3 3. Coffe is hot. Hot is hyper. Coffe make me hyper sex? No!

Melihat jarum jam, waktu telah menunjuk pukul sepuluh malam dan air mineral dalam botol minum Albert telah kosong.

Tak ada orang ataupun suara musik yang biasa terdengar ketika bekerja. Tentu saja karena ini hari minggu, tak ada satupun karyawan yang masuk selain dirinya.

Tentu saja mereka tengah menikmati akhir pekan untuk sekadar bersantai atau bersenang-senang bersama orang tercinta setelah enam hari bekerja. Tidak seperti dirinya yang masih berada di depan komputer layaknya robot hidup yang bekerja selama 24jam nonstop.

Albert merasakan seluruh badannya kaku dari kaki hingga kepala, terutama bagian leher serta punggung. Membayangkan jika ada Juno, pasti keadaan jauh lebih baik, dan dia selalu dapat diandalkan disaat-saat seperti ini.

Menyimpan semua file pekerjaan yang telah diselesaikan kedalam

folder baru, Albert mengangkat kedua tangannya keatas lalu menarik kekiri dan kekanan untuk sekedar peregangan kemudian beranjak untuk mengambil air minum yang berada di luar ruangan.

Rupanya bukan hanya dirinya yang tetap masuk di hari libur tanpa ada uang lembur. Lampu penerang diruang Manager masih menyala dengan pintu tak sepenuhnya tertutup. Mengira mungkin saja office boy lupa mengunci pintu serta mematikan lampu, Albert mendekat untuk memastikan jika

benar masih ada seseorang disana.

Melihat kedalam, rupanya Monika si Miyangga itu tengah melakukan ritual

magisnya.

Mengendap untuk kembali ke ruangan sebelum dia melihat dan menerkamnya. Akan tetapi,

"E khremm..,"

Bahkan tanpa melihat, dia tahu jika dirinya datang.

Sedikit menoleh, lalu kembali pada pekerjaannya.

"Aku pikir tak ada orang," sekadar basa-basi. "Ada yang bisa saya bantu?" tawar Albert.

"Tidak!" jawab Monika cepat.

"Atau mau saya buatkan kopi?"

"Tak usah. Hari ini aku sudah terlalu banyak minum kopi!"

"Atau perlu saya temani?"

Monika mengangkat muka dan melihati Albert yang berpikir seolah dirinya salah dalam berkata. Saat Monika mengangkat satu tangan dan menunjuk kearahnya sambil berteriak..,

"Apa itu?!"

Albert tersentak seketika itu juga sampai menabrak pintu hingga sempoyongan. Merasa malu tetapi hatinya sangat kesal. Sungguh si Miyangga itu sangat menyebalkan.

"See?" Monika menatap tajam. "Sekarang siapa yang perlu ditemani?" Merasa puas, lalu kembali pada pekerjaannya.

"Benar-benar siluman!" pikir Albert dalam hati.

Bahkan Monika sama sekali tidak menghargai niat baiknya.

Membuang napas dengan menahan kesal, tanpa permisi Albert berlalu meninggalkan Monika yang masih menertawainya.

"Albert!" ...

Panggilnya tiba-tiba, membuat langkahnya terhenti.

Berbalik tanpa mendekat kepadanya.

"Bagaimana hasil initiatif kemarin?" bertanya mengenai pertemuan sehari lalu dengan client, mengenai pembahasan untuk recording produk pasta gigi yang harus segera dikerjakan.

"Hanya tinggal menunggu feedback untuk talent voice saja." Jawabnya.

"Prepro dengan Chrome?"

"Sebentar,"

Terlebih dulu mengambil creatift brift dimeja kerjanya.

"Bagaimana bisa orang seperti itu dikatakan karyawan teladan. Seharusnya dia sudah menyiapkan apa yang menjadi tugasnya." Reaksi Monika dalam hati saat Albert sudah tak berada diruangannya.

Albert kembali dengan membawa berkas kerja dan memberikannya pada Monika yang kemudian membuka dan membacanya dengan seksama.

Sembari menunggu Monika selesai memeriksa, Albert menjelaskan secara lisan hasil kerjanya sesuai dengan versinya.

"Editing ada dua versi, dan bisa langsung dikerjakan." menjelaskan tanpa menunggu Monika selesai membaca. "Untuk audionya, saya sudah konfirmasi Mas Irwan, kamis baru bisa dikerjakan!"

"Oke," ucap Monika pelan dan cepat.

Sepertinya tak ada masalah. Menaruh kembali laporan yang sudah selesai diperiksa.

"Bagaimana dengan pembayaran? Apa sudah beres semua?"

"Magenta dan Blimp Post sudah masuk semua. Untuk Brainstorm, saya sudah minta bagian finance menghubungi agar dilakukan pelunasan pembayaran akhir bulan ini!"

"Good!"

Dengan pandangan masih terfokus pada Albert yang masih berdiri tak jauh dari pintu ruangannya.

"Bisa aku lihat laporan pekerjaan bulan ini?"

Merasa kesal karena Monika tahu apa yang menjadi kelemahannya, Albert berpikir cepat agar Monika tidak menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menahannya lebih lama.

"Aku harus memeriksanya lagi. Indah belum menyelesaikan semuanya,"

Indah adalah asisten yang membantu pekerjaannya. Sehari lalu dia tidak masuk karena ada urusan keluarga yang mengharuskannya untuk datang.

"Aku sarankan, jangan terlalu mengandalkan orang lain."

"Saya usahakan, hari senin sudah selesai!"

"Kalau bisa dikerjakan sekarang, kenapa harus menunggu hari senin?"

"Fakk..!" Menggerutu dalam hati. "Memangnya aku romusa apa, sehingga tenagaku bisa diperas semau dia."

Rasa kesal semakin memuncak

"Oke, akan saya kerjakan sekarang juga!"

Kembali ke ruanganya dan menyalakan kembali komputernya. Baru saja akan melanjutkan tugas membuat laporan, telepon di meja kerjanya berbunyi.

"Albert, bisa ke ruanganku sekarang?"

Wanita yang dalam hati selalu dia sebut dengan istilah Miyangga kembali memanggilnya.

Mengatur napas demi mengendurkan urat saraf yang tiba-tiba kembali menegang.

"Oke," jawab Albert dengan kesan terpaksanya.

Kembali menemui Monika tampak sedang merapikan sisa-sisa pekerjaannya.

"Ada yang harus aku kerjakan di luar."

Monika berkata tanpa melihat Albert, seperti sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Sebenarnya Albert yakin kalau Monika tak benar-benar sibuk, kecuali sekadar berpura-pura terlihat sibuk didepannya.

"Dan aku butuh seseorang untuk menemaniku!" Lanjut Monika.

Berpikir dan mencari alasan agar Monika tidak memaksanya ikut untuk sekedar menemaninya.

"Lalu bagaimana dengan laporan yang harus saya selesaikan?"

Bukan Monika jika tak berhasil

menangkis serangan yang Albert lemparkan.

"Kamu bisa mengerjakan besok lagi. Tugas ini jauh lebih penting jadi sebaiknya kamu bersiap-siap!"

"Sangat tidak kompeten. Bagaimana mungkin seorang atasan bersikap sewenang-wenang seperti itu. Bersikap arogan dan maunya menang sendiri." Albert dalam hati.

Melihat Albert hanya diam dan tertegun.

"Kenapa masih disini?"

Menghela napas dengan tidak membusungkan dada.

"Oke!"

*

Kini mereka sudah berada di jalanan yang selalu ramai walau hampir tengah malam. Tentu karena ini adalah malam minggu, kebanyakan penduduk

Jakarta menghabiskan wakti diluar, terutama mereka para muda-mudi.

Albert tetap fokus pada kemudinya dan Monika tampak tenang di sampingnya.

"Kita akan kemana?" tanya Albert yang seketika membuat Monika terkejut, seperti kebingungan sendiri.

"Y-ya..?"

Seolah tak mendengar jelas pertanyaannya.

"Kita akan kemana?" sekali lagi Albert mengulang pertanyaannya.

Terdiam dan berpikir. Bagaimana Monika lupa mempersiapkan alasan.

Masih menunggu jawaban sambil sesekali memastikan, Albert sedikit memelankan laju mobil karena tak ingin dirinya salah jalan atau lupa belok hingga harus memutar.

"Entahlah," jawaban yang keluar dengan begitu saja.

"What?" membuat Albert menatap dengan rasa tak percaya kepadanya.

Bagaimana mungkin Monika memberikan jawaban seperti itu sedang satu jam lalu dia mengatakan ada sesuatu yang harus dikerjakan.

"Bisa berhenti sebentar?"

Kemudian Albert menepikan mobilnya.

Melihat Monika mengambil sesuatu dari dalam dasbord dan memperlihatkan sebuah kartu undangan pernikahan. Sekilas tak ada masalah dengan kartu undangan itu, tetapi yang menjadi masalah adalah dirinya. Sungguh konyol dan kini dirinya menjadi wanita yang

menyedihkan.

"Albert sory, sungguh aku tak bermaksud mengerjaimu!"

"Kau sudah melakukannya!" dengan pandangan tertuju keluar, jalanan.

Tiba-tiba Monika menangis karena kata-kata kerasnya. Mengusap air mata tanpa terdengar suara tangisannya.

"Sungguhkah dia serapuh itu?" Albert dalam hati.

Sudah menjadi rahasia umum jika dia pernah mengalami masa sulit dalam hubungan asmaranya. Tak seharusnya dia masih memikirkan masa lalu yang sudah lewat itu.

"Aku memang bodoh! Bodoh, bodoh, bodoh!"

Memberikan kartu undangan pernikahan Gilang dengan pasangannya pada Albert.

"Sunggguhkah hanya karena kartu undangan itu dia menjadi sesensitif itu. Sulit dipercaya." Albert dalam hati.

"Aku tak ingin datang kesana!"

Albert langsung mengerti. Sulit untuknya percaya seorang Monika yang keras kepala dan arogan menangis hanya karena seorang lelaki.

Memikirkan sebuah alternatif untuk menghibur atau mengalihkan perhatiannya.

"Oke, oke," ucapnya. "Kamu lapar?"

Antara kesal dan tak mengerti dengan jalan pikiran Albert. Bagaimana mungkin dia menawarkan makan disituasi yang sedang berkabung, baginya.

"Tidak. Tidak terlalu. Tapi aku memang belum makan."

"Kalau begitu kita cari makan saja."

Menatap curiga karna mungkin saja dia akan balas dendam dengan mengerjainya.

"Kamu tidak sedang mengajak makan di prasmanan mereka kan?" tebakan konyol seperti dalam drama.

"Tentu tidak. Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron!"

Kali ini Albert benar-benar tertawa atas tebakan konyol Monika.

"Aku ada tempat menarik. Bagaimana kalau kita kesana?" Albert.

"Oke. Aku ingin tahu seperti apa seleramu!" Monika.

"Akan aku buktikan kalau seleraku berkelas!" Albert.

Dan mereka memutar arah. Melaju pergi, menjauh dari arah sebelumnya.

Berhenti didepan bangunan yang lebih mirip seperti gudang. Tampak menakutkan walau ada beberapa lampu penerang menyala dan dua orang penjaga gerbang.

Berpikir tentang hal buruk yang akan Albert lakukan padanya. Tetapi tidak mungkin Albert seberani itu, jika tidak ingin bermasalah dengannya. Terlebih sama sekali Albert tak nampak berbakat menjadi seorang bajingan.

Alih-alih larut dalam prasangkanya sendiri, Monika berusaha untuk tetap tenang. Matanya menyisir kesegala penjuru dan sama sekali tak melihat ada yang menarik disana.

"Tempat apa ini?" Monika.

"Bukankah kamu lapar? Kita makan malam disini!" Albert.

"Serius? Yang benar saja?" Monika.

Sama sekali tak percaya dengan perkataan Albert, Monika menganggap candaannya sama sekali tak lucu. Tentu saja di tempat terpencil yang jauh dari keramaian itu, tak mungkin ada restaurant atau tempat yang menjual makanan.

"Aku akan tunjukkan sesuatu yang menarik," Albert.

"Tidak. Aku tidak mau turun!" Monika.

Menertawai seringai ketakutan Monika yang nampak jelas dari muka dan sikapnya.

"Kamu pikir aku akan berbuat jahat sama kamu?"

Tak peduli lagi, Albert membuka seat belt dan bersiap turun.

"Kamu mau kemana?"

Masih berpikir tentang sesuatu yang buruk.

"Kalau kamu takut, tunggu saja disini!" ucapnya dengan setengah berteriak dari luar.

Monika melihat sekitaran mobil yang tampak sepi. Pagar tinggi mengitari seluruh bangunan. Kesal dengan Albert yang bersikap seperti lelaki yang tak bertanggung jawab.

"Tunggu, aku ikut!"

Buru-buru turun menyusul Albert yang lebih dulu meninggalkan mobil.

Albert tampak berbincang dengan seorang penjaga yang langsung menyambut begitu tahu dia datang. Sepertinya mereka sudah saling kenal.

Begitu Monika sampai, Albert kembali meninggalkannya. Kesal. Serasa tidak dipedulikan. Seperti sengaja dia melakukannya, ingin sekali Monika memukul kepala Albert dengan tas miliknya, tetapi yang dapat dilakukan hanya berusaha sabar sambil mengatur napas.

Melihatnya masuk kedalam bangunan yang minim.pencahayaan. Hingga kemudian Albert menekan sebuah tombol saklar disisi tembok dan..,

Tap, tap, tap

Dalam sekejap seluruh ruangan menjadi terang benderang.

Berjajar rak-rak aquarium yang tak terhitung jumlahnya. Memanjang berderet memenuhi ruangan dengan mesin-mesin air yang seperti

pancuran kecil di setiapnya. Tak mengerti pula untuk apa Albert mengajaknya ketempat seperti ini, sama sekali tak menarik dan tak

ada yang special didalamnya.

"Aku dengar kamu suka seafood." Tebak Albert, dan memang benar.

Mengernyitkan dahi, berpikir aneh karena Albert menghubungkan makanan kesukaannya dengan tempat aneh ini.

Monika berjalan masuk dan melihat banyak sekali lobster dalam aquarium. Berpikir apakah mungkin Albert akan memintanya memakan semua Lobster yang ada dalam aquarium itu.

"Aku akan tunjukkan bagaimana lobster-lobster itu dibesarkan hingga sampai ke piring, hidanganmu," ucap Albert.

Menoleh dan berusaha mencerna apa maksud Albert berkata seperti itu. Apa dia pikir dirinya kejam dengan memakan binatang jenis Crustacea itu?

"Kemarilah!" Albert meminta Monika ikut kedalam tempat dijajarkannya semua aquarium-aquarium itu.

Seorang penjaga kembali datang dengan membawakan sesuatu dalam kotak plastik yang ternyata adalah makanan untuk bibit lobster.

Monika memperhatikan Albert yang menaburkan pertakaran pakan pada setiap aquarium yang berisi puluhan bahkan ratusan anakan lobster.

Lebih mirip seperti udang-udang kecil berwana putih. Memperhatikan anak-anak lobster itu memakan setiap butiran pelet ikan.

"Boleh aku mencobanya?" tanya Monika.

"Yea, of course!" jawab Albert.

Memberikan sekotak plastik pakan lobster pada Monika yang kemudian melakukan hal yang sama.

Lucu sekali melihat bibit-bibit lobster sebesar batang pensil itu menikmati makanannya. Berganti pada deretan aquarium berisi anakan lobster tetapi dalam ukuran yang lebih besar.

Kembali menerima kotak plastik dari penjaga yang sama namun berisi jenis makanan yang berbeda.

"Apa itu?" Tanya Monika.

Seperti sayuran berbentuk tunas, yang telah direbus.

"Ini touge," jawab Albert.

Makanan tambahan untuk pembesaran lobster.

"Kemarilah!"

Kembali menaburkan pakan pada setiap aquarium dengan diikuti Monika yang juga tertarik untuk kembali melakukannya. Suatu pekerjaan yang belum pernah dia lakukan dan cukup menyenangkan. Terutama ketika melihat lobster-lobster sebesar jari telunjuk itu menangkap setiap tunas touge untuk mengumpulkannya kedalam sarang yang terbuat dari potongan pipa paralon.

Memberitahu Monika jika selanjutnya lobster yang baru mereka beri makan akan dibesarkan di kolam-kolam dangkal sampai siap panen.

"Kamu mau mencoba?" Tanya Albert.

"Tentu," menjawab dengan semangat.

"Tunggu disini," kemudian Albert pergi ke sisi ruangan. Mengambil sesuatu dari dalam kulkas dan membawanya kembali pada Monika. Membuka tutup kotak plastik berisi makanan berbeda dengan dua jenis sebelumnya.

"Apa ini?" Tanya Monika.

Tampak sangat menjijikkan, berwarna putih pucat dan berminyak.

"Ucus ayam!" jawab Albert.

Makanan kesukaan lobster dewasa. Bergizi tinggi dan sangat nikmat.

"Kamu mau mencobanya?" bertanya meledeki Monika.

"Iii.., uwekk!"

Albert tertawa senang.

Melanjutkan dengan berjalan melewati tepian kolam sambil menaburkan potongan ucus pada setiap kolam dengan merata. Kali ini Monika sama sekali tak tertarik untuk mencobanya.

"Mau lihat lobster yang siap panen?"

Lobster dewasa siap konsumsi dengan kedua capitnya yang menyerupai kepiting. Ada dua jenis, berwarna biru dan merah tua. Mendengarkan setiap penjelasannya dengan antusias seperti dirinya tengah menerima pelatihan private untuk budidaya lobster air tawar.

Walau sama sekali tak pernah terpikirkan, dan dirinya hanya tahu jika lobster itu sangat lezat bila sudah bercampur bumbu dan berada diatas piring, meja makannya.

"Sepertinya kamu tahu sekali tentang budidaya lobster?"

Untuk Monika yang baru sekali dalam seumur hidupnya melihat langsung bagaimana mereka dibudidayakan dan dikembangbiakkan didalam aquarium dan kolam-kolam penangkaran.

"Ya, Aku pernah private dan bekerja dipeternakan lobster."

"Benarkah?"

"Kamu sangsi dengan pengetahuanku?"

"Entahlah. Aneh saja."

Berhenti pada aquarium-aquarium besar berisi air jernih yang didalamnya terdapat beberapa ekor lobster dewasa dengan capit-capit besarnya.

Sepertinya mereka tidak akan menggigit karena kedua capitnya telah terikat tali.

Monika mengambil dan memegang salah satunya.

"Kasihan sekali lobster ini. Dipelihara untuk dimakan!

Dengan menunjukan wajah simpaty-nya. Albert tersenyum melihat prikehewanan Monika.

"Tak perlu risau. Selagi mereka tak sadar, mereka akan baik-baik saja," ucap Albert. "Seperti kehidupan ini. Selagi kita tak tahu apa yang akan terjadi, all is fine! Tak ada yang perlu ditakutkan. Biarlah semua menjadi misteri Illahi. Tugas kita hanya menjalaninya dengan benar, dan sepenuh hati!" Lanjutnya.

"Nice!" Puji Monika.

Nampak bangga dengan spontanitas jawabannya yang smart dan bijak.

"Tak usah terlalu bangga. Anggap ini keahlianmu yang sebenarnya tak terlalu bermanfaat!" Monika langsung mematahkan.

"Aku rasa ini juga penting, dan bermanfaat!" Tentunya.

"Oke, fine, enough!" Potongnya lagi. "Jadi kapan kita akan makan?"

Tak menyangka Monika masih ingat dengan ajakan makannya.

"Makan saja yang ada dipikiranmu!"

Tak menyangka Monika masih tega memakan lobster-lobster itu setelah apa yang dia katakan dan lakukan dengan semua penjelasannya.

"Apa tidak ada yang lain selain lobster?" Monika.

"Di kulkas ada ikan Bawal dan Gurame. Bagaimana kalau kita buat ikan bakar saja?"

Berpikir dan menimbang. Sepertinya lebih menyenangkan.

"Hemm, boleh!"

Lalu mereka mengembalikan pakan ketempat semula dan mengambil dua ekor ikan, Gurame dan Bawal berukuran besar yang sudah dibersihkan dari dalam kulkas.

Menyiapkan semua peralatan yang telah tersedia. Monika tak menyangka tempat ini Menjadi semakin menarik setelah beberapa saat dia didalamnya. Sepertinya dia akan dengan senang hati jika Albert kembali mengajaknya ke tempat ini dilain waktu.

"Can we visit this place again next time?"

"Sure. Kapan saja kamu mau!"

"Thanks!"

Lalu mereka menyalakan bara, bersama-sama menyiapkan bumbu dan membakar ikan malam itu.

Menghabiskan malam minggu tanpa rencana dan tidak bersama kekasih, tak terlalu buruk.

Selepas makan malam dan perasaan Monika sudah kembali semakin membaik, mereka memutuskan untuk kembali.

Sepanjang perjalanan, Monika memperhatikan Albert dibelakang kemudi. Berpikir jika sebenarnya dia seorang yang baik. Bahkan dia memiliki wajah yang tampan ditambah dengan hidungnya yang mancung. Walau dirinya terlalu bodoh dengan selalu menuruti saja semua perintah Monika.

Membayangkan jika itu bukan dirinya, mungkin saja Monika jatuh hati dan akan mendekatinya.

"O God! Ini tidak benar!" meralat khayalannya sendiri.

Monika memejamkan mata, sementara Albert bergeser. Tahu jika diam-diam Monika tengah mengamatinya.

"Something's happen?" Albert memastikan. "Tak usah pura-pura tidur," Sambungnya.

Monika tetap memejam seolah tak mendengar ucapannya.

"Jangan bilang, diam-diam kamu jatuh hati padaku!" Sengaja Albert meledek.

Mendengar perkataannya, saat itu juga Monika membuka mata dan melihat Albert.

"That was a brainless thing to do!" Monika membantah.

Kali ini Albert benar-benar senang dan tertawa lepas karena berhasil membuatnya kesal.

"Aku kira kamu benar-benar sudah tidur!"

Walau berhasil menebak jika dirinya hanya pura-pura tidur. Merasa malu dan kesal. Bagaimana mungkin Monika jatuh cinta pada seseorang yang baru dipuji dalam hati saja sudah bersikap sombong seperti itu.

"Can I ask something?"

"Sure!"

Tersenyum atas kebersediaannya.

"Kenapa kamu selalu menuruti perintahku?"

Tertawa mendengar pertanyaan Monika.

"Is it wrong? Bukankah sudah seharusnya seperti itu? You are my boss!"

"Ya, itu memang benar!" mengembuskan napas dengan pandangan tetap kedepan.

"Do you think I'm a cruel girl?"

Diam sejenak, melihat Monika.

"Cruel? No!" jawabnya. "I think, just..," berpikir. You're a.., stubborn. emotionless. clumsy, resent and..,"...

'Plaakk!' Memukul Albert yang dengan sengaja mengucapkan semua kekurangannya dengan sangat terperinci.

"Au.., sakit!"

"Makan tuhh sakit!"

*

Diwaktu yang sama, Juno yang sebelumnya kesal karena client nya me-reschedule sampai tiga kali, pada akhirnya tetap datang.  Meski waktu sudah larut, tak ada pilihan lain Juno harus tetap bekerja jika masih menginginkan uang.

Akhir-akhir ini pengeluarannya sangat banyak hingga memaksanya harus bekerja ekstra keras dari seharusnya. Bahkan terkadang Juno merasa bersalah pada dirinya yang bila diibaratkan layaknya kerbau dungu yang harus terus bekerja tanpa peduli dengan kesenangan atau kesehatannya.

Hidup tidak kejam, melainkan keras. Terkadang hidup juga tak banyak memberi pilihan. Seperti dirinya yang pernah memiliki cita-cita ingin memiliki usaha atau tempat reflexy sendiri namun berakhir menjadi terapis panggilan. Tepatnya, itu merupakan langkah alternatif yang dia ambil setelah usaha yang dia rintis tidak berjalan sesuai rencana. Meski sempat terbesit dipikirannya untuk kembali menjadi budak corporate, namun sepertinya itu keputusan yang terlalu memalukan.

Seperti kali ini, Juno mendatangi sebuah apartement di salah satu kawasan elit ibu kota. Sebelumnya dia memang sudah pernah datang kesana, tentunya sesuai panggilan kerja.

"Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" ucap resepsionis disertai senyum ramahnya.

"Saya ada janji dengan Sabrina, lantai 22."

"Nomor berapa?"

"B22CB."

"Tower B ya!" meyakinkan. "Tunggu sebentar ya, Pak!"

Petugas itu menghubungi penghuni yang Juno maksudkan, tetapi tidak mendapat jawaban.

"Tunggu sebentar ya, Pak, Saya coba lagi!"

Kembali menunggu. Kali ini panggilannya terhubung. Petugas itu berbicara dengan penghuni apartement.

"Selamat malam, Bapak. Ada tamu di bawah,"ucapnya memberitahu.

Sang penghuni bertanya tentang siapa tamu yang datang ketempatnya.

"Dengan mas siapa?" Resepsionist bertanya.

"Juno!" Menjawab.

"Dengan Juno, Pak!" Resepsionist mengulang.

Kali ini Juno memang datang tidak melalui panggilan Sabrina karena treatment kemarin belum selesai, ayahnya meminta Juno kembali datang dihari berikutnya yaitu hari ini.

"Oke, oke," beberapa kali petugas itu mengulang kata 'oke'.

Perbincangan antara petugas apartment dan ayah sabrina berakhir.

"Tunggu sebentar ya, Pak."

Petugas apartment memanggil security dan memintanya mengantar Juno ke lift. Hanya melalui petugas, tamu atau pengunjung diperbolehkan naik keatas.

Setibanya di lantai 22, Juno mencari ruang bernomor B22CB yang tak sulit untuk dia temukan.

Menekan bel dan tak lama seseorang membukakan pintu. Dia adalah Pak Alex, ayah sabrina.

"Malam, Pak!" Juno.

"Malam. Silakan masuk!" Pak. Alex.

Masuk dengan terlebih dahulu menunggu diruang depan. Sementara Pak Alex sudah menunggu diatas tempat tidurnya.

"Masuk, Pak!" ucap Pak. Alex memanggil Juno.

Juno masuk.

Setelah mencuci tangan dan Pak. Alex siap dengan posisinya, Juno mengeluarkan semua peralatan yang akan dia gunakan. Memberi alas handuk putih pada kedua kaki. Meletakkan selimut disekitarannya kemudian mulai melakukan treatment seperti biasanya.

Tak lama kemudian, samar terdengar seseorang masuk.

"Paahh..," memanggil dari arah depan.

Ternyata itu Sabrina. Melihat Juno datang kembali tanpa melalui panggilannya.

"Lho mas disini lagi!" sambil mengambil air putih dari dispenser.

"Iya, lanjutin yang kemarin belum selesai," jawabnya santai sambil terus melakukan treatment.

"O gitu."

Kemudian dia masuk ke kamar lain untuk ganti pakaian.

"Kamu sudah makan sayang?" tanya Pak Alex sambil tetap fokus pada handphone ditangannya.

"Sudah tadi di kantin." Jawab Sabrina.

Sambil bekerja dengan sedikit mengintip dari pintu yang memang terbuka, Juno melihat Sabrina sedang berganti pakaian. Sepertinya dia sengaja melakukannya.

Pak Alex sepertinya tak menyadari sementara Juno pura-pura tetap fokus pada pekerjaannya.

Sabrina keluar dengan hanya mengenakan celana pendek dan baju berbahan kain tipis transparan. Jelas Juno dapat melihat setiap lekuk tubuhnya.

Menyalakan televisi dan duduk disofa lebar sambil memegang setoples kecil berisi makanan.

"Gila, jalanan macet banget!" ucap Sabrina mengeluhkan kondisi jalanan Ibu kota yang memang sudah seperti itu setiap harinya meski sudah dibangun penambahan jalan baru.

"Tadi kesini naik apa, mas?" bertanya dari ruang depan sambil santai menyaksikan acara televisi. Setoples kecil berisi makanan masih berada dipangkuannya.

"Naik angkot," jawab Juno apa adanya.

"Emang motornya dimana?"

"Stnk-nya belum turun."

"Motor yang biasanya kemana?"

"Hilang."

"Hilang? Koq bisa?"

Menunjukkan wajah simpatiknya, Juno hanya membalas dengan tersenyum, tanda dia tak ingin membahasnya lebih jauh lagi.

"Terus nanti pulangnya gimana?"

"Paling naik Taksi," menjawab dengan tak yakin.

"O gitu,"

Kemudian mereka kembali fokus pada kesibukan masing-masing. Juno pada pekerjaannya dan Sabrina pada televisi serta kudapannya. Sementara Pak Alex masih santai menikmati treatment sambil sibuk bermain handphone.

"Besok berangkat jam berapa, Pah?" beralih bertanya pada ayahnya.

"Pesawatnya terbang jam lima. Tapi berangkat jam tiga dari sini."

"Awas kesiangan lho besok. Jam berapa sekarang?"

Mengingatkan jika menuju pukul tiga tak lebih dari tiga jam lagi.

"Kamu pasang Alarm dong!"

"Kalau tetep ngga bangun gimana? Papah aja kalau tidur suka kayak mayat!"

"Eehh, masa ngomong kayak gitu sama orang tua," reflex Juno memotong tetapi malah membuat Sabrina menertawainya.

Seketika terlintas sebuah ide dikepala Sabrina.

"Atau, gimana kalau Mas-nya tidur sini aja? Sekalian bangunin papah besok pagi!" mencoba mencari alternatif agar tidak terlambat bangun dan ketinggalan pesawat. "Gimana, Pah?"

Juno tak bereaksi dan hanya diam saja.

"Terserah kamu saja. Tapi dia tidur dimana?"

"Dikamar kecil aja, Pah!"

"Toilet, maksud kamu?"

Tercengang Juno seketika itu.

"Bukan. Maksudnya kamar tamu. Nanti aku tidur sama papah."

"O..,ya sudah, gimana baiknya saja!"

Beralih pada Juno yang sejak tadi hanya diam atas perbincangan yang melibatkan dirinya.

"Emang kamu mau?" tanya Pak Alex pada Juno yang tampak sibuk.

"Oh, terserah bapak sih."

"Emang kamu tinggal dimana?"

"Setiabudi!"

"Oh, dekat."

Selesai pada pukul 12.45 dini hari. Juno yang sebelumnya diperbolehkan tidur dikamar yang lebih kecil, akhirnya memilih untuk tidak tidur dan menonton televisi karena tidak ingin ikut kesiangan.

"Nanti kalau mau tidur, tidur aja ya mas!" ucap Sabrina dengan baiknya.

"Iya mba."

"Aku mau tidur dulu. Jangan lupa bangunkan sebelum jam tiga ya!"

"Baik, mba!"

Tersenyum kemudian masuk kedalam kamar yang lebih besar, yang disana Pak Alex telah lebih dulu tertidur. Bahkan suara dengkurannya mengalahkan suara televisi yang tengah ditontonnya. Hingga waktu menunjukkan pukul 02.40, Juno memutuskan untuk membangunkan mereka.

Beranjak menuju kamar yang ditempati kedua clientnya. Saat akan mengetuk pintu, Sabrina muncul hingga membuatnya terkejut. Keluar dengan wajah masih mengantuk dengan dipaksakan tersenyum pada Juno.

"Mas ngga tidur ya?"

Melihat Juno yang tetap menunjukkan wajah segarnya, sama sekali tak terlihat mengantuk.

"Engga. Takut kesiangan."

"Tunggu ya. Aku bangunin papahku dulu!"

Kemudian Sabrina kembali masuk untuk membangunkan ayahnya, sementara Juno berkemas dan menunggu diruang depan.

Sabrina kembali keluar, sementara Pak Alex sedang mandi. Satu koper berukuran sedang dan satu tas besar tampak sudah siap didalam kamarnya.

"Mas, mau kopi atau teh?"

"Emm, ngga usah repot-repot,"

"Ngga apa-apa. Aku sekalian bikin buat papah."

"Eemm, kopi boleh!"

"Tunggu sebentar ya.."

Memperhatikan Sabrina yang sibuk menyeduh tiga cangkir minuman panas. Satu kopi untuk Juno dan dua cangkir lagi adalah teh panas untuk dirinya dan ayahnya.

Membawa salah satu cangkir teh kedalam kamar untuk ayahnya dan kembali dengan membawa secangkir kopi untuk Juno.

"Kamu jadi antar papah, sayang?" tanya Pak Alex dari dalam kamar.

"Eemm, kalau naik taksi aja gimana, Pah. Ternyata ada tugas pagi di kampus. Sabrina takut telat." menjawab dengan suara malasnya, seolah dirinya memang dihadapkan dengan situasi yang sulit.

"Hemm, kalau gitu pesankan taksi buat papah!" pintanya.

"Nanti cari dibawah aja. Banyak kok!" menjawab dengan memberi alternatif yang memang benar adanya. Sama sekali tak sulit menemukan taksi disekitar apartement mewah seperti ini.

Pak Alex mengeluarkan satu koper dan dua tasnya.

"Biar saya bantu," Juno menawarkan diri. Mengambil satu tas besar dan satu koper membuatnya sulit membawa tas miliknya sendiri. Tetapi tak mungkin untuk dia membiarkan orang tua seperti Pak Alex membawa beban lebih banyak darinya.

"Nanti keatas lagi aja Mas, tasnya tinggal dulu aja!" Ucap Sabrina.

Sabrina memberi saran agar Juno tak kerepotan sembari memberikan kartu akses padanya. Pak Alex melihat Juno yang sudah mengangkat satu tas dan satu kopernya.

"Oke, ayo, pak!" ucap Pak Alex meminta pada Juno untuk turun bersama.

Mengantar Pak Alex dan menemaninya hingga mendapatkan taksi lalu membantu menaruh semua barangnya kedalam bagasi.

Setelah taksi melaju pergi, Juno kembali masuk apartement dengan mendapati petugas lobby yang sudah berbeda dari ketika dia datang. Tetapi kali ini dia tak perlu meminta izin resepsionist karena dia memegang kartu akses.

Kembali ke ruang apartement yang kini hanya tinggal Sabrina sendiri. Sebenarnya Sabrina tinggal bersama saudara laki-lakinya. Hanya saja sekarang saudaranya sedang berada diluar kota karena tugas kerjanya. Sementara ayahnya, Pak Alex mengunjungi sekali dalam sebulan.

"Emm, saya pulang sekarang." Juno.

"Emang jam segini udah ada angkot?" Sabrina.

Melihat jarum jam yang masih menunjuk pukul 03.10 pagi.

"Hemm, paling naik taksi!"

"Atau pulang pagian aja, mas. Aku juga jalan pagi kok!"

Berpikir dan menimbang.

"Saya takut ketiduran, nanti kesiangan!"

"Pasang alarm aja. Aku juga pasang alarm!"

"Eem, boleh!"

Menurunkan kembali tas dari pundaknya, lalu menuju kamar yang lebih kecil yang sebelumnya dia tawarkan untuknya. Menaruh tas diatas meja dan berbaring diatas tempat tidur yang memang muat untuk seorang saja.

Melihat dari bayangan cahaya lampu pintu kamar Sabrina tak tertutup rapat.

"Mas, udah tidur ya?" bertanya dari dalam kamarnya. Membuat Juno berpikir tentang sesuatu yang tak seharusnya terjadi.

"Belum. Nanggung soalnya!" Jawab Juno.

"Apanya yang nanggung?" disertai tawa kecil Sabrina.

"Jamnya. Sebentar lagi pagi." Jelas Juno.

Kembali sama-sama diam, Sabrina mengubah posisi kekiri kemudian kekanan lalu menengadah keatas.

"Mas..," panggil Sabrina lagi.

"Ya!" Jawab Juno.

"Tidur sini aja. Saya takut!"

Basa-basi yang menyenangkan. Kemudian Juno beranjak tanpa menjawab.

Berjalan menuju kamar yang hanya berbeda sudut saja. Membuka pintu yang sepertinya telah terbuka. Melihatnya berbaring diatas tempat tidur dengan selimut menutupi setengah dari badannya. Lampu utama telah padam, hanya lampu tembok berwarna kuning hangat yang tetap menyala.

Juno masuk dan berjalan kesamping kiri tempat tidur lalu naik keatasnya. Berbaring dengan posisi membelakangi Sabrina, kemudian menarik selimut hingga sebatas pinggang.

"Mas sudah punya istri?"

"Belum. Kenapa?"

"Enggak. Tanya aja."

Terdengar Sabrina mengubah posisinya. Entah menjadi miring atau membelakangi. Juno tak berani untuk sekadar mengubah posisi untuk memastikannya.

"Kenapa belum punya istri, Mas?"

"Hemm, belum ada yang mau aja," jawaban ringan yang juga membuat Sabrina tertawa ringan sepertinya.

Juno dapat merasakan Sabrina yang kembali mengubah posisi berbaringnya.

"Kalau pacar?"

"Ada."

Seperti ada sesuatu menyelinap dibalik selimut. Juno dapat merasakan sesuatu yang kenyal mengenai bagian punggungnya. Dalam posisi miring kekanan, Juno memutar kepalanya kekiri. Mengubah posisi menjadi saling berhadapan.

Kini wajah mereka berada sangat dekat. Rasa canggung, rasa senang dan gembira bergolak dalam dada. Sebuah sentuhan lembut yang ragu membangkitkan gairah hingga semakin membara.

Tatapan mata-mata satu tetapi tajam bak trisula yang mampu menusuk hingga menembus sumsum tulang. Lihai jemari mulai memainkan peran sensitifnya hingga membangunkan bulu perindu. Kerinduan akan kasih sayang, dalam kenikmatan.

Mereka pun terbuai hingga melayang tinggi menembus surga dunia.

Beranjak dari tempat tidur dengan tanpa ada perbincangan. Juno mengenakan pakaiannya kembali, sementara Sabrina langsung masuk kedalam kamar mandi dengan keadaan masih telanjang.

Mengambil tas dan menunggu di sofa depan. Sesekali Juno memperhatikan Sabrina yang berdandan cepat kemudian keluar dari kamarnya.

"Ayo, Mas," ajaknya.

Turun kebawah dan masih tidak banyak bicara. Hingga sampai lobby, mereka memutuskan untuk pisah karena tujuan mereka berbeda.

"Oke, hati-hati. Sampai ketemu!" Ucap Sabrina.

Juno menjawab dengan hanya tersenyum kemudian mereka berjalan ke arah berlawanan, dengan sama-sama tidak saling melihat kebelakang. Juno memilih keluar lewat lobby yang langsung terhubung dengan teras taman, sementara Sabrina menuju tempat parkir di basement.

*

Juno kembali menyesal atas kekhilafan yang telah dia lakukan. Seharusnya dirinya bisa menahan diri dengan tidak menyambut setiap kesempatan yang datang.

Memutuskan untuk tidak langsung pulang, tetapi mendatangi sebuah cafè untuk sekedar menenangkan diri.

Memesan roti bakar selai nanas untuk sarapan, secangkir mochaccino late kesukaannya dan caramel. Entah mengapa tiba-tiba Juno ingin menikmati dua rasa kopi kesukaannya itu dalam satu waktu. Mengicip keduanya secara bergantian. Dari balik meja bar, sambil berbenah sang pelayan melirik sambil tersenyum dengan tingkahnya.

Juno dapat membedakan rasa keduanya, meski menurutnya sama-sama nikmat.

Mengangkat tangan, Juno kembali memesan secangkir kopi panad. Kali ini perpaduan keduanya, dan selang beberapa waktu, pelayan kembali dengan membawa pesanannya. Tak langsung mengicip, melainkan memandangi ketiga cangkir kopi dengan rasa berbeda-beda di depannya. Sang pelayan kembali hanya melirik sambil tersenyum heran melihat Juno yang memesan tiga cangkir kopi dalam waktu bersamaan, dan hanya untuk dirinya saja.

Sekali menyeruput kopi yang baru datang dan mendapati rasa nikmat yang sedikit aneh, tetapi dia tetap menyukainya. Entah karena dirinya memang salah satu pecinta kopi, atau memang rasa campuran kopi percobaannya memang nikmat, sepertinya ini akan menjadi alternative keempat selain kopi hitam yang menjadi kesukaannya.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Juno melakukan eksperimen isengnya yang unfaedah dengan rasa kopi. Suatu waktu dia pernah mengambil lebih dari satu kemasan kopi pada Vending Machine.

Ibarat ingin membuktikan jika rasa kopi dari antar brand tidak sama. Meski sama-sama nikmat, tatapi selalu ada sensasi lain yang membuat masing-masing brand memiliki nilai spesial tersendiri.

Bahkan Juno pernah membandingkan kopi dari brand yang sama, rasa yang sama tetapi beda kemasan. Tepatnya antara kemasan kaleng dan dalam botol plastik.

Sampai sekarang Juno belum dapat menyimpulkan jawaban yang tepat mengapa baginya kopi dalam kemasan kaleng selalu lebih nikmat dibanding kopi dalam kemasan botol plastik meski dengan rasa yang sama dan dari brand yang sama pula. Tapi bagaimanapin kopi tetaplah kopi.

Baginya..,

Coffee is hot, hot is coffee.

Coffee with caffeine.

Caffeine make hyper.

Hyper is hard, hard is busy, busy with work.

Work hard is success.

So coffee is success.

Actually, this is true!

***

avataravatar
Next chapter