membujuk Pak Mikail agar mau berbaik hati padanya.

"Tapi bagaimanapun Randy telah mengabdi pada Miracle," kilahnya sebagai bahan pertimbangan. "Monika aku mohon!" Pintanya memelas.

Sekali lagi Monika hanya menertawai ketidakberdayaannya.

Sedikit janggal, Monika menilai ketidak mampuan mereka sudah diluar batas kewajaran.

"Apa kalian tidak memiliki asuransi, atau sejenisnya?"

Mila menggeleng dan itu sangat memprihatinkan.

Sebagai orang berpendidikan dan pembangkang seperti mereka, seharusnya asuransi sudah menjadi bagian pokok dari salah satu anggaran utama, dan harusnya mereka memiliki segala antisipasi atas kemungkinan yang mungkin terjadi, bahkan yang diluar perkiraan sekalipun.

Perhatian Monika teralih pada bocah laki-laki yang sesekali menatapnya. Bocah itu begitu lucu dan polos. Tampak asik sendiri dan antusias dengan mainan robot-robotan, hadiah darinya.

Sepertinya dia tidak terlalu mengenali

jika Monika adalah bibinya. Sedikit hatinya mulai melembut dan tak seharusnya dia terus bersikap keras seperti itu kepadanya.

"Oke, Aku akan membantu kalian. Tapi dengan uang pribadiku dan ini di luar sepengetahuan ayahku!"

Mila senang karena akhirnya ada jalan keluar untuk satu permasalahannya. Ia memegang tangan Monika yang sepertinya tak terlalu menginginkan.

Monika mengeluarkan buku cek dan menuliskan sejumlah uang lalu memberikan pada Mila.

"Monika, terima kasih. Aku tahu kamu orang baik, dan aku berjanji akan segera mengembalikanya!"

Seolah tak peduli atas pujian dan sama sekali tak berharap Mila mengembalikannya.

"Kamu tak perlu mengembalikannya. Aku memberikan uang ini bukan untuk memintanya kembali!"

Monika bersiap untuk pergi setelah urusannya selesai.

"Kamu tidak ingin melihat atau menemui Randy dulu?" Tawar Mila.

Monika menatap tegas.

"Yakin, kau ingin dia tahu kita baru saja bertemu?"

Diam atas basa-basinya yang langsung dipatahkan. Sebenarnya Mila tulus ingin mempertemukan Randy dengan saudara perempuannya, terlebih disituasinya yang tengah memerlukan support dari orang terdekatnya. Bahkan untuk hal sekecil itu saja dirinya tak mampu. Mila menciut, sementara Monika sama sekali tak nampak peduli, meski dalam hati kecilnya ingin tahu dan ingin melihat langsung bagaimana kondisi saudaranya, tetapi egonya menampik dan mengalahkan rasa pedulinya.

Bersiap untuk kembali ke kantor karena dirasa urusannya telah selesai.

"Aku harus kembali"

Melihat ponselnya menyala, panggilan masuk dari Dewi, sekertarisnya.

"Iya Dewi, ada apa?"

"Ada Pak Gilang di kantor, menunggu ibu", memberitahu.

Seingat Monika dirinya tak ada janji dengan Gilang.

"Apa aku ada janji dengannya?"

"Tidak. Tapi katanya dia masih mau menunggu. Apa perlu saya buatkan jadwal pertemuan?"

"Tak perlu. Katakan padanya, Aku segera kembali!"

"Baik Bu!"

Mengakhiri panggilan dan beranjak.

"Monika..," perkataannya terpotong oleh keraguannya sendiri.

Monika menatap tajam, seolah menegaskan jika perkiraan akan dirinya salah dan dirinya tetaplah Monika yang keras, tegas dan tak berperasaan. Pandangannya teralih pada anak kecil, keponakannya sendiri yang tersenyum senang seolah menawarinya untuk bersahabat, tetapi Monika tetap teguh pada pendiriannya kemudian melangkah pergi, menuju mobil yang telah siap driver menunggu disana.

Berangkat menuju kantor dan sampai dalam tiga puluh menit, sesuai perhitungan waktu tercepat.

*

Sesampainya di kantor, Monika langsung menemui Gilang yang masih menunggu diruang tunggu.

Gilang adalah putra Pak Amir. Owner MGC Adv, satu angkatan dengan Pak Mikail. Mereka pernah bekerja pada sebuah Agency yang sama. Meski bersahabat lama, pada akhirnya kekompakan mereka berakhir dan memutuskan untuk mengambil jalan masing-masing, hingga pada pertemanan berubah menjadi Rival, hingga sekarang.

Begitu melihat Monika datang, Gilang langsung beranjak untuk menyambut.

"Aku senang kamu mau kembali hanya untuk menemuiku", Gilang.

"Jangan pikir aku menemui karena aku ingin!" Monika.

"Ya.., aku tahu seorang profesional!"

Berharap itu bukan sebuah ledekan.

"Kalau begitu, bisa kita selesaikan dengan cepat? Sebelum pertemuan ini berkembang menjadi gosip murahan!"

"Sure!"

Memulai dengan mengeluarkan map berisi berkas yang telah dia persiapkan. Memberikan pada Monika yang dengan santai menerimanya.

Berkas proposal penawaran kerjasama yang melibatkan MGC Adv sebagai pihak ketiga.

"Beri aku waktu untuk mempelajarinya," Monika.

Tentu itu karena Monika tidak ingin terjadi kesalahpahaman seperti beberapa waktu lalu. Walau ini peluang awal untuk mengatasi permasalahan finansial pada Miracle. Tetapi mempertimbangkan Gilang adalah pihak MGC Adv, Monika harus berpikir banyak untuk langsung menerimanya.

"Sure!" Gilang. "Aku faham!" Kilahnya.

Seolah dirinya langsung tahu apa yang ada dibenak Monika. Mengakhiri pertemuan dengan sama-sama

berharap hasil terbaik.

Gilang beranjak pergi dengan diantar Monika hingga kedepan pintu.

Kembali masuk dan melihat proposal yang dia tawarkan, lalu memasukkannya kedalam tas.

Monika mempertimbangkan untuk sekadar meminta pendapat pada Albert. Walau pada akhirnya semua keputusan berada ditangan Pak Mikail. Bukan dirinya atau siapapun.

Melihat waktu yang sudah semakin sore dan sudah tak ada lagi yang perlu dikerjakan, Monika memutuskan untuk pulang lebih cepat. Walau sebenarnya sia-sia saja dirinya pulang lebih cepat karena tak akan ada sesuatu yang spesial dirumahnya. Monika keluar dan langsung menuju Basement, tempat dia memarkir mobilnya.

*

Begitu sampai di rumah, melihat Pak Mikail yang tengah bersantai diruang tengah dengan secangkir teh

panas di tangannya.

"Kamu sudah pulang rupanya", ucapnya dengan tidak memandang kearahnya.

Menyeruput teh panas dengan sangat santai.

"Maaf, Monika kembali terlambat!" dengan terlebih dahulu memohon maaf atas keterlambatannya.

"Boleh Monika bergabung?" bertanya pada Pak Mikail yang hanya menjawab dengan sebuah isyarat kecil sebagai tanda ketidakberatannya.

Berjalan mendekat dengan hati-hati lalu duduk dikursi kayu lainnya. Mengambil sebuah cangkir dan menuangkan teh panas untuk dirinya sendiri.

"Ayah tahu sore ini kamu pergi menemui wanita itu!"

Wanita yang dimaksud Pak Mikail adalah Mila.

Seketika selera bersantainya mendadak hilang. Walau bukan sesuatu yang mengejutkan memang. Tetapi sepertinya sangat tidak nyaman membicarakan sesuatu yang serius dikondisinya yang sedang tidak ingin berdebat dengannya.

"Aku menemui Mila karena Randy. Saat ini Randy sedang sekarat dan memerlukan bantuan", Monika menjelaskan inti persoalannya.

"Rupanya karma datang lebih cepat dari seharusnya", ucapnya menanggapi dengan sangat santainya.

Bahkan dia bereaksi seolah dirinya sama sekali tak merasa cemas atau ingin tahu bagaimana keadaan putranya.

"Tidakkah Ayah sedikit saja bersimpati padanya?"

Menjawab dalam hati jika putranya saja tidak memikirkan bagaimana keadaannya. Seorang anak yang dia besarkan dengan penuh kasih sayang namun lebih memilih orang lain dari pada dirinya. Membuat Pak Mikail sangat terpukul dan sakit hati.

"Lupakan saja!" ucap Pak Mikail yakin.

"Ya, lupakan saja!" ucap Monika mengulang.

Memecah dikeheningan yang sesaat terjadi.

"Ayah juga tahu kamu baru saja mentransfer sejumlah uang padanya",

Merasa jika itu adalah uang milik pribadi, hasil dari bekerjanya.

"Ayah mengertilah! Biarkan sekali ini saja Aku membantunya", memohon untuk toleransinya.

"Kamu terlalu berperasaan. Jadilah seorang yang tegas!" berucap seolah menghakimi dirinya yang terlalu mudah dimanfaatkan orang lain.

Lalu Pak Mikail mulai mengungkit kesalahannya di waktu lalu. Menertawai perasaan cintanya pada Gilang yang bertepuk sebelah tangan.

"Monika bukan anak kecil. Tolong ayah jangan mengungkit masalah itu terus!"

"Ayah tidak akan mengungkitnya jika kamu tidak terus bersikap bodoh!"

Dengan menekankan kata 'bodoh' membuat Monika sangat tersentil atas pernyataannya.

Menaruh cangkir, kemudian Pak Mikail beranjak. Berjalan dengan bantuan tongkat kayu yang selalu selalu dibawa kemanapun dia pergi.

"Apa kamu sudah bosan menjadi anak ayah?"

Terkejut dengan pertanyaan yang terdengar sangat pahit.

"Apa maksud ayah?"

"Atau kamu sudah bosan bekerja di Miracle?" kembali bertanya tanpa terlebih dahulu menjelaskan maksud pertanyaannya diawal.

Semakin kesal dengan Monika yang masih belum sadar dengan kesalahannya.

"Kamu benar-benar tak tahu kesalahanmu?"

Menebak jika kemarahannya karena pertemuannya dengan Gilang. Tak menyangka secepat itu dia mengetahuinya.

Merasa yang dilakukan tidaklah seburuk yang dia sangkakan.

"Ayah, aku bisa jelaskan semuanya!"

Tertawa kecil untuk kebodohan putrinya.

"Jangan berpikir kamu telah cukup pandai lalu mengambil keputusan tanpa persetujuan Ayah!"

Sinyal negatif yang Pak Mikail tunjukkan atas kerjasama dengan Art Cinema yang MGC Adv tawarkan melalui Gilang.

"Kenapa ayah tidak bersikap profesional seperti yang selalu ayah ajarkan pada Monika?"

"Jadi benar, kamu akan kembali bekerja sama dengannya?" Tertawa Pak Mikail atas ketakutannya yang ternyata benar terjadi. "Bodohnya kau!" Seolah dirinya seorang penghianat yang tak tahu malu.

"Ayah, tolong dengar penjelasan Monika. Jika ayah tak setuju, Monika akan menolak tawaran ini."

"Ya, ayah tak setuju!"

Menatap geram dan sekali menghentakkan tongkatnya dengan sangat keras. Mengalah pun salah.

Merasa tak pernah benar dimatanya, Monika beranjak namun tidak menuju arah kedalam.

"Kamu mau kemana?"

"Cari angin!" menjawab ringan namun terkesan pasrah. "Monika mohon. Sedikitlah ayah beri Monika hak privasi!"

Kemudian kembali berjalan pergi meninggalkannya.

Pak Mikailp hanya menatap Monika dengan raut kesal.

*

Berputar, berkeliling di jalanan tanpa tujuan yang jelas. Monika hanya ingin menjauh dari kehidupannya.

Terlintas seseorang yang mungkin bisa dia temui untuk sekedar melampiaskan kekesalannya. Segera Monika memutar arah, menuju sebuah Kondotel yang berjarak sekitar satu kilometer dari posisinya saat ini. Berhenti didekatnya, lalu memarkir mobil dihalamannya.

Seolah tahu kemana tujuannya, Monika berjalan dengan sangat leluasa dan menemui penjaga yang dengan senang hati menunjukkan arah menuju tempat Albert tinggal.

Monika berjalan melewati kolam dangkal berisi ikan Koi berwarna-warni.

Begitu sampai didepan kamarnya Monika melihat sepasang sepatu yang ia yakini bukan milik Albert. Mengambil ponsel dari dalam tas dan menghubunginya. Tak menunggu lama, dia langsung mengangkat panggilannya.

"Apa kamu sedang sibuk?" tanya Monika dari depan pintu, melalui ponselnya.

"Ya", jawab Albert tanpa memperimbangkan terlebih dahulu. "Tidak. Maksudku, hanya sedang bersantai saja", meralat jawabannya sendiri.

Mungkin saja Monika menghubungi karena tiba-tiba merindukannya.

"Apa boleh aku mampir ke tempatmu?"

Membayangkan Monika yang tiba-tiba muncul untuk mengganggunya. Masuk kedalam kamar dengan sikap berkuasanya.

Sementara itu Monika yang masih berdiri di depan pintu.

"Ya, tentu saja", Jawab Albert mengizinkan.

"Kalau begitu, tolong bukakan pintu!"

'What?!'...

Benarkah yang dia katakan. Hingga

terdengar ketukan panjang di telinganya. Rupanya Miyangga itu benar-benar sudah berada ditempatnya. Bagaimana mungkin secepat itu dia telah sampai jika bukan siluman.

Beranjak untuk memastikan apakah benar dia yang datang. Benar saja, Monika ada di depan pintu dengan muka tak bersalahnya.

Melihat kedalam dan mendapati seorang lelaki yang tak dikenal. Dia tampak rapi dengan mengenakan kemeja lengan panjang yang di lipat hingga sebatas sikunya.

"Hei! Sedang apa kalian?" Monika bertanya.

"Kenalkan, ini Juno. Teman sekaligus terapis pribadiku!"

monika sama sekali tak mengira jika Albert memiliki terapis pribadi.

Juno mengucap salam dengan tersenyum ramah.

"Apa masih lama?" bertanya karena kali ini Monika lebih menghormati terapis itu untuk tidak membuatnya terganggu atas pekerjaannya.

"Tidak, kalau kamu tidak mengganggu!" Jawab Albert.

Menahan kesal karena Albert berani berkata seperti itu di depan orang, sedangkan dirinya adalah atasannya. Bahkan sama sekali Albert tak menyambutnya sebagai seorang tamu.

"Kalau begitu aku tunggu di depan saja."

"Ya.., please!"

Kali ini Monika lebih sadar diri jika dirinya adalah seorang tamu. Melihat keluar dan tak nampak ada orang disana.

"Apa boleh merokok?"

"Boleh. Asal tidak dua batang sekaligus!"

Double meaning yang tidak langsung dapat Monika pahami. Sama sekali tak terdengar lucu tetapi cukup menghibur bagi Albert begitu melihat raut kesal Monika setelah menangkap maksud candaannya.

Monika berlalu begitu saja kemudian menyalakan sebatang kretek dan tampak santai menikmati waktu disana.

"Pacarnya, mas?" Tanya Juno

"Bukan. Dia Boss gue!" Jawab Albert.

"Boss?"

"Ya, kenapa?"

"Cantik. Kenapa ngga di pacari saja mas?"

Albert tertawa dengan pernyataan Juno.

"Cantik? Kamu pikir dia wanita? dia bukan wanita, tapi Miyangga!"

Miyangga, nama atau sebutan sejenis hantu sungai yang cukup ditakuti anak-anak karena kebiasaannya yang suka menghayutkan mereka ketika berenang.

Hingga treatment berakhir sekitar dua puluh menit setelahnya, Albert keluar untuk mengantar Juno sekaligus menemui Monika yang masih menunggu di depan.

Monika senang karena akhirnya waktu menunggunya berakhir. Melihat Juno dan menilai jika sepertinya dia orang baik.

"Ayahku juga suka pijat. Bisa kamu dipanggil ke rumah?" Tanya Monika.

"Bukankah tadi aku sudah memberitahumu, kalau dia bisa dipanggil kerumah!" Albert memotong basa-basinya.

"Aku bertanya sama terapismu", kesal dengan Albert. __"Boleh aku minta nomor handphone kamu?" beralih pada Juno yang kemudian memberikan kartu namanya pada Monika.

Menghubungi nomor yang tertera disana.

"Itu nomorku. Save saja", ucapnya pada Juno yang kemudian menyimpan nomornya.

Pamit bersamaan dengan datangnya seorang pengantar pizza.

Disaat lapar seperti ini, melihat pengantar pizza seperti melihat Superman yang datang menyelamatkan hidupnya. pikir Monika dalam hati.

"Aku mau makan didalam, kamu mau tetap disini?" tanya Albert pada Monika yang masih berdiri disana.

Tentu saja dia pun ingin mencicipi pizza yang masih hangat itu.

"Aku ikut denganmu!"

Kemudian mereka masuk dengan Monika berada dibelakang. Melihat seisi ruangan yang tak lebih dari sebuah kapal pecah. Lemari pakaian yang dibiarkan terbuka. Disana-sini barang berserakan tanpa tentu. Sebuah kardus berisi pakaian kotor yang bahkan isinya dibiarkan tercecer kemana-mana.

Melihat meja kerjanya yang juga tak lebih berantakan dari tempat lainnya. Serpihan kertas serta tumpukan

buku yang mungkin tak pernah dibacanya. Bungkus snack yang entah sejak kapan berada disana.

Monika mengembuskan napas, merasa begitu lelahnya dia melihat ruangan yang sangat berantakan.

"Bagaimana kamu tahu aku tinggal disini?" Tanya Albert sambil membuka bungkus pizza.

"Kamu pikir mencari tahu tempat tinggalmu pekerjaan sulit?

"Apa kau selalu menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan?"

Langsung diam karena memang benar yang diucapkannya.

"Yang pasti aku tidak menguntitmu!"

Hanya tersenyum mendengar jawabannya, kemudian mengambil sepotong pizza dan menawarkannya pada Monika.

"Kamu mau?"

"Tentu saja. Aku juga lapar!" jawabnya cepat.

Langsung menerima dan menggigit bagian ujung runcingnya.

"Kalau kurang, kau bisa ambil sendiri."

Seolah dia mengatakan jika dirinya seorang yang rakus, yang selalu makan banyak.

"Sudah berapa lama kamu tinggal disini?"

"Sejak kerja di Miracle."

Sambil menikmati lezatnya pizza dalam mulut dan mulai merasakan suasana nyaman dalam ruangannya.

"Lumayan nyaman," reaksinya. "Kenapa tinggal sendiri? Dimana pacar kamu?" tanya Monika dengan entengnya, sambil mengunyah pizza membuat perkataannya terdengar seperti humming.

"Pacar?" mengulang pertanyaan Monika.

"Ya, pacar!" dengan wajah penasaran.

"Aku tidak punya pacar!" Jawab Albert.

"Sudah aku duga. Mana ada perempuan yang mau pacaran sama kamu!"

Bagi Monika, jawaban Albert yang biasa saja bagaikan pemberian bola lambung pada permainan bulutangkis yang tak mungkin baginya membuang kesempatan untuk langsung men-smassnya.

Kesal pada Monika yang tak sadar diri atas kondisinya yang tak jauh berbeda dengannya. Bahkan selama mengenalnya, tak sekalipun Albert melihat seorang lelaki mendekat atau sekadar mengajaknya makan siang bersama.

"Haistt, dasar Miyangga!" mengucap dengan suara mendesis, tetapi dari nada dan mimik mukanya, sepertinya itu bukan pernyataan baik untuknya.

"Apa kamu bilang?" Monika.

"Tidak," ...

Terpikir mengenai Monika yang tiba-tiba muncul ditempatnya, Albert menyelidik dari setiap gerakannya.

"Kamu sedang ada masalah?" Tanya Albert.

"Tidak, aku baik-baik saja!" Jawab Monika walau sebenarnya dirinya tidak sedang baik-baik saja.

"Aku tahu kamu sedang ada masalah!" Seolah Albert memaksa dengan pendapatnya.

Monika menyandarkan badannya ke sisi tembok didekat pintu. Memandang kearah Albert, kemudian sedikit menundukkan pandangannya.

"Kalau iya kenapa?" menjawab dengan kesan putus asa. "Aku hanya sedang butuh teman bicara saja!" Lanjutnya.

"Teman bicara atau tempat pelampiasan?"

"Whatever you said!"

Kali ini Albert tertegun dengan tebakan asalnya yang ternyata benar adanya. Dalam hati masih tak yakin, benarkah seorang Monika membutuhkan seorang teman bicara.

"Aku tahu ini konyol dan kau pasti akan menertawaiku", Monika.

Walau dalam kenyataan Monika yang menertawai dirinya sendiri. __"Aku tak memiliki seorang teman pun selain dirimu", pungkasnya.

Karena yang terakhir adalah Gilang dan kini dirinya telah menjaga jarak dengannya. Bagaimana mungkin seorang manusia melewati hari-harinya tanpa seorangpun teman. Apa mungkin dia tergolong dalam spesies manusia langka? Sulit dipercaya.

Menilai jika dirinya seorang yang terlalu banyak memiliki rahasia yang tentu membuat tak nyaman.

"Kalau begitu, kemarilah!"

Sebuah ide terlintas dikepala Albert untuk membuat Monika membuang satu per satu sampah didalam

otak dan hatinya. Setidaknya itu akan membuatnya merasa lebih nyaman.

Menarik tangan Monika dan memintanya duduk. Mengambil dua buah bola dadu dari dalam lemari dan menunjukkan padanya. Kemudian duduk didepannya.

"Aku ada ide permainan menarik!" ucapnya memberitahu.

Berpikir sama sekali tak ada yang menarik pada kedua bola dadu itu.

"Permainan?"

"Ya. Yang kalah harus membuka sebuah rahasia atau menjawab sebuah pertanyaan dengan jujur",

"Dengan jujur?"

Berpikir Monika jika Albert akan lebih banyak menang karena sudah pasti dia yang lebih menguasai jalannya permainan.

"Kenapa, kamu takut?"

"Takut? Siapa takut? Oke!"

Sesuai kesepakan jika ganjil kemenangan untuk dirinya, jika jumlah genap kemenangan untuk Monika. Kemudian Albert mulai melempar bola dadu, dan kemenangan pertama untuknya. Berpikir Monika jika itu hanya kecurangannya.

"Sekarang kau harus menjawab pertanyaanku!"

Berharap Albert tidak akan bertanya tentang sesuatu hal yang terlalu rahasia atau bersifat memalukan.

"Siapa nama belakangmu?"

Pertanyaan macam apa itu. Sungguh diluar perkiraan. Senang melihat perubahan mimik wajah Monika.

Usai mendengar pertanyaan yang mudah dan mengejutkan itu.

"Singa Dimeja. Monika Singa Dimeja!" menjawab dengan mengatakan nama panjangnya.

Reflek, Albert langsung tertawa mendengar nama panjang Monika yang baginya sangat aneh.

"Lion on the table?"

Kembali tertawa.

"Kenapa, aneh?"

"Ya, aneh sekali. Itu.., terdengar seperti istilah dalam pertunjukan sirkus."

Monika memukul kepala Albert dengan gulungan kertas, karena telah menghina nama leluhurnya. Sama sekali itu tak lucu dan sangat tidak pantas nama belakang keluarganya dijadikan bahan lelucon.

"Sekarang aku yang lempar!"

Mengambil dua bola dadu dari tangannya, melempar keatas dan kemenangan kembali untuk Albert.

Tertawa senang untuk kemenangannya. Berpikir tentang pertanyaan mudah yang akan dia tujukan hanya untuk membuatnya kembali malu.

"Satu pertanyaan lagi", ucapnya senang.

"Iya, cepetan!"

"Oke. Apa kau akan memberi nama belakangmu itu pada anak-anakmu kelak?"

"Ya. Jika aku menikah denganmu!" Jawab Monika sambil kembali memukul kepala Albert dengan gulungan kertas membuatnya kembali mengaduh.

"Auw, seharusnya kamu menjawab saja. Tidak dengan selalu memukulku!"

"Karena kau sangat menyebalkan,"

"Tak usah terlalu serius!"

"Siapa yang serius. Kamu pikir aku mau jatuh cinta, apalagi menikah sama kamu?"

Albert tertawa dengan reaksi kesal Monika yang baginya seperti sebuah hiburan gratis.

"Hati-hati. Karma is real!" Albert.

"Karma? Karma apa? Jangan aneh-aneh kamu!" Monika.

"Sudah, sudah, cukup!" Berusaha mengakhiri leluconnya. "Lagian, bagaimana mungkin kamu berpikir aku akan menikah dan mempunyai anak dari kamu!" Albert.

"Hehh, ingat, karma is real!" Membalas dengan membalikan pembelaan yang sama.

Sejenak sama-sama terdiam.

"Seharusnya kau menjawab dengan kata 'ya' atau 'tidak' saja!" Ucap Albert sambil melirik gulungan kertas yang masih dipegang Monika.

"Ya!" jawab Monika singkat dan tegas.

"Ya.., untuk kamu mau menikah denganku?" Albert meledeke, dan Monika kembali mengangkat gulungan kertas, bersiap untuk kembali memukulnya.

"Oke, oke. Aku cuma becanda. Jangan pukul lagi," sambil berusaha menahan tawanya.

Monika kembali melempar dua dadu itu kembali menghasilkan jumlah hitungan

ganjil. Membuatnya semakin kesal.

"Kenapa selalu ganjil. Kenapa tidak pernah genap!"

Tak percaya dengan kekalahannya yang terus berlanjut.

"Itu karena Aku orangnya hoki!" Jawab Albert.

Tersungut Monika mendengar pernyataan sombong Albert. __ "Kenapa kau memilih tempat ini untuk menjadi pelarianmu?" Albert langsung mengajukan pertanyaan saat itu juga.

Terkejut Monika mendengar pertanyaannya.

"Tempat pelarian?" Berpikir cepat untuk memberi jawaban yang cerdas.

"Aku kesini naik mobil, bukan dengan berlari!"

Albert tersenyum mendengar candaan garing Monika. Merasa senang karena kemenangan dalam berpikir cepatnya.

... "Oke, aku anggap kau menjawab karena kau mulai memikirkanku."

Kali ini kata-kata Albert lebih telak karena berhasil membuat Monika menarik tawanya.

Monika kembali mengambil dadu dan melemparnya. Tak disangka kali ini kemenangan berpihak padanya. Merasa sangat senang.

Berpikir sebuah rahasia terbesar yang akan membuatnya malu. Menatap bengis seolah dirinya mempunyai sangat banyak kekuatan untuk mengalahkannya.

"Aku ingin tahu salah satu rahasia terbesarmu. Rahasia yang tidak pernah kau ungkapkan pada orang lain!"

Masih dengan menunjukkan wajah senangnya. Sementara Abert berpikir keras karena merasa tak terlalu mempunyai rahasia kecuali,

"One time.., I saw my parents sleeping with a prostitute!"

Terkejut Monika mendengarnya.

"Your parents?"

"Yea. My parent are Swingers!"

Serasa tak percaya dengan ucapannya. Antara memalukan dan memprihatinkan.

"Seharusnya kamu mengungkapkan rahasia lain saja," tentunya yg tidak menyangkut nama baik keluarga. "Aku akan memaklumi karena ini hanya sebuah permainan."

"I know. But, only this my secret!"

"Bullshit!"

"I swear!"

Sembari mengangkat dua jarinya.

Seketika Monika menjadi merasa simpatik dan merasa bersalah padanya. Monika mengusap pundak Albert dengan menunjukkan wajah berkabungnya.

"Kamu kan sudah menang banyak. Boleh aku minta satu bonus pertanyaan?"

"Sure!"

"Jangan khawatir ini tentangku, bukan tentangmu!"

"Ya, katakan saja",

Tersenyum senang dengan kesediaannya.

"Apa aku tampak menyedihkan?"

Saat itu juga Albert menarik senyum diwajahnya.

"Tentu saja tidak. Sama sekali kau tak tampak menyedihkan. Bahkan kau tampak sangat menyebalkan", membuat Monika yang tadinya bersimpatik menjadi kembali kesal padanya.

Monika melakukan peregangan dengan mengangkat dan menarik kedua tangannya.

"Aku ngantuk. Boleh aku tidur disini?" Monika meminta persetujuan.

"Disini?" Albert.

"Ya! Oke, aku pergi kalau kau keberatan!"

"Tidak, tidak. Aku sama sekali tak keberatan. Hanya saja..,"

"Tenang saja, aku tak akan melukai atau merenggut kehormatanmu," Monika.

"Apa ini tidak terbalik?" Albert setengah tidak percaya mendengar perkataannya.

"Whateverlah. Aku hanya ingin istirahat dengan tenang, jadi aku mohon untuk kamu kerjasamanya!"

"Oke, oke,"

Kemudian Albert beranjak dari duduknya dan menaruh kembali dadu miliknya kedalam lemari.

*

Melihat Monika masih duduk pada posisi yang sama.

"Monika, boleh aku memelukmu?" meminta dengan suara memelas.

__ 'What?'

Apa dirinya tak sedang salah dengar. Tetapi dia bukanlah anak kecil yang perlu dikasihani. Bagaimana dia seberani itu memintanya untuk memeluknya. Apa dirinya tidak memandang jika Monika adalah atasannya. Kalau tidak sedang dalam lingkungan kerja.

"Ngga, ngga! Ngga mau!"

"Ayolah. Sekali ini saja. Aku kangen ibuku. Aku sedang ingin dimanja", ...

Merasa dirinya terlihat menjadi seperti anak kecil lagi. Benarkah itu dirinya. Albert yang Monika kira seorang yang kuat dan pemberani. Seorang yang

penyabar berotak pandai. Seorang pendiam yang lebih menggunakan otaknya untuk berpikir bukan untuk berdebat.

"Ayolah", ...

Sekali lagi memohon tetapi sama sekali Monika tak tertarik untuk mencobanya.

"Enggak, enggak. Aku mau tidur. Kamu keluar saja sana!"

"Ya sudah. Kamu tidur diatas saja, biar nanti aku tidur di sofa."

Membuat Monika tersenyum senang karena memang sudah seharusnya seperti itu.

"Aku mau ngerokok sebentar didepan",

Kemudian Albert kedepan untuk merokok.

Ketika tiba-tiba Monika menyusul dan memeluknya dari belakang. Diam dan hanya diam tanpa sempat mengisap sebatang rokok ditangannya. Tak bergerak dan hanya diam, merasakan wajah Monika yang dia letakkan pada pundaknya.

"Apa ini cukup?"

Tak menjawab dan hanya diam. Tentu saja sudah lebih dari cukup. Bahkan dirinya tak berani berharap lebih untuk membuat perasaannya kembali tenang setelah kembali teringat kenangan buruk masa lalunya. Bahkan Albert merasa dekapan Monika lebih dari sekadar pelukan saja.

Berbalik lalu mencium keningnya. Melihat wajah polos Monika yang tersembunyi dalam dekapannya.

Perlahan mendorongnya melangkah masuk kedalam kamar. Seperti terjadi begitu saja saat Albert menjatuhkan tubuh Monika keatas tempat tidur.

Bersama dirinya.

Hanyut dalam cumbu rayu. Harum bunga mewangi membawa angan melayang. Kala Sri Rama datang membawa secawan madu untuk Dewi Sinta. Alam bergembira, burung

bernyanyi, sang pujangga bersyair.

Cinta tercipta untuk saling mengasihi.

Ketika hasrat dan nafsu melebur menjadi satu, koyaklah segala penghalang dan keraguan.

Terkulai dalam polos tubuh masing-masing.

*

Monika yang telat sadar jika yang baru terjadi adalah kesalahan bodoh yang tidak seharusnya terjadi. Buru-buru dia mengenakan pakaiannya kembali.

Albert yang hanya duduk sambil memperhatikan dari atas tempat tidur. Marah, canggung, ragu, malu, melebur jadi satu dalam diri Monika.

"Kenapa kau tega lakukan ini kepadaku?" Monika.

"Aku kira kau pun menginginkannya." Albert.

Semakin menyesal karena melakukan kesalahan yang seharusnya tak terjadi. Bodohnya dirinya.

"Kamu tidak mengharapkan sesuatu yang lebih bukan?" Monika.

Mengeluarkan sejumlah uang membuat Albert tertawa kering antara percaya dan tidak percaya dengan kelakuannya. Tahu apa yang dimaksudkan Monika.

"Kau anggap aku pelacur? Kau membayarku karena bercinta denganmu?"

Reaksi Albert pada Monika.

"Aku tak mengatakan itu!" bantah Monika.

"Tapi kau baru saja melakukan tindakan yang menganggapku sebagai pelacur!"

Kesal dengan pernyataannya yang terus mendesak. Seharusnya Monika-lah yang merasa menjadi korban. Bukan dia yang seorang laki-laki.

"Kalau iya kenapa?" mengiyakan tuduhannya.

Albert kembali tertawa dengan membuang pandang. Beranjak dan mengambil sejumlah uang yang dia letakkan diatas meja.

"Oke, kalau ini maumu!"

Melihat jumlahnya yang walau tak dihitung jelas terlihat tak sedikit.

"Hanya segini?"

Sambil menujukkan uang pemberiannya yang dirasa masih kurang sesuai.

"Masih kurang? Mahal sekali bayaranmu!"

Keluhnya tak percaya dia malah bersikap seperti itu.

"Aku telah membuatmu merasa senang selama semalaman. Kamu melupakan biaya sewa kamar!"

Kembali mengeluarkan sejumlah uang dan menyodorkannya pada Albert yang langsung mengambilnya dengan senang hati.

"Kalau masih kurang katakan saja, dan Aku akan memikirkan cara untuk menuntutmu dalam kasus pemerasan!" dengan sangat kesalnya.

"Benarkah kau akan melakukan itu?"

"Just wait and see!"

Menatapinya yang telah rapi kembali dengan tidak melupakan tas miliknya.

"Aku harus pulang!"

"Aku akan mengantarmu!"

"Tak usah. Aku masih ingat jalan keluar!"

Sementara waktu baru menunjukkan pukul tiga pagi. Monika memakai sepatu yang di letakan di dekat pintu.

"Aku selalu siap kalau kau membutuhkanku lagi."

"Itu tidak akan terjadi!" berkata dengan sangat yakin.

Kemudian Monika membuka pintu. Kembali melihat Albert yang masih belum bergerser dari posisinya.

"Anggap kesalahan ini tidak pernah terjadi, dan aku ingin kita tetap saling menghormati ketika di kantor!"

"Ya, tentu. Jika itu maumu!"

Kemudian Monika benar-benar keluar. Albert mengambil sebatang kretek dan membakarnya.

Beberapa kali mengisap sebelum mematikannya kembali dan menuju kamar mandi.

***

avataravatar
Next chapter